Sunday, April 10, 2011

Ideologi, Mitos, dan Kekuasaan Negara

-- Marhalim Zaini

SAMPAI hari ini, saya masih percaya bahwa, sebuah negara yang dibentuk dari kekuasaan, memerlukan apa yang disebut sebagai ideologi. Banyak pakar menunjukkan dalam berbagai riset, bahwa faktanya (meski terus terjadi perdebatan dalam kajian-kajian sosial) selama sekitar 20 tahun terakhir, peran ideologi itu demikian krusial terutama untuk mengokohkan legitimiasi (kekuasaan) negara dalam “mengatasi” perkembangan masyarakat yang kian kompleks. Ideologi yang dimaknai Paulus Friderich sebagai “sebuah sistem, atau setidaknya campuran ide, strategi, taktik, dan simbol praktis untuk mengubah tatanan sosial dan budaya,” memang kerap menunjukkan kekuatannya untuk mempengaruhi atau bahkan memanipulasi realitas.

Namun, yang jadi soal kemudian, bagaimana ideologi itu dapat bekerja dan menyelinap dalam kehidupan masyarakat secara lebih efektif dan tanpa sadar dapat merasuki (apa yang disebut James P. Spradley sebagai) cultural knowledge dan cultural behavior masyarakat itu, secara tak terbatas. Artinya, terus berkesinambungan dari generasi ke generasi. Tentu, ini bukan satu hal yang gampang. Menanamkan ideologi, tak selesai setakat menyampaikan pemahaman, tanpa membiakkan prilaku. Bahkan apa yang kita saksikan di Timur Tengah hari ini, dengan berbagai gejolak revolusi itu, adalah satu contoh bahwa ideologi bahkan dapat melahirkan radikalisme. Ideologi penguasa, yang terus-menerus dipelihara oleh mitos-mitos tentang kebesaran sejarah, mitos pengkultusan tokoh, tak selamanya berhasil mengukuhkan kekuasaan jika tidak diimbangi dengan penumbuhan ruang-ruang baru bagi “demokrasi”. Meski, saya juga melihat bahwa, “mitos ekonomi” di balik itu justru tampak sebagai kekuatan (juga kekuasaan politis) yang diam-diam jadi duri dalam daging.

Tapi mari kita lihat contoh lain yang agak jauh di masa lampau. Sebuah artikel berjudul Legitimization of The State in Inca Myth and RituaI, yang ditulis seorang antropolog dari University of Illinois, Brian S. Bauer misalnya, menjabarkan bagaimana sebuah imperium besar di sekitar abad ke-12 bernama Inca, yang “menggunakan” sebuah ritual penanaman dan panen jagung sebagai cara untuk melegitimasi status dan kekuasaan kaum elitnya. Dari fenomena ini, Bauer hendak menunjukkan bahwa ideologi yang termanifestasi dalam ritual agama dan mitos, yang telah sejak lama mengakar dalam masyarakat, kerap menyarankan sebuah pemahaman tentang hirarki dari sebuah tatanan sosial. Sebagaimana juga kita tahu bahwa Malinowski juga turut menegaskan bahwa “mitos menyediakan cara melihat tatanan sosial yang ada sebagai produk dari peristiwa yang terjadi di luar itu, sering dalam sebuah pengaturan primordial waktu atau ruang (1954 [1926]).
Memang, jagung, sebagai produk tanaman pangan utama bagi masyarakat Inca, memiliki “kekuatan” sejarah dan mitos. Sehingga, Bauer juga menceritakan, bagaimana kemudian dengan sangat sadar negara memberi penghargaan besar terhadap prosesi penanaman jagung ini. Tentu, inilah cara negara untuk kemudian melakukan penetrasi kekuasaannya. Misalnya terlihat pada keberadaan lumbung-lumbung jagung yang sengaja didirikan di sekitar pusat-pusat pemerintahan Inca, lalu hasil produksi jagung yang digunakan untuk mendukung pemujaan dewa-dewa, yang melibatkan para bangsawan.

Meski begitu, lebih jauh, Bauer dengan secara detil menggambarkan pula bagaimana kekuasaan negara itu juga tidak jauh-jauh dari pola-pola kekerasan, meski seolah dimediasi oleh mitos. Adanya penerapan kerja rodi, misalnya, adalah satu aspek yang menunjukkan itu. Selain itu, sebagaimana Bauer mengutip Zuidema (1977) dan van de Guchte (1990), bahwa ada kaitan yang sangat erat antara pertanian dan peperangan dalam sejarah Inca. Hal ini dapat dilihat dalam prosesi persiapan penanaman jagung di lapangan. Ada asosiasi yang melekat di sana, bahwa bumi yang diolah untuk penanaman jagung itu telah “dikalahkan”. Di sana terlihat bagaimana tindakan dramatis digambarkan sebagai sebuah “peperangan,” yang dalam bahasa van de Guchte, “untuk Inca, tanah itu ada untuk ditaklukkan.” Inilah hemat saya, kodifikasi bahasa peperangan dalam ritual, bahasa lain dari “kekerasan.”

Ihwal “kekerasan” dalam kekuasaan negara bukanlah kisah baru. Sebab, menurut Max Weber, kekerasan sudah seolah bersebati dengan sebuah negara. Dan kelahiran sebuah negara, juga dengan demikian berasal dari kekerasan. Di sinilah, bagi Weber, pada giliranya kekerasan dipakai sebagai sebuah legitimasi kekuasaan. Apa yang diurai Bauer tentang mitos Inca di atas, saya kira, memberi penegasan bahwa kekerasan yang terlahir dari kekuasaan negara bisa beroperasi melalui mitos dan ritual. Dan kasus Inca, ditunjukkan Bauer, untuk juga memberi penegasan lain tentang demikian “berharga”-nya mitos bagi negara. Negara, sangat sadar, bahwa the power of myth itu berakar kuat dalam jiwa kehidupan masyarakatnya, sebab mitos (menurut Mircea Eliade) berarti juga kebenaran (cerita) yang demikian diyakini dan paling berharga karena ia adalah sesuatu yang suci, bermakna, mengandung nilai bagi kehidupan.

Itu ihwal imperium Inca. Tapi bagaimana nasib mitos di negeri ini? Adakah “negara” menyadari bahwa legitimasi kekuasaannya bisa diperoleh dari mitos? Saya kira, kata “menyadari” di sini menjadi penting. Sebab, yang tampak selama ini, ideologi (yang dipakai oleh) negara kerap mengabaikan “nilai-nilai” dari local knowledge. Karena, hemat saya kebudayaan hanya dipandang sebagai instrumen kecil saja dari proses politik kekuasaan. Maka mitos, yang sesungguhnya merupakan elemen penting dalam kebudayaan itu, tidak menampakkan kekuatannya, bahkan kian melemah dalam pusaran arus globalisasi. Kebijakan-kebijakan (policy) yang dilakukan oleh negara (pemerintah pusat, pun daerah) kemudian terasa kian menjauh dari kehidupan masyarakatnya. Ditambah lagi ketika masyarakat hanya bisa menerima kebijakan tersebut sebagai regulasi yang bersifat, apa yang disebut A. Gramsci sebagai hegemoni, yang menempatkan masyarakat berada antara harus tunduk pada force atau consent. Satu pihak, sebagai warga negara yang baik harus patuh pada aturan, akan tetapi di lain pihak aturan-aturan itu selalu terkesan “memaksakan.”

Maka negara, memang kerap kebingungan dan kewalahan ketika berhadapan dengan berbagai kasus konflik tanah misalnya, yang melibatkan masyarakat adat di kampung-kampung. Negara malah cenderung mengambil solusi dengan menggunakan kekuasaannya untuk secara memaksa merenggut hak-hak budaya masyarakatnya sendiri. Dalih atas nama “pemerintah” ini kemudian juga membuat masyarakat seperti berada di garis yang berlawanan, sehingga efeknya timbul rasa ketidakpercayaan pada negara. Dan celakanya, banyak kasus lain yang muncul dalam kehidupan masyarakat pun kian memupuk rasa ketidakpercayaan itu, terutama misalnya ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum, dan banyak aparat negara yang korup. Nah, bahayanya, ketika ketidakpercayaan ini kian memuncak, kekerasan lalu kembali menjadi pilihan. Maka sangat tidak diharapkan munculnya istilah vigilantisme, yang dalam Encyclopedia Americana (1985) diartikan sebagai sekelompok orang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pihak yang berwenang menerapkan pemberlakuan hukum. Dan di Indonesia, kaum vigilante bukankah sudah demikian membiak?

Negara, mestinya kuatir dengan kenyataan ini. Kuatir dalam konteks tidak berjalannya sistem negara dalam kehidupan masyarakat. Dan kekuatiran itu, mestinya dengan berupaya menelisik kembali, lebih jauh dan luas, ideologi yang menjadi landasan roda pemerintahan digerakkan. Ideologi, yang di dalamnya terkait erat dengan kristalisasi nilai-nilai (value) kebudayaan masyarakat itu sendiri. Dan mitos, adalah satu rumah besar yang dihuni oleh nilai-nilai itu. Kesadaran negara atas kekuatan mitos, saya kira, tidak kemudian diarahkan pada bagaimana mengoperasikan kekuasaan negara (kembali) melalui mitos, seperti yang terjadi pada imperium Inca, yang bertujuan untuk melemahkan sendi-sendi kehidupan sosial masyarakatnya. Namun, melalui mitos, kekuasaan dapat dirumuskan kembali dalam dialog-dialog yang lebih elegan, dengan memahami kearifan-kearifan, dan dengan begitu dapat merumuskan pula cultural policy yang lebih berpihak pada masyarakat.

Marhalim Zaini
, sastrawan, pemerhati seni budaya. Sedang studi di Pascasarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada Jogjakarta.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 10 April 2011

No comments: