-- Geger Riyanto
ADA ungkapan penyair Jerman, Heinrich Heine, ”Di mana mereka membakar buku, ujung-ujungnya mereka akan membakar manusia”. Memang demikian. Memusnahkan teks-teks historikal dan kultural bukan sekadar membakar kertas; untuk mengatakannya dengan mengerikan, ini adalah upaya satu pihak menghapus total pihak-pihak yang dibencinya.
Rezim revolusioner Maximilien Robespierre (1793-1794), yang memenggal 16.000 kepala, tercatat menghancurkan dua pertiga dari satu miliar dokumen sejarah Perancis. Menyingkirkan feodalisme Louis XVI diidentikkan menghabisi segala catatan masa lalu.
Contoh serupa, di antara para akademisi Irak, tersebar pandangan pemerintahan George Bush sengaja tak menugaskan tentara menjaga situs-situs bersejarah saat pasukan AS masuk—perlakuan beda terhadap Kementerian Perminyakan.
Tank Amerika melabrak masuk Akademi Ilmu Pengetahuan Irak. Penjarah mengikutinya. Sebanyak 170.000 koleksi Museum Nasional Irak, termasuk artefak tulisan-tulisan pertama peradaban manusia, rusak. Lenyap.
PDS Jassin
Donald Rumsfeld, Menteri Pertahanan kabinet Bush, menganggap media melebih-lebihkan kekacauan dan luput mengangkat kebebasan serta demokrasi yang dibawa ke jalanan Irak pascatumbangnya patung- patung diktator Saddam Hussein. ”Keberhasilan militer paling mencengangkan dalam sejarah manusia”—menyitir istilah penyiar berita stasiun FOX yang mendukung invasi itu. Bagi para cendekiawan Irak, itu kekerasan dan penghinaan amat brutal.
Paling jelas, jejak-jejak sejarah bangsa Irak—berbagai peninggalan tak ternilai kunci pembuka episode kehidupan manusia yang masih kabur—takkan pernah kembali. Alasan mengutuk biblioklasme, genosida kebudayaan, perusakan artefak historis amat jelas—apakah misi demokrasi AS yang disokong artileri baja membenarkan pelibasan habis-habisan jejak orang- orang Irak menjadi dirinya? Apa yang lebih sadis dari satu tindakan yang membuat sekian juta pendahulu bangsa itu seakan tak pernah ada atau dilahirkan?
Ada lagi kesadisan serupa yang berpilin keteledoran luar biasa. Tentang dokumen-dokumen historis di Indonesia yang merana di hadapan rencana konstruksi gedung DPR yang spektakuler; tentang artefak-artefak, yang menceritakan apa yang mengonstitusi siapa diri kita kini, yang diabaikan dan terancam punah di hadapan kemewahan elite politik.
PDS HB Jassin yang tiba-tiba mencuri perhatian para elite politik adalah puncak gunung es situasi miris pusat-pusat dokumentasi di Indonesia. Liputan Kompas (27/3) memberi nama sejumlah gudang sejarah yang terancam dan mati.
Dicuri negeri asing
Masih banyak halaman gelap sejarah Indonesia. Pertengahan 1960-an salah satunya, yang usai reformasi diembus angin segar penerbitan teks-teks memoar maupun penelusuran historis.
Juga periode kerajaan di Kepulauan Nusantara yang memperlihatkan kehidupan maritim yang kosmopolit, terbuka, disangga mekanisme check and balance kekuasaan—di masa jauh sebelum demokrasi. Itu kini gelap dan jauh karena ulah kolonial dan Orde Baru yang memperlakukan Indonesia semata daratan untuk dikuasai terpusat, satu, utuh, melingkar di Jakarta.
Penulisan sejarah pun mengeksklusikan kelompok Tionghoa-Indonesia, menempatkannya semata ancaman perekonomian pribumi atau kesatuan negara. Telaah Claudine Salmon, Pramoedya Ananta Toer, Leo Suryadinata, sebaliknya, mencatat peran signifikan kelompok ini membentuk gagasan keindonesiaan awal abad ke-20, lewat perdebatan di media cetak maupun karya-karya sastra.
Bagaimana jika kilau historis yang tak dapat tempat sepantasnya dalam imajinasi keindonesiaan kita itu hilang karena jamur kertas atau genteng gudang sejarah yang bocor?
Tak heran, pada harinya nanti, diri kita tak lagi punya kita. Milik negeri asing, entah Amerika, Eropa, China, atau Arab. Mereka yang mencuri dan menyimpan data terbaik kita. Sementara kita berproses yang tak lebih dari bunuh diri sosiohistoris. Membiarkan sejarah kita hancur bersama waktu.
Geger Riyanto, Penulis Esai-esai Humaniora; Alumnus Sosiologi FISIP UI; Aktivis Bale Sastra Kecapi
Sumber: Kompas, Senin, 04 April 2011
No comments:
Post a Comment