-- Dessy Wahyuni
KAMPUNG Kusta telah menjadi tempat pembuangan orang-orang yang dianggap membawa aib bagi keluarganya sejak perang pada zaman Jepang di Tebingtinggi, dan telah ratusan orang kusta telah mati dan dikubur di sana. Padahal pada awalnya mereka disembunyikan oleh sanak keluarga di loteng-loteng rumah. Gambaran ini terlihat di kedua teks yang ada, seperti beberapa kutipan berikut ini.
Ya, selama puluhan tahun , sejak perang di zaman Jepang bergolak di Tebing Tinggi, ratusan orang kusta telah mati tertanam di tanah gambut pulau ini. Mereka “dibuang” oleh keluarga karena aib. Mereka diasingkan di pulau asing, untuk kemudian menunggu atau menerima datangnya kematian dengan cara yang sangat perlahan tapi pasti—menghabisi seinci demi seinci ruas nyawa di sekujur anggota tubuh mereka. Awalnya, karena merasa masih berbelas kasih, mereka “disembunyikan” diloteng-loteng rumah. (Zaini, 2011:80).
Dari cerita Limhong, diketahui kampung ini sudah ada sejak zaman Jepang. Kala itu, perang sedang bergolak di kawasan Tebingtinggi, Selatpanjang. Menemukan adanya warga yang menderita penyakit kusta yang dianggap aib bagi keluarga, Jepang lantas mengasingkan mereka di tempat ini… “Kalau dihitung sejak zaman Jepang sampai sekarang penderita kusta yang pernah tinggal di sini sudah ratusan orang. di antara mereka ada yang sudah sembuh tapi ratusan pula yang tak tertolong sehingga harus dikuburkan di sini,” kata Tang Heng. (Fattach, 2008:6-7).
Namun alasan mereka tidak lagi menyimpan anggota keluarga yang terkena kusta di loteng berbeda tiap teksnya. Dalam cerpen, Marhalim menceritakan bahwa bau busuk yang ditimbulkan oleh penyakit ini tidak bisa diredam. Oleh sebab itu, aib ini akan mudah tersebar dari mulut ke mulut, sehingga keluarga harus menanggung malu. Sedangkan Kartini menggambarkan bahwa sanak keluarga memutuskan mengirim mereka ke kampung tersebut setelah terjadi kebakaran dahsyat di Selatpanjang tahun 1990-an yang juga menimpa rumah-rumah yang menyimpan penderita kusta di loteng.
Selama berada di pulau pengasingan, para penderita kusta sangat susah untuk mendapatkan obat. Dokter juga sudah enggan datang. Pada awalnya memang ada mantri yang ditugaskan untuk memeriksa mereka secara rutin. Namun Marhalim dalam cerpennya menggambarkan bahwa mantri yang ditugaskan untuk memeriksa sekali seminggu tersebut hanya berlangsung tiga bulan, setelah itu tidak pernah datang lagi. Sedangkan Kartini memaparkan bahwa mantri yang datang tidak mau memberikan obat, seperti yang terlihat pada beberapa kutipan di bawah ini.
Terus, ada juga si Pak Mantri Puskesmas dari Selatpanjang yang memang ditugaskan ke sini seminggu sekali, tak sampai tiga bulan, tak nampak lagi batang hidungnya. (Zaini, 2011:83).
Dari mulut Limhong inilah diketahui bahwa sudah beberapa tahun terakhir, dirinya tak lagi mengonsumsi obat. Sehingga penyakitnya kian parah. “Dokter tak mau datang la… Manteri datang tapi tak mau kasi obat a… tolong saya, saya mau obat,” ucapnya berulang-ulang. (Fattach, 2008:5).
Memang mereka pernah diberikan obat yang didatangkan dari Itali. Obat ini merupakan tablet berwarna merah yang hanya diminum satu kali seminggu tanpa diberikan suntikan lagi. Sepertinya obat ini sangat mahal, sehingga mereka tidak pernah mendapatkannya lagi setelah stok yang ada habis. Dalam tulisannya Kartini melaporkan bahwa Tang Hen Sin, Kongkam, dan juga Amoy berhasil sembuh dari penyakit kusta berkat meminum obat tersebut. Hal ini tergambar dari kutipan-kutipan berikut.
Dulu pernah ada obat yang didatangkan dari Itali, katanya. Dibawa oleh orang yayasan. Sebiji tablet berwarna merah yang dimakan seminggu sekali, tanpa disuntik. Tapi tak sampai dua bulan, senyaplah sudah. (Zaini, 2011:83).
Mereka dulunya mendapat obat dari Italia yang didatangkan yayasan dan tanpa disuntik. “Makan obat satu kali seminggu satu tablet warna merah,” cerita Tang Heng. Berkat meminum obat yang diberikan yayasan tersebut, Tang Hen Sin dan Kongkam kini sudah berhasil sembuh dari penyakitnya, begitu juga dengan Amoy. (Fattach, 2008:6).
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, para penderita kusta yang tinggal di kampung ini hanya bisa memanfaatkan apa saja yang ada di sekitar mereka. Untuk itu mereka menganyam ayak yang terbuat dari bambu dan mencari ikan di sungai, lalu mereka menjualnya ke pasar di Selatpanjang. Setiap ayak akan dihargai 28 ribu rupiah perbuah. Baik Marhalim maupun Kartini menceritakan bahwa Kongkam adalah orang yang paling sering membawa barang-barang tersebut untuk dijual ke pasar sekaligus berbelanja keperluan hidup mereka di pulau yang terlupakan itu, seperti yang terlihat dalam beberapa kutipan berikut ini.
Ayak-ayak itu, merekalah yang memproduksinya… Dengan kondisi semacam ini, dapat satu-dua biji ayak saja dalam sehari, sudah tentu sangat membuat mereka berbahagia. Satu ayak dijual seharga 28 ribu rupiah. Dapat tujuh ayak saja dalam sepekan, ditambah dengan ikan lomek, ikan sembilang, ikan gonjeng, ikan duri dari hasil tangkapan jaring rawai dapat laku terjual agak lima kilo, dapatlah membuat mereka bertahan selama sepekan. (Zaini, 2011:82).
“Hari-hari kami menganyam ayak (tapisan),” cerita Tang Heng. Ayak yang dibuat itu bahan bakunya memanfaatkan bambu yang banyak terdapat di sekitar rumah mereka….” Oleh penampung langganan mereka, ayak hasil kerajinan tangan Tang Heng dihargai Rp28 ribu per buah…. Selain menjual ayak, mereka juga menjual ikan yang mereka tangkap sendiri di Sungai Bokor…. Dari lima penghuni ini, Kongkam paling sering berbelanja keperluan sehari-hari. (Fattach, 2008:8-9).
Karya jurnalistik Kartini hanya memaparkan perjalanan jurnalistiknya ke “kampung kusta” dan mendeskripsikan keadaan para penderita kusta tersebut kepada pembaca. Dari paparannya itu pembaca dapat membayangkan bagaimana naasnya kondisi kehidupan yang diderita para korban di kampung tersebut. Marhalim memanfaatkan deskripsi yang disuguhkan Kartini sebagai latar dalam cerpennya, mulai dari paparan tentang kondisi lingkungan “kampung kusta” hingga kehidupan sehari-hari penghuninya.
Marhalim telah melakukan ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya, yang mengubah unsur pokok menjadi bentuk yang lebih kompleks dalam cerpennya. Ia membalut dan mengemas cerita tentang “kampung kusta” yang telah dipaparkan oleh Kartini tersebut dengan menggambarkan kehidupan yang sangat dekat dengan kematian, namun sebenarnya penuh dengan cinta. “Atau, pentingkah cinta, perkawinan, atau entah apalah namanya di saat hidup telah demikian dinanti oleh kematian?” (Zaini, 2011:85)
Berkali-kali Marhalim menyuguhi pembaca dengan gambaran kematian yang telah menanti para penderita kusta ini. Seperti yang diungkapkan oleh Kongkam ketika ia dalam perjalanan kembali ke Kampung Kusta setelah dua tahun pergi. “Lagi pula ia bukan budak kecik yang baru belajar bersampan, yang harus takut gelombang, takut mati tenggelam… Maka mati tenggelam, baginya hanyalah satu pilihan lain saja untuk tidak mati sebagai penderita kusta.” (Zaini, 2011:78)
Marhalim juga menguraikan kondisi Kampung Kusta dan penghuninya melalui karakter dalam cerpennya tersebut, bahwa Kampung Kusta ini telah ada sejak perang di zaman Jepang bergolak di Tebing Tinggi, dan ratusan orang kusta telah mati tertanam di tanah gambut pulau tersebut. “Mereka diasingkan di pulau asing, untuk kemudian menunggu atau menerima datangnya kematian dengan cara yang sangat perlahan tapi pasti—menghabisi seinci demi seinci ruas nyawa di sekujur anggota tubuh mereka (Zaini, 2011:80)”.
Tapi ternyata dalam derita yang mereka tanggung dan getirnya kehidupan yang mereka emban, telah tumbuh benih-benih cinta di hati Amoy terhadap Kongkam. Sesungguhnya Kongkam pun jatuh hati pada Amoy, seorang gadis cantik meskipun telah cacat. Namun Kongkam tidak berani menerima cinta Amoy, sebab beberapa hal, Kongkam telah beristri, kendati istrinya tidak pernah datang menjenguknya selama berada di pulau terasing tersebut dan mereka belum dikaruniai seorang anak pun. Alasan lain adalah persoalan agama, Kongkam (satu-satunya orang Melayu di pulau itu) beragama Islam, sedangkan Amoy menganut kepercayaan Konghucu.
Ketika Kongkam akan menyeberang ke Selatpanjang membawa barang dagangan mereka dua tahun silam, Amoy mempunyai firasat bahwa itu adalah hari terakhir mereka bersama, dan ia pun sempat pula mempertanyakan kepulangan Kongkam.
Di ujung pertemuan itu, Amoy seolah merasa sedang melepas sesuatu yang teramat berat seraya berbisik, “Abang pulang ke sini lagi kan?” (Zaini, 2011:86)
Untuk itulah Kongkam kembali ke Kampung Kusta ini setelah dua tahun menghilang. Ia kembali untuk mengejar cintanya. Namun niatnya ini tidak pernah terlaksana, sebab perahu yang ditumpanginya kandas di hulu sungai yang kian menyempit dan dangkal. Untuk turun mengarungi sungai yang dangkal itu dengan berjalan kaki pun ia enggan, sebab ia belum berani menanggung resiko harus mati diterkam buaya yang konon sesekali menampakkan diri (kondisi hulu sungai seperti ini juga telah dipaparkan Kartini dalam tulisannya).
Setelah membaca paparan perbandingan kedua teks yang ada, bisa dikatakan bahwa karya jurnalistik Kartini Fattach merupakan hipogram dari cerpen Marhalim, sebab merupakan modal utama dalam terbentuknya cerpen ini. Tulisan Kartini telah banyak berperan dan menjadi latar lahirnya cerpen karya Marhalim tersebut. Dengan kata lain cerpen Marhalim merupakan transformasi dari karya jurnalistik Kartini karena karya tersebut lahir setelah karya Kartini. Hipogram dan transformasi ini berjalan terus-menerus sehingga tercipta sebuah karya sastra yang lebih hidup.
Dessy Wahyuni, peneliti di Balai Bahasa Provinsi Riau. Selain menulis esai, juga menulis cerpen dan menerjemahkan karya sastra. Tinggal di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 6 Maret 2011
No comments:
Post a Comment