Saturday, April 02, 2011

[Tanah Air] Hidup Rukun di Rumah Betang

-- Dwi Bayu Radius dan Agustinus Handoko

MASYARAKAT Dayak memiliki tradisi hidup komunal dalam satu rumah panjang yang disebut rumah betang. Namun, di pusat peradaban Dayak di Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, peran rumah betang kian hilang, tergusur pola hidup modern.

Anak-anak bermain di depan betang Toyoi di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Kamis (10/3). Sejumlah keluarga masih mendiami betang (rumah panjang) ini. (KOMPAS/YUNIADHI AGUNG)

Rumah betang Tumbang Anoi berdiri kokoh di atas tiang-tiang tinggi dari tanah, tak jauh dari Sungai Kahayan. Pintunya terkunci dari dalam. Satu-satunya penghuni, keluarga Tiong Batu, sudah dua bulan lebih di daerah lain, mengikuti upacara tiwah (memindahkan kerangka leluhur ke dalam sandung, rumah panggung kecil). Pintu rumah itu dibuka dari dalam setelah seorang pemuda masuk melalui jendela kecil.

Tumbang Anoi adalah tempat tinggal masyarakat Dayak kelompok Ot Danum. Rumah betang yang lama (kini digantikan replikanya) adalah tempat bersejarah karena menjadi tempat pertemuan 152 suku Dayak pada tahun 1894 yang menghasilkan keputusan penting, yakni mengakhiri tradisi mengayau (memenggal kepala musuh).

Rumah betang yang lama dulu dihuni 10 keluarga yang masih keturunan Damang Batu, salah satu kepala suku Dayak Ot Danum di Tumbang Anoi, yang menjadi tuan rumah pertemuan bersejarah itu. Setelah rumah lama itu tak layak huni, dibuat rumah betang baru yang selesai dibangun pada 2000 dengan ukuran lebih kecil, yakni panjang 30 meter, lebar 15 meter, dan tinggi tiang dari tanah 4 meter.

Di rumah betang baru, hanya keluarga Tiong Batu yang menghuninya. Namun, rumah betang itu sejak 2005 sering ditinggalkan karena berbagai keperluan.

Rumah sendiri

Salah satu keturunan Damang Batu dari generasi ketiga, Amas (65), mengatakan, satu per satu penghuni rumah betang keluar karena sudah mampu membangun rumah sendiri. ”Selain karena bisa membangun rumah sendiri, keturunan Damang Batu keluar dari rumah betang karena telah menikah dan ikut pasangannya tinggal di luar Tumbang Anoi atau tetap di Tumbang Anoi, tetapi membuat rumah sendiri,” kata Amas.

Ketua Badan Perwakilan Desa Tumbang Anoi Unan Arang menambahkan, kemunduran peran rumah betang sebagai tempat hidup komunal itu sejalan dengan terus masuknya pengaruh budaya modern.

”Rumah betang, bagi pemuda di Tumbang Anoi, tak lebih dari rumah adat biasa,” tutur Unan.

Kardino (25), anak muda Tumbang Anoi, bahkan tak tahu rumah itu menjadi tempat digelarnya rapat damai 1894.

Lunturnya peran rumah betang juga menandai mudahnya kompromi masyarakat. Menurut Sekretaris Desa Tumbang Anoi Dagon Kapari, kini pertanian ladang hanya ditekuni sebagian generasi tua. ”Kalangan pemuda lebih senang menambang emas di Sungai Kahayan, ikut tauke-tauke pemilik mesin penyedot,” kata Dagon. ”Sebagian warga yang sebelumnya berladang menjadi petambang emas,” ungkapnya.

Tumbang Malahui

Surutnya peran sebagai pusat hidup komunal juga terjadi di rumah betang Toyoi di Tumbang Malahui, Kecamatan Purun, Kabupaten Gunung Mas, kendati rumah panjang itu masih ditempati beberapa keluarga.

Menurut salah seorang penghuni rumah betang Toyoi, Hayati (41), rumah itu ditempati 30 keluarga sekaligus hingga 1950-an.

Rumah betang di Tumbang Malahui didirikan pada 1869 oleh kepala suku bernama Toyoi Panji dan keluarganya. Kini tersisa enam keluarga dengan 25 jiwa (semua keturunan Toyoi) di rumah itu. Sebagian besar adalah perempuan tua yang suaminya telah meninggal.

Berkurangnya jumlah penghuni, menurut juru pelihara Boni Supandyanto (28), juga karena sebagian keluarga sudah mampu membangun rumah sendiri. Sebagian besar penduduk masih berprofesi sebagai petani, penyadap karet, dan pemburu binatang hutan.

”Saya sendiri tidak punya rencana untuk meninggalkan rumah ini. Bagi saya, ini adalah peninggalan yang luar biasa,” kata Boni.

Rumah betang Toyoi hingga kini masih bertahan karena ditopang toleransi terhadap pluralisme penghuninya. Di rumah panjang itu warga yang memeluk agama Islam, Protestan, dan Kaharingan bisa hidup rukun.

”Tidak masalah kalau penghuni betang yang Muslim makan ayam dan non-Muslim makan babi. Kami masing-masing memiliki peralatan memasak dan makan sendiri,” ujar Boni.

Sumber: Kompas, Sabtu, 2 April 2011

No comments: