-- Binhad Nurrohmat*
TRADISI lirik amat menonjol dalam puisi Indonesia modern dengan Amir Hamzah dan Chairil Anwar sebagai tokoh terdepan, yang sejumlah liriknya kerap dipandang sebagai prototipe estetika dan klasik. Gaya lirik mereka yang meruahkan perasaan individual dan personal itu bergema dan merasuki puisi Indonesia modern pada masa sesudah mereka.
Tema religi, cinta, sepi, alam, dan maut mengisi tradisi lirik puisi Indonesia modern dengan sejumlah varian estetika, misalnya lirik Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo. Tema-tema ini hadir cenderung muram dan merana sehingga membentuk kesan tradisi lirik puisi Indonesia modern jarang gembira.
Tema politik masih minoritas dalam tradisi lirik puisi Indonesia modern. Tradisi lirik ini "identik" dengan ruahan perasaan individual dan personal serta "sebatas" menyentuh tema-tema tertentu dan bersudut pandang tertentu pula. Depolitisasi puisi ini kemungkinan besar "terpengaruh" agenda politik kekuasaan.
Setelah kemerdekaan, sedikit saja penyair kita yang menghasilkan lirik politik, misalnya Taufiq Ismail dan Goenawan Mohamad. Mereka menghasilkan lirik politik yang mengesankan dan jumlahnya tak banyak. Begitu juga penyair pada masa sebelum mereka, misalnya Chairil anwar.
Representasi tema politik dalam puisi Indonesia modern diwakili "pamflet" Rendra yang beredar pada 1970-an. Puisi "aliran Rendra" ini bahasanya aktual serta terbuka menyuarakan protes dan kritik. Lalu menyusul puisi politik Wiji Thukul pada 1990-an. Rezim Orde Baru menuding mereka subversif.
Alternatif lirik
Kepenyairan Taufiq Ismail dan Goenawan Mohamad mulai mengemuka pada 1960-an yaitu masa Orde Lama, dan mereka berkarya hingga beberapa dekade kemudian yaitu masa Orde Baru dan Reformasi. Bersama para intelektual-seniman yang lain, dua tokoh manifes kebudayaan ini mendirikan majalah sastra Horison.
Pada masa Orde Lama, Taufiq Ismail menulis lirik "Karangan Bunga": Tiga anak kecil/Dalam langkah malu-malu/Datang ke Salemba/Sore itu//"Ini dari kami bertiga/Pita hitam pada karangan bunga/Sebab kami ikut berduka/Bagi kakak yang ditembak mati/Siang tadi."
Lirik yang menghiasi sampul muka majalah sastra Horison edisi perdana yang terbit pada 1966 ini merupakan potret situasi sosial-politik menjelang Orde Lama ambruk. Lirik ini memanfaatkan prosodi serta bahasa simbol dan metafora yang menarik secara estetik maupun menurut konteks sosial-politik di masa lirik ini hadir ke publik.
Lirik ini menandai peralihan generasi dari Orde Lama ke Orde Baru yang bergolak dan berdarah yang diucapkan dengan bahasa tanpa pekik atau tudingan amarah, melainkan dengan "tiga anak kecil" yang berjalan "dalam langkah malu-malu" dan membawa "pita hitam pada karangan bunga" untuk mahasiswa demonstran yang "ditembak mati". "Tiga anak kecil" itu generasi yang bakal tumbuh di sebuah masa yang dicita-citakan oleh generasi "kakak yang ditembak mati" itu. Lirik ini suatu kontras, kekerasan yang ditulis dengan bahasa yang lembut dan tenang.
Pada masa Orde Lama yang ramai yel-yel "politik sebagai panglima" itu, kondisi sosial-politik Indonesia terperosok ke dalam konflik dan intrik. Puisi masa itu cenderung tunduk pada kehendak politik dan konon mengamalkan paham realisme sosialis, dan mereka yang menolak kehendak dan paham ini bisa dituding sebagai kontrarevolusioner, sebuah tuduhan subversif saat itu.
Seniman manifes kebudayaan menganut paham humanisme universal dan menolak seni yang takluk pada kehendak politik. Banyak seniman penganut paham realisme sosialis bergabung dengan lembaga kebudayaan rakyat dan tak jarang menantang seniman manifes kebudayaan berpolemik.
Pada masa "revolusi belum selesai" itu, Goenawan Mohamad menulis lirik "Batasan".
Lirik ini menggambarkan revolusi tanpa salak senapan ataupun derap serdadu, bahkan revolusi bagaikan "kembang kristal air hujan" dan "bintang-bintang putih yang abadi". Lirik yang halus dan teduh ini mendayagunakan citraan alam untuk melukiskan revolusi yang terasa begitu manja dan bisa dituduh kontrarevolusioner menurut pandangan umum di masa yang hiruk itu.
Setelah Orde Lama gulung tikar, Orde Baru menggantikannya dengan gaya kekuasaan militer yang represif serta mengungkung kondisi dan gerak sosial-politik menggunakan tangan besi negara yang dipimpin seorang jenderal.
Pada masa Orde Baru yang represif itu, Goenawan Mohamad menulis lirik "Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum": "Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku."//Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan/mayatnya di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan/hangat padi. Tapi bau asing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah/kunang-kunang -- tapi tak seorang pun mengenalinya. Ia bukan orang/sini, hansip itu berkata.//"Berikanlah suara-Mu."//Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka/yang lebih. Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan/bisik. Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak/bertanda gambar. Ia tak ada yang menangisi, karena kita tak bisa/ menangisi. Apa gerangan agamanya?//"Juru peta yang Agung, di manakah tanah airku?"//Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di/halaman pertama. Ada seorang yang menangis entah mengapa. Ada/seorang yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih/ dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin/kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua/bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat-/kawat, sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi/lapangan yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang/sirna./"Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku."
Lirik ini reportase kekerasan sosial-politik menjelang pemilihan umum yang realistik ("Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih") dan imajinatif ("Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi. Tapi bau asing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah kunang-kunang").
Dalam lirik ini, peristiwa sosial-politik tak semata profan, tapi juga sakral ("Tuhan, berikanlah suara-Mu, padaku" atau "Juru peta yang Agung, di manakah tanah airku?"). Lirik ini melebur yang politis dan religius serta yang realistik dan imajinatif jadi adonan narasi puitik.
Lirik-lirik politik Taufiq Ismail dan Goenawan Mohamad ini masih mewarisi serta mengembangkan tradisi lirik sebelumnya dan merupakan sedikit contoh puisi yang mengesankan yang dihasilkan sebagian penyair Indonesia modern yang menawarkan alternatif lirik yang menyuarakan kecamuk sosial-kolektif atau sekurangnya membuktikan sebuah kemungkinan lirik yang tak meruahkan kegundahan personal-individual melulu.
* Binhad Nurrohmat, Penyair
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 22 Maret 2008
1 comment:
hmmm.. nice article
Post a Comment