-- A Eddy Kristiyanto OFM
KOMPAS/ PRIYOMBODO
Data buku
• Judul: Terobosan Baru Berteologi: Butir-butir Refleksi Pastor Yan Sunyata OSC
• Editor: Fransiskus Borgias M dan Agustinus Rahmat Widiyanto OSC
• Penerbit: Yogyakarta, Lamalera
• Cetak: Juni, 2009
• Tebal: xlvi + 290 halaman
• ISBN: 978-979-25-4817-4
”AGAMA tidak lain daripada setia pada dunia.” Demikian almarhum Yan Sunyata mencoba menafsirkan kebuntuan dalam praktik pluralisme religius. Sebuah ungkapan mengagetkan bagi sebagian orang, tetapi tidak jauh dari kebenaran tentang humanisme yang terbuka.
Kata ”paradoksal” bisa meringkaskan seluruh kiprah Yan Sunyata (1941-2002). Sebagai seorang imam dari Ordo Salib Suci, ia mengisi sebagian besar waktunya di telatah Parahiyangan. Para mahasiswa Katolik yang tersebar di Bandung, seperti ITB, Unpar, dan Unpad, pada tahun 1974-1990 tidak mungkin tidak mengenalnya. Beliau biasa disapa dengan fungsi dan perannya, yakni Pastor Yan.
Bagaimana tidak paradoksal kalau kesaksian para mahasiswa atas Yan nyaris selalu merujuk pada pikirannya yang menantang, melawan arus, dan membuat kepikiran terus. Orang-orang muda yang masih mencari identitas diri tak jarang menemukan pada Yan citra ideal. Mereka ini dikader dan dirawat dalam Gema (Gereja Mahasiswa).
Ketika Bandung dirasakan terlalu sempit, Yan melebarkan sayap ke Universitas St Thomas Medan sebagai rektor (1995-1997) dan ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta dalam dua periode (1992-1994 dan 1998-2002) sebagai dosen yang mengampu Teologi Fundamental. Mata kuliah ini acap dipandang sebagai bidang yang menjembatani ilmu filsafat dan teologi.
Kini refleksi filosofis dan teologis Yan dihimpun di bawah judul Terobosan Baru Berteologi. Karya ini fenomenal karena para editor berhasil merekonstruksi refleksi Yan. Seandainya masih hidup, bisa jadi Yan menentang habis-habisan melihat kumpulan karyanya diberi judul tersebut. Sebab, I Bambang Sugiharto, seorang mantan muridnya, mencatat, ”Yan Sunyata adalah percampuran ganjil yang tak terumuskan” (hal xiii).
Mendiskusikan rasa?
Para editor mengelompokkan refleksi Yan Sunyata dalam dua bagian, masing-masing berisi tujuh bab. Secara kreatif para editor menafsirkan isi bagian pertama sebagai eksplorasi sebagai pendalaman dan kontribusi Yan dalam bidang teologi. Bagi seorang teolog, ”tidak ada sesuatu pun di bawah matahari yang luput dari relasi dengan Tuhan”. Oleh sebab itu, kesibukan dan metode berteologi, alternatif kehidupan kekal, perwujudan nilai-nilai luhur, dan sejarah merupakan kancah pertaruhan kehidupan. Sejauh dan sedalam permenungan teologis itu terungkap dalam rangkaian kata yang utuh dan kadar pemikirannya. Para pembaca yang terbiasa berpikir sistematis akan merasakan adanya rekayasa dalam logika penyusunan tema bagian satu. Inilah salah satu konsekuensi karya posthumous yang dikerjakan bukan oleh penulis sendiri.
Sementara itu, simpul bagian kedua adalah apresiasi, apropriasi komprehensif, dan evaluasi kritis atas percikan perkembangan pemikiran teologis. Aktivitas berteologi Yan menyingkapkan karakter pribadi yang khas. Kendati percikan pemikiran dalam aktivitas berteologi itu tidak mengungkap segala sesuatu tentang Yan, buku ini menebar aroma ”yansunyatais” (hal xxxviii). Di sana-sini terekam pembahasaan ulang, celetukan, dan komentar yang gaul. Ungkapan centil, gumasep (hal 36), idih (hal 160), mati angin (hal 229) memperlihatkan karakter ”yansunyatais”.
Seandainya pemikiran Yan adalah seluruh buku ini, refleksinya sungguh tidak orisinal mengingat sifatnya yang reaktif. Namun, tetap sah menyebut kumpulan refleksi ini sebagai salah satu gaya berfilsafat dan berteologi. Bukan Yan jika tidak mencampuradukkan bahasa lisan dalam istilah-istilah scholar seperti ”Mahasiswa STFT yang merasa bisa segala, pantas digebukin” (hal 24), Itulah (hal 37), Apa-apaan (hal 173). Mungkin inilah selingkung Yan sebagai ”teolog yang hidup di luar hak” (hal xii).
Cara bertutur yang merakyat membuat refleksinya mudah diterima dan dicerna. Metode ini menepis anggapan, filsafat dan teologi itu mengawang-awang dan spekulatif. Hemat saya, Yan memilih metode itu seperti ia menikmati rasa. Perihal rasa kita tak dapat berdiskusi. Kita berada dalam ambang kesulitan, justru karena tiada karya lain dari Yan sebagai pembanding.
Dalam pembacaan saya, Yan memakai taktik hit and run. Dia mengangkat sejumlah tema, tetapi tidak diikuti uraian memadai sehingga pembaca diantar hanya di permukaan samudra permasalahan. Misalnya, ”Teori evolusi yang progresif dan optimis dari Teilhard de Chardin ditampar oleh Jacques Monon dalam bukunya yang berjudul Le Hasard” (hal 25) dan ”.... manakah yang disebut Grundwerte (nilai-dasar) itu? Hormat terhadap hidupkah atau hormat terhadap kualitas hidup?” (hal 87).
Mengherankan. Ketika Yan bicara tentang iman dan nilai, tak satu kata iman pun muncul dalam penjelasannya (hal 86-91). Yan mengawali diskusi dengan menyisakan pemikiran terbuka sehingga pembaca perlu bersiap-siap untuk tidak menemukan jawaban yang pasti. Barangkali ia mau menerapkan metode maietik, di mana penggagas hanya melontarkan ide, menunjukkan arah, memotivasi gerak, membidani lahirnya gagasan susulan, tetapi pembaca sendiri yang harus melahirkan kandungan pemikirannya.
Terobosan baru?
Sebagai karya yang tidak terbilang dalam ranah ilmiah, buku ini lebih mengungkit tema global dan makro daripada menukik ke kedalaman. Ia bagaikan toko serba ada karena memuat pelbagai gagasan. Itulah sebabnya saya tidak bergegas menyebutnya: ”Ini terobosan baru”. Apalagi Yan menggunakan istilah terobosan baru (hal 229) hanya berkenaan dengan ide Ernst Käsemann yang menekankan the necessity of ’de-mythologizing’ the gospels dan pentingnya the historical basis of Christianity.
Prototipe refleksinya dibangun dengan menyebarluaskan ramuan yang diracik dari Mazhab Leuven. Yan nyatanya adalah anak (zaman) Leuven dengan seluruh tubuh yang terlibat di dunia ketiga. Meski refleksi berkiblat ke Eropa, ia memberikan ruang (sempit) kepada Asia dan Indonesia. Pengabadian nubuat K Rahner, ”Teologi itu hanya mungkin tumbuh dari keterlibatan pribadi maupun keterlibatan eksistensial, dari pengamatan serius terhadap berbagai macam kebutuhan pastoral” (hal 35), merupakan ketanggapannya pada konteks.
Di samping itu, ada semacam slip of the pen: ”Gereja tidak memiliki ajaran sosial dan politik yang bisa menyatukan umat dalam gerakan-gerakan yang berpengaruh” (hal 78). Penegasan ini menyesatkan para pembaca yang tidak mengenali kajian D Dorr, T Herr, J Coleman, G Baum, dan M Schuck. Kesan saya, Yan membaca karya P Ricoeur, AN Whitehead, dan E Schillebeeckx, tetapi ia tidak sanggup memberikan referensi. Dengan demikian, pembaca tidak dapat mengontrol benar-tidaknya tulisan Yan.
Salah satu bab yang terbaik adalah ”Semua Agama Itu Benar?” (hal 213-dst) dan ulasan tentang persahabatan yang berbeda dengan cinta kasih (hal 259-263). Kesantunan seorang yang terdidik pun terungkap manakala YS tidak langsung ”mengambil parang dan menyerang”, tetapi bertanya secara kritis (220).
Bagi saya, topik kristologis (hal 267-289) yang dianggap para editor sebagai jawaban, puncak peziarahan, dan muara seluruh refleksi seorang Yan tidak seluruhnya tepat. Karena Yan sendiri mengakui, ”Beriman Kristiani berarti menyerahkan secara total kepada Abba yang diarahi secara total oleh Yesus. Jadi, ini soal proyek hidup” (hal 288). Dia jalan menuju Allah, Abba, jalan yang harus kita tempuh (hal 289). Dengan begitu, Yesus bukan tujuan! Sebab, Gereja menjadikan Yesus itu Kristus melalui kebangkitan oleh Allah. Kesan saya, Yan lebih teosentris—dalam situasi pluralistik Indonesia—daripada kristosentris.
Apakah kristologi merupakan solusi atau bukan sangat bergantung pada masalahnya. Kristologi bukan kunci pas semua masalah. Pandangan dan sikap reduksionis pasti merupakan fundamentalisme naif yang membahayakan mutu keilmuan. Di atas itu semua, satu hal penting yang menyelamatkan buku ini ialah Yan menginterpretasikan ”pengalaman historisnya sebagai orang beriman yang berinteraksi dengan dunia”, sekaligus meninggalkan ruang terbuka yang mengundang pencarian lebih dalam dan lengkap.
Akhirnya, karya ini dapat disebut terobosan baru berteologi, dalam artian berupaya mengedepankan interpretasi ke-sunyata-an (bandingkan hal 263). Maksudnya, buku ini menyingkapkan seorang Sunyata yang tengah menuju keutuhan. Sebab, di sini Yan bermaksud dan berusaha menerobos kebuntuan dengan refleksi yang mencerahkan dan membebaskan.
* A Eddy Kristiyanto OFM, Pendidik Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Sumber: Kompas, Senin, 14 Desember 2009
1 comment:
Sebagai Editor in-chief buku ini, saya tentu senang dan bangga karena Prof.A.Eddy Kristiyanto OFM telah bersedia menulis sebuah resensi dan catatan kritis mengenai buku ini di media bergensi Kompas.... Walau mungkin ada beberapa poin yg msh bisa didiskusikan oleh kita, tetapi teks sbgmana adanya sudah amat memuaskan.... terima kasih banyak romo....
Post a Comment