KARYA sastra Indonesia umumnya novel dan puisi ternyata sudah merambah ke berbagai mancanegara. Selain dibaca, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, juga penelitian untuk jenjang strata dua (S2) dan strata tiga (S3). Bahkan sebagai mata pelajaran di sekolah. Novel Pramoedya Ananta Toer pernah masuk nominasi sebagai calon pemenang hadiah Nobel yang diselenggarakan Akademi Swedia, di Stockholm, Swedia.
Informasi ini terlontar dalam seminar sastra yang merupakan rangkaian Jilfest 2008 Jakarta International Literary Festival (Festival Sastra Jakarta), berlangsung 11 -14 Desember 2008.
Festival pertama kali yang diikuti sejumlah sastrawan nusantara dan mancanegara ini di selenggarakan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DK Jakarta bekerja sama dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Komunitas Cerpen Indonesia (KCI).
Yang cukup menarik, mungkin baru pertama kali terjadi sebuah seminar sastra diselenggarakan di Kawasan Kota Tua mengambil tempat di hotel bersejarah The Batavia Hotel, Jumat (12/12/08).
Alasan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pemuseuman Provinsi DKI Jakarta Pinondang Simandjuntak memanfaatkan kawasan bersejarah ini untuk memperkenalkan Kawasan Kota Tua sebagai kota wisata budaya kepada pihak luar. Ternyata pihak dalam pun yaitu orang Indonesia baru mengenal kawasan bersejarah ini seperti diakui peserta Jakarta cerpenis kondang Hamsad Rangkuti dan peserta Bali - Warih Wisatsana.
Mereka menilai topik yang disuguhkan yang disuguhkan 9 pembicara cukup menarik, informatif dan menambah wawasan.
Para pakar ini membahas 3 topik. Pertama, Sastra Indonesia di Mata Dunia dengan pembicara Dr. Katrin Bandel (Jerman), Prof. Dr. Koh Young Hun (Korea) dan Prof. DR. Abdul Hadi WM. Kedua, Prospek Penerbitan Sastra di Mancanegara dikemukakan Prof. DR. Mikihiro Moriyama (Jepang), Jamal Tukimin, MA (Singapura) dan Putu Wijaya. Topik ketiga membahas Politik Nobel Sastra disuguhkan Henri Chambert Loir, Dr. Stefan Danarek, Swe, dan Prof. Dr. Budi Darma.
Katrin Bandel menginformasikan novel Saman karya Ayu Utami diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan diterbitkan di Jerman meskipun oleh penerbit yang tidak terkenal.
Mikhiro Moriyama mengemukakan sejak 1970, Jepang sudah menterjemahkan lebih dari 30 novel, beberapa cerita lainnya dan beberapa buku puisi. Bahkan novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dicetak sebanyak 2000 eks.
Politik Nobel
Lain di Korea seperti disampaikan. Koh Young Hun, sastra Indonesia dijadikan sebagai bahan jenjang untuk S-2 dan S-3. Antara lain karya YB Mangunwijaya, WS Rendra, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer dan Umar Khayam
Demikian juga di Singapura seperti diungkapkan Djamal Tukimin, karya sastra diajarkan di sekolah-sekolah menengah dan menengah atas. Bahkan buku-buku sastra Indonesia pernah dijadikan buku teks sastra dan rujukan khusus untuk kajian sastra Melayu modern.
Berbeda pengalaman Putu Wijaya, ketika menghadiri festival sastra di Berlin (1985) ternyata ada penyair kulit hitam dari Amerika tidak mengenal Indonesia, tetapi mengenal Bali. Yang cukup menyakitkan muncul pertanyaan apakah di Indonesia ada penyair? Di balik itu Putu boleh berbangga ketika berkunjung ke Moskow bulan Juli lalu, dramawan kondang itu mendapat informasi bahwa sejumlah novelnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia sekitar tahun 70-an.
Indonesia boleh berbangga pula bahwa novel Pramoedya Ananta Toer pernah masuk nominasi Nobel. Bahkan menurut Stefan Pram sudah 26 kali masuk nominasi pencalonan. Hendri menambahkan Nobel sastra pada umumnya erat kaitannya dengan politik. Sebagai contoh Pramoedya yang bukan saja pengarang sastra, tetapi juga tokoh politik. Dan Pram salah satu korban rezim totaliter. Konon ketika nama Pram disebut sebagai calon pemenang ada lobi politik agar Pram dicegah sebagai pemenang.
Jika ditelusuri ada yang tidak beres dalam penilaian untuk Nobel sastra. Maka tak heran setiap pengumuman pemenang Hadiah Nobel selalu memunculkan kritik baik melalui media cetak maupun internet seperti dilansir Prof. Dr. Budi Darma.
Budi membeberkan kritik James Atlas (Straits Time, 5 Oktober 1999), pemenang-pemenang Hadiah Nobel adalah sastrawan kelas 2 dibanding dengan Tolstoy, Proust, dan sebagainya. Salah seorang pemenang Nobel - Toni Morrisson dituding hanya seorang ahli retorika.
Ditemui seusai seminar, Putu Wijaya mengaku ada kecurigaan di balik pemberian Hadih Nobel yang berlatar belakang politik. Dan ini sudah bersifat umum. Sebenarnya di Indonesia ada beberapa hadiah sastra, tetapi tidak ada gaungnya.
Namun demikian ada suatu kebanggaan kalau kita memperoleh Hadiah Nobel seperti halnya dalam pertandingan sepak bola. Jika kita menang di kandang sendiri kurang sreg, tetapi kalau memang di kandang orang lain kita merasa puas. Nobel ini semacam pertempuran juga. (Susianna)
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 27 Desember 2008
1 comment:
kawan, berdasarkan penelusuran yang saya lakukan terdapat 68 buku terjemahan Indonesia karya 20 orang pemenang hadiah nobel sastra. lebih lanjut silah kunjung http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/02/karya-karya-terjemahan-pemenang-nobel.html
semoga info ini berguna.
Post a Comment