-- Veven Sp Wardhana
DIKATAKAN cerai muda berarti nikahnya juga pada usia muda. Logika yang hendak ditebartegaskan adalah bahwa nikah muda mempunyai kontribusi signifikan terhadap banyaknya para perempuan pekerja seks komersial yang menghuni kompleks prostitusi. Macam itulah salah satu gambaran dalam buku ini saat menjelaskan karakteristik PSK.
Penulis buku ini—Endang R Sedyaningsih-Mamahit (sejak Oktober 2009 menjadi Menteri Kesehatan)—membeberkan bahwa para janda muda tersebut menduduki jumlah terbanyak sebagai penghuni kompleks. Semuda apakah perkawinan mereka? Rata-rata menyatakan bahwa mereka pertama kali melangsungkan pernikahan pada usia 16 tahun. Akurasi angka usia masih bisa dipertanyakan mengingat kebiasaan masyarakat me- mark-up, menuakan, atau menaikkan jumlah usia agar memenuhi batas minimal umur menikah sebagaimana dipersyaratkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Secara tersirat, Enny, panggilan karibnya, hendak menyatakan, pernikahan dini sangat rentan konflik tak teruraikan karena belum matangnya psikologi, mental, dan rohani pasangan sehingga perceraian menjadi menu cepat saji, secepat jalan keluar yang menyertainya—salah satunya: menjadi PSK. Data perihal cerai (dari nikah) muda ini tak didapatkan dari panti rehabilitasi, semacam institusi yang ”membawahi” kompleks prostitusi, yang merupakan representasi dinas sosial, melainkan didapatkan sendiri oleh Enny dan timnya saat melakukan penelitian di kompleks Kramat Tunggak, Jakarta, tahun 1993.
Dunia PSK
Kramat Tunggak cumalah semacam ”maksiatur” (tak sebatas miniatur) bagi kompleks prostitusi sejenis di kawasan mana pun di negeri ini. Selain usia, karakteristik lain yang diperiksa juga menyangkut latar belakang sosiodemografik muasal PSK, motivasi menjadi PSK, sikap mereka terhadap kesehatan reproduksi, dan lain-lain. Muasal PSK berayahkan petani (54%), ibu petani (44%), ibu rumah tangga (30%), ayah pegawai negeri, pensiunan, atau tentara (4%).
Karakteristik PSK ditulis sedemikian rinci, serinci penulisan perihal karakteristik para germo atau ”orangtua asuh” (perempuan ataupun lelaki), manajemen germo, ragam rumah bordil dalam lingkungan kompleks, serta karakteristik tamu yang bertandang. Menyangkut motivasi menjadi PSK, setidaknya ada empat ragam: terpaksa karena keadaan, ikut arus, terdorong frustrasi, dan sekadar mencari nafkah—yang ujungnya membedakan sikap masing-masing dalam menghadapi masa depan. Bagi yang terpaksa, kebanyakan memiliki target berapa lama mereka menghuni kompleks, sementara yang sekadar mencari nafkah lebih jelas lagi targetnya. Bagi yang ikut arus, target rata-ratanya bakal mendapatkan jodoh, sementara yang didorong frustrasi tak memiliki kejelasan target menjadi PSK.
Memang, kurang terjelaskan apakah perbedaan motivasi ini mempunyai korelasi dalam pemilihan ragam germo sekaligus jenis manajemen bordil, yang terdiri atas empat pola manajemen: paternalistik, kekeluargaan, santai (laissez-faire), dan murni bisnis.
Meskipun data ditulis berdasarkan riset tahun 1995, tak berarti angka-angka itu begitu saja menjadi basi. Bahkan, untuk hari-hari kiwari, masa kini, isi buku ini bukan saja masih dan tetap relevan, bahkan kian relevan. Maksudnya, saat riset dilakukan, isu HIV/AIDS sedang menjadi perbincangan, sementara para PSK dianggap sebagai biang penularnya. Dalam penelitian, para PSK lebih mengenal sifilis, gonore, dan klamidia ketimbang HIV/AIDS. Enny—juga jurnalis Irwan Julianto dan aktivis Baby Jim Aditya yang menuliskan semacam pengantar—hendak menegaskan bahwa para PSK tak selalu menjadi penular awal.
Tak terselesaikan
Buku ini bukanlah terjemahan dari disertasi bertajuk ”Determinants of STD/AIDS-related Behaviors of Female Commercial Sex Workers in Kramat Tunggak, Jakarta, Indonesia”—yang membuahkan gelar doktor pertama bagi Enny untuk Public Health Indonesia di Harvard School of Public Health, Boston, AS. Kecuali bahasa, gaya penulisannya juga lain: disertasi berbahasa ilmiah, PPKT menggunakan pola ”saya” yang bercerita laiknya catatan sebuah memo sehingga komunikasi dengan pembacanya memunculkan empati.
Juga jika dibandingkan buku yang sama terbitan tahun 1999, dalam PPKT mutakhir begitu banyak tambahan yang kian melengkapi: foto-foto, beberapa tulisan boks yang penuh sentuhan kemanusiaan—misalnya tentang para pacar seorang PSK, PSK yang bercita-cita menjadi germo, dan PSK kesurupan. Tambahan lainnya: catatan epilog saat penulisnya melakukan kunjungan diam-diam atau incognito sebagai Menteri Kesehatan yang dilakukan Juli 2010, belasan tahun setelah penelitian itu.
Dalam epilog, Enny hendak menyatakan bahwa bangunan lama, Kramat Tunggak, boleh dirobohkan (tahun 1999) dan dikubur oleh bangunan baru sereligius apa pun, toh para penghuninya tetap mencari kolateral atau pembuluh nadi baru. Tergambarkan, dalam jarak lima menitan berkendara motor dari Islamic Center terdapat kompleks transaksi seksual yang terhitung liar, yang justru sulit dideteksi keberadaan penyakit IMS untuk dicegah atau disembuhkan.
Dalam selipan boks tersendiri yang ditulis jurnalis Isye Soentoro, epilog Ketua Puskesmas Waipare, Kewapante, Nusa Tenggara Timur (1980-1983), ini mendapat penegasan: Pela Pela, Rawa Malang, dan Koljem Marunda, kompleks-kompleks yang lebih tua usianya dibandingkan Kramat Tunggak, kini menjadi limpahan penghuni dari Kramat Tunggak—yang semuanya liar.
Tanpa berniat melebih-lebihkan, disertasi ataupun buku PPKT benar-benar bisa dianggap sempurna sebagai sebuah karya yang mengandung pemikiran dan intelektualitas yang teruji. Apalagi, tiga bab dari disertasinya sudah pula dimuat dalam jurnal ilmiah internasional, yang memang disyaratkan kelulusan doktor di Harvard University. Karena itu, jelas sudah, PPKT bukan buku yang ditulis oleh seorang menteri atau pejabat, melainkan digarap seorang cendekia yang di kemudian hari ditugasi menjadi menteri.
Veven Sp Wardhana, Senior Advisor di The Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH, Strengthening Women’s Rights (SWR)
Sumber: Kompas, Minggu, 6 Maret 2011
No comments:
Post a Comment