Thursday, April 07, 2011

Ruang Hampa Demokrasi

-- Yasraf Amir Piliang

RUANG politik bangsa akhir-akhir ini dipenuhi aroma ketidakpercayaan (distrust).

Para tokoh masyarakat menuding ”kebohongan” presiden, para elite DPR dianggap menipu rakyat (terkait pembangunan gedung DPR), para pegawai bank memperdaya nasabah sendiri, para pejabat publik (pengurus PSSI) melakukan pembohongan publik, para jaksa yang menghadirkan kesaksian palsu, dan para hakim yang merekayasa keputusan hukum.

Aroma ketakpercayaan menciptakan ”krisis kepercayaan” di masyarakat demokratis. Arsitektur demokrasi tak disangga pilar-pilar kepercayaan karena tak ada lagi yang dipercaya. Ketakpercayaan menandai hampanya kebenaran. Akibatnya, pemangku kekuasaan yang semestinya membangun legitimasi kekuasaan lewat tindak tepercaya justru mengosongkan makna kepercayaan lewat tindak pemalsuan, penipuan, dan simulasi.

Sistem demokrasi representatif tak berjalan mulus karena ada ”ruang hampa” antara yang diberi amanah (pemerintah) dan yang memberi (rakyat). Ruang hampa tercipta karena kondisi ”kekosongan substansial”: ada lembaga perwakilan, tetapi tak ada ”keterwakilan”; ada lembaga pengadilan, tetapi tak ada ”keadilan”; ada lembaga keamanan, tetapi tak ada ”rasa aman”; ada lembaga penjamin, tetapi tak ada ”jaminan”—the democratic anomaly.

Hedonisme politik

Bekerjanya sebuah sistem demokratis sangat bergantung pada tingkat kesalingpercayaan yang dibangun di dalamnya. Pada tingkat negara ada kesalingpercayaan antara pemerintah dan rakyat; di antara elemen-elemen pemerintah sendiri (eksekutif, legislatif, yudikatif); di antara elemen-elemen masyarakat sipil. Pada tingkat ekonomi industrial ada kesalingpercayaan antara produsen dan konsumen.

Namun, sebagaimana dikatakan Francis Fukuyama (Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, 1996), kepercayaan sangat ditentukan oleh budaya. Kepercayaan adalah ekspektasi yang tumbuh dalam komunitas dengan perilaku reguler, jujur dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dihormati bersama. Kemampuan sebuah negara- bangsa masuk ke dalam sistem jejaring pergaulan lebih kompleks bergantung pada tingkat kepercayaan yang mampu dibangunnya.

Ketika kultur yang diperlukan untuk membangun kepercayaan tak mendukung—misalnya kultur korupsi, nepotisme, kekerasan, dan pemaksaan—fondasi kepercayaan dalam sistem demokrasi akan rapuh. Penilapan simpanan di perbankan menurunkan tingkat keterpercayaan perbankan, penggelapan pajak di lembaga perpajakan merusak kredibilitas lembaga itu, manipulasi suara di DPR menghancurkan kehormatan DPR. Ketakpercayaan melahirkan prasangka. Prasangka melunturkan kepercayaan dan menandai miskinnya sensibilitas publik. Orang yang tak punya sensibilitas publik tak pantas jadi pejabat publik. Insensibilitas macam ini diperlihatkan Ketua DPR lewat pernyataan publik, ”Rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru, hanya orang-orang elite, orang-orang pintar yang bisa diajak membicarakan masalah itu” (Kompas, 5/4).

Pernyataan itu dibangun di atas prasangka politik ”oposisi biner”, seperti dikatakan Norberto Bobbio (Left and Right: The Significance of a Political Distinction, 1996), yaitu nalar perbedaan antagonistik dua pihak, seperti DPR versus rakyat. Satu pihak dianggap maju, terdidik, intelek, dan pintar; sementara pihak lain dianggap terbelakang, tak terdidik, awam, dan bodoh. Nalar macam ini menciptakan stereotip ”rakyat” sebagai entitas politik rendah, bawah, dan hina karena itu tak pantas masuk dalam diskursus politik.

Nalar oposisional macam ini adalah bentuk ”kekerasan simbolik” di mana otoritas di(salah)gunakan untuk mendesakkan sebuah tafsir bias. Otoritas (kewenangan) jadi otoriterisme (kesewenangan) di mana kekuasaan digunakan bukan demi kepentingan rakyat, melainkan demi kepuasan diri sendiri. Penyelewengan otoritas tak menghormati keutamaan etis demi kesenangan. ”Hedonisme politik” macam ini, seperti dilukiskan Leo Strauss (On Tyranny, 1991) hanya milik para ”tiran”.

”Tirani politik” adalah ketika otoritas disalahgunakan, kewenangan jadi kesewenangan, kepercayaan rakyat dikhianati, suara rakyat dibungkam, fungsi representasi direduksi, kesejahteraan rakyat jadi kesenangan diri. Demokrasi menjelma jadi ”hedonikrasi” (hedonicracy), yaitu ketika dorongan kesenangan melabrak norma dan aturan hukum, meminggirkan prinsip kepercayaan, dan memutar balik makna semantik kepercayaan itu sendiri.

Skeptisisme demokrasi

Kepercayaan adalah fondasi demokrasi karena digunakan sebagai landasan membangun ekspektasi aneka tindakan, relasi, atau transaksi bertujuan. Kepercayaan adalah fondasi keyakinan diri dalam setiap tindak sosial, ekonomi, dan budaya yang memberi vitalitas dan optimisme masa depan sebuah masyarakat-bangsa. Sebaliknya, ketakpercayaan meruntuhkan keyakinan diri dan mendorong pesimisme masa depan. Michael Oakeshott (The Politics of Faith and the Politics of Scepticism, 1996) melukiskan sebuah dialektika vitalitas politik, yang—layaknya pendulum— berayun ke dua arah: keyakinan (faith) atau skeptisisme (scepticism).

”Politik keyakinan” adalah sebuah vitalitas yang memberi masyarakat politik— sebagai zoon politicon—semacam optimisme kolektif dalam mencapai kesempurnaan diri (masyarakat, bangsa) melalui kekuatan sendiri. Sebaliknya, ”politik skeptisisme” adalah politik tanpa vitalitas yang menumbuhkan ekspektasi bahwa kesempurnaan mustahil dicapai karena muatan prasangka, konflik, ketakharmonisan dalam perilaku manusia politik tak akan dapat diselesaikan. Ketakpercayaan menciptakan ”kecemasan” (anxiety) dan ”ketakpastian” (insecurity) yang mengurangi kepercayaan diri dan optimisme. Kecemasan, kata Paul Tillich (The Courage to Be, 1980) adalah kondisi eksistensial orang menyadari kehampaan diri, masyarakat, dan bangsanya (non-being).

Orang hanya menemukan ”nama-nama”, tetapi tak ada wujudnya. Kecemasan akibat ”ruang hampa” demokrasi, yaitu ketika rakyat merasakan kehampaan dirinya sebagai demos: bernama tapi tak pernah dapat nama, dihitung tapi tak pernah diperhitungkan, disebut tapi tak boleh ikut wacana. Ruang hampa demokrasi adalah kondisi ketika sesuatu punya nama dalam demokrasi—seperti ”rakyat”, ”konsensus”, ”suara”, ”kejujuran”, ”kebebasan”—tapi semua hampa makna.

Kata ”rakyat” dimanipulasi dalam mimbar parlemen, ”konsensus” dibelokkan dalam aneka pasar gelap politik, kata ”suara” diperjualbelikan dalam mafioso politik, kata ”keadilan” dimanipulasi di lembaga peradilan, kata ”kejujuran” diparodi di lembaga perpajakan, kata trust dilecehkan di lembaga perbankan. Demokrasi hampa makna menciptakan situasi tanpa harapan, ketakberdayaan, dan skeptisisme. Ketakberdayaan ”musuh” terbesar demokrasi karena tujuan demokrasi adalah pemberdayaan dan emansipasi. Demokrasi tak sekadar jalan kebebasan, tapi lebih penting lagi pemberdayaan. Demokrasi adalah pemberdayaan demos yang memungkinkan aspirasi, keinginan, dan suara rakyat disuarakan, bukan dibungkam.

Keberanian adalah kekuatan mengatasi kecemasan, ketakutan, dan skeptisisme. Demokrasi adalah ruang untuk membangun ”keberanian rakyat”, kekuatan berbicara sebagai rakyat secara terhormat. Namun, demokrasi juga ruang membangun ”keberanian penguasa”, yaitu kekuatan untuk mendengarkan suara rakyat secara bijak. Sang pengecut adalah penguasa yang membungkam suara rakyat karena tak kuasa melawan suara-suara kritis itu secara argumentatif, strategis, dan diplomatis. Demokrasi para pengecut adalah ketika suara-suara kebenaran diberangus arogansi kekuasaan.

Yasraf Amir Piliang
, Dosen Program Magister Studi Pembangunan ITB

Sumber: Kompas, Kamis, 7 April 2011

No comments: