Thursday, December 31, 2009

Kepergian Seorang Nahdliyin

-- Masdar F Mas'udi

INNALILLAHI WAINNA ILAIHI ROJIUN. Kabar itu sangat menyentak kita semua. Pesan berantai yang langsung menyebar ke segala penjuru menyebutkan, KH Abdurrahman Wahid, telah meninggal dunia, meninggalkan kita semua.

Tentu, kita kehilangan dengan tokoh yang mungkin tak tergantikan dari berbagai seginya. Abdurrahman Wahid atau sering kali disapa Gus Dur memiliki kelebihan dan keistimewaan, baik secara keilmuan, keulamaan, politik, gerakan kemanusiaannya, baik dalam negeri maupun di luar negeri antara sesama Islam atau umat agama yang lain.

Gus Dur terpilih sebagai kepala negara juga tak terduga dan membuat saya berpikir bahwa kira-kira 90 persen, pemilihan Gus Dur menjadi presiden adalah intervensi dari 'atas'. Bayangkan saja, waktu itu beliau punya partai yang hanya mempunyai 11 persen suara, tetapi tiba-tiba bisa terpilih menjadi presiden. Ini semua karena takdir.

Sebagai ulama, beliau tidak tergantikan karena beliau sangat lengkap, multidimensi yang beliau miliki dan kemampuannya jauh di atas rata-rata. Beliau juga orang yang mudah disalahpahami, karena banyak hal yang mungkin memang beliau pada satu pihak begitu terbuka, tetapi dalam hal tertentu banyak hal yang beliau ucapkan, tapi tidak bisa dipahami secara harfiyah. Itulah yang membuat begitu banyak orang salah paham, bahkan orang yang ada di dekatnya barangkali juga tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang beliau katakan, beliau lakukan.

Yang paling penting soal demokrasi bagi negeri ini, beliau tokoh demokrasi, terutama ketika mendirikan Forum Demokrasi menjelang berakhirnya rezim Orde Baru. Dan, itulah yang membuat salah satu kekuatan yang mempercepat proses tumbangnya rezim otoriter kepada reformasi sekarang ini. Artinya, ada jejak dan jasa yang luar biasa dari beliau.

Pada saat itu, tidak ada orang yang berani berbeda dengan Pak Harto dengan segala kekuasaannya, tapi Gus Dur dengan keberaniannya hampir tidak ada yang ditakutinya menggalang kekuatan civil society untuk mendorong dan mendesak akan perubahan, dan beliau berhasil.

Kalau dari segi pimpinan ulama dan pimpinan NU peran beliau sangat penting. Karena, pada 1984 ketika NU menegaskan kembali kepada jati dirinya mendasar sebagai organisasi sosial keagamaan beliaulah yang memegang kendalinya, memegang pimpinannya, dan bukan hanya diserahkan kepemimpinan untuk mengembalikan kepada khitahnya, tetapi juga untuk sejak langkah-langkah awal untuk menyiapkan reformasi di dalam tubuh NU sendiri bersama dengan beberapa orang.

Beliau juga yang telah mengantarkan NU menjadi kekuatan civil society yang berskala nasional sebagai pengimbang kekuasaan yang waktu itu tak terimbangi oleh siapa pun. Dan, NU betul-betul dikenal, dihormati, direspek oleh banyak pihak, terutama, baik dari dalam maupun luar negeri dan sejak saat itu NU melejit dari sesuatu yang tidak pernah dibicarakan orang, tidak pernah dilirik orang, menjadi bahkan objek studi berbagai scolar baik dalam dan luar negeri pada masa kepemimpinan beliau.

Selain itu, muncul begitu banyak kajian dan penerbitan buku dalam maupun luar negeri yang mengupas tentang peranan NU sebagai satu kekuatan Islam moderat, dan juga sebagai satu kekuatan civil society sebagai kekuatan untuk mendorong demokratisasi di tengah-tengah kehidupan bangsa yang ditekan terus-menerus secara ofensif oleh rezim Orde Baru waktu itu.

Tokoh Perdamaian
Sebagai tokoh perdamaian, almarhum mendapatkan penghargaan perdamaian Magsaysay. Dan, memang pada saat beliau menjadi presiden dan juga mengambil langkah politik yang sangat berani, yaitu mendesak supaya keputusan MPR No 25 tentang PKI juga tentang Kong Hu Cu diakui sebagai agama yang resmi diakui oleh negara sebagaimana agama-agama lain.

Padahal, selama ini agama Kong Hu Cu berada pada posisi underdog karena dikaitkan dengan etnis tertentu dan juga ideologi tertentu. Tapi, kemudian dengan keputusan politik Gus Dur, Kong Hu Cu, sebagai kelompok minoritas keagamaan hidup sejajar dengan kelompok agama lain. Padahal, beliau dari pemimpin Islam yang pada umumnya agak curiga terhadap kelompok-kelompok yang berbeda.

Tokoh Intelektual
Pertama, karena kemampuan keilmuan beliau, kemampuan analisis beliau yang sangat kritis, juga tentu saja karena karya-karya pemikirannya yang juga menggertak kebekuan dan mendorong perubahan. Saya kira itu yang menjadi pertanda kuat bahwa beliau memang seorang intelektual sejati. Beliau bukan hanya berpikir untuk mendeskripsikan kenyataan, tetapi sekaligus di dalam deskripsi keilmiahannya beliau menginspirasikan perubahan yang mendasar untuk kehidupan keagamaan dan keumatan serta kebangsaan.

Saya pikir kita berhutang budi begitu besar kepada cita-cita beliau. Dan, itu adalah harusnya menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mewujudkan cita-cita terbaik dari beliau, baik dalam kehidupan keagamaan, khususnya warga NU dan umat Islam pada umumnya dan juga bangsa. Itu menjadi tanggung jawab nahdliyin ke depan.

Seharusnya, kita semua merasa berhutang budi kepada beliau, terutama nahdliyin. Nah, ini saya kira tantangan NU ke depan, amanat NU ke depan, apakah cita-cita beliau justru akan diwujudkan lebih dahulu oleh pihak lain atau kita. Dan, seharusnya kita, nahdliyin, yang menjadi pelopor untuk mewujudkan cita-cita beliau. Jika tidak, berarti kita sebenarnya kehilangan ketokohan beliau.

Komunikasi yang beliau lakukan memang menerobos tradisi komunikasi para elite NU sebelumnya. Yang sudah mentradisi biasanya elite NU datang kalau diundang. Beliau sering kali datang ke pesantren, kiai-kiai, datang menemui umat di dalam berbagai acara yang terbatas maupun terbuka atas inisiatif sendiri.

Saya kira ini yang harus digarisbawahi betul. Jadi, datang bukan sebagai undangan, sebagai orang yang dipanggil atau di- tanggap (bahasa jawa), beliau memang memiliki dorongan dari dalam untuk silaturahim mendekatkan hati dan pikiran dengan umatnya, atas inisiatif dan kemauan kuat dari beliau sendiri. Termasuk, ketika beliau menjadi kepala negara. Tidak ada kepala negara yang begitu lebih banyak waktunya berada di luar istana.

* Masdar F Mas'udi, Ketua PBNU

Sumber: Republika, Kamis, 31 Desember 2009

BERPULANG...

-- Darmawan Sepriyossa

KEMARIN, tepat di saat rembang petang, ketika matahari tilem menuju pembaringan, tokoh kontroversial itu berpulang. Dan, kita tidak akan lagi bertemu Abdurahman Wahid, kecuali melalui apa yang ia wariskan.

Lalu, terasalah betapa kita kehilangan. Dia memang kontroversial, tetapi sejujurnya, bahkan mereka yang sukar mencintainya pun selalu bisa menyesap hikmah dari kiprahnya. Melihat Gus Dur demikian Abdurahman lebih dikenal, kita akan gampang mengiyakan penulis novel Robert Louis Stevenson. Cerita Stevenson tentang dua persona di satu raga manusia, 'Strange Case of Dr Jekyll and Mr Hyde' , seolah memberikan pemakluman tentang kontroversi atas diri seseorang.

Boleh jadi, setiap orang Indonesia punya senarai panjang keberatan akan mendiang. Tetapi, setiap orang pula bisa memiliki daftar jasanya kepada negara, kepada kita semua. Tanyalah umat Islam yang sempat terhenyak, ketika bersamaan dengan Sidang Umum MPR 1988 ia menggadang-gadang mendiang LB Moerdani sebagai calon wakil presiden. Baru bertahun kemudian kita tahu, Gus Dur merasa umat Islam saat itu terlalu diam. Bisu, meski porsi yang diberikan pemerintah saat itu, dalam ekonomi dan politik begitu terbatas. Ia, sebagaimana diakuinya kemudian, ternyata ingin membangkitkan umat.

Ketika kemudian garis nasib mengantarnya menjadi presiden ke-4 republik ini, kita menyaksikan ada upaya konsistensi yang berharga. Sebutlah nama-nama yang membuat negeri ini perlahan mencair dari predikat negeri militeristik. Bolehlah orang lain mengklaim, tetapi seharusnya Gus Dur menjadi mereka yang disebut pertama. Tak hanya menegaskan perubahan nama angker ABRI menjadi TNI, Gus Dur juga mendesakralisasi dengan mengacak-acaknya. Wajar bila pada titik ini betapa besar ruang untuk berbeda.

Proses desakralisasi itu pun merambah Istana Negara, akhirnya. Kita tahu, pada zaman ia memerintahlah sandal jepit dan bajaj bisa masuk halaman Istana. Seorang kawan, wartawan senior di Istana bercerita, tak jarang saat itu Presiden menerima para kiai bersandal jepit itu di malam-malam buta. Ia bahkan mengingat satu penganan yang di masa itu selalu ada; pilus atau kacang sukro kegemaran mendiang.

Masih segar dalam ingatan kita atas penolakan Gus Dur atas Perppu Antiterorisme yang dikeluarkan pemerintah pada 2002 lalu. ''Terlalu banyak isi perppu yang melanggar hak asasi,'' kata dia. Untuk kalangan yang percaya Perppu itu merugikan umat Islam, penolakan Gus Dur seharusnya sebuah cum tersendiri.

Tetapi sebagaimana Mr Hyde, bagi sebagian kalangan kadang Gus Dur pun menampakkan diri dengan wajah yang wajar membuat kita bertanya-tanya. Bagaimana mungkin, misalnya, seorang demokrat menyatakan tekad membubarkan parlemen dan mengancam lembaga itu dengan dekrit?

Bagaimana bisa dalam sebuah seminar di Cornell University, pada 1992, tokoh umat itu menyatakan bahwa formalisasi ajaran Islam dalam peraturan perundang-undangan negara akan bersifat diskriminatif terhadap kelompok lain? Sementara kita tahu, formalisasi itu umumnya hanya sesuatu yang berkenaan dengan urusan umat Islam sendiri? Soal UU Zakat yang memungkinkan orang Islam memperoleh potongan pajak atas jumlah zakat yang dibayarkan, misalnya.

Yang paling akhir, menjelang Pemilu 2009 lalu. Kita tahu, di saat semua partai berbenah menyambutnya, Gus Dur membuat ulah dengan memecat ketua umum PKB, partainya sendiri. Sedikit banyak, hal itu tentu memengaruhi kesiapan partainya ini.

Pada dekade 1980-an lalu, sebuah artikelnya di sebuah majalah berita mingguan sempat menghentak kesadaran saya. Artikel yang menyoal kesadaran akan disiplin dan tata tertib itu berjudul 'Menunggu Setan Lewat'. Saat di luar negeri, Gus Dur yang disopiri temannya di malam hari berhenti di sebuah lampu merah.

Jalanan lengang hingga ia bertanya kepada rekannya. ''Buat apa? Menunggu setan lewat?'' Temannya menjawab pasti, "Ya, karena dia punya hak atas lampu merah ini." Kini, kami yakin tak akan ada lampu merah merintangimu menuju tempatmu beristirahat, Gus. Kami juga berharap, tak akan ada kontroversi menjelang pertemuanmu dengan Dia, di sana. Tak akan, karena semua telah kau tuntaskan di sini.



PERJALANAN GURU BANGSA


4 Agustus 1940 lahir di Jombang dengan nama Abdurrahman Addakhil

1957 lulus SMP dan memulai pendidikan Pesantren Tegalrejo

1963 memperoleh beasiswa dari Kementerian Agama di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, namun kecewa karena materi pelajaran telah banyak dia kuasai sebelumnya

1966 Pindah ke Universitas Baghdad, Irak, lulus tahun 1970

1971 Kembali ke Indonesia dan aktif di berbagai organisasi dan aktif menulis untuk berbagai media nasional

1974-1977 Mengajar di beberapa pesantren dan universitas

1982 Mulai aktif di NU dan bergabung dalam Dewan Penasihat Agama NU. Gus Dur membentuk Tim Tujuh guna mereformasi NU

1984 Terpilih sebagai Ketua Umum PBNU 1989 Kembali terpilih sebagai Ketua Umum PBNU untuk kedua kali

1990 ICMI terbentuk, Gus Dur menolak bergabung

1994 Untuk ketiga kalinya terpilih sebagai Ketua Umum PBNU

1998 Mulai terserang stroke, saat itu sedang menggalang gerakan reformasi melawan Pemerintahan Soeharto

Juli 1998 Mendirikan PKB Oktober 1999 Terpilih sebagai Presiden ke-4 RI (Ka binet Persatuan Nasional)

23 Jun 2001 Dimakzulkan MPR yang di pimpin Amien Rais dari posisi Presiden 2002 perpecahan terjadi di tubuh PKB

2004 gagal mencalonkan diri sebagai calon Presiden lantaran gagal melewati pemeriksaan medis sehingga KPU menolak mencalonkannya sebagai kandidat

30 Desember 2009 Wafat di RSCM pukul 18.45 WIB

Pengolah: andri s/irwan one
Ilustrasi: ci1

Sumber: Kamis, 31 Desember 2009 pukul 07:18:00

Kehilangan Besar

-- Fachry Ali

DALAM perjalanan antara Yogyakarta dan Magelang Senin sore pekan ini, saya mengingat kembali masa pemerintahan Kiai Abdurrahman Wahid, bersama dengan Direktur Pemasaran PT Pupuk Pusri Bowo Kuntohadi.

Saya memang diundang Dirut PT Pusri, Dadang Kodri, menghadiri ulang tahun emas industri pupuk ini bersama dengan para petani di sekitar Candi Borobudur. Sayang, Aas Asikin Idad, Hidayat Nyakman, Arifin Tasrif dan Mashudiyanto masing-masing adalah dirut PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kaltim, PT Petrokimia, dan PT PIM Aceh tidak hadir.

Anehnya, dalam perjalanan balik dari Magelang ke Yogyakarta pada Selasa sore, saya kembali membicarakan Kiai Abdurrahman Wahid dengan Sukirno, Area Manager PT Pusri Pemasaran Daerah (PPD) Yogyakarta, yang menemani saya hingga ke airport kota itu. Tidak ada perasaan apa-apa ketika dua kesempatan pembicaraan itu berlangsung.

Tiba-tiba, ketika sedang kongkow dengan Menteri BUMN, Mustafa Abubakar, sore hari kemarin, saya ditelepon M Irwan Ariefyanto, Redaktur Republika , dan mengabarkan kepergian Wahid. Saya dan menteri terkejut dengan berita duka ini. Bersamaan dengan itu, Umar Syadat Hasibuan, staf khusus Mendagri, juga menyampaikan kabar yang sama.

Sang menteri dengan cepat mengatakan keinginannya melayat. Sementara saya harus kembali menulis kenangan ini, dalam waktu yang begitu singkat. Dalam perjalanan pulang ke rumah, bersama pengacara muda T Syahrul Ansari (Alon), saya mengenang kejadian beberapa hari lalu.

Betapa dalam keadaan anfal, Abdurrahman Wahid menolak untuk segera masuk ke rumah sakit di Surabaya. Sebaliknya, ia meminta diantar ke Tebuireng, menziarahi makam kakek dan ayahnya Kiai Hasyim Asy'ary dan Wahid Hasyim. Ketika membaca berita itu, saya berpikir tentang sikap recalcitrant -nya, sebagaimana biasa diperlihatkan.

Bahwa ia tidak ingin tunduk pada berbagai halangan yang dihadapi untuk mencapai tujuan. Tetapi, ketika menyadari bahwa Kiai Abdurrahman Wahid telah tiada, saya memahami bahwa keinginan gigihnya itu adalah pertanda tentang ziarah terakhir yang mampu dilakukan.

Abdurrahman Wahid adalah tokoh yang selalu mencapai 'puncak', dalam pengertian yang hampir sebenarnya. Sebagai seorang santri, ia meraih puncak kepemimpinan organisasi santri: NU. Sebagai seorang intelektual, ia meraih penghargaan puncak karena mampu melahirkan gagasan berdaya komando bagi berbagai lapisan masyarakat.

Sebagai seorang pencetus gagasan kontroversial, ialah yang paling mampu menimbulkan kehebohan nasional, yang bekas-bekas kehebohan itu masih menjadi buah bibir hingga sekarang. Sebagai seorang politisi, ia bahkan berhasil mencapai posisi kepresidenan (1999-2001), kendati Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikannya baru seumur jagung.

Dalam posisi strategis itu, maka hanya Abdurrahman Wahid yang mampu mendorong sebagian besar politisi NU ke tingkat elite nasional secara masif. Diakui atau tidak, tokoh-tokoh seperti Muhaimin Iskandar, Alwi Shihab, Muhammad Hikam, Rozi Munir, Kiai Muhammad Agil Siraj, Matori Abdul Djalil (almarhum), Effendy Choirie, dan Chofifah Indar Parawansa tak akan pernah tampil ke muka dalam posisi elite nasional dewasa ini tanpa sentuhan tangan Abdurrahman Wahid. They were really nothing politically without having been endorsed by Abdurrahman Wahid.

Kemunculan mereka sebagai elite nasional adalah sepenuhnya tanggung jawab Abdurrahman Wahid. Dan terakhir, di antara jutaan kiai atau ulama di seluruh Tanah Air, hanya Abdurrahman Wahid yang mampu memadukan status pandito ratu: menggabungkan keulamaan dan kepresidenan ke dalam tangannya. Dilihat dari konteks ini, Wahid bukanlah produk sejarah, tetapi pembuat sejarah, baik dari segi intelektual maupun politik yang tak tertandingi.

Tentu, sebagai manusia biasa, kita punya catatan khusus tentang pikiran dan kinerjanya. Dari segi pemikiran, khususnya dalam konteks keagamaan, Wachid bukan saja telah melompat melampaui batas-batas konvensional yang mampu ditoleransi umat Islam, melainkan juga menjungkir-balikkan logika-logika yang sudah mapan.

Jika gagasannya menggantikan asslamu'alaikum dengan 'selamat pagi atau sore atau malam' atau 'mempribumikan Islam', bisa kita anggap sepele, maka usulnya menambah asas 'keadilan sosial' dalam struktur Rukun Iman di dalam Islam adalah sebuah sodokan teologis yang telak dan menggemparkan. Betapapun radikal kaum pemikir aliran Mu'tazilah yang memberikan kerangka logika bahwa Tuhan tak berkuasa mutlak, justru karena diktum bahwa Ia harus menepati janji-Nya tak akan pernah berani menyentuh struktur Rukun Iman yang sudah sangat baku itu. Tetapi di tangan Abdurrahman Wahid, rukun yang suci itu bisa menjadi sesuatu profan, dalam pengertian produk duniawi, dan karena itu beralasan untuk diintervensi oleh manusia.

Dalam konteks kinerja, Wahid telah membuat kesalahan fatal ketika menjabat presiden ke-4 Republik Indonesia. Ia adalah tokoh yang didorong Amien Rais pada akhir 1999 ke puncak kepemimpinan nasional hanya karena ingin mengelak Megawati Soekarnoputri mengulangi sejarah sang ayahnya sendiri: menjadi presiden. Tetapi, ketika usaha Amien Rais ini berhasil, ia melupakan jasa itu.

Bahkan, Wahid menganggap dirinya sebagai presiden penuh tanpa ada keinginan membagi ''kekuasaan'' dengan pendukung utamanya itu. Maka, jika akhirnya Amien Rais mendorongnya terjungkal melalui proses impechment dalam sidang Istimewa MPR pada 2001, dan menaikkan Megawati sebagai presiden penggantinya, haruslah kita lihat pada persepsi Wahid yang bersifat recalsitrant . He really wanted to be the second to no one .

Juga dalam konteks politik, ia telah melakukan sesuatu yang bersifat inflatif. Mungkin, perjalanan keluar negeri kepresidenan dengan tingkat frekuensinya di luar kewajaran bisa kita sepelekan. Tetapi, caranya meremehkan maka dukungan besar yang diterima di awal kepresidenannya, tak bisa termaafkan secara politik. Ia memang pada akhirnya terjungkal dari kekuasaan. Tetapi, kerugian itu bukan saja untuknya.

Melainkan untuk pengalaman demokrasi bangsa secara keseluruhan. Karena dialah satu-satunya presiden yang terpaksa berhenti melalui constitutional impechment , dan oleh sebab itu memberikan preseden. Dalam arti lain, kejadian Sidang Istimewa MPR 2001 itu telah memberikan inspirasi bagi semua politisi untuk melakukan hal yang sama bagi setiap presiden yang terpilih.

Maka, kendatipun sistem pemerintahan bersifat presidentil, tetapi kedudukan presiden tetap labil, karena ada preseden impechment terhadap Abdurrahman Wahid. Namun demikian, Wahid telah memperoleh tempat dalam sejarah Indonesia. Istilah dalam bahasa Aceh, tempatnya itu mengkleh keudroe , 'sangat khusus', dalam sejarah kita. Tak mengherankan, diplomat Desra Percaya menyampaikan pesan kepada saya dari Jenewa, bahwa kepergian Abdurrahman Wahid adalah a great lost for us all .

Selamat jalan sang pemimpin. Anda telah bekerja. Kami semua menjadi saksi bahwa kehadiran Anda yang singkat di bumi ini, telah menimbulkan pengaruh yang terasakan secara masif.

Sumber: Republika, Kamis, 31 Desember 2009

In Memoriam Gus Dur: Dia adalah Jendela kepada Dunia

-- Moeslim Abdurrahman*

YANG paling berkesan, saya lihat Gus Dur itu menjadi jendela bagi Nahdlatul Ulama (NU) kepada dunia. Karena di awal tahun 1970, dia sebagai orang muda pulang dari Timur Tengah, tiba-tiba bicara soal hak asasi manusia, demokrasi, dan seterusnya. Ini luar biasa. Orang ini bukan pulang dari Amerika Serikat seperti anak-anak muda sekarang ini yang sekolah di sana. Ia lama di Baghdad, pernah di Mesir.

Gus Dur ini sangat impresif karena dari rumpun subkultur pesantren, tapi dia bicara dalam wacana yang sang kontemporer,

Di Gondangdia Lama, Jakarta, tahun 1975, saya kenal dengan Gus Dur. Dikenalkan oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid). Sejak itu saya berkawan dengan Gus Dur.

Kami bertiga sesama dari Jawa Timur. Gus Dur suka guyon, sementara Cak Nur orangnya serius. Dalam pergaulan selanjutnya saya lebih dekat dengan Gus Dur. Karena Gus Dur itu orangnya memang begitu, gampangan.

Yang berkesan lagi, Gus Dur ikut mempromosikan saya. Sehingga saya beberapa waktu disebut sebagai intelektual muda Islam, bila diwawancara oleh berbagai surat kabar. Itu salah satu jasa Gus Dur bagi saya.

Gus Dur tahu saya seorang dari Muhammadiyah. Akan tetapi, dia tidak pernah melihat itu. Dan banyak pendapat-pendapatnya menakjubkan saya, karena orang ini kemudian—kasarnya—jualan pesantren. Jualan pesantren di dunia masyarakat politik. Sehingga pesantren ini menarik perhatian di dunia, selain menjadi isu nasional. Pesantren sering menjadi bahan penelitian orang-orang luar negeri. Gus Dur ini seperti memasarkan idealisme pesantren.

Gus Dur punya karisma di depan para kiai, apalagi di depan umatnya. Umat NU ketika itu sedang mencari tokoh yang menjadi jendela untuk ke dunia modern. Ada kebanggaan di kalangan orang NU terhadap Gus Dur. Karena Gus Dur membawa pesantren ke dunia luar yang luas. Dia membuka masyarakat NU untuk sadar bahwa kita hidup dalam dunia global.

Gus Dur berdarah biru Akan tetapi, pandai menggunakan bahasa populis. Gus Dur bukan hanya bahasa, Akan tetapi, juga bisa merekonstruksi sehingga tiba-tiba muncul kelompok Kiai Khos Ini kan menata legitimasi. Juga kelompok Kiai Langitan. Jadi kalau ada persoalan-persoalan tertentu, dia bisa merujuk dengan mengatakan, ”Saya ini kan diperintah Kiai Khos.”

Dia saya kagumi bukan karena pemikiran politiknya. Akan tetapi, sebagai pemikir Islam, dia berani pikiran-pikiran Gus Dur seperti pergulatan. Seperti pergulatan hidupnya. Maka di kala orang berdebat soal Islam dan kebangsaan, maka Gus Dur mengatakan, ”Memang kita ini lahir sebagai orang Islam atau sebagai orang Indonesia dulu?”

Gus Dur mewakili Islam ketika bangkitnya ilmu sosial di Indonesia. Di sinilah Gus Dur jualan tentang pesantren. Dia bilang kepada saya, ”Kang kalau kita bertemu dengan orang- orang pintar ilmu sosial, kita jangan ikut terjun dalam ilmu sosial, kita omong pesantren dong.”

Dari dulu Gus Dur konsisten pada tiga hal. Yakni kalau negeri ini sudah memilih demokrasi, maka implikasinya harus tidak ada diskriminasi. Ini sangat mendasar. Dua itu tidak bisa dipisahkan. Kemudian tentang hak asasi manusia. Yang ketiga pluralisme. Banyak orang mengklaim soal itu. Akan tetapi, bagi saya, Gus Dur adalah pionirnya.

Dia bukan mengantar saya hingga berkenalan dengan banyak orang. Dia betul-betul membuka dan jadi jendela sehingga banyak orang NU melihat demokrasi dari Barat. Dia memberi inspirasi. Dia yang menjamin ketika banyak orang ragu terhadap keragaman. Dia tegas sehingga bisa jadi jendela kaum minoritas untuk melihat ada jaminan di Indonesia.

Sumber: Kompas, Kamis, 31 Desember 2009

Tokoh Bicara: Kita Kehilangan Gus Dur, Pejuang Toleransi

AKTIVIS Forum Demokrasi, Todung Mulya Lubis, melalui layanan pesan singkat, menuliskan, ”Kita kehilangan sosok Negarawan yang memperjuangkan pluralitas bangsa. Seorang yang berjuang untuk moderasi dan toleransi sosial, beragama, dan berbangsa. Gus Dur adalah pilar pluralisme dan benteng bangsa melawan fundamentalisme. Gus Dur adalah seorang demokrat sejati yang menghormati lawan politiknya.”

Sesaat setelah Presiden Indonesia periode 1999-2001 KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, diwartakan meninggal, puluhan SMS dan e-mail menandakan dukacita yang mendalam dari berbagai kalangan mengalir ke Redaksi Kompas. Kepergian Gus Dur tidak hanya kehilangan besar bagi negeri ini, tetapi juga bagi seluruh umat beragama. Gus Dur adalah simbol kebersamaan dan toleransi.

Umat Kristen Sulawesi Utara kehilangan atas wafatnya Gus Dur. ”Ia adalah tokoh perdamaian dan ’pahlawan’ minoritas. Kami benar-benar kehilangan. Belum ada tokoh setara Gus Dur,” kata Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa Pendeta AO Supit, Rabu (30/12) di Manado. Ia pergi meninggalkan semerbak melati. (zal/tra)



***

Luthfi Hasan Ishaaq

Presiden Partai Keadilan Sejahtera Lutfhi Hassan Ishaaq berpandangan, seluruh keluarga besar Partai Keadilan Sejahtera mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga besar Nahdlatul Ulama atas wafatnya Hadratussyech Abdurrahman Wahid.

Abdurrahman Wahid merupakan seorang ulama dan tokoh nasional yang cukup berani dan terbuka dalam menyatakan berbagai pandangannya tentang Islam dan umat Islam. Dalam pandangannya yang sangat beragam itu, meskipun juga sering berbeda, PKS cukup bisa memahaminya. ”Pandangan beliau yang sangat beragam tentang Islam dan umat Islam itu kami hargai dan cukup bisa kami pahami,” ujar Lutfhi. (MAM)


Prabowo Subianto

Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto mengaku sangat dekat dengan sosok Gus Dur, bahkan sejak ia masih kecil. Kediaman keluarga Prabowo di Matraman, Jakarta, bertetangga dengan kediaman Gus Dur.

”Beliau mewariskan sifat inklusif dalam sosoknya. Sebagai pemimpin umat Islam, ia juga diterima banyak golongan. Sebagai guru bangsa, beliau bisa jadi pengayom bagi semua unsur di Indonesia. Hal itu yang membuat saya terkesan. Pemikirannya sangat berani walau kadang sulit diikuti,” ujarnya.

Prabowo terakhir bertemu saat Gus Dur menikahkan putri keduanya, Yenny Wahid, beberapa waktu lalu. (dwa)

Soetrisno Bachir

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir menilai, bangsa ini kehilangan tokoh demokrasi dan humanisme. Hingga saat ini, belum ada tokoh sekelas KH Abdurrahman Wahid yang telah berjasa membuka wawasan masyarakat. Kepergian Abdurrahman Wahid tidak hanya kepergian bagi kalangan Nahdliyin, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia.

Bangsa ini memang patut memberikan penghargaan bagi Gus Dur, tidak saja karena pernah menjadi presiden yang memimpin rakyat negeri ini, tetapi juga telah memberikan pencerahan bagi semua orang. ”Kita tidak pernah meragukan komitmen kebangsaan dan sikap toleransi Gus Dur,” ujarnya. (MAM)

Muhaimin Iskandar

Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mengaku sangat terpukul dengan wafatnya Gus Dur. ”Beliau itu ayah, guru, dan pemimpin yang selalu mendidik dengan berbagai caranya agar kita selalu mandiri dan kuat. Tiga hari lalu, saya masih terima SMS. Beliau mengatakan kondisinya baik-baik saja dan tidak usah khawatir,” paparnya.

Menurut Muhaimin, Gus Dur memang guru segala hal. Cara hidupnya sederhana serta selalu memberikan keteladanan dan pengayoman kepada semua. ”Beliau itu tidak pernah memikirkan diri sendiri,” kenangnya.

Dalam politik, lanjutnya, Gus Dur selalu menanamkan untuk mengayomi, menghormati, dan mencintai sesama. (sut)


Sri Pannyavaro Mahathera


Bhikku Sri Pannyavaro Mahathera, Kepala Sangha Theravada Indonesia, merasakan kehilangan yang besar dengan wafatnya Gus Dur.

”Saya merasakan ketulusan hati Gus Dur dalam setiap kesempatan bertemu dan berdiskusi dengannya. Bagi saya, ketulusan itu sesuatu yang teramat mulia dari Gus Dur,” ungkap Sri Pannyavaro.

Ia menambahkan, Gus Dur adalah pribadi yang sangat menghargai setiap orang. Bagi Gus Dur, yang layak menjadi Bapak Bangsa, perbedaan adalah denyut kehidupannya. ”Kebajikan dan kearifan Gus Dur akan tetap bersama kita,” imbuh pimpinan agama Buddha ini. (sut)

AA Yewangoe


Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta AA Yewangoe bertemu Gus Dur tiga bulan lalu ketika ada sebuah gereja yang izinnya dicabut wali kota. ”Beliau datang ke Kantor PGI untuk memberikan dukungan. Itu adalah salah satu bukti, beliau menginginkan semua orang di Indonesia memperoleh haknya, hak beribadah,” katanya.

Dia melanjutkan, Gus Dur adalah tokoh bangsa yang tidak tergantikan. ”Beliau sangat memerhatikan kerukunan umat beragama di Indonesia,” katanya lagi. (sie)

Din Syamsuddin

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengakui, kepergian Gus Dur adalah kehilangan bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Betapapun, selama hidupnya Gus Dur menampilkan peran tertentu dan memberikan jasa berharga bagi bangsa.

Walaupun banyak ide dan sikapnya yang kontroversial, kata Din, banyak pula idenya yang bermanfaat, seperti tentang pengembangan kemajemukan dan penguatan demokrasi. ”Saya berharap hilangnya seorang tokoh umat dan bangsa segera tergantikan dengan tokoh lain,” harapnya. (nta)

Idrus Marham

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya Idrus Marham menilai, siapa pun yang obyektif dan jujur pasti merasa kehilangan dengan wafatnya KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Menurut Idrus, KH Abdurrahman Wahid adalah tokoh bangsa yang punya kontribusi besar bagi pengembangan demokratisasi di Indonesia. Gus Dur banyak mendorong lahirnya demokratisasi dan kemanusiaan di negeri ini.

Menurut Idrus, banyak orang mengatakan, Gus Dur juga orang yang sering melawan arus. Namun, sesungguhnya Gus Dur justru membuat arus. Gus Dur membuat arus demokratisasi. Gus Dur membuat arus pluralisme di negeri ini. (sut)

KH Hasyim Muzadi

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi mengatakan, wafatnya Gus Dur merupakan kehilangan besar bagi warga NU dan bangsa. Gus Dur, yang merupakan mantan Ketua Umum PBNU, dinilai sebagai tokoh besar dalam NU. ”Dalam dekade terakhir ini, belum ada gantinya orang yang sekelas Gus Dur,” katanya.

Bangsa Indonesia, lanjut Hasyim, kehilangan dua hal besar dan mahal dengan meninggalnya Gus Dur, yaitu demokrasi dan humanisme. Humanisme Gus Dur benar-benar berangkat dari nilai-nilai Islam yang paling dalam. Tetapi, humanismenya itu melintasi agama, etnis, teritorial, dan negara. (MZW)

Benny Susetyo

Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) A Benny Susetyo Pr mengakui kaget dengan kepergian Gus Dur. ”Tiga hari lalu, sebelum operasi, Gus Dur masih telepon dan kami bercanda. Saya tak menduga, ia pergi begitu cepat,” katanya.

Diakui Benny. Gus Dur adalah tokoh yang sangat menghargai pluralisme dan kesatuan Indonesia. ”Terakhir, ia memesankan, fundamentalisme itu jangan dimusuhi, tetapi harus dicintai. Ini jelas menunjukkan kecintaannya pada kesatuan Indonesia,” katanya lagi. (tra)

KH Ma’ruf Amin

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin mengakui, Gus Dur adalah seorang pejuang demokrasi yang cerdas. Ia berani dalam segala hal meskipun banyak yang tak sama pendapatnya dengan dia. Bila melakukan perubahan, jika menurut dia benar, tidak akan mau mengubah pendapatnya.

Wafatnya Gus Dur adalah kehilangan besar bagi Bangsa Indonesia. Kehilangan seseorang yang peranannya besar dalam perubahan di Indonesia.

Ma’ruf pernah menjabat Sekjen PBNU ketika Gus Dur menjadi ketua umum. (idr)

Amir Syamsuddin,

Amir Syamsuddin, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, mengesankan Gus Dur adalah orang besar yang dilahirkan di republik ini. ”Kita tidak bisa melupakan peranan Gus Dur yang terukir dalam sejarah sebagai tokoh yang menempatkan pluralisme, melindungi pluralisme, dan menghapus sekat-sekat. Dia pula yang berperan menghentikan dominasi militer,” katanya lagi.

Ini kehilangan besar bagi negeri ini. ”Kita harus belajar dalam ketegasan bersikap dalam hal-hal seperti ini. Kalaupun ada kekurangan dalam dirinya, itu sangatlah tidak ada artinya dibandingkan peran dan jasanya. Dia putra terbaik. Dia harus ditempatkan di tempat yang terkemuka,” paparnya. (ana)

Sumber: Kompas, Kamis, 31 Desember 2009

In Memoriam: Gus Dur yang Saya Kenal...

TELEPON berkali-kali berdering, SMS berdatangan. Pertanyaannya satu: Benarkah Gus Dur meninggal dunia?

Sangat sulit untuk menjawab pertanyaan ini karena saya harus menjawab ”ya”. Dan, mereka semua menangis.

Mereka adalah orang-orang biasa dengan latar agama yang berbeda. Mereka tak pernah mengenal Gus Dur secara pribadi, tetapi merasa dekat dengan tokoh ini.

Bagi mereka, Gus Dur adalah pembela kaum minoritas, Gus Dur pejuang Islam moderat, Gus Dur pembela demokrasi … dan masih banyak lagi.

Bagi saya, Gus Dur adalah tokoh besar yang sangat membumi. Perkenalan kami dimulai tahun 1992 ketika Gus Dur masih menjabat Ketua Tanfidziyah PB Nahdlatul Ulama di bawah rezim Soeharto. Secara intens kami sering berdiskusi di kamar kerjanya yang kecil dan bersahaja di Kantor PBNU di Kramat Raya.

Di antara buku-buku, kertas, tumpukan kaset dan CD musik klasik yang memenuhi meja kerjanya, Gus Dur kerap ”menyembunyikan” makanan lorju’ (kacang bercampur ikan kecil). Ia senang mengobrol sambil mengudap.

”Jangan bilang-bilang ya, nanti Mbak Nur (Shinta Nuriyah, sang istri) marah, saya kan disuruh diet. Tapi, ini makanan enak,” katanya sambil terkekeh.

Sudah sejak lama Gus Dur mengidap diabetes sehingga sebetulnya ia dilarang untuk makan seenaknya. Tapi, Gus Dur memang susah dilarang. Lagi pula, siapa di lingkungan PBNU yang berani melarangnya? ”Yang berani cuma Mbak Nur,” katanya.

Topik diskusi yang sering kami singgung—kadang bersama tamu-tamu lain—antara lain tentang masa depan Nahdlatul Ulama. Sejak belasan tahun lalu Gus Dur sudah memproyeksikan bahwa akan ada tiga corak di tubuh NU.

Yaitu corak kiai fikih yang dirangsang pikiran modern (Gus Dur saat itu mencontohkan Kiai Ishomudin), corak LSM (ia mencontohkan Masdar Mas’udi), dan corak gado-gado, yaitu masyarakat biasa maupun politisi yang memiliki pengabdian di NU.

Dialog dari ketiga corak inilah, kata Gus Dur, yang akan menentukan wajah transformatif NU di masa depan.

Perkembangan Islam di Indonesia, toleransi terhadap agama lain, perlindungan terhadap kaum minoritas, dan demokrasi juga merupakan topik yang bisa membuatnya semangat berbicara sampai berjam-jam.

Mengenai wajah Islam Indonesia, misalnya, Gus Dur kala itu mendukung pandangan almarhum Nurcholish Madjid. ”Tolong Cak Nur dibela ya. Kasihan, saat ini dia sedang mendapat banyak tentangan,” pesannya kala itu.

Setiap hari, warga NU dari berbagai daerah setia menunggu di ruang tunggu Kantor PBNU (yang masih belum direnovasi) untuk bertemu dengannya. Mereka datang untuk meminta petunjuk tentang persoalan di daerah dan Gus Dur melayani mereka satu per satu.

Gus Dur tak pernah membedakan kelas sosial. Warga NU yang menikah atau meninggal dunia akan dicoba untuk disambanginya. Meskipun ia harus masuk ke gang-gang kecil atau berkendaraan berjam-jam.

Saya masih ingat ketika ayahanda meninggal dunia tahun 1999, Gus Dur datang melayat dan ikut menshalati. Ia pun beberapa kali menelepon untuk menghibur dan memberi penguatan. ”Saya mengerti bagaimana kesedihan Anda. Saya juga sangat kehilangan ketika ibu dulu pergi,” kata Gus Dur tentang almarhumah ibunda, Ny Hj Solichah Wahid Hasyim.

Bahkan, Gus Dur masih menyempatkan menjenguk ketika saya terbaring di rumah sakit. Sungguh sebuah bentuk perhatian yang mengharukan dari tokoh bersahaja ini.

Indra keenam

Banyak yang meyakini Gus Dur memiliki indra keenam. Terlepas dari benar atau tidaknya, tetapi suatu siang pada tahun 1998 Gus Dur menelepon. Kali ini cukup lama, sekitar satu jam. Ia menceritakan tentang berbagai hal, termasuk mimpinya. Singkatnya, mimpi itu memberikan isyarat yang nyata bagi Gus Dur.

”Mbak, saya akan menjadi presiden,” katanya tenang.

Saya tidak menanggapi dengan serius, tetapi saya mencatat obrolan itu. Sekitar setahun kemudian, Gus Dur benar-benar menjadi presiden.

Ketika saya menemuinya di Istana Negara, Gus Dur hanya tertawa terkekeh ketika diingatkan akan mimpinya tersebut.

Wajah Istana Negara pada masa kepemimpinan Gus Dur berubah total, tidak lagi angker dan formal. Wartawan maupun masyarakat bisa memiliki akses yang leluasa. Hubungan pun lebih cair dan penuh guyon.

Pertemuan saya terakhir adalah pada hari ulang tahunnya bulan Agustus 2009. Tercekat rasanya melihat Gus Dur dibaringkan di ruang tamu. Gus Dur berusaha menyambut setiap tamu dengan mengangkat tangan dan menganggukkan kepala. Meskipun suaranya sudah lirih, Gus Dur tetap semangat bercerita tentang Indonesia.

Dari karangan bunga dan banyaknya tamu yang datang hari itu, jelas bahwa tokoh besar ini sangat disayang masyarakat. Seorang sahabat bahkan sampai menitikkan air mata ketika mendoakan kesehatan Gus Dur. ”Saya mendoakan dia berumur panjang. Karena dialah pembela kaum minoritas,” katanya.

Tuhan memiliki rencana sendiri. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Tokoh besar ini meninggal dunia, Rabu (30/12), di tengah keluarga yang mencintainya. Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Seorang demokrat yang gigih memperjuangkan kebebasan dan demokrasi.

Selamat jalan Gus, semoga kami bisa meneladani dan meneruskan semua perjuanganmu....

(Myrna Ratna)

Sumber: Kompas, Kamis, 31 Desember 2009

Guru Bangsa Itu Telah Pergi

Laa Ilaaha illa Allah..., Laa Ilaaha illa Allah..., Laa Ilaaha illa Allah..., Muhammad ar Rasulullah....

Gema bacaan tahlil yang menyatakan keesaan Allah dan pengakuan atas kerasulan Muhammad SAW itu menggema di lorong-lorong Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Rabu (30/12) malam, saat jenazah mantan Presiden Abdurrahman Wahid dibawa dengan keranda dari Gedung Ruang Pacu Jantung Terpadu RSCM menuju ambulans yang diparkir di depan Gedung A RSCM.

Tahlil itu diucapkan ratusan orang yang berdesakan mengiringi keranda jenazah guru bangsa yang akrab dipanggil Gus Dur.

Semua ingin melepas kepergian Gus Dur. Tokoh agama, politisi, menteri, pejabat negara, hingga rakyat biasa mengantar kepergian Gus Dur. Semua tumpah ruah memenuhi lorong-lorong rumah sakit.

Mereka menunggu hingga ambulans milik Garnisun dengan nomor 6703-00 melaju menuju rumah duka di Ciganjur, Jakarta Selatan.

Gus Dur meninggal dunia sekitar pukul 18.45 di RSCM. Tidak berapa lama, kabar wafatnya presiden keempat itu pun tersiar luas.

Sejumlah tokoh bangsa pun berbondong-bondong datang ke RSCM untuk memberikan penghormatan. Lorong menuju ruang Pusat pacu Jantung Terpadu, tempat Gus Dur dirawat, penuh sesak. Penjagaan di pintu-pintu masuk langsung diperketat.

Satu per satu kerabat, kolega, pejabat, dan tokoh bangsa berdatangan. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, mantan menteri Alwi Shihab, dan banyak tokoh lain berdatangan ke rumah sakit.

Tidak hanya tokoh Islam, tokoh lintas agama juga datang untuk memberikan ungkapan dukacita.

Selama menunggu jenazah Gus Dur keluar dari ruang perawatan, warga dan simpatisan menggelar doa tahlil di Lantai 5 Ruang Pacu Jantung Terpadu RSCM. Doa-doa dilantunkan dengan tulus dan khusyuk.

Sempitnya ruangan membuat siapa pun warga yang ada di ruang itu berdesakan, tak peduli jabatan atau kedudukannya. Semua warga masyarakat dari berbagai lapisan tunduk dalam kedukaan yang mendalam.

Saat jenazah Gus Dur dibawa keluar, sempat terjadi dorong-dorongan antara awak media, petugas keamanan, dan masyarakat yang ingin melihat keranda Gus Dur dari dekat.

Sejumlah pelayat yang berhasil memegang keranda Gus Dur tak kuasa membendung tangis.

Pendorong demokrasi

Bagi Indonesia, Gus Dur adalah guru bangsa. Ia bukan hanya tokoh multikulturalisme, tetapi juga pendorong demokrasi di Indonesia. Mengawinkan demokrasi dengan nilai-nilai Islam yang dipelajarinya sejak kecil.

Pendapat itu di antaranya diungkapkan Staf Ahli Presiden Daniel Sparringa dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie setelah mengantar jenazah Gus Dur keluar rumah sakit.

Daniel kembali mengingat peristiwa tahun 1991 saat ia menyusun disertasi. ”Saya punya rekaman panjang hasil wawancara dengan beliau soal demokratisasi di Indonesia,” tuturnya.

Jauh sebelum reformasi digaungkan, Gus Dur telah lebih dahulu memikirkan bagaimana mendorong demokratisasi di Indonesia.

Cucu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama itu bahkan menjadi perekat hubungan antarumat beragama.

Saat itu, lanjut Daniel, Gus Dur telah memikirkan bagaimana cara merekonstruksi bangsa.

Saat menjabat presiden, buah pikiran itu diterjemahkan Gus Dur dengan menyatukan perbedaan agama, suku, dan bangsa di bawah bingkai demokrasi.

Ia berhasil meyakinkan bangsa bahwa demokrasi bisa dikembangkan bersama-sama dalam masyarakat yang majemuk.

”Gus Dur membantu saya untuk mengerti negeri ini, pelajaran yang sangat berharga,” kenangnya.

Bahkan, Jimly menilai Gus Dur sebagai pahlawan pluralisme dan demokrasi Indonesia. Menurut dia, Gus Dur adalah satu-satunya presiden yang bisa mengarahkan opini publik, bukan larut mengikuti opini publik, seperti dilakukan pemimpin bangsa saat ini.

”Gus Dur itu tidak tunduk kepada massa, tetapi selalu bisa mengarahkan massa. Orang seperti Gus Dur sangat dibutuhkan bangsa ini,” katanya.

Totalisme Gus Dur dalam memikirkan nasib bangsa terlihat dari obrolan-obrolannya sebelum meninggal. Beberapa saat sebelum pergi, Gus Dur masih sempat memikirkan masalah bangsa.

Ia terus berdiskusi tentang bagaimana masa depan bangsa ke depan.

”Tadi, sekitar jam 17.00 saat kami berkumpul di ruangan, beliau masih ngobrol soal bangsa ke depan. Bercerita panjang lebar,” kata Achid Yaqub, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur yang dekat dengan Gus Dur.

Gus Dur telah mencurahkan segenap pemikiran, tenaga, dan harapan untuk masa depan bangsa. Terus berpikir bagaimana mengubah bangsa agar menjadi lebih baik.

Kini, guru bangsa itu telah pergi. Selamat jalan Gus Dur....

(Anita Yossihara/ M Zaid Wahyudi)

Sumber: Kompas, Kamis, 31 Desember 2009

Selamat Jalan Gus...

KOMPAS/PRIYOMBODO

Jakarta, Kompas - Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, Rabu (30/12) pukul 18.45, meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kepastian meninggalnya Gus Dur disampaikan Ketua Tim Dokter Yusuf Misbah yang merawat Gus Dur sejak 26 Desember lalu di RSCM dengan didampingi Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih.

Gus Dur masuk rumah sakit dalam kondisi kesehatan yang menurun setelah melakukan ziarah ke makam sejumlah ulama di Jawa Timur. Menurut Yusuf, kondisi Gus Dur sempat membaik selama perawatan. Namun, Rabu sekitar pukul 11.30, kesehatannya mendadak memburuk terkait komplikasi penyakit yang dideritanya selama ini, yaitu ginjal, diabetes, stroke, dan jantung. Pukul 18.15, tim dokter menyatakan kesehatan Gus Dur dalam kondisi kritis.

Asisten pribadi Gus Dur, Bambang Susanto, menceritakan, Rabu pukul 10.00, ia sempat membacakan berita tentang penangkapan mantan Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni di Inggris. Putri bungsunya, Inayah Wahid, menyuapinya dengan puding cokelat.

Setelah itu, Gus Dur mengeluhkan sakit pada tubuh bagian bawahnya dan minta didudukkan. Setelah dipenuhi, Gus Dur meminta didudukkan dengan kaki diayun-ayunkan sambil dipijat oleh Bambang. Selanjutnya, Gus Dur minta ditidurkan di lantai agar badannya menjadi enak.

Tim dokter mulai berdatangan dan menyiapkan sejumlah peralatan. Rekomendasi tim dokter menyebutkan Gus Dur perlu tindakan khusus sehingga dibawa ke Ruang Pacu Jantung Terpadu. Perawatan di ruang itu dilakukan secara intensif sehingga tidak boleh ditemani.

Setelah ditangani khusus, kesehatan Gus Dur kembali membaik dan sempat meminta untuk diperdengarkan buku audio (audiobook). Dengan kondisi itu dinilai menunjukkan adanya perbaikan kondisi Gus Dur.

Sekitar pukul 15.00, Bambang diberi tahu Yusuf, kondisi Gus Dur perlu diawasi serius untuk menaikkan tekanan darahnya. Pukul 17.00, tekanan darahnya tinggal 40 mmHg. Saat itulah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang.

Presiden menemui istri Gus Dur, Ny Sinta Nuriyah Wahid. Setelah itu, masuk ke ruang perawatan. Turut mendampingi Presiden adalah tim dokter dan suami putri kedua Gus Dur, Yenny Wahid, Dhohir Farisi.

Yusuf menambahkan, saat Gus Dur kritis, tim dokter melakukan perawatan intensif untuk memperbaiki pernapasan Gus Dur dengan melakukan resusitasi. Dokter juga menyiapkan tindakan khusus untuk mengeluarkan darah beku di dinding pembuluh darah besar di perut (aorta abdominal). Namun, belum sempat tindakan itu dilakukan, Gus Dur wafat.

Memburuknya kondisi kesehatan Gus Dur dimulai sejak kunjungan silaturahim dan ziarah yang dilakukan pada 24 Desember lalu. Gus Dur berangkat dari Jakarta ke Semarang dengan pesawat, dilanjutkan perjalanan darat ke Rembang, Jawa Tengah, untuk menemui KH Mustofa Bisri. Dari Rembang, ia melakukan perjalanan darat ke Jombang, Jawa Timur.

Saat di Jombang itulah kondisi kesehatan Gus Dur memburuk dengan gula darahnya turun. Namun, hal itu dinilai biasa dan dengan cepat ditangani dokter di Jombang.

Dokter sempat merujuk Gus Dur dirawat di RSUD dr Soetomo, Surabaya. Gus Dur tidak bersedia dirawat di rumah sakit.

Senin lalu, Gus Dur menjalani operasi gigi. Selama tiga tahun terakhir, Gus Dur rutin menjalani cuci darah tiga kali seminggu di RSCM. Cuci darah dilakukan pada Senin, Rabu, dan Jumat. Jika cuci darah rutin itu terlambat dilakukan karena kesibukannya, kondisi Gus Dur memburuk yang ditandai dengan wajah lesu dan lemas.

Pernyataan Presiden

Presiden Yudhoyono semalam menyampaikan dukacita mendalam atas nama negara, pemerintah, dan pribadi atas meninggalnya Gus Dur. Presiden minta masyarakat mengibarkan bendera setengah tiang selama sepekan sebagai bentuk penghormatan dan berkabung.

Presiden memberikan pernyataan pers terkait meninggalnya Presiden Indonesia periode 1999-2001 di Kantor Presiden. Turut mendampingi antara lain Wakil Presiden Boediono.

Presiden menjelaskan, negara akan memberikan penghormatan tertinggi kepada mendiang Gus Dur dengan upacara kenegaraan untuk pemakaman yang akan dilaksanakan di Jombang, Kamis ini. Upacara akan dipimpin sendiri oleh Presiden.

Pemberangkatan jenazah dari rumah duka di Ciganjur, Kamis pagi, akan dipimpin Ketua MPR Taufik Kiemas. Jenazah akan diterbangkan melalui Surabaya.

Mantan Wapres M Jusuf Kalla juga menyatakan duka mendalam atas berpulangnya Gus Dur. ”Kita semua harus tetap menjaga semangat kebersamaan, demokrasi, dan pluralisme yang menjadi semangat almarhum,” kata Kalla.

Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah A Syafii Maarif menilai, ”Kita sebagai bangsa sangat kehilangan. Gus Dur sangat berjasa bagi bangsa ini, terutama dalam konteks demokratisasi dan juga mempercepat proses mengeluarkan pengaruh militer dalam perpolitikan kita. Banyak sekali jasa beliau, terlepas dari sosoknya yang kontroversial.”

Syafii yakin ide Gus Dur tentang pluralisme dan demokrasi tidak akan pernah pupus karena banyak murid, pendukung, dan penerus yang akan melanjutkan semua ide itu. Ia juga salut dengan kebiasaan Gus Dur bersilaturahim, yang sepatutnya ditiru banyak kalangan.

Tokoh pertanian HS Dillon juga menilai Gus Dur adalah pluralis sejati dan memberi makna pada pemahaman Bhinneka Tunggal Ika. ”Pendukung tidak kenal lelah hak minoritas,” katanya.

(mzw/nta/eki/ink/dwa/day/eld/ham/dis/rik)

Sumber: Kompas, Kamis, 31 Desember 2009

Perginya Sang Pluralis

GUS DUR berpulang dan Indonesia kehilangan manusia yang paling komplet sekaligus kontroversial. Selama hidup, dua aras besar dimainkannya dengan gemilang: politik dan kebudayaan. Dan puncaknya terjadi 1999 silam, saat tampuk kepresidenan didudukinya.

Bukan cuma intelektual garda depan (simak pemikirannya yang amat mewarnai gerakan 1970--1980-an), Gus Dur, yang sudah tak bisa melihat saat memimpin negeri ini akibat serangan stroke Januari 1998, juga berjuluk "kiai haji". Dia pengamat sepak bola yang tekun, pengagum musik klasik kelas wahid, sekaligus hard core gerakan politik oposisional era Orde Baru. And most of all, semua ilmunya didapat secara otodidak, dia bukan lulusan universitas terkenal dalam negeri atau mancanegara.

Dengan pengetahuan dan tradisi keagamaan yang luas dan penguasaan ilmu sosialnya yang go beyond, cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini mampu memahami dinamika agama dan modernisasi. Kepada kalangan teknokrat-birokrat dan luar-lingkar keagamaan, dia memberi perspektif liberal dan progresif kehidupan agama. Kepada kalangan agama, Gus Dur mencercahkan pandangan religius dari cita-cita kehidupan sekuler (modernisasi).

Melalui eksplorasi kritis teori-teori sosial mengenai hubungan agama dan perubahan, seperti dari Max Weber, Snouck Horgronye, Racliffe Brown, dan Malinowski, Gus Dur mengungkapkan dinamisnya agama sebagai penggerak perubahan. Dia berpendapat, pandangan keagamaan bergeser oleh tuntutan perubahan masyarakat. Jelas, tak ada pemahaman agama yang statis sepanjang aspirasi pemeluknya terus berkembang.

Di sisi lain, Abdurrahman Wahid, nama lengkapnya, merupakan pemikir besar yang melangkahi zaman. Bacalah majalah bergengsi Prisma (terbit pertama November 1971, opini Gus Dur muncul 1975--1980-an), dan kita mendapati pemikiran penitis darah biru NU ini di halaman-halaman awal, dengan bongkahan gagasan yang luar biasa. Atau artikelnya soal pesantren di Kompas sejak 1973. Atau saat dia menjadi pemrasaran dalam puluhan forum ilmiah bergengsi. Semua membuka mata seputar dunia kesantrian yang terpinggirkan zaman.

Selain pemikir kebudayaan kelas satu plus analis sepakbola andal, Gus Dur concern pada tema hubungan antaragama, ideologi, pembangunan dan negara, integrasi nasional, hak asasi, serta perubahan masyarakat-- termasuk peran yang mesti dimainkan pemerintah. Pada dimensi inilah, saat dia menjadi orang nomor satu di Republik ini, kita melihat beberapa beleidnya yang memicu ketegangan di level elite. Langkah Gus Dur memang banyak yang mengejutkan, tapi ditakzimi oleh umatnya.

Dengan "keningratannya", 15 tahun lebih kursi ketua umum PBNU identik dengannya. Saat itulah terjadi titik-balik, saat pikiran besarnya-- umur 11 tahun Gus Dur "khatam" Das Kapital-nya Karl Marx, ditulis dalam bahasa Jerman kuno 1856--mewarnai jagat pemikiran Tanah Air tapi sering tak terwadahi dalam "papan catur" keindonesiaan kontemporer yang terasa menyempit bagi idenya yang gigantis. n HERI WARDOYO/R-1

Sumber: Lampung Post, Kamis, 31 Desember 2009

Gus Dur, Tokoh Politik yang Sangat Berbudaya

[JAKARTA] Di mata budayawan Butet Kertaradjasa, Gus Dur adalah sosok yang luar biasa. Bahkan, Butet menyebut Gus Dur sebagai se- orang sufi karena mampu mengolok-olok dan menertawakan diri sendiri. Sesuatu yang jarang bisa dilakukan orang lain.

Gus Dur menunjukkan buku berjudul "Gus Dur Bertutur" seusai peluncuran buku tersebut di Semarang, beberapa tahun yang lalu. (Antara)

"Beliau memang sosok yang humoris sekali. Humor tertinggi adalah saat sese- orang bisa menertawakan diri sendiri. Itu sudah sekelas sufi. Dan, Gus Dur sudah pada tingkat itu. Ia bisa menciptakan kejenakaan dengan mengolok-olok dirinya sendiri. Itu menunjukkan kematangan jiwa seseorang," tutur Butet kepada SP, Kamis (31/12).

Selain itu, Butet juga mengaku kagum akan semangat Gus Dur menjunjung tinggi pluralisme, menghargai, dan menghormati keragaman di Indonesia. Apalagi, ia melanjutkan, salah satu ciri kebudayaan Indonesia adalah keberagaman itu sendiri.

"Gus Dur adalah penjaga nilai spirit pluralisme yang diamanatkan pendiri bangsa ini," katanya.

Selama menjadi budayawan, Butet mengaku kerap bertemu dan bersinggungan dengan Gus Dur. Bahkan tak jarang, Butet melontarkan guyonan tentang Gus Dur dalam pentas monolog yang dihadiri oleh sang mantan presiden itu. Bukannya tersinggung, Gus Dur malah tertawa karena beliau juga menyukai humor.

Oleh karena itu, Butet merasa sosok Gus Dur haruslah diteladani banyak pihak, terutama para birokrat dan politikus Indonesia. "Namun, saya yakin, kader-kader Gus Dur, yakni para intelektual muda NU juga mengusung semangat pluralisme. Saya tidak cemas atau khawatir karena Gus Dur menyisakan warisan berupa kader-kader yang bisa menjunjung semangat pluralisme. Kita masih ada Gus Mus, Ulil, Muslim Abdurrahman, Komarudin Hidayat, Yudi Latief, orang-orang Islam yang moderat," kata Butet.

Berbeda

Sementara itu, seniman kawakan Indonesia, Slamet Rahardjo Djarot menjelaskan, seperti halnya Presiden pertama RI, Soekarno, Gus Dur membuat dirinya berbeda dengan para politisi bangsa Indonesia saat ini karena dia seorang budayawan.

"Artinya, sebagai seorang budayawan, Gus Dur memiliki jiwa seni dan sosial yang tinggi. Sehingga, ketika dia terjun ke dunia politik, beliau mewarnai semuanya itu dengan kekayaan berkesenian yang beliau miliki dan dalami. Lahirnya pluralisme, merupakan salah satu keputusan Gus Dur sebagai seorang budayawan yang berpolitik. Harus diakui, soal pluralisme ini, merupakan langkah berani Gus Dur dalam mengambil risiko," kata Slamet.

Lebih lanjut, pemain film, teater, dan sutradara ternama Indonesia menambahkan, segala kepiawaian yang dimiliki Gus Dur, khususnya untuk bangsa ini, tidak bisa dilepaskan dari kehidupan beliau dari sisi budaya yang tentunya sangat mengedepankan keindahan.

"Yang jelas, di mana ada krisis, di situ ada Gus Dur sebagai sang penyelamat. Di mana ada ketidakadilan di situ ada Gus Dur sebagai sang pengadil," ujarnya.

Kematian itu, kata Slamet, adalah keniscahyaan. Jarang sekali ada orang yang meninggal secara terhormat seperti Gus Dur. Maka, banggalah keluarga punya ayah dan suami yang sangat berjasa buat negara. [D-10/F-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 31 Desember 2009

Pekerjaan Rumah dari Gus Dur

-- Garin Nugroho

"...Barang siapa yang menghina agama orang lain, ia menghina agamanya sendiri." Demikianlah pernyataan Gus Dur dalam iklan layanan masyarakat yang penulis buat pada saat beliau masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.

Pernyataan di atas terasa sederhana, namun merefleksikan kenegarawanan dalam beragam perspektif. Pertama, ketegasan kepemimpinan terhadap nilai pluralisme. Kedua, sikap tidak tawar-menawar melawan ekstremitas beragama yang menginginkan salah satu agama menjadi dasar negara. Ketiga, nilai beragama diletakkan dalam bentuknya yang paling dasar sekaligus mulia, yakni dalam tata nilai hubungan sehari-hari antarumat manusia.

Sepeninggal Gus Dur, sesungguhnya pekerjaan rumah semacam apa yang ditinggalkannya?

Daya hidup, tindakan, dan pikiran Gus Dur, sesungguhnya hidup dan menghidupi bangsa dari periode menurunnya kekuatan Soeharto hingga sepuluh tahun pasca-Reformasi. Pada dua periode ini, Gus Dur melakukan dua kerja kebangsaan yang sangat penting. Pertama, periode Soeharto, dengan caranya yang khas, Gus Dur mengelola religiositas sebagai daya hidup kebebasan berpikir dan berorganisasi guna melakukan perlawanan terhadap militerisme dan anrakisme. Kedua, era Reformasi, Gus Dur terus melakukan kerja tanpa tawar-menawar terhadap berbagai bentuk ekstremitas beragama, yang tumbuh di masa transisi sekaligus mencoba melakukan terobosan-terobosan kenegaraan yang sangat tidak mudah yang melahirkan kontroversi. Termasuk upaya Gus Dur mencoba membangun generasi baru dalam sebuah dunia baru, yang tidak mudah baginya, di tengah kesehatannya yang melemah serta dunia politik baru dalam pemilu langsung dalam kerja suara terbanyak, serta tumpang-tindih konflik kekuasaan intern serta dalam lingkup berbangsa.

Yang harus dicatat, kenegarawanan Gus Dur mampu tumbuh didasari beberapa aspek dasar pertumbuhan. Pertama, tumbuh dan lahir dari tradisi keluarga dan organisasi keagamaan Islam terbesar yang memiliki relasi kebangsaan yang kuat dengan nasionalisme sejarah Indonesia. Kedua, pemikirannya mampu memiliki daya hidup dalam berbagai ruang hidup berbangsa, dari seni, teknologi, pendidikan, partai, keagamaan, serta kebangsaan sekaligus dialog keagamaan global. Oleh karena itu, Gus Dur dikenal mampu berdialog dengan bergam kalangan hingga disiplin ilmu serta profesi. Ketiga, daya hidup kepemimpinannya mampu hidup dalam beragam waktu krisis, yang tentu saja, bisa dipahami, melemah seiring melemahnya kesehatannya.

Oleh karena itu, Gus Dur adalah guru bangsa di tengah arus perubahan besar masa-masa Soeharto hingga Reformasi. Guru bangsa yang tidak dalam gaya kepemimpinan yang birokrasi, formal, dan jumawa. Layaknya wayang, Gus Dur adalah tokoh semar ataupun punokawan yang selalu menjaga nilai-nilai serta para kesatria melewati berbagai tantangan, dengan lelucon, kenakalan, dan pemikiran, serta kerja kebangsaan yang sangat egaliter. Dengan kata lain, Gus Dur adalah pengawal Pancasila di berbagai bentuk transisi dan krisis.

Pengawal Baru

Pasca-Reformasi , seperti layaknya masa transisi, melahirkan beragam gejolak serta kerja kebangsaan dan pemikiran-pemikiran, disertai beragam perubahan tata cara bernegara, Baik itu, pemikiran ke depan maupun pemikiran ulang terhadap nilai-nilai kebangsaan, yang tidak bisa bertumbuh pada era Soeharto serta masa proklamasi. Sebutlah, tafsir sejarah peristiwa September 1965 hingga upaya kembali meletakkan agama sebagai dasar negara, yang sesungguhnya sudah selesai dengan lahirnya Pancasila dan UUD 1945.

Bisa diduga, seluruh pemikiran yang tidak bisa tumbuh pada era Soeharto, maupun yang mati oleh pemikiran pluralis Pancasila, berupaya ditumbuhkan kembali dalam era yang penuh transisi serta dibuka lewat pemilu langsung dan suara terbanyak. Era yang memungkinkan berbagai dimensi pemikiran masuk lewat partai, parlemen hingga yudikatif, eksekutif, serta berbagai bentuk proses berbangsa lainnya.

Catatan sederhana di atas, memberikan suatu isyarat bahwa Gus Dur memberikan pekerjaan rumah yang sangat besar. Yakni, di tengah era demokrasi suara terbanyak dan langsung, maka diperlukan kepemimpinan baru yang tidak tawar-menawar terhadap daya hidup Pancasila dengan ketegasan hukum, serta keberanian nilai kritis, untuk senantiasa melawan segala bentuk anarkisme minoritas maupun mayoritas keagamaan. Di sisi lain, kepemimpinan itu dituntut mampu hidup dalam demokrasi suara terbanyak dan langsung, yang penuh paradoks kekuasaan, cita-cita, kegagapan , serta politik sebagai primadona baru.

Pada sisi lain, pekerjaan rumah terbesar yang diberikan Gus Dur adalah lahirnya kepemimpinan yang mampu memandu masyarakat untuk menjadi penjaga kritis Pancasila dalam hidup sehari-hari, di tengah era informasi dan komunikasi baru, serta migrasi besar politik aliran, ideologi, hingga peran kepartaian, organisasi masyarakat dan politik, yang dipenuhi ketimpangan, krisis dan bencana serta kepemimpinan yang serba baru dan gamang, dipenuhi euforia kekuasaan ketimbang menjadi pelayan Pancasila.

Selamat jalan Gus Dur, Pekerjaan rumah ini adalah sebuah proses dialog panjang dan memerlukan keberanian kenegarawanan.

* Garin Nugroho, Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET)

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 31 Desember 2009

Gus Dur Sebenarnya Sedang Tidur

-- Arswendo Atmowiloto

GUS Dur, barangkali sebutan yang paling demokratis, paling bersahabat, sekaligus paling hormat dan paling hangat menggambarkan persaudaraan dengan tokoh yang luar biasa, yang menjila, sang pemilik nama. Semua mulut bisa menyebutkan nama Gus Dur, semua telinga mengerti siapa yang dimaksud, dan semua hati menaruh rasa kagum dan rasa hormat yang tinggi. Gus Dur menggambarkan semua yang terangkum dalam sebutan KH Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI, atau jabatan apa pun, yang beragam yang pernah digenggam.

Tanyakan kepada semua posisi atau tokoh masyarakat, baik agamawan, politisi, seniman, negarawan, tukang ojek, maupun pemulung, mereka bisa menceritakan pengalamannya. Tanyakan kepada angin, kepada hujan, atau pepohonan, mereka bisa mengatakan hal yang sama. Tanyakan kepada debu atau batu, jawaban mereka tak jauh berbeda. Dalam budaya Jawa, Gus Dur adalah lakone, sang tokoh utama dalam segala perkara yang boleh apa saja, dan bisa. Segala yang luar biasa pantas disandangkan padanya. Sebaliknya, segala yang biasa menjadi luar biasa. Maka kepergiannya yang abadi, Rabu, 30 Desember 2009, di RSCM Jakarta, dalam usia 69 tahun, sesungguhnya diterima sebagai tidur sementara. Tidur tanpa mendengkur, seperti kebiasannya selama ini.

Tradisi

Guru bangsa yang memperjuangkan demokrasi, pluralisme budaya, dan hak-hak kemanusiaan ini, mempunyai riwayat yang dekat dengan siapa saja, mempunyai jalan awal yang tak berbeda dari kita pada umumnya. Pada awal tahun 70-an, saya masih ingat Gus Dur datang dengan Vespa -kemudian lebih sering diboncengkan, ke redaksi Kompas di Palmerah Selatan, Jakarta. Menunggu mesin ketik yang kosong, kemudian mengetik apa saja: komentar film, pertandingan sepak bola, atau soal politik. Yang unik bukan apa yang dituliskan, melainkan pembicaraan yang mengganggunya saat mengetik. Para wartawan mengerumuni, bertanya apa saja. Dan dijawab dengan ringan menawan. Jauh sebelum idiom, "gitu aja kok repot", Gus Dur telah menjalaninya dengan sederhana, dengan biasa. Kalau hanya begitu, kurang seru. Karena "tradisi" ini juga terjadi pada majalah Zaman, yang diterbitkan oleh grup Tempo. Padahal, sebenarnya kedatangannya ke sana untuk menjemput istrinya yang menjadi redaktur di situ. Sambil menunggu, bisa mengetik artikel dan memberikan pembekalan kepada wartawan-wartawan yang masih terlalu hijau dalam bekerja. Tapi, begitulah Gus Dur, tak membedakan senior-yunior, tak membedakan kelompok mana.

Saya juga pernah menikmati satu-dua kali, dengan mobil kecil datang ke berbagai seminar -pernah bertiga dengan Goenawan Mohammad. Kalau tak salah, usulan karcis tol berlangganan muncul di sini. Karena seringnya menggunakan jalan tol -terutama ke bandara, Gus Dur menuliskan atau mengusulkan melalui surat pembaca. Kadang kami menggoda dengan sengaja menanyakan nomor telepon seseorang, yang dihapal Gus Dur di luar kepala, bahkan sambil tiduran sekali pun. Tujuh angka bisa disebutkan, dan bukan hanya tujuh belas tokoh yang ditanyakan. Kadang, Gus Dur ngomel, bukan karena dikerjai, melainkan karena terganggu tidurnya.

Soal tidur ini merupakan hal yang extraordinary betulan. Dalam sebuah diskusi teater pada 1993, di mimbar panel diskusi, Gus Dur benar-benar tertidur sampai mendengkur. Bahkan ketika sampai gilirannya, harus disenggol dan dibangunkan. Tapi, ya itulah lakone, terbangun seketika, bisa menanggapi pembicara sebelumnya dan tetap membuat pendengarnya tertawa. Saya ingat tahun itu, karena itu saat saya keluar dari penjara. Adalah Gus Dur sendirian yang membela "kasus Monitor", yang menghebohkan, yang membuatnya "diadili" kaum ulama, tiga tahun sebelumnya. Saya khusus menemui dan mengucapkan terima kasih, mencium tangannya. Gus Dur menerima, seperti juga menerima salam dan ciuman tangan dari yang lain, sambil terus jalan. Saya agak kecewa dan terucap."Yaaah, Gus Dur lupa sama saya...." Di tengah jalan menuju mimbar, Gus Dur berhenti dan berpaling: "Kalau baumu, saya masih ingat..." Selalu ada yang mencengangkan dari sikap yang biasa-biasa. Bagi saya, pembelaan Gus Dur sesuatu yang luar biasa, tapi bagi Gus Dur itu selalu yang biasa, yang dilakukannya. Juga bukan hal yang pribadi -karena yang dibela soal kebebasan berpendapat.

Soal cium tangan ini Gus Dur kemudian sekali menolak. Bukan karena apa, melainkan saat itu Gus Dur mulai sering cuci darah dan tangannya masih sakit terkena infus. "Nanti saja kalau sudah sembuh." Sayangnya, tangan kiri-kanan tak segera membaik.

Tanggung Jawab

Semasa menjabat sebagai Presiden RI pun gaya Gus Dur tak banyak berubah. Masih selalu terbuka -dan ini tidak biasa- menerima teman-teman seniman, di Istana Negara. Kadang pengawal direpotkan, karena para tamu tidak tercantum namanya dalam daftar undangan. Kalaupun kemudian dikonfirmasikan, ya tetap diterima. Kadang pertemuannya pun tak berbeda dengan di luar Istana. Pernah waktu buka puasa bersama, Umar Kayam, almarhum, yang waktu itu sudah agak sakit, duduk di kursi. Sementar Gus Dur duduk lesehan di bawah. Pembicaraan tetap terbuka, berlangsung tanya jawab ke sana kemari dengan orang nomor satu di republik ini.

Kadang sedemikian terbuka. Dalam rangka menyambut Hari Anak, saya mewawancarai bersama penyanyi cilik, Yoshua. Gus Dur bicara berapi-api, situasi politik sedang memanas, dengan menyebut nama-nama tokoh lain. Saya berusaha mengingatkan. "Gus, ini direkam, kamera tv masih nyala." Jawabannya? "Sekarang menjadi tanggung jawabmu. Kamu yang menentukan disiarkan atau tidak."

Begitulah, dengan gayanya, Gus Dur's way, hal -hal yang mendasar ditularkan, dibagi, tanpa ketegangan.

Terakhir kali bertemu Gus Dur, di kediamannya di Ciganjur, saat berbuka bersama anak-anak yatim piatu, dan saya diminta memberikan sambutan. Pada akhir acara, Gus Dur memuji dan saya berbisik: "Gus, itu tadi kan dari tulisan Gus Dur. Saya sudah katakan di depan, waktu Gus Dur belum datang."

Masih banyak kisah sesungguhnya dari Gus Dur, yang dialami siapa saja. Dengan segala kearifan, kejenakaan -satu-satunya presiden di dunia yang memiliki koleksi humor terbanyak dan diutarakan terbuka, menyapa, bahkan menghibur. Segala debu segala batu pun akan bercerita, betapa sesungguhnya Gus Dur adalah berkah, adalah kasih, bagi bangsa Indonesia, tanpa terbedakan agama, keyakinan, suku, atau nama asal, atau pakaian yang dikenakan. Gus Dur adalah anugerah bagi bangsa Indonesia yang utuh, yang bisa disentuh.

Saya lebih berharap saat ini Gus Dur sedang tidur tanpa dengkur, dan setiap saat akan terbangun pada mereka -cantrik-cantriknya, santri-santri, anak didik- yang memahami karunianya yang karismatis.

* Arswendo Atmowiloto, budayawan

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 31 Desember 2009

Konsisten hingga Akhir Hayat


TAK salah bila banyak orang menilai pemikiran KH Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur melampaui pemikiran orang kebanyakan pada masanya. Pemikiran Gus Dur kerap jauh melintasi ruang dan waktu. Konsistensinya dalam menegakkan kehidupan demokrasi, menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme, memihak kelompok minoritas, serta aktif memantau perkembangan dunia, tetap terjaga hingga akhir hayatnya.

Buktinya, beberapa jam sebelum mengembuskan napas terakhir pada Rabu (30/12) pukul 18.45 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Gus Dur masih meminta orang dekatnya membacakan berita dari majalah Gatra tentang pemilu di Cile dan kondisi Israel.

"Sekitar jam 12 siang, Bapak meminta saya membacakan berita dari majalah Gatra," kata Bambang Susanto yang menemani Gus Dur pada saat-saat terakhir.

Peti jenazah KH Abdurrahman Wahid diturunkan dari pesawat Hercules TNI AU, seusai mendarat di Bandara Internasional Djuanda, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (31/12). (ANTARA/Eric Ireng)

Saat itu Gus Dur dirawat di kamar A 116 RSCM, karena kondisi kesehatannya menurun setelah berziarah di Jombang, Jawa Timur. Presiden keempat RI itu masuk RSCM sejak Sabtu (26/12). Dalam kamar itu hanya ada putri bungsunya, Inayah Wulandari, asisten pribadi Sulaiman, dua pengawal pribadi, serta Bambang Susanto sendiri.

Tiba-tiba, kata Bambang, Gus Dur mengeluh sakit di bagian paha ke bawah dan minta dipijat. Kondisi kesehatan Gus Dur terus menurun sehingga harus dibawa ke gedung Pelayanan Jantung Terpadu RSCM di lantai lima atrium dua untuk keperluan tindakan medis. Di dalam ruang perawatan itu hanya ada tim dokter yang dipimpin Yusuf Misbach. Tak ada seorang pun anggota keluarga di ruangan itu, termasuk istri Gus Dur, Sinta Nuriyah yang tiba di RSCM pukul 12.30 WIB.

"Agak sore, dokter meminta tambahan darah golongan O. Sekitar pukul setengah lima, Bapak masih meminta audio book, saya pikir keadaan Bapak sudah enakan. Namun, sekitar pukul enam sore, dokter Yusuf mengatakan kondisi Bapak kritis karena tekanan darah drop," katanya.

Dalam kondisi yang kritis itu, sekitar pukul 18.15 WIB, hanya Presiden SBY ditemani menantu Gus Dur, Dhohir Farisi, bersama tim dokter, yang berada di kamar tersebut. "Saya tidak tahu kejadian dalam ruangan itu, karena yang ada hanya Presiden SBY, menantu Gus Dur, dan tim dokter," ujar Bambang. Akhirnya, pada pukul 18.45 WIB, Gus Dur meninggalkan dunia untuk selamanya.

Islah dengan Soeharto

Salah satu yang menonjol dari kehidupannya Gus Dur adalah perseteruannya dengan mantan Presiden Soeharto.

Menjelang Muktamar ke-29 NU pada 1994 di Tasikmalaya, Jabar, Gus Dur menominasikan diri untuk masa jabatan ketiga. Pencalonan ini ditentang Soeharto dengan menolak disambut dan bersalaman dengan Gus Dur pada prosesi pembukaan muktamar. Pascamuktamar, dimana Gus Dur tetap terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, perseteruan keduanya semakin meruncing.

Dua tahun kemudian, para ulama sepuh mencoba mencari jalan untuk mencairkan hubungan Gus Dur dengan Soeharto. Dalam Munas Asosiasi Pondok Pesantren se Indonesia di Ponpes Zainul Hasan, Genggong, Pajarakan, Probolinggo, keduanya akhirnya saling berjabatan tangan pertanda islah. [SP/Aries Sudiono/Anselmus Bata]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 31 Desember 2009

Ratusan Ribu Orang Melepas Gus Dur

[JOMBANG] Ratusan ribu orang melepas kepergian KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mulai dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, rumah duka di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, di sepanjang jalan menuju Bandara Halim Perdanakusuma, serta dari Bandara Djuanda, Surabaya hingga ke tempat peristirahatan terakhir di kompleks pemakaman keluarga Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Abdurrahman Wahid (Foto: AFP)

Sampai berita ini diturunkan gelombang peziarah terus berdatangan dari berbagai daerah di Indonesia untuk memberikan penghormatan terakhir kepada presiden keempat RI dan mantan ketua umum PBNU yang meninggal di RSCM, Jakarta, Rabu (30/12) pukul 18.45 WIB.

Berdasarkan pemantauan SP, Kamis (31/12), sebelum pukul 08.45 WIB, para peziarah masih bebas memasuki kompleks ponpes. Bahkan banyak diantara mereka mendokumentasikan liang lahat Gus Dur menggunakan kamera telepon seluler. Tetapi setelah itu, lokasi pemakaman steril dari para peziarah dan santri, karena dilakukan geladi resik prosesi pemakaman Gus Dur. Posisi liang lahat almarhum berada di sebelah utara makam kakek dan neneknya, KHA Drotusyekh Hasyim Asyari, pendiri Ponpes Tebuireng dan istrinya, Nyai Nafikoh.

Sebelum dimakamkan jenazah almarhum disalatkan di Masjid Ulil Albab, yang lokasinya di luar ponpes. Salat tersebut diikuti masyarakat umum. Sedangkan salat kedua dilaksanakan di Masjid Pondok Tebuireng, yang berada di dalam komplek khusus untuk keluarga besar dan kerabat dekat Gus Dur.

Upacara pemakaman dilaksanakan secara militer dengan inspektur upacara Presiden SBY. Prosesi pemakaman ditandai dengan tembakan salvo. Kehadiran Presiden membuat penjagaan dilakukan secara ketat, yakni di perempatan-perempatan jalan raya, di luar ponpes, serta di lingkungan pondok. Bahkan sebelum kepala negara datang dilakukan penyisiran menyeluruh di lokasi pondok oleh tim Gegana Polda Jatim.

Adik kandung Gus Dur, KH Salahudin Wahid mengatakan pemakaman almarhum di kompleks pemakaman keluarga. Keluarga yang bisa dimakamkan di tempat hanya sampai pada cucu KHA Drotusyekh Hasyim Asyari.

Warga menyambut iringan mobil jenazah Gus Dur di Jalan Warung Sila, Ciganjur, melintas di Jalan Moch Kahfi II, Jakarta Selatan, Kamis (31/12). (SP/Abimanyu)

Terus Hidup

Sementara itu, walaupun Gus Dur telah tiada, tetapi pemikiran-pemikirannya terus hidup dan tidak akan mati. Gus Dur sudah meletakkan pemikiran-pemikirannya pada generasi muda bangsa melalui pengembangan pendidikan di institusi-institusi pendidikan maupun sosial yang banyak didirikannya. Sebagai tokoh besar NU, Gus Dur adalah sosok yang mampu menangkap dengan baik aspirasi rakyat Indonesia yang sangat beragam dan mampu menyatukannya. Ia mampu mengelola isu-isu besar yang sangat kontroversial menjadi efektif diterima masyarakat dengan gaya seni yang kocak. Gus Dur tak hanya seorang agamawan, tetapi juga ilmuwan dan seniman. Dengan demikian, Gus Dur tepat disebut sebagai guru bangsa.

Kesan itu disampaikan sosiolog George Junus Aditjondro kepada SP.

Gus Dur, lanjutnya, mampu menangkap dengan baik aspirasi orang Papua dan Aceh. Dia adalah Presiden Indonesia yang berani menghapus nama Irian Jaya menjadi Papua, yang dinilai lebih mencerminkan kultur budaya dan kehidupan orang Papua. Tak hanya itu, sebagai presiden, Gus Dur berani mengizinkan dikibarkannya bendera Bintang Kejora dengan menuyatakan bendera tersebut sebagai simbol budaya orang Papua.

Dalam perdebatan tentang keinginan penghapusan asas tunggal Pancasila, Gus Dur bisa hadir sebagai penengah, sehingga Pancasila tetap menjadi dasar dan perekat NKRI sampai sekarang. "Gus Dur adalah orang yang mengerti pada orang-orang yang terhimpit oleh dominasi budaya tertentu," ujar aktivis pergerakan yang dekat dengan Gus Dur ini.

George mengaku mengenal Gus Dur sejak tahun 1970-an, dalam pertemuan membahas perlawanan terhadap radikalisme agama di Yogyakarta. Waktu itu, George bersama Gus Dur mendirikan International Non-Government Forum on Indonesia (INGI) yang sekarang telah menjadi Internasional NGO Forum on Indonesia (INFID). "Sejak saat itu, pemikiran-pemikirannya yang sangat maju melawan radikalisme agama sudah sangat menonjol. Ia berani berada di garis paling depan melawan radikalisme agama," kenang George.

Sikap Gus Dur yang kocak dan humoris, menurut George, menjadi salah satu kelebihan yang justru bisa menjadi media baginya untuk menengahi berbagai perbedaan pemikiran dan gagasan untuk membangun bangsa.

Sedangkan, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jawa Timur, Ali Maschan Moesa mengatakan sampai saat ini belum ada sosok pemimpin Indonesia yang memiliki jiwa nasionalisme dan pluralisme seperti Gus Dur..

"Wajar bila bangsa Indonesia kehilangan tokoh berkarakter sebagai bapak bangsa. Figur Gus Dur memiliki kerendahan hati, terutama tidak memandang siapa saja untuk dirangkul, sehingga menunjukkan ciri khas pluralismenya yang selalu mengedepankan persamaan dan tidak membedakan sesama," katanya.

Senada dengannya, praktisi hukum Todung Mulya Lubis mengaku kehilangan sosok negarawan yang memperjuangkan pluralitas bangsa. Gus Dur adalah seorang yang berjuang untuk moderasi dan toleransi sosial, beargama dan berbangsa. Gus Dur adalah pilar pluralitas dan benteng bangsa melawan fundamentalisme. Gus dur adalah seorang demokrat sejati yang menghormati lawan politiknya. "Jasanya tidak akan pernah pupus dari memori kolektif bangsa ini," kata Todung.

Sedangkan, Daoed Joesoef mengatakan,"Kita kehilangan pemimpin yang memiliki pandangan luas. Gus Dur itu orangnya pintar dan banyak pengikutnya, sehingga bisa mengimplementasikan pemikirannya.

Kepintaran Gus Dur itu bisa terlihat dalam setiap diskusi yang diikutinya. Hanya saja, sering menjelang akhir sebuah diskusi yang sudah begitu serius, Gus Dur mengeluarkan joke yang membuat keseriusan itu menjadi hilang."

Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan,"Gus Dur bukan saja pejuang demokrasi, tetapi juga gigih mengedepankan pluralisme dalam beriman. Sebab, demokratisasi itu juga harus dicerminkan dari sikap multikultural dan pluralisme. Saya tidak menemukan ada tokoh lain, selain Gus Dur. Saya sungguh merasa kehilangan," kata Sultan yang mengaku sudah mengirim karangan bunga duka cita.

Sultan menjelaskan, Gus Dur berprinsip bahwa pembangunan bangsa tidak dimulai dari ekonomi tetapi harus didahului dari budaya, termasuk segala sikap bangsa terhadap NKRI. "Jika ini semua sudah terwujud, maka kesejahteraan yang digadang-gadang semua pihak akan terwujud. Inilah yang tidak dimiliki pemimpin masa sekarang. Semuanya mengedepankan ekonomi, sementara mental dan etika bangsa keropos. Peradaban tidak bisa dibangun di atas puing-puing runtuhnya moralitas dan kebudayaan bangsa ini," tegasnya.

Sultan mengaku sejalan dengan pandangan tokoh NU yang menyatakan bahwa Gus Dur-lah yang mampu menegakkan kesetaraan, baik dari sisi etnis sampai keberagaman agama, termasuk dalam pelaksanaannya. Karena itu, menurut Sultan, dengan wafatnya Gus Dur, pluralitas beragama terancam dan multikulturalisme hanya akan menjadi simbol belaka.

Doa Umat Kristen

Sementara itu, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Wali Gereja di Indonesia (KWI) menyerukan agar seluruh umat Kristen di Indonesia dalam melaksanakan ibadah Tahun Baru ikut mendoakan kepergian Gus Dur sebagai "Bapak Pluralitas" di Indonesia. "Saya sangat terpukul saat mendengar kepergian beliau. Dia sahabat yang mau mendengar, berbagi, dan peduli terhadap orang lain. Lewat Gus Dur wajah seorang Muslim dan Islam menjadi begitu ramah dan bersahaja," ujar Ketua Umum PGI, Pdt Dr AA Yewangoe.

Dikatakan, bangsa ini kehilangan tokoh terbaik dan menjadi pengawal kebebasan umat beragama untuk dapat menjalankan kepercayaannya secara baik. Kesederhaan, keterbukaan, dan ketulusan dalam hidup menjadi teladan seluruh masyarakat Indonesia. "Karena itu, saya menyerukan agar dalam kebaktian tutup tahun, seluruh gereja mendoakan keluarga yang ditinggalkan agar mendapat penghiburan dan bangsa Indonesia dapat segera memperoleh seorang pemimpin yang dapat melindungi seluruh umat beragama untuk dapat menjalankan ibadahnya secara baik," ujar Yewangoe.

Ketua Umum KWI, Mgr MD Situmorang OFM Cap mengatakan, intensi misa Tahun Baru yang akan digelar seluruh geraja Katolik di Indonesia akan diperuntukkan kepada Gus Dur sebagai "Bapak Bangsa dan Bapak Pluralisme Indonesia".

"Kami harapkan dalam misa tahun baru seluruh umat mempersembahkan misa tahun baru untuk kepergian Gus Dur dan juga Bapak Frans Seda sebagai tokoh umat Katolik Indonesia," ujarnya.

Hal senada diungkap Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan KWI, Benny Susetyo. Menurunya, pemerintah harus mempersiapkan anugerah pahlawan nasional bagi Gus Dur atas sumbangannya yang amat besar bagi bangsa.

Hal yang sama disampaikan Ketua Umum Persekutuan Gereja Lembaga Injili Indonesia, Pdt Dr Nus Reimas. Dia meminta pemerintah menyiapkan gelar pahlawan nasional bagi Gus Dur. "Kehadiran beliau sungguh memberi makna dan berarti bagi bangsa ini. Saya sepakat agar pemerintah segera memberi gelar pahlawan nasional kepadanya. Dalam kebaktian tahun baru, Gereja Injili di Indonesia meminta umat ikut berdoa bagi kepergiannya agar bangsa ini diberi kekuatan dan segera mendapat tokoh yang peduli terhadap kerukunan umat beragama," katanya. [080/G-5/J-11/070/152/M-5/M-7/E-5

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 31 Desember 2009

Buku Gurita Cikeas: Mengingatkan Praktik pada Zaman Orde Baru

Jakarta, Kompas - Buku berjudul Membongkar Gurita Cikeas yang ditulis peneliti korupsi George Junus Aditjondro mengingatkan bangsa pada praktik politik pada zaman Orde Baru. Buku tersebut menggambarkan sistem pemerintahan saat ini telah kembali mengarah ke sistem oligarki.

Demikian tanggapan sejumlah politisi, tokoh muda, dan mahasiswa atas buku Membongkar Gurita Cikeas yang disampaikan dalam acara prapeluncuran dan bedah buku di Doekoen Coffee, Pancoran, Jakarta, Rabu (30/12).

Pengajar Pascasarjana Universitas Indonesia, Kastorius Sinaga, sebagai penanggap pertama, menilai cerita dalam buku tersebut mengingatkan masyarakat pada zaman Orde Baru, masa saat persekutuan antara kekuatan politik dan kekuatan ekonomi terasa sangat kental untuk memperoleh kekuasaan.

Menurut Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Ahmad Nasir Siregar, data yang tertulis dalam buku itu menunjukkan mulai kembalinya sistem oligarki, yaitu pemerintahan hanya dijalankan beberapa orang yang berkuasa dari kelompok tertentu.

Pada prapeluncuran buku itu sempat terjadi kericuhan. Politisi Partai Demokrat, Ramadhan Pohan, yang tak diundang dalam acara, terkena sambitan naskah buku George Junus Aditjondro yang geram mendengar pernyataan Ramadhan. Ramadhan, Rabu siang, langsung melaporkan George Junus Aditjondro ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Secara terpisah, Ketua Dewan Pembina Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian Sosial Djoko Suyanto menegaskan, dana yang dikumpulkan oleh yayasan-yayasan yang berkaitan dengan keluarga Cikeas tidak ada yang dialirkan untuk pembiayaan kampanye dalam pemilihan umum dan pemilihan presiden lalu.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengaku telah mempelajari buku itu. Ia menilai belum menemukan cek dan ricek kebenaran yang ditulis dalam buku tersebut.

(nta/tri/ana/day)

Sumber: Kompas, Kamis, 31 Desember 2009

Wednesday, December 30, 2009

Pelarangan Buku Cermin Menggeliatnya Semangat Orba

JAKARTA (Lampost): Pelarangan peredaran buku mencerminkan menggeliatnya semangat Orde Baru. Pemerintah diminta tidak melarang buku yang paling dicari saat ini, Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century.

Permintaan itu disampaikan komisoner Komnas HAM Yosep Adi Prasetyo di Jakarta, Selasa (29-12), usai mendatangi Toko Buku Gramedia di Matraman, Jakarta Timur. Ia mendatangi toko buku itu melihat penjualan buku karya George Junus Aditjondro. Buku tidak dipajang di sana.

Adi melanjutkan sidak ke Toko Buku Gunung Agung Kwitang dan Gramedia Gran Indonesia. Di dua tempat itu buku tersebut juga tidak dijual.

Buku itu sulit dicari di berbagai kota besar lainnya di Tanah Air. Dari Bandung dan Batam dilaporkan buku tersebut sudah menghilang dari peredaran. Pelarangan peredaran buku terbitan Galang Press Yogyakarta itu hanya dilakukan melalui telepon.

Distributor buku, Agromedia, mengaku kewalahan untuk memenuhi permintaan dan pesanan dari masyarakat yang ingin memiliki buku tersebut.

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra juga menentang pelarangan peredaran buku di era keterbukaan saat ini. "Jangan ditarik. Itu cara Orde Baru. Tidak patut dilakukan," kata dia.

Ia menawarkan dua cara yang bisa digunakan untuk menyalurkan ketidaksetujuan atas isi buku tersebut. Pertama, pihak yang disebut-sebut dalam buku tersebut bisa menerbitkan buku putih yang dilengkapi fakta kuat untuk menandingi buku tersebut. "Biar masyarakat yang menilai," kata dia. Kedua, melalui jalur hukum dengan delik apa pun untuk dibuktikan secara hukum.

Hak Konstitusional

Azyumardi juga menyayangkan masih ada aturan perundang-undangan yang memungkinkan pemerintah mengintervensi kebebasan berpendapat. Meski buku tersebut tidak ditarik secara resmi oleh kejaksaan, peluang itu tetap ada. Karena itu, ia menyarankan agar UU 16/2004 tentang Kejaksaan diuji materi ke Mahkamah Konstitusi.

"Itu harus digugat karena melanggar hak konstitusional. Segala peraturan itu bertentangan. Kan lucu, pemerintah saja tidak bisa menarik Playboy, masak buku seperti itu ditarik," kata dia.

Setali tiga uang, Rektor Universitas Indonesia Gumilar R. Somantri juga tidak setuju jika buku dilarang beredar. Ia mengatakan data yang dibeberkan Aditjondro dalam bukunya harus bisa diverifikasi. Kebebasan akademik, kata dia, harus berdasarkan prinsip keilmuwan yang menjunjung prinsip kebenaran dan kejujuran akademik.

"Seandainya ada data yang tidak tepat, maka sebagai ilmuwan dia (Aditjondro) harus memperbaikinya," pinta Gumilar.

Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie pun tidak setuju buku dilarang beredar. Karena itu, menurut dia, undang-undang yang mengatur kewenangan kejaksaan mengawasi buku sudah tidak relevan karena konstitusi sudah mengalami perubahan melalui amendemen.

Jimly mengatakan untuk melawan buku, sebaiknya pihak yang merasa tidak terima melawannya dengan menerbitkan buku juga. "Kalau tidak, anggap saja angin lalu," kata Jimly.

Bagi Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D., menulis buku apa pun harus dilindungi karena itu hak yang paling mendasar. n MI/R-1

Sumber: Lampung Post, Rabu, 30 Desember 2009

Tuesday, December 29, 2009

Festival Budaya: Mengajak Cinta Panggung Cara Lain

Jakarta, Kompas - Seiring dengan berlangsungnya Festival Teater Jakarta (FTJ) 2009, di TIM berlangsung pula Festival Budaya (FB) pada 13-29 Desember 2009 yang oleh penggagasnya sengaja dimaksudkan untuk memperkaya FTJ. Meski belum sepenuhnya dipandang klop dengan aktivitas FTJ, FB mampu menggerakkan elemen masyarakat—mulai dari kelompok seni tradisional, murid sekolah, hingga kedutaan asing—untuk ambil bagian.

Oetari Noor Permadi, mantan penyiar TVRI yang menjadi pelaksana FB, Minggu (27/12) malam, mengatakan, prakarsa FB dilandasi oleh keinginan sederhana, yakni menggairahkan minat warga masyarakat untuk mengunjungi TIM dan menggugah minat generasi muda untuk mencintai seni tradisi dan berani tampil di panggung.

Menanggapi FB, budayawan Remy Sylado, seperti dikutip rilis Panitia FB (21/12), mengatakan, kini teater (dalam bentuk film) sudah langsung masuk ke rumah- rumah sehingga perlu ada pengelolaan pemasaran khusus yang sifatnya persuasif agar membuat orang tertarik untuk keluar rumah dan kembali mendatangi gedung-gedung teater.

Oetari juga melihat bahwa selain dapat menggugah minat masyarakat untuk mencintai teater, upaya seperti FB juga dapat menjadi wadah penyaluran potensi seni budaya yang terpendam di masyarakat secara profesional. Dengan wadah ini, para remaja menjadi suka dan ketagihan mengekspresikan diri secara positif, tambahnya.

Minggu kemarin, sejumlah murid dan guru sekolah tampil di panggung membawakan musik dan tari daerah, seperti tari bungong jeumpa dari Aceh. Malam harinya, tampil kelompok seni dari Kalimantan Timur dan kelompok musik Debu yang bernuansa gambus modern.

Selain menghadirkan sejumlah karya seni budaya Rusia, FB juga menyajikan seminar bertema ”Mengajar dengan Cinta Melalui Teater”. (nin)

Sumber: Kompas, Selasa, 29 Desember 2009

Kontroversi Buku: George Aditjondro Siap Lakukan Debat Publik

Jakarta, Kompas - Buku karya George Junus Aditjondro memancing kontroversi di masyarakat. Pihak yang kontra menganggap buku itu harus dilarang karena penuh fitnah dan mengganggu demokrasi, sementara yang mendukung berpandangan buku itu dapat menyuburkan demokrasi dan tidak perlu ditarik.

Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman termasuk yang keberatan dengan buku berjudul Membongkar Gurita Cikeas tersebut.

Irman, Senin (28/12), mengaku belum membaca buku itu, tetapi dari sejumlah informasi yang dia terima, ia menyimpulkan buku itu tidak akurat bahkan bisa mengarah ke fitnah. Buku itu juga dianggap bisa mengganggu proses demokrasi karena kebebasan seakan-akan tidak disertai tanggung jawab.

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dari Partai Golkar berpandangan, buku itu tidak perlu dilarang karena suasana politik sekarang berbeda dengan suasana politik di era Soeharto. ”Dengan adanya reformasi sistem politik dan amandemen undang-undang dasar, larangan buku semacam itu malah bisa menimbulkan kegaduhan baru,” ucapnya.

Membaca sekilas isi buku itu, Priyo mengaku sempat kecut. Namun, ia tidak setuju kalau buku itu dilarang. Jika isi buku itu tidak benar, dia menyarankan pihak-pihak yang merasa dirugikan membuat buku tandingan.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufik Kiemas menanggapi buku George itu dengan sikap tenang. Menurut dia, semua presiden, mulai dari Soeharto hingga Abdurrahman Wahid, pernah ditulis miring oleh George, termasuk juga dirinya yang ditulis sebagai ”RI Satu Setengah”. ”Karena saya aktivis juga, jadi tenang-tenang saja,” ucap Taufik sambil tertawa.

Sekjen Partai Demokrat Amir Syamsuddin menilai buku itu sebagai ”buku sampah”. ”Saya sebelumnya termasuk pengagum (George) Junus. Tapi maaf saja, setelah baca buku ini, saya bilang buku ini sampah,” ujarnya.

Menurut Amir, buku itu bisa dikategorikan buku sampah karena antara judul dan isi buku sama sekali tidak ada korelasinya. Judul buku itu, menurut dia, sangat dahsyat, yaitu membongkar gurita Cikeas dan mengaitkan dengan skandal Century. Namun, isinya sama sekali tidak membicarakan kasus Century.

Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko, yang memberikan komentar dalam buku itu, berpandangan, buku George justru bisa menyuburkan demokrasi. ”Kekuasaan, kan, harus dikontrol. Tugasnya George mengontrol SBY, terutama memetakan sejumlah yayasan yang selama ini tidak diketahui publik,” katanya.

Siap debat publik

George Junus Aditjondro, dalam jumpa pers di Galangpress, Yogyakarta, Senin, menyatakan, apabila kontroversi terkait isi bukunya semakin panjang, ia bersedia melakukan debat publik dengan Presiden Yudhoyono.

”Kalau itu nanti terjadi, saya akan meminta bagian-bagian mana tulisan di buku saya yang dianggap tidak benar dan dianggap fitnah,” ujarnya.

George mengaku, sampai saat ini belum pernah menerima keberatan ataupun protes dari Yudhoyono. Ia juga belum pernah menerima intimidasi dalam bentuk apa pun terkait bukunya. Namun, George merasa bukunya akan makin memunculkan silang pendapat banyak kalangan.

Seperti diberitakan, Presiden Yudhoyono, Sabtu lalu, mengatakan keprihatinannya atas buku tersebut yang dinilai memuat fakta-fakta yang tidak akurat dan tidak mengandung kebenaran (Kompas, 27/12).

Dalam buku itu, George antara lain menulis yayasan-yayasan yang ada kaitannya dengan keluarga Yudhoyono. Yayasan itu memobilisasi dukungan politik dan ekonomi untuk pemilihan Partai Demokrat dan Yudhoyono.

Masih dikaji

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto menyebutkan, tim clearing house yang terdiri atas kejaksaan, kepolisian, Badan Intelijen Negara, Menteri Komunikasi dan Informatika, dan Majelis Ulama Indonesia bekerja sama untuk mengkaji buku itu.

Parameter yang dikaji antara lain apakah buku itu mengganggu ketertiban umum. Tim akan memutuskan apakah buku itu dilarang beredar atau tidak.

Secara terpisah, Koordinator Unit Pengembangan Sumber Daya Hak Asasi Manusia Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyu Wagiman berpendapat, jika memang buku itu dinilai bermasalah oleh Presiden, sebaiknya Presiden menulis buku saja.

Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Boni Hargens, menilai buku yang ditulis George bukan bukti hukum untuk menjerat pihak-pihak yang terlibat dalam kasus Bank Century.

”Tapi, buku itu bisa jadi panduan bagi Pansus Bank Century untuk menemukan bukti-bukti hukum,” tambahnya.

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Muladi menyarankan Presiden Yudhoyono segera menggelar klarifikasi langsung untuk menjawab semua tuduhan yang dialamatkan pada dirinya.

”Presiden harus tegas dan terbuka mengklarifikasi apa yang ditulis Aditjondro dalam buku itu. Apalagi ini menyangkut citra Presiden. Jangan melalui juru bicara lagi, langsung saja tanggapi sendiri,” kata Muladi yang menilai cara klarifikasi akan jauh lebih dihormati daripada menggunakan pendekatan hukum.

Menurut Muladi, belakangan ini Presiden memang banyak mengalami serangan politik, tetapi hal itu dinilai biasa, mengingat Presiden Yudhoyono terpilih untuk yang kedua kalinya dan sampai saat ini masih tetap populer di mata masyarakat.

Kecaman Ikapi DIY

Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) DI Yogyakarta mengecam segala bentuk pelarangan, penghambatan peredaran buku, ataupun penarikan buku dari pasaran seperti terjadi pada buku Membongkar Gurita Cikeas. Ia menilai tindakan itu melanggar hak warga negara untuk berpendapat dan memperoleh informasi yang dilindungi UUD 1945.

Pengacara dari Galangpress, Jeremias Lemek, mengatakan, buku itu berdasarkan data ilmiah. ”Kalau ada yang tersinggung, silakan mengkritisi lewat buku juga. Galangpress berani menerbitkan buku ini karena si penulis menggunakan dasar penelitian, bukan rekayasa untuk mencemarkan nama baik,” paparnya.

Buku tersebut dicetak 4.000 eksemplar, tetapi sampai kemarin buku tersebut sulit dicari di pasaran.

(PAR/IDR/IRE/DWA/SUT)

Sumber: Kompas, Selasa, 29 Desember 2009

Buku 'Gurita Cikeas': Aditjondro Ajak SBY Debat Terbuka

YOGYAKARTA (Lampost): Penulis buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, George Junus Aditjondro, mengajak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdebat secara terbuka terkait dengan isi bukunya.

"Saya versus SBY, dan saya akan minta di mana persisnya bagian-bagian dari buku saya yang dianggap fitnah. Saya akan jelaskan satu per satu," kata George di kantor Galang Press Yogyakarta, Senin (28-12).

Menurut dia, debat itu merupakan langkah tepat daripada saling menyerang. Dia juga mengatakan kini bola panas ada di Istana karena itu dipersilakan SBY melakukan sanggahan terhadap buku tersebut secara ilmiah dengan menulis buku putih atau melakukan debat terbuka.

George menjelaskan dalam menghasilkan buku tersebut dia telah menggunakan metode penilitian yang benar. Yakni studi kepustakaan, terutama yang berhubungan dengan korupsi kepresidenan, studi dari internet, dan wawancara.

Pada kesempatan itu, Aditjondro juga meluruskan beberapa pemberitaan di media. Menurut dia, dirinya tidak pernah menyebut SBY dan keluarganya sebagai penerima dana Bank Century.

Secara terpisah, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi, kemarin, menyarankan Presiden Yudhoyono menggelar klarifikasi untuk menjawab semua tuduhan menyusul terbitnya George Aditjondro.

Menurut Muladi, klarifikasi langsung oleh Presiden Yudhoyono sendiri diyakini akan sangat efektif ketimbang memberikan sejumlah bantahan melalui para juru bicaranya seperti dilakukan selama ini. Dia juga mengingatkan Presiden Yudhoyono tidak menempuh jalur hukum.

Akhir-akhir ini, kata Muladi, Presiden Yudhoyono banyak mengalami serangan politis. Dia mengingatkan Aditjondro bertanggung jawab apa yang ditulis dalam bukunya baik secara sosial, moral, maupun hukum.

Buku itu dinilai terbit pada masa yang sangat kritik terkait kondisi perpolitikan bangsa. Apalagi isi buku tersebut juga memberi citra negatif bagi presiden, kata dia.

Budayawan Franz Magnis Suseno menilai isi buku karangan Aditjondro bisa memberi banyak khazanah dan penjelasan baru terutama terkait kasus dugaan skandal Bank Century, terlepas apakah isinya benar atau tidak. "Pelarangan hanya muncul dari kekhawatiran berlebihan pemerintah serta karena ketidakinginan untuk menerima adanya potensi kritis lain di masyarakat," kata Magnis. n R-1

Pelarangan Buku 'Gurita Cikeas' Melanggar HAM

JAKARTA (Lampost): Buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century dilarang beredar. Pelarangan itu dinilai telah melanggar hak asasi manusia (HAM), khususnya kebebasan berekspresi.

Komisioner Komnas HAM Yosep Adi Prasetyo di Jakarta, Senin (28-12), mengatakan pelarangan buku merupakan warisan pemerintahan otoriter Orde Baru. "Tidak boleh ada pelarangan buku. Ini merupakan kebebasan berekspresi," kata dia.

Buku karya George Junus Aditjondro telah dilarang beredar. Akan tetapi, pelarangan itu hanya dilakukan melalui telepon kepada distributor yang memiliki jaringan nasional. Padahal Kejaksaan Agung baru membentuk tim clearing house yang terdiri dari Kejaksaan Agung, Polri, BIN, Menkominfo, dan MUI. Tim itulah nantinya membuat keputusan soal boleh-tidaknya buku itu beredar.

Menurut Adi, pelarangan buku melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU 12/2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Jika Kejaksaan Agung melarang peredaran buku tersebut, Adi memastikan Komnas HAM akan membela.

Ia memaparkan Komnas HAM sudah mendapatkan laporan dari beberapa toko buku terkait intervensi oleh beberapa orang berseragam dinas berwarna cokelat. Intervensi itu tanpa disertai surat tugas.

Hadapi Tuntutan

Meski dilarang, peredaran buku di bawah tangan terus berlangsung. Bahkan, buku itu menjadi best seller meski harganya membubung tinggi hingga mencapai Rp100 ribu dari harga normal Rp38 ribu.

Buku membongkar gurita Cikeas itu sesungguhnya sudah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah sehingga layak untuk dibaca. "Telah memenuhi unsur ilmiah," kata Bonie Hargens, dosen ilmu politik UI.

Meski demikian, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Anas Urbaningrum menyatakan sangat mudah untuk menyimpulkan buku Aditjondro itu hanyalah buku yang penuh dengan sensasi, daya analisis rendah, serta lompatan-lompatan logika yang sangat insinuatif. "Mirip sinetron-sinetron mistik atau infotainment gibah," kata dia.

Bagaikan kor, pemimpin lembaga perwakilan kompak mengecam buku tersebut. Ketua DPD Irman Gusman menuding buku tersebut layaknya sebuah buku porno yang tidak bermanfaat. Ketua DPR Marzuki Alie menambahkan buku tersebut hanya menjual judul atau mencari sensasi. Ketua MPR Taufik Kiemas menimpali dia pernah disebut Aditjondro sebagai RI 1,5 saat Megawati menjadi presiden.

Boleh saja orang merendahkan buku tersebut. Sang penulis mengaku siap berdebat soal isi bukunya. Penerbit buku, Galang Press Yogyakarta, tak kalah sigap, juga siap menghadapi tuntutan hukum.

"Buku itu diterbitkan berdasarkan penelitian, bukan diterbitkan untuk mencemarkan nama baik," kata penasihat hukum PT Galang Press Jeremias Lemek. n MI/R-1

Sumber: Lampung Post, Selasa, 29 Desember 2009