Sunday, January 02, 2011

Festival Film: Semangat Perlawanan di JAFF

INSTALASI seni berupa nasi bungkus raksasa dipasang tepat di pintu arena Jogja-Netpac Asian Film Festival 2010, yang dibuka di Taman Budaya Yogyakarta, Minggu (26/12). Sejak erupsi Merapi, nasi bungkus menjadi simbol kebersamaan Yogyakarta. Hujan yang mengguyur panggung terbuka pembukaan tak menyurutkan semangat peserta dan pelaku kesenian rakyat pengisi acara.

Sutradara film Minggu Pagi di Victoria Park, Lola Amaria, menerima penghargaan Silver Hanoman Award dalam malam penghargaan Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2010 di Taman Budaya Yogyakarta, Kamis (30/12) malam. (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Direktur JAFF Ajish Dibyo mengatakan, panggung rakyat dan instalasi seni itu merupakan bentuk kebersamaan seniman Yogyakarta dengan komunitas film. Kemeriahan ini merupakan hasil kolaborasi komunitas film dengan seniman tradisi Yogyakarta yang tergabung dalam seni rakyat Gugur Gunung.

Sejak pertama kali diselenggarakan lima tahun lalu, JAFF selalu menyoroti permasalahan sosial di Asia. JAFF lahir bertepatan seusai bencana gempa Yogya 2006. Menanggapi bencana itu, JAFF pertama bertema Cinema in The Middle of Crisis. Tema-tema yang dipilih setelah itu pun tak jauh dari konteks sosial, berturut-turut Diaspora (2007), Metamorfosa (2008), dan Homeland (2009).

Presiden JAFF Garin Nugroho mengatakan, karakter JAFF berbeda dengan karakter festival-festival lainnya. JAFF biasa disebut festival film perlawanan karena mengangkat tema-tema dan film yang berbeda dengan arus utama.

Menurut Garin, festival ini awalnya memang diselenggarakan untuk memberi ruang bagi film-film yang sebenarnya berkualitas, tetapi tak mendapat tempat di dunia industri.

Film-film yang diputar di JAFF biasanya mempunyai semangat perlawanan, inovatif, berbiaya murah, dan menyuarakan keberpihakan kepada kalangan tersisih. ”Film-film yang mungkin tidak akan banyak menarik penonton. Jadi, memang tak mungkin kami bisa bermewah-mewah,” kata Garin.

Menurut Garin, JAFF diselenggarakan bukan untuk sekadar memberi penghargaan, tetapi ajang penggodokan ide membuat film serta memetakan dunia kesenian di masa depan. Lokasi Yogyakarta yang jauh dari Jakarta cukup memberi ruang bagi para pembuat film di daerah istimewa ini bebas dari pengaruh industri perfilman Jakarta.

Kamera saku

Dari festival ini, sejumlah sutradara berbakat pun tumbuh, di antaranya sutradara Garuda di Dadaku Ifa Ifansyah dan sutradara Hujan Tak Jadi Datang Yosep Anggi Noen.

Tahun ini, sebanyak 38 film dari Asia diputar. Kecuali Minggu Pagi di Victoria Park, sebagian besar film kurang dikenal, seperti Jakarta Maghrib karya Salman Aristo ataupun Supermen of Malegaol karya Faiza Ahmad Khan.

Film Tehran without Permission mendominasi perolehan penghargaan dalam JAFF tahun ini. Film karya sutradara perempuan kelahiran Iran, Sepiden Farsi, ini memenangkan tiga penghargaan sekaligus, yaitu Netpac Award, penghargaan khusus Special Mention, dan Geber Award.

Sementara itu, Golden Hanoman Award diraih Survival Song karya sutradara Yu Guangyi, Silver Hanoman Award diraih Minggu Pagi di Victoria Park karya Lola Amaria, dan Blencong Award diraih Teritorial Pissings karya Jason Iskandar.

Diambil dengan kamera saku, Tehran without Permission menggambarkan kondisi jalanan Kota Teheran, Iran, dengan dimensi sosial dan kulturalnya. Sejumlah lagu hip-hop yang menjadi latar suara film itu seolah ingin mempertanyakan kehadiran atau ketidakhadiran Tuhan.

”Bayangkan saja, seorang perempuan Iran yang membuat film hanya dengan kamera saku, menggunakan lagu-lagu hip-hop, dan mempertanyakan Tuhan. Itu semangat perlawanan yang luar biasa dalam konteks kultur di negara itu,” kata Garin.

Dari sisi teknis, kata Garin, film tersebut juga melawan arus utama pembuatan film. Sebuah film yang penuh semangat perlawanan, seperti yang diusung JAFF.

(IRENE SARWINDANINGRUM)

Sumber: Kompas, Minggu, 2 Januari 2011

No comments: