Sunday, October 04, 2009

[Buku] Memandang Politik dari Kampung Jakarta

-- Geger Riyanto


Data Buku

• Pengarang: Benny Rachmadi
• Judul: Dari Presiden ke Presiden: Tingkah Polah Elite Politik
• Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
• Cetakan: I, Juni 2009
• Tebal: x + 333 halaman

Karya yang terjual laris terkadang adalah kutukan. Tak jarang karya lain penulis yang sama tak bisa berdiri sendiri lantaran pembaca mengharapkan karya lain itu sebagai sambungan karya yang laris.

Bagi Benny Rachmadi yang dikenal luas dalam duetnya dengan Muhammad ”Mice” Misrad, buku kumpulan kartun politik pada mingguan dan harian Kontan ini tentu akan sering dibandingkan dengan serial ”Benny & Mice” yang dimuat di harian Kompas setiap Minggu. Saya pun memulai tulisan ini dengan memberikan perbandingan antara buku kartun politik ini dan model kartun ”menyehari” yang menjadi ikon pena Benny bersama Mice.

Perbedaan segera terasa ketika membandingkan kedua karya tersebut. Seorang kawan yang meminjam buku Lagak Jakarta edisi ”Krisis... Oh... Krisis”, ”Reformasi”, dan ”Hura-hura Pemilu 1999” milik saya mengatakan, buku kartun tersebut terlalu berbau politik dan sebagai penggemar kartun ”Benny & Mice”, ia tidak terlalu menyukainya.

Dimensi naturalistik

Perbandingan memang tidak melukiskan perbedaan sebenarnya. Sedari publikasi pertamanya, Lagak Jakarta edisi ”Transportasi”, kartun garapan Benny konsisten pada cara memandang dari bawah. Awalnya, ini terkait dengan keinginan penerbit menggambarkan kelucuan kehidupan di Jakarta dalam bentuk komik. Guratan-guratan sang kartunis mempertunjukkan nilai lebih dalam memaparkan fragmen tak kasatmata dalam keseharian kita.

Menurut definisi kamus Oxford, comical berarti lucu dan menghibur karena aneh dan tidak biasa. Keinginan Lagak Jakarta untuk menjadi sociological report tentang Jakarta tak menjadikan dirinya keluar dari pakem komik, tetapi memberi dimensi ”naturalistik”. Kelucuan mengalir saja dan terkesan jauh dari pretensi ataupun motif pengarang yang dapat mengganjal.

Sebuah adegan dalam Lagak Jakarta edisi ”Profesi” dibuka dengan seorang ilustrator terlihat senang mendengar orang-orang tertawa membaca buku kartunnya di toko buku. Kita disuguhkan situasi menggelikan. Kemudian digambarkan orang-orang itu tertawa bukan karena kartun yang mereka baca lucu, melainkan karena kartun sang ilustrator norak dan ”hancur” banget. Sang ilustrator pun wajahnya memerah dan masam.

Benny sendiri mungkin akan tertawa membaca karyanya sepuluh tahun lalu ini. Penertawa memiliki jarak dengan yang ditertawakan. Sementara adegan pada kartun ini pada saat sama memaparkan keadaan dekat dengan kenyataan yang dialami Benny sebagai ilustrator. Benny secara tak langsung mengakui tokoh kartun tersebut gambaran dirinya dengan menggunakannya sebagai tokoh diri dalam edisi ”Krisis... Oh... Krisis”. Menertawakan diri sendiri sebagai cara mengevaluasi diri sekaligus menjadi diri sendiri ini kemudian kita kenal sebagai cara kartun Lagak Jakarta memandang dunia.

Ketajaman analisis

Persoalan politik menjadi tema kartun Benny sejak buku keempat Lagak Jakarta, ”Krisis... Oh... Krisis”, yang sekaligus menandai publikasi massal yang pertama kali digarap bersama Mice. Ini sebenarnya bukan pergeseran dari sudut pandang menyehari ke sudut pandang politik seperti yang diduga beberapa kawan. Krisis ekonomi saat itu dengan segera menggulung semua kehidupan warga Jakarta. Membicarakan Indonesia kecil tanpa menyertakan perubahan politik justru membuat diri terputus dari realitas sosial keseharian.

Kerja mingguan Benny yang kemudian dikumpulkan menjadi buku Dari Presiden ke Presiden: Tingkah Polah Elite Politik ini tak jauh dari apa yang dia lakukan sejak buku keempat, memandang politik yang lekat dengan citra dunia elite dari tempat jauh di bawah.

Keharusan menceritakan Indonesia dalam satu potret untuk satu minggu menuntut kartunis melakukan penggambaran lebih simbolis ketimbang pada buku Lagak Jakarta. Gambar presiden menyetir metromini mengejar setoran sebagai karikatur manuver menjelang Sidang Istimewa MPR jarang kita temui dalam Lagak Jakarta atau kartun ”Benny & Mice” yang lebih lugas.

Pada sisanya kita akan menemukan cara memandang dari bawah yang sama dengan kartunnya yang lain. Tak hanya adegan karikatural yang memperlihatkan sindiran dari cara pandang orang biasa. Garis guratan pun menunjukkan sifat ”kampungan” yang menjauh dari kaidah kerapian gambar, seperti bonyok, mengiler, beringus, menggerogoti sesuatu, mata melotot bernafsu, tingkah polah manusia yang dianggap kurang pantas ditonjolkan semua dimunculkan dan menjadi sangat biasa.

Akan menjadi sangat aneh ketika Benny melukiskan peristiwa dengan ”elegan”. Pada halaman 263, misalnya, digambarkan Jaksa Agung Hendarman Supandji menggali kuburan bertuliskan dana BLBI. Atau di halaman 235 tampak burung mengidap flu membawa sabit panjang dan menginjak bumi yang berparas loyo dan memakai masker. Dua kartun inilah yang memiliki kemiripan dengan kartun editorial media massa Barat. Hal ini terlihat dari cara penyimbolan, tak memiliki daya magis ketika ditempatkan di antara kartun yang mendapat kekuatan dari komitmennya untuk ”kampungan”.

Demikian pula dalam Gus Dur mencuci baju seorang petinggi militer hingga menciut sebagai gambaran upaya menciutkan peran TNI dalam politik. Mega dipusingkan dengan anak-anak nakal sehingga para investor yang dia sambut di ruang tamu angkat kaki. Dua contoh ini melambangkan upaya kartun ini memandang elite dari dalam rumah warga kampung. Peristiwa politik menjadi terasa asing justru ketika dibingkai dari dunia kartun yang dilambangkan dengan dingklik, ulekan, dan detergen.

Tak jarang pandangan terhadap politik dari bawah yang komikal itu mengalahkan ketajaman analisis seorang pakar. Penggambaran komikal para elite besar itu tak pernah bergerak dengan kehendaknya sendiri. Habibie tergantung pisau-pisau permasalahan negara serta SBY dan Mega bertarung dalam kontes idola yang biasa kita saksikan di televisi memberi efek kejenakaan justru dengan membonceng tragedi. Dunia kita digerakkan mereka yang tak mempunyai kuasa atas diri sendiri.

Henri Bergson dalam esainya tentang komik menyatakan, tertawa adalah tindakan masyarakat mengoreksi kesalahan seseorang. Barangkali, sekadar pelajaran kecil dari kartun ”kampungan” yang tak tanggung-tanggung menertawakan kartunisnya sendiri adalah menertawakan diri sendiri. Setidaknya lebih baik daripada suatu saat kita terbangun dalam kehidupan politik yang lakonnya kelewat menggelikan, tetapi tak bisa menertawakan lagi karena tak mengetahui mana yang salah dan mana yang benar dalam kehidupan bernegara.

Saya kutipkan dari buku ini halaman 281, balasan dari ibu-ibu terhadap seorang bapak yang heran karena mereka membicarakan soal politik: ”Abis... sekarang urusan politik udah kagak ada bedanya ama infotainmen, Pak!”

* Geger Riyanto, Alumnus Sosiologi Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, Minggu, 4 Oktober 2009

No comments: