Saturday, April 09, 2011

Raja Zalim Raja Disanggah

-- Iwan Nurdaya-Djafar

DEWASA ini dunia tengah menyaksikan pergolakan rakyat di dunia Islam di Jazirah Arab dan Afrika Utara demi menumbangkan penguasa lalim yang menguasai negaranya. Dimulai dari Tunisia di Afrika Utara, berlanjut di Mesir dengan Presiden Hosni Mubarak yang digulingkan setelah berkuasa 30 tahun, di Yaman dengan Presiden Ali Abdullah Saleh yang telah berkuasa 32 tahun, di Libya dengan Presiden Moammar Khadafi yang telah berkuasa 41 tahun, di Bahrain dengan Raja Hamad bin Issa al-Khalifa, dan di Saudi Arabia dengan Raja Abdulah yang belum lama naik tahta tapi memiliki riwayat kediktatoran yang panjang pada era raja-raja Saudi sebelumnya. Demikianlah efek domino Revolusi Melati di Tunisia terus bergulir. "Rakyat menuntut jatuhnya rezim ini!" adalah pekik perang (battle cry) yang menggema dari mulut para demonstran dan pemberontak di seputaran dunia Arab sejak pergolakan di Mesir dan Tunisia.

Sejarah mencatat sejak pemerintahan kalifah ketiga Usman, mulai tampak "lubang" kekurangan, karena dalam urusan keuangan dan manajemen tidak sesuai dengan yang diterapkan Nabi dan dua kalifah sesudahnya. Perkembangan politik begitu cepat terjadi di dunia Islam. Sejak meninggalnya Usman, ambisi kekuasan Muawiyah, berikut peperangannya dengan Ali, dan meninggalnya Ali hingga dimulai babak pemerintahan baru dalam Islam. Sebuah pemerintah yang otoriter. Semua perkembangan ini telah membuat jalan pemerintahan dalam Islam keluar dari Alquran dan teladan Nabi. Kekuasaan diambil secara paksa. Masyarakat pun harus mematuhi kekuasaan ini. Sistem baiat (janji setia) pun kehilangan maknanya. Baiat yang dilakukan hanyalah bersifat ritual formalitas yang esensinya jauh berbeda dari makna baiat yang sebenarnya. Begitu juga dengan konsep syura (musyawarah). Kekuasaan pun berada di bawah kendali penguasa, bukan Alquran.

Melihat perkembangan yang sudah melenceng jauh dari Alquran dan yang diajarkan Nabi, pada awalnya para ulama fiqih berusaha menyelamatkan keadaan. Hal ini kelihatan dari sikap para ulama fiqih yang mendukung Zayd bin Ali dan Muhammad untuk memerangi pemerintahan yang diktator. Peperangan ini hendak mengembalikan Pemerintahan Islam pada dasarnya yang semula. Akan tetapi, semenjak Muawiyah berkuasa, militer telah terhegemoni total oleh pemerintah. Sedangkan gerakan reformasi hanya mengandalkan kekuatan masyarakat yang tidak mempunyai kekuatan materi apa pun. Apalagi kekuatan seperti militer. Dapat dipahami bila gerakan ini gagal dan tidak mencapai tujuan sucinya. Apalagi hendak melakukan revolusi, hal ini tidak akan memperbaiki nasib rakyat, apalagi pemerintah. Yang terjadi justru hanyalah pertumpahan darah. Dari masyarakat, darah dipastikan akan lebih banyak mengucur. Seraya menuliskan kebenciannya terhadap mereka yang bersekongkol dengan kekuasaan, dalam kitabnya Ihya Ulum ad-Din, Al Ghazali juga menuliskan kepasrahannya terhadap realitas. “Seseorang mungkin bisa mengatakan pemerintah tidak sah, tapi kebijakannya bisa diterima (karena terpaksa),” ujar Ghazali. Sebelum Ghazali, Imam Ahmad lebih transparan dalam menampakkan sikap dengan menuturkan bahwa pemerintah harus dipatuhi selama memberikan stabilitas.

Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya terjadi hal yang lebih buruk lagi, hal yang terpaksa dianggap sebagai sesuatu yang utama, bahkan dijadikan kebanggaan. Bahkan ada sebagian ulama fiqih yang mewajibkan masyarakat agar patuh kepada penguasa, walaupun berbuat zalim. Berbagai hadis pun digunakan untuk mendukung pendapat ini. Seperti hadis yang berbunyi, “Walaupun dia harus memukul punggungmu atau mengambil kekayaanmu.” Atau hadis yang mengatakan, "Selama mereka menegakkan salat."

Hadis-hadis tersebut dimungkinkan hadis palsu (maudhu'). Kalau pun benar, telah disalahpahami. Tidak dapat diperdebatkan bahwa salat penguasa yang zalim tidak bernilai apa pun. Karena dia tidak melarang terjadinya keburukan. Kalaupun salat yang dilakukan bernilai, itu hanya untuk dirinya, bukan untuk masyarakat. Kezaliman yang mereka lakukan pun telah mendekatkan dengan kekafiran. Bahkan kezaliman itu merupakan jalan kekafiran itu sendiri. Namun hal ini kurang dipahami oleh para ulama fiqih. Para ulama fiqih harusnya memahami bahwa penguasa adil, walaupun tidak beragama Islam, lebih baik daripada penguasa beragama Islam tapi tidak berkeadilan. Kehidupan negara bisa berlangsung, walaupun tidak islami, asalkan berkeadilan. Namun kehidupan bernegara tidak dapat berlangsung dengan kezaliman, walaupun sang penguasa beragama Islam. Termasuk ke dalam kezaliman di sini bukan mustahil adalah kebohongan pemerintah, seperti dituding oleh para ulama dan tokoh lintas agama di Indonesia beberapa waktu lalu. Pemimpin zalim bukan cuma bercokol di level negara, melainkan juga di level daerah, desa, atau di lingkungan organisasi, di tempat kerja, bahkan di lingkungan keluarga.

Nabi Muhammad sendiri menerapkan dua hal dalam menjalankan pemerintahan. Pertama, seorang penguasa harus sesuai dengan Alquran. Kedua, masyarakat harus mematuhi penguasa. Ketika pemerintah berjalan sesuai dengan ajaran Alquran, masyarakat harus mematuhi. Bila pemerintah tidak menggunakan Alquran, tidak ada alasan untuk mematuhi pemerintah. Di samping itu, ada kaidah yang digunakan Nabi dalam menjalankan pemerintahannya. Pertama, konsep baiat (janji setia). Kedua, konsep syura (musywarah). Di samping juga anjuran Alquran agar menjalankan prinsip amar makruf (menyeru kepada kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kemungkaran).

Inilah gambaran pemerintahan sejati yang diamalkan Nabi. Dalam kapasitasnya sebagai utusan, Nabi mempunyai otoritas untuk menjalankan semua itu tanpa adanya baiat. Namun, Nabi juga masih menggunakan konsep baiat. Nabi juga menggunakan konsep syura. Karena dua hal ini sangat dianjurkan oleh Alquran.

Abu Bakar dan Umar menjalankan pemerintahan sesuai dengan ajaran Nabi. Hal ini sangat jelas dalam kata sambutan dua sahabat ini ketika dipercaya menjadi pemimpin umat Islam.

Kaidah-kaidah luhur di atas tidak lain untuk menciptakan pemerintahan yang adil dan terukur. Yaitu dengan penegakan hukum (Alquran). Oleh sebab itu, pemerintahan seperti ini berhak mendapatkan kepatuhan dari masyarakat. Seorang penguasa tidak boleh melenceng dari hukum ini. Masyarakat pun tidak boleh membangkang pemerintahan. Bila pemerintah tidak lagi sesuai dengan hukum (Alquran), tidak berhak mendapatkan kepatuhan dari masyarakat.

Nabi juga mengajarkan agar umat Islam merevolusi pemerintahan yang tidak adil. Hingga Hamzah yang wafat karena gerakan revolusi ini tercatat sebagai orang yang mati syahid. Begitu juga dengan orang yang berusaha menegakkan keadilan dan menghancurkan kezaliman. Nabi bahkan menganjurkan seorang yang melakukan gerakan revolusi agar tidak menyerah. Nabi mengatakan, "Sesungguhnya seseorang yang diam melihat perbuatan zalim, dikhawatirkan Allah akan menurunkan azab untuknya."

Seseorang yang mempelajari Alquran akan mengetahui bagaimana Alquran bersikap tegas terhadap para diktator. Ajakan Alquran agar masyarakat memerangi kezaliman dan ketidakadilan, di samping keberpihakan Alquran terhadap orang-orang lemah, merupakan ajaran penting dalam dunia politik. Karena Alquran menjelaskan semua ini bukan tanpa tujuan. Adanya ketidakadilan dan praktek kezaliman bertentangan dengan ajaran keadilan dan tauhid dalam Alquran. Oleh sebab itu, ajakan untuk merevolusi sistem sosial yang tidak adil sejalan dengan ajaran tauhid itu sendiri. Demikianlah, bak pepatah Melayu Riau menuturkan, "Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah".

Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 9 April 2011

No comments: