SEPULUH tahun lalu, dalam rubrik ”Tanda-tanda Zaman” di majalah Basis edisi Juli-Agustus 2000, budayawan Sindhunata mengonstatir bahwa pendidikan (di negeri ini) hanya menghasilkan air mata.
Kini, setelah 10 tahun berlalu, air mata itu bahkan sudah habis terkuras, hanya menyisakan ratapan dalam diam. Air mata siapa lagi kalau bukan milik kebanyakan warga di negeri ini yang tak mampu mengakses lembaga pendidikan formal.
Setiap awal tahun ajaran baru, jerit dan tangisan hati para orangtua dari keluarga miskin itu seolah melahirkan kidung kesedihan. Bayangan bahwa anak-anak mereka akan tersisih dari pergaulan di dunia pendidikan, tempat satu-satunya harapan akan masa depan yang lebih baik bisa disemai, seketika terlempar ke ceruk terdalam di batin mereka.
Jangankan mengakses pendidikan berkualitas, yang oleh pemerintah dilabeli standar khusus ini dan itu, sekadar masuk ke sekolah reguler dengan standar minimal saja mereka harus berjuang dengan cucuran keringat dan (lagi-lagi) air mata. Wacana sekolah gratis yang sempat timbul-tenggelam tempo hari kini benar-benar telah menguap, bertukar gagasan dengan semangat liberalisasi dan privatisasi yang akhir-akhir ini kian menggejala.
Alih-alih menggelorakan pendidikan berkualitas untuk semua—setelah dikritik habis dan mundur selangkah terkait gagasan awal pada 2005 untuk membagi jalur pendidikan menjadi formal mandiri dan formal standar; berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa—pemerintah malah memodifikasinya dalam bentuk pengkelasan institusi pendidikan. Konsep pendidikan untuk semua malah terpinggirkan.
Sekolah berlabel
”Saya putuskan masuk STM swasta di Pamulang. Meski kata orang kurang bagus, tetapi jauh lebih murah. Uang masuknya Rp 1,3 juta dan uang bulanan Rp 120.000. Kalau di STM negeri di Ciputat, saya sudah tanya, uang pangkalnya saja Rp 8 juta,” kata Jamaludin (39) ketika ditanya ke mana anak sulungnya, Revan (15), ia sekolahkan setamat SMP.
Inilah minggu penuh harap dan cemas bagi Jamal, warga Serua, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan. Kalaupun pada pengumuman, Jumat (7/5), anak sulungnya itu dinyatakan lulus, Jamal masih dipusingkan bagaimana mendapat Rp 1,3 juta untuk biaya masuk sekolah menengah kejuruan (SMK) bidang permesinan atau otomotif—yang masih disebutnya STM—swasta gurem di Pamulang tersebut.
Sebagai sopir angkutan kota, tak ada tabungan yang tersedia. Cadangan lain juga tiada. ”Kalau bisa dapat pinjaman, syukur. Kalau tidak, ya, apa pun akan saya lakukan agar ia tetap bisa meneruskan sekolah,” ujarnya.
Mahalnya biaya pendidikan, diawali tingginya pungutan uang masuk sekolah, selalu jadi keluhan para orangtua setiap menjelang tahun ajaran baru. Jangankan sopir angkutan kota seperti Jamal, Wahyuni yang berasal dari keluarga relatif mapan juga cukup kaget ketika dipatok sumbangan pendidikan Rp 8 juta dan uang bulanan Rp 450.000 di kelas rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) SMP Negeri 1 Pamulang.
Meski anaknya sudah lolos tes masuk, Wahyuni memilih mundur. Begitu ia menarik diri, sudah ada 40 calon siswa dalam daftar tunggu yang antre untuk bisa diterima di sana.
”Saya tidak sanggup kalau (biayanya) segitu. Akhirnya saya masukkan saja anak saya ke sekolah reguler di SMP Negeri 13 di DKI Jakarta. Malah gratis,” kata Wahyuni sambil tertawa.
Keputusan serupa juga diambil Setiono. Semula ia berniat memasukkan anaknya ke SMP Negeri 1 Bekasi yang berstatus sekolah bertaraf internasional (SBI). Sejak kelas IV SD, nilai rata-rata anaknya 7,7, yang menjadi salah satu syarat agar bisa diterima di SBI. Namun, begitu tawar-menawar terkait kesanggupannya memberi sumbangan ke sekolah akhirnya dipatok pada angka Rp 5 juta, Setiono pun tahu diri dan memilih mundur.
”Tidak ada uangnya. Sudahlah, saya masukkan ke (sekolah) reguler saja,” ucap Setiono.
Kalau menuruti kata hati, Rini pun sebetulnya tidak ingin memaksakan diri menyekolahkan anaknya ke SBI di SMP Negeri 4 Bogor. Masalahnya, anak Rini ngotot mau sekolah di sana dan mengancam tidak mau sekolah bila di tempat lain. Alhasil, lewat proses tawar-menawar yang cukup alot dalam sesi wawancara, Rini pun menyanggupi menyumbang Rp 5 juta dengan uang bulanan Rp 500.000.
Tanggung jawab negara
Beragam fasilitas yang ditawarkan RSBI dan SBI membawa konsekuensi biaya pendidikan jadi mahal. Semua ruang kelas ber-AC, sumber belajar serba digital, jaringan internet tanpa batas, ruang musik, karyawisata rutin, dan penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar proses belajar-mengajar selalu dijadikan patokan.
Untuk memenuhi itu semua, atas seizin pemerintah, sekolah pun mengutip biaya cukup besar dari masyarakat. Bagi kalangan masyarakat berpunya mungkin tidak masalah, tetapi bagaimana dengan kebanyakan warga yang untuk hidup sehari-hari saja sudah begitu sulit?
”Memang harus ada regulasi agar sekolah tidak memungut biaya terlalu mahal, hingga belasan juta,” kata Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional. ”Akan kita dorong (mekanisme) subsidi silang agar sekolah tidak menjadi eksklusif dan elite. Ini harus diatur. Kalau tidak, nanti sekolah X, misalnya, sudah (kumpulan) anak pintar, kaya-kaya lagi,” tuturnya.
Pendidikan yang baik dan berkualitas memang perlu biaya. Akan tetapi, seperti dikatakan Sindhunata, haruskah biaya itu dibebankan kepada warga negara yang jelas-jelas tak mampu menanggungnya? Di sinilah tanggung jawab negara layak digugat. Sejatinya, pendidikan itu untuk apa dan untuk siapa?
(LUK/KEN)
Sumbger: Kompas, Jumat, 7 Mei 2010
No comments:
Post a Comment