Monday, December 01, 2008

Kehidupan: Kisah Perjuangan Pengungsi Indonesia di Australia

-- Iskandar P Nugraha

NAMA penulis buku ini sudah dikenal publik Indonesia lewat terjemahan ”Eyewitness” (karya Seno Gumira Ajidarma) yang telah meraih Victorian Premier’s Literary Award Australia (1997). Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa Jan Lingard adalah juga seorang sejarawan yang telah bertahun-tahun tekun mengumpulkan data mengenai pengungsi sekaligus pejuang yang terdampar di Australia selama Perang Dunia II (1942-1947) seperti termaktub dalam buku ini.

ISKANDAR P NUGRAHA / Kompas Images

Tampil menyeruak tidak saja menggemakan suara- suara orang Indonesia yang ditakdirkan terbuang ke negeri lain karena perang, karya ini sesungguhnya juga mengisahkan sejarah interaksi, pengenalan, dan jalinan hubungan unik yang kemudian hari menjadi inti terdalam basis hubungan antara Indonesia dan Australia. Lewat kumpulan tuturan sejumlah saksi baik orang Indonesia maupun Australia, penulis menunjukkan bahwa jalinan interaksi yang terjadi di akar rumput menjadi elemen penting sejarah sosial Australia, terutama dalam proses perubahan persepsi Australia terhadap masyarakat kulit berwarna. Dengan meyakinkan, penulis menunjukkan bahwa pertemuan dan pergaulan dalam kurun waktu yang singkat itu berbuah pada penginsafan dan pembelajaran orang Australia terhadap sejarah, budaya, dan bahasa negara tetangga terdekatnya yang lama terabaikan dalam pikiran yang dipenuhi nuansa rasisme dan xenofobia Australia kala itu.

Sebagaimana diperlihatkan di halaman-halaman awal buku ini, keberadaan orang Asia sebelum meletusnya Perang Pasifik hanya dikenal lewat satu label ”Yellow Peril”, yakni mitos Asia sebagai ancaman menakutkan bagi Australia. Dengan terdengarnya berita-berita mengenai jatuhnya dengan begitu mudah pertahanan imperialisme Belanda di kota-kota di Hindia Belanda, orang Australia menjadi tersadar akan posisi strategis Asia dan kekuatan yang dimainkan Asia yang jelas berpengaruh bagi perlindungan Australia pada masa depan.

Terlebih-lebih, setelah kapitulasi terhadap Jepang pada Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda melakukan serangkaian evakuasi atas ribuan orang (tidak saja bagi orang Belanda atau kelompok Indo, tetapi juga orang-orang asli Indonesia) ke Australia. Sesuatu yang baru menjadi makin jelas: semangat kuat kebijakan Australia Putih (White Australia Policy) yang diterapkan sejak Immigration Restriction Act (1901) kekuatannya kini tergoyahkan.

Dimensi kemanusiaan

Pecahnya Perang Dunia II pada intinya telah mengubah arah sejarah dan dimulainya hubungan-hubungan yang lebih erat dengan Indonesia, tetangga dekat Australia di utara. Menggunakan aneka sumber anyar (lisan, tulisan maupun kesaksian-kesaksian) yang amat komprehensif, buku ini memaparkan dengan rinci dinamika suka-duka kehidupan dari pengungsi Indonesia di Australia. Penulisnya juga dengan jitu merangkai kisah tersebut dalam balutan perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan, lewat dukungan, mobilisasi, pengorganisasian, bahkan penggalangan kekuatan di tanah Australia dengan melibatkan masyarakat keduanya.

Di sinilah letak keunikan buku ini. Pendekatan people to people history dalam menuliskan kisah tersebut menunjukkan keberhasilan dalam mencuatkan dimensi humanis di atas aspek bersifat politis atau kebijakan. Dengan menonjolkan dimensi kemanusiaan yang selama ini tidak mengemuka dalam publikasi sejarah formal hubungan diplomasi dan politik Australia-Indonesia, secara tidak langsung justru menguatkan legitimasi adanya hubungan baik secara historis di antara keduanya.

Lewat 12 bab uraian, penulis menunjukkan, betapa interaksi dan proses saling mengenal tersebut berakibat terenyahkannya perilaku ignoran dan rasis kebanyakan orang Australia terhadap orang Asia. Penulis terpana melihat kenyataan bahwa kedatangan orang-orang Indonesia tanpa dinyana-nyana justru lebih dapat diterima ketimbang sikap mereka terhadap orang Asia lain seperti halnya pendatang China, bahkan terhadap orang asli Aborigin sendiri!

Manusia perahu Jawa

Bermula pada April 1942, setelah terombang-ambing di laut hampir sebulan lamanya, 67 orang Jawa diberitakan terdampar di pelabuhan Melbourne. Kedatangan mereka menggegerkan masyarakat setempat dan oleh penulisnya diklaim inilah pengungsi orang perahu pertama yang datang ke Australia. Masyarakat Australia terkejut melihat untuk pertama kalinya kedatangan orang-orang ”berkulit coklat” yang berkerumun di dek kapal, dengan sarung yang berwarna-warni. Prianya berpakaian tradisional lengkap dengan belangkon dan kerisnya. Sedangkan perempuannya berkebaya dan beberapa tampak menyusui bayi-bayi mereka.

Seorang pendeta dari Gereja Metodis Australia langsung turun tangan menolong mereka, menyediakan aula gereja untuk tempat tinggal sementara mereka dan langsung membina persahabatan di atas segala perbedaan warna kulit, ras, maupun agama. Pemandangan tersebut jelas sulit dibayangkan terjadi sebelumnya. Koran Argus menulis: ”Timur telah bertemu dengan Barat di pojokan pelabuhan Melbourne”. Taman kanak-kanak untuk anak Indonesia kemudian didirikan. Beberapa anak masuk ke kelas-kelas untuk belajar bersama-sama dengan anak Australia lainnya. Para bapak dicarikan pekerjaan, dilibatkan dalam acara sosial (nonton football dan teater) dan para ibu dibantu oleh perempuan-perempuan Australia yang peduli.

Orang perahu itu bukanlah satu-satunya kelompok yang tiba di Australia. Ada begitu banyak orang Indonesia lain yang memasuki teritori Australia pada masa itu. Sekitar 5.500 orang Indonesia diperkirakan telah menjadi pengungsi, terdiri atas pelaut, prajurit KNIL, kerani dan pengungsi sipil, pembantu rumah tangga, bahkan tahanan politik kolonial dari Tanah Merah (Boven Digul) yang diangkut untuk dititipkan di kamp-kamp Australia.

Selama periode tersebut, orang-orang buangan itu tinggal terpencar-pencar tidak saja di kota-kota besar (Melbourne, Sydney, Brisbane), tetapi juga di pelbagai pelosok terpencil di negara-negara bagian, seperti Victoria, New South Wales, dan Queensland. Di antara mereka ada yang menjadi pesakitan di kamp-kamp militer dan interniran, diharuskan tinggal di hostel yang hanya diperuntukkan bagi pelaut, bahkan tidak sedikit yang hidup di kapal-kapal atau harus menumpang di rumah- rumah penduduk. Dapatlah diterka apa yang terjadi kemudian. Sejumlah anak Indonesia dilahirkan di sini, orang Indonesia bersekolah dan berinteraksi lebih jauh dalam masyarakat Australia, laki-laki Indonesia mengawini perempuan setempat. Tidak sedikit yang meninggal dan dikuburkan di Australia.

Kisah-kisah kemanusiaan tersebut akan ditemukan hampir di keseluruhan buku ini. Esensinya, penulis menunjukkan bahwa interaksi yang ”terpaksa” terjadi itu menciptakan cerita yang berbagi di antara kedua masyarakat, menorehkan keunikan terhadap satu episode sejarah sosial umat manusia semasa Perang Dunia II. Oleh sebab itu, buku ini jelas memberikan kontribusi atas terciptanya historiografi yang berbagi antara Australia dan Indonesia sebagai aset saling pengertian di atas segala perbedaan dan partisi budaya politis yang mewarnai hubungan kedua negara di masa-masa selanjutnya.

Peran Australia

Dari berbagai aspek kehidupan kaya yang banyak terlukiskan itu, perjuangan cita-cita revolusi dan aktivitas perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan segala dukungan masyarakat Australia merupakan aspek yang dibahas dengan tajam. Pembahasan khusus mengenai peran para bekas tahanan politik Belanda dari Boven Digul dalam mencapai kemerdekaan Indonesia yang berakhir di kamp interniran Cowra tidak saja mengharukan, tetapi juga penting bagi sejarah Indonesia. Mereka adalah pahlawan- pahlawan tak dikenal yang ikut aktif berjuang bagi kemerdekaan Indonesia, terutama lewat aktivitas di komite-komite kemerdekaan yang dibentuk di Melbourne, Sydney, dan Brisbane. Usaha mereka tidak saja penting bagi sejarah revolusi Indonesia, tetapi juga telah menginsafkan banyak orang atas pentingnya dukungan penuh Australia bagi kemerdekaan Indonesia. Terdapatnya 13 kuburan tahanan yang tertinggal di daerah terpencil Australia itu adalah testimoni dan saksi bisu penanda adanya penguatan semen fondasi kemerdekaan Indonesia di luar wilayah Indonesia yang dalam hal ini adalah Australia.

Perang pun usai ketika kedaulatan penuh Indonesia teraih tahun 1949. Banyak pengungsi yang pulang ke Indonesia. Kisah tangis pilu karena ditinggalkan sahabat Asia antara lain terekam dalam dokumen-dokumen sejarah seperti yang ditunjukkan lewat pemandangan haru biru di di Stasiun Kereta Api Spencer Melbourne. Cerita-cerita mengharukan semacam itu jelas telah mengayakan detail dan nuansa hubungan baik antara Australia dan Indonesia yang selama ini tercipta. Cerita yang terdokumentasikan penuh di buku ini menyediakan dasar bagi munculnya cerita-cerita heroik semacam penolakan dan pemogokan yang dilakukan kalangan buruh Australia bagi dukungan kemerdekaan Indonesia ataupun dukungan penuh Australia terhadap kemerdekaan di PBB dan seterusnya. Betapa peran yang dimainkan masyarakat awam itu tidak dapat diabaikan dan memiliki kekuatan bagai buldoser perata jalan dukungan penuh Australia terhadap kemerdekaan Republik Indonesia.

Akhirnya, mengingat hubungan people to people kini terbukti masih tidak tergoyahkan di tengah terpaan iklim politik kontemporer di antara kedua negara, elemen ini haruslah mulai dilihat sebagai detak jantung sesungguhnya, faktor penting, dalam mosaik hubungan antara Indonesia dan Australia dulu, sekarang, dan masa depan.

(Iskandar P Nugraha, Mengajar di Department of Indonesian Studies, University of Sydney, Australia).

Sumber: Kompas, Senin, 1 Desember 2008

No comments: