SAWALUDDIN Siregar berniat menjual tanah berikut bangunan sekolah Yayasan Kesuma Karya miliknya. Kalau tak ada yang tertarik, kompleks bangunan sekolah itu akan ia jadikan perumahan, lalu dijual kepada calon pembeli.
Pelajar sekolah rintisan berstandar internasional, SDN Menteng 01, mengikuti pelajaran bidang studi komputer di laboratorium komputer di sekolahnya, Menteng, Jakarta, beberapa waktu lalu. Sekolah rintisan SBI ini menerapkan penggunaan bahasa Inggris, baik secara bilingual maupun sepenuhnya, pada mata pelajaran komputer, matematika, sains, dan bahasa Inggris. (KOMPAS/LASTI KURNIA)
Gagasan ini sudah ia pikirkan sejak beberapa bulan lalu. Kemampuan Sawaluddin mempertahankan kelangsungan sekolah—berikut bangunan di atas lahan seluas sekitar 1.000 meter persegi—itu boleh dibilang sudah berada di titik nadir.
Meski sejak awal keberadaan yayasan pendidikan yang ia warisi dari orangtuanya itu tak diniatkan untuk mengeruk keuntungan, sumber pemasukan dari anak-anak keluarga miskin yang bersekolah di sana sudah tidak bisa lagi diharapkan menutup biaya operasional. Uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) malah lebih sering tak terbayar sehingga yayasan kerap nombok.
Dana bantuan operasional sekolah dari pemerintah juga tak mampu menutup kekurangan operasional sekolah. Kucuran dana dari pemerintah senilai Rp 220 juta untuk membangun empat ruang kelas baru, berikut pengadaan bangku dan kursi, pun masih jauh dari mencukupi.
Alhasil, keputusan menjual lahan berikut bangunan sekolah jadi pilihan terakhir. Uang hasil penjualan ”sekolah” ini, menurut rencana Sawaluddin, akan ia gunakan untuk membangun sekolah baru. Itu pun dengan catatan, harga tanah di lahan baru kelak lebih murah.
”Alternatif ini sudah saya pikirkan sejak beberapa bulan lalu. Tetapi, kalau ada donatur yang mau membantu keuangan sekolah, mungkin kami akan tetap bertahan di sini,” kata Sawaluddin.
SMP dan SMA Karya Kesuma memang jauh dari gambaran sekolah elite. Meski di pusat kota, di kawasan Teladan, Medan Kota, hampir 98 persen dari 79 siswanya berasal dari keluarga tidak mampu. Sebutlah seperti penarik becak, kuli bangunan, dan pekerja musiman. Tidak aneh bila siswa kerap menunggak uang sekolah—yang dipatok Rp 75.000 per bulan—hingga enam bulan.
Sudah bisa ditebak bagaimana proses pembelajaran berlangsung di sekolah yang minim pendanaan seperti ini. Fasilitas belajar jauh dari memadai. Guru-guru yang digaji sekadarnya tak bisa sepenuhnya mencurahkan perhatian mereka di kelas.
”Bersyukur kami masih bisa bertahan,” ujar Sawaluddin.
Persoalan serupa juga dihadapi ribuan sekolah gurem lain di Tanah Air. Sebutlah seperti SMP dan SMA Gotong Royong di Yogyakarta. Jangankan laboratorium, perpustakaan yang memadai pun tak mereka miliki. Apa yang dinamakan ruang perpustakaan di sekolah ini bergabung dengan ruang kepala sekolah. Hanya disekat rak buku.
Ruang kelas untuk siswa SMA juga minim fasilitas, hanya berisi papan tulis dan meja-kursi. Sekolah dengan 44 murid itu cuma memiliki dua unit komputer untuk dipakai bersama.
Pendanaan sekolah sangat bergantung pada dana bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) sekolah swasta sebesar Rp 90.000 per anak per tahun. Ditambah bantuan lain, termasuk SPP dari para siswa, sekolah ini hanya punya pemasukan rutin Rp 9,36 juta per tahun.
”Anak-anak yang mendaftar ke sini biasanya anak-anak tak mampu, yang tak bisa masuk di tempat lain. Kalau sekolah ini ditutup, kasihan mereka,” ujar Gudiana Lindawati, Kepala SMA Gotong Royong Yogyakarta.
Sangat kontras
Kondisi sekolah-sekolah partikelir gurem semacam ini sangat kontras dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri yang mendapat perhatian pemerintah. Lebih-lebih yang berstatus rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) maupun ”kakak kandung”-nya: sekolah berstandar internasional alias SBI!
Tengoklah SMA Negeri 3 Yogyakarta yang berstatus RSBI. Sebanyak 21 kelas internasionalnya telah dilengkapi proyektor LCD dan sejumlah komputer. Sekolah yang sebagian besar siswanya membawa laptop ini juga punya perpustakaan yang tengah diarahkan berteknologi digital.
Begitu pula SMA Negeri 1 Yogyakarta, yang juga berstatus RSBI. Bahkan, untuk meraup bantuan dana maksimal dari pemerintah, kelas-kelas reguler dihapus keberadaannya. ”Kalau hanya sebagian kelas yang RSBI, bantuan bisa terpaut Rp 200 juta. Bila semua kelas RSBI, (jumlah) bantuan (yang didapat) bisa maksimal,” kata Asrori, Wakil Kepala SMA Negeri 1 Yogyakarta.
Status RSBI bukan saja berarti gengsi, apalagi naik menjadi SBI, tetapi juga berarti akan ada kucuran dana bantuan ”berlebih” dari pemerintah yang kini memang getol dengan segala hal berbau internasional. Sedikitnya Rp 300 juta hingga Rp 600 juta per tahun dialokasikan untuk setiap sekolah.
Padahal, pihak sekolah masih memungut dana dari para orangtua murid. Untuk uang gedung Rp 3 juta-Rp 5 juta, sedangkan SPP ditarik Rp 150.000-Rp 200.000. Di luar itu, demi dan atas nama status internasional yang mereka sandang, pihak sekolah masih mengutip biaya Rp 550.000-Rp 800.000 per mata pelajaran untuk penyelenggaraan uji sertifikat Cambridge Examination International yang mereka rintis.
Kemegahan dan fasilitas belajar yang membikin iri siswa sekolah reguler, apatah lagi mereka yang berasal dari sekolah swasta gurem, juga terasa di sekolah berstatus RSBI di Medan. Di SMA Negeri 1 Medan, misalnya, sejumlah ruang dan lobi sekolah sudah dilengkapi wi-fi untuk akses internet.
Tahun ini, SMA Negeri 1 Medan mendapat kucuran dana Rp 500 juta agar bisa meningkat statusnya dari RSBI menjadi SBI. Di Medan, SMA ini tergolong sekolah elite, antara lain ditandai banyak anak pejabat di daerah ini yang sekolah di sini.
Inilah wajah dunia pendidikan kita hari ini. Di tengah kenyataan masih banyak sekolah gurem yang kesulitan bertahan sekadar untuk bisa tetap ”hidup”, pemerintah lebih terpukau untuk menghadirkan sederet prestasi lewat keberadaan sekolah-sekolah eksklusif berlabel RSBI dan SBI. Dana ratusan juta hingga miliaran rupiah digelontorkan, sementara di belahan lain lebih banyak sekolah yang untuk memenuhi standar minimal pun masih kesulitan.
”Bentuk-bentuk pendidikan eksklusif makin memperlebar kesenjangan sosial. Ini bertentangan dengan undang-undang yang mengamanatkan negara menyediakan pendidikan merata, terjangkau, dan berkualitas,” kata Ki Priyo Dwiarso, Panitera Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. Kenyataan ini sekaligus membenarkan kritik sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu: sekolah hanya menjadi lembaga reproduksi kesenjangan sosial!
(Mohammad Hilmi Faiq/ Irene Sarwindaningrum)
Sumbger: Kompas, Jumat, 7 Mei 2010
No comments:
Post a Comment