-- N Mursidi*
JAUH-JAUH hari,ketika novel Ayat- Ayat Cinta (AAC) sedang santer diberitakan akan diangkat—diadaptasi—ke layar lebar, saya sudah menduga kalau kelak film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu akan melampaui novelnya.
Ternyata dugaan itu tidak meleset. Setelah film AAC diluncurkan dan diputar di sejumlah gedung bioskop, apa yang saya ramalkan itu tidak salah. Tidak kurang empat juta penonton (dari segala umur) rela antre berdesak-desakan untuk sekadar menonton akting Fedi Nuril, Rianti Catwright, Saskia A Mecca, Carissa Putri, dan Melanie Putria.
Padahal, novel AAC besutan Habiburrahman El-Shirazy yang fenomenal itu hanya mampu menembus penjualan sekitar 500.000 eksemplar (dalam rentang waktu tiga tahun). Jelas jumlah penonton film Ayat-Ayat Cinta itu telah melibas jauh—delapan kali lipat.
Tidak mustahil, Riri Riza yang sekarang ini sedang bekerja keras memproduksi novel best seller Laskar Pelangi (besutan Andrea Hirata), kelak bakal menuai kesuksesan serupa. Fenomena itu seakan mempertegas kematian sejarah novel di era budaya visual sekarang ini. Pasalnya, kesuksesan film AAC dalam menjaring jumlah penonton tidak semata-mata mengukuhkan akan rendahnya tingkat baca masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, dapat dibaca sebagai sebuah pertanda kematian (sejarah) novel.
Kemenangan Budaya Visual
Kematian (sejarah) novel tidak lain karena dunia sekarang ini telah mengalami pergeseran (masa transisi) dari dominasi fantasi atau imajinasi ke konsumsi gambar instan (dunia visual).
Pada masa transisi ini—sebagaimana diungkapkan John Naisbitt,sejarah tulisan yang dikenal sejak 6.000 tahun lalu telah “direbut paksa” faktor visual, dari seni, arsitektur, hingga desain. Sebelum kehadiran zaman film, TV, video, dunia memang dikuasai narasi literal.Tidak salah,Aristoteles dalam Poetics pernah berujar, “Hal yang terhebat di dunia ini adalah menjadi penguasa metafora.” Apa yang dikatakan Aristoteles itu memang tidak salah.Pasalnya,waktu itu dunia dikuasai penguasa metafora.
Tak mustahil, pada zaman itu penulis cerita dan penyair dihormati. Tetapi,masa kejayaan metafora itu sekarang telah memudar.Peradaban dunia imajinasi kini telah dikalahkan gambar langsung film,TV, video, dan DVD yang telah merebut, bahkan mengganti kekuasaan cerita (cerpen, puisi,dan novel).Maka,kini yang menjadi penguasa budaya (dunia) bukan lagi penguasa metafora (sebagaimana diungkapkan Aristoteles), melainkan sang penguasa visual yang diperankan artis.
Fenomena akan kemenangan kekuasaan visual di dunia inilah yang kemudian menjadikan artis seperti Fedi Nuril, Rianti Catwright, Saskia Mecca, bahkan Carissa Putri lebih dikenal orang daripada Kang A b i k — p a n g g i l a n a k r a b pengarang Ay at - Ay at C i n t a — b a h k a n sutradara film t e r s e b u t , H a n u n g Bramantyo.
Kemenangan dunia visual itu, dalam kasus yang lebih akrab, bisa diamati pada tayangan acara infotainment. Fakta “peralihan”dari dunia narasi literal yang sekarang diambil alih narasi visual ini pun semakin mempertegas akan kematian sejarah novel. Logis, kalau Sir Vidia Naipaul,pemenang hadiah Nobel 2001 dalam bidang kesusastraan,pernah berucap lantang,“Saya tidak yakin novel akan dapat bertahan; hidupnya hampir berakhir.”
Ironisnya, dia bahkan menegaskan novel sudah “sekarat”— setidaknya—selama satu abad. Yang jelas,dunia sekarang ini telah diambil alih budaya visual. Imajinasi, sebagai kekuatan novel, telah dilibas dominasi gambar visual dan novel pun berada di ambang kematian.Memang, novel, yang sejatinya merupakan ranah fantasi dan imajinasi,tidak mati. Tapi, tak dapat dipungkiri, sejarah novel sekarang ini sudah sekarat.
Geliat Novel Grafis
Pada saat novel konvensional sekarat, justru novel bergambar (novel grafis) menunjukkan geliat yang bertolak belakang. Jika novel konvensional di era sekarang ini sedang sekarat,anehnya novel grafis semakin menggeliat dan mendapatkan tempat yang istimewa. Dua tahun terakhir, skala penjualan novel grafis semakin menunjukkan pertumbuhan.
Hal itu bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia. Di Inggris, tidak sedikit penerbit yang memperluas koleksi novel grafis untuk diterbitkan. Seiring pertumbuhan novel grafis itu, belakangan juga sedang tren sebuah film yang diangkat dari novel grafis. Jika dulu kisah heroik yang diangkat dari komik, bisa disebut seperti Superman, Batman, X-Men, kini pun mulai dikenal From Hell,The League of Extraordinary Gebtlemen dan V for Vendetta.
Fenomena apakah yang dapat dibaca di balik geliat pertumbuhan novel grafis ini? Setidaknya, ada dua hal yang menjadikan novel grafis bisa bersinar terang pada era budaya visual. Pertama, novel grafis tak semata-mata sebuah cerita yang lahir dengan mengandalkan narasi literal. Lebih dari itu, berusaha menjembatani kekuatan teks dan image untuk berkesinambungan.
Karena itu,novel grafis tak ikut sekarat. Kedua,dalam novel grafis,kehadiran teks—sekalipun ada—tidak lebih sebagai “sarana” untuk menjelaskan sebuah gambar (image). Kekuatan teks sebenarnya bukan lagi suatu keharusan karena sudah ada unsur motion yang dapat dianggap sebagai “jati diri”kekuatan novel grafis.Pada konteks ini,adanya ungkapan sebuah gambar bisa mewakili seribu kata seakan mempertegas kehadiran teks dalam novel grafis hanya sebagai pelengkap belaka.
Karena itu,Claude Beylie dan F Laccasin memasukkan komik (sekarang dikenal novel grafis) sebagai bagian dari seni,yang disebut seni kesembilan. Jadi,keberadaan novel grafis tidak bisa disamakan dengan novel konvensional. Sebab, novel konvensional kini sedang sekarat.Akankah kelak pemutaran film Laskar Pelangi akan mempertegas kematian (sejarah) novel?(*)
* N Mursidi, Cerpenis dan esais
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 27 Juli 2007
1 comment:
saya tertarik dengan tulisan ini, sering saya memikirkan hal ini hingga menemukan blog ini.
Post a Comment