Monday, March 31, 2008

Menghargai Sejarah Bangsa Lewat Musik

ADA apa sih, kok ramai sekali kayak pawai tujuh belasan, bulan Agustus kan masih lama," kata Udin, seorang pedagang asongan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (29/3). Tidak hanya Udin, masyarakat yang berada di kawasan silang Monas, Jalan Cut Nyak Dien, hingga Jalan Imam Bonjol juga tampak bingung ketika mobil kuno keluaran Jerman diiringi ratusan pengendara sepeda onthel beratribut lengkap seperti pejuang kemerdekaan masa lalu melintas di jalan itu.

Rasa penasaran masyarakat semakin menjadi ketika penyanyi dan pembawa acara kawakan, Kris Biantoro yang berseragam militer lengkap ala serdadu di masa penjajahan Jepang meneriakkan pekik "Merdeka, Merdeka" dari mobil kuno yang ditumpangi.

Peringatan kemerdekaan 17 Agustus 2008 memang baru akan berlangsung empat bulan mendatang. Namun, Kris Biantoro bersama sejumlah orang yang peduli dengan sejarah bangsa ini, mencoba mengingatkan kembali semangat kebangsaan lewat acara sarasehan kebangsaan dan budaya bertajuk "Napak Tilas Perjalanan Musik Indonesia" di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta. Kirab mobil kuno, dan ratusan sepeda onthel yang di awali dari kawasan Monas menuju museum merupakan acara pembukaan rangkaian sarasehan kebangsaan.

Hadir dalam acara itu, sejumlah artis berbagai era, dari era 50-an hingga sekarang seperti Titiek Puspa, Bob Tutupoli, Grace Simon, Beny Panbers, Eros Djarot, dan Peggy Melati Sukma. Selain itu, juga terlihat perwakilan keluarga musisi Ismail Marzuki, dan pengusaha Martha Tilaar.

Menurut Kris, kekuatan suatu bangsa terletak pada pemahaman masyarakat terhadap budaya dan perjalanan bangsanya. Ketidaktahuan akan budaya menyebabkan masyarakat kehilangan jati diri.

"Belum lagi, pengaruh globalisasi budaya dunia yang mengakibatkan tumbuhnya gaya hidup instan, dan tidak menyediakan tempat bagi tumbuhnya budaya lokal dan nasional," kata pria yang baru merayakan ulang tahun ke-70 pada 17 Maret.

Pelantun tembang Dondong opo Salak itu mengungkapkan, pencurian lagu Rasa Sayange oleh Malaysia merupakan akibat dari ketidaktahuan bangsa Indonesia atas budaya sendiri pada umumnya dan sejarah musik Indonesia pada khususnya. Sebab itu, pada kesempatan sarasehan kebangsaan, Kris mengajak seluruh komponen bangsa, khususnya pemuda untuk memiliki kepedulian terhadap karya musik tempo dulu.

Banyak musisi tempo dulu yang menghasilkan karya-karya berkualitas dan sangat produktif. Komposer Ismail Marzuki contohnya. Tokoh musik kelahiran Betawi itu mampu menciptakan lebih dari 200 lagu dalam kurun waktu 27 tahun (1931 - 1958).

Menanggapi minimnya apresiasi terhadap karya musik masa lalu, Budayawan Romo Beny Susetyo Pr mengatakan, hal itu disebabkan karena karya masa lalu tidak pernah dipublikasikan dan tidak pernah dikemas menjadi sesuatu yang cocok dengan anak zamannya. "Bangsa kita selalu menghilangkan nilai sejarah dalam hidupnya, sehingga karya masa lalu dianggap usang," ujarnya.

Menurutnya, negara lain seperti Belanda, melihat masa lalu sebagai suatu yang dikenang sebagai peradaban. Karena kecintaan pada peradaban, Belanda mampu melestarikan karya musisi masa lalu, termasuk dari bekas jajahannya. "Lagu kita tidak pernah menjadi milik bangsa ini, karena kita paling lemah untuk menyimpan, memelihara dan menjaga mengarsipkan, itu kelemahannya,"tegasnya.

Benny menyebut, karya musik periode tahun 1945 dikenal memiliki semangat heroik perjuangan. Lagu menjadi sarana perjuangan mewujudkan kemerdekaan, tetapi tahun 1960- an lagu-lagunya adalah lagu pemberontakan, karena zamannya antikemapanan, lagu pendek yang memberikan perlawanan. Memasuki tahun 1990 lebih melankolis karena cinta dijadikan gambaran romantisme.

"Setiap lagu punya periode anak zamannya, dan ketika periode anak zaman itu tidak pernah ditata kita akan kehilangan konteks sejarahnya karena lagu menggambarkan konteks zamannya," ujarnya. [SYH/N-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 31 Maret 2008

Sastra: Ketika Rindu Berlabuh di Negeri Pantun

SEPERTI apa rupa Negeri Pantun? Datanglah ke Tanjungpinang, sebuah pulau menawan yang kini menjadi ibu kota Provinsi Kepulauan Riau. Begitulah jawaban sederhana yang bisa diungkapkan. Meskipun daerah-daerah Melayu umumnya mengenal tradisi pantun, di kota yang terkenal sebagai Kota Gurindam itu kini bersiap-siap dengan julukan baru sebagai Negeri Pantun.

Deklarasi julukan baru tersebut akan dilakukan pada malam puncak Festival Pantun Serumpun yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 25-29 April 2008.

Aktivis-aktivis dari Yayasan Panggung Melayu yang menyelenggarakan festival pantun tingkat Asia Tenggara itu kini sudah terlihat antusias mempromosikan Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun.

Selain menyebarkan brosur Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun, mereka juga sudah menyiarkan julukan Negeri Pantun itu ke negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

"Kami bangga sekali jika Tanjungpinang bisa memperoleh julukan baru sebagai Negeri Pantun," kata Ketua Yayasan Panggung Melayu Asrizal Nur.

Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A Manan tidak kalah gesitnya. Dalam percakapan kepada Media Indonesia, ia mengatakan akan berjuang total untuk mengegolkan julukan baru Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun.

"Silakan Anda cek sendiri bagaimana pantun di Tanjungpinang benar-benar sudah menjadi keseharian. Dalam komunikasi apa pun, masyarakat Tanjungpinang hampir tidak bisa dilepaskan dari pantun," kata Suryatati.

Pendidikan pantun di Tanjungpinang umumnya dilakukan sejak dini. Sekadar menyebutkan di SDN 01 Tanjungpinang Timur. Terlihat di sana bagaimana siswa-siswi SD itu tengah belajar berpantun dengan penuh khidmat.

"Bulan purnama burung merpati, si burung pipit ditembak preman. Nama saya Novi Asti, berlesung pipit murah senyuman," ungkap Novi bocah SDN 01 Tanjungpinang itu seraya memperkenalkan diri.

Muchtar, guru pantun yang mengajarkan Novi dan kawan-kawannya sore itu, terlihat bahagia melihat murid-muridnya yang masih lugu sudah pandai berpantun.

Pakar pantun Kepulauan Riau, Tusiran Suseno, menjelaskan pantun adalah warisan bangsa Melayu yang paling asli. Karena itu, tidak berlebihan jika ingin mengetahui watak orang Melayu, sebaiknya terlebih dahulu mengetahui dunia pantun.

"Pantun adalah alat komunikasi yang penting untuk menyatakan perasaan orang-orang Melayu," kata Tusiran sambil mengisahkan bangsa Melayu terdahulu biasanya mencipta pantun secara spontan, namun tetap menyimpan nilai-nilai keindahan dan karakter tersendiri.

Secara umum pantun dipahami masyarakat sebagai sajak empat baris yang terdiri dari dua sampiran (pembayang) dan dua isi (pemikiran). Namun, pantun terus berkembang seiring dengan zaman baik pada konsep maupun dari tujuan pantun itu sendiri.

Karena itu, wajarlah jika lahir sejumlah genre dalam pantun. Ada pantun pertemuan, perpisahan, pernikahan, pendidikan, sindiran, dan lingkungan.

Tanjungpinang yang kini dikenal sebagai Kota Gurindam memang tak lepas dari inspirasi Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji yang terkenal itu. Gurindam itu pun kini sudah dibuatkan tugunya yang berada di tepian laut Tanjungpinang. Namun dengan julukan Negeri Pantun, masyarakat akan semakin bangga sebagai bangsa Melayu. Setidaknya karena mereka sendiri dalam kesehariannya memang berpantun.

Lagi pula tidak salah memberi julukan Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun, setidaknya sebelum negara lain mengklaim pantun adalah warisan budaya mereka. Seperti yang terjadi dalam kasus seni reog dan angklung yang diaku-akui oleh Malaysia. (Chavchay Syaifullah/H-1)

Sumber: Media Indonesia, Senin, 31 Maret 2008

Sunday, March 30, 2008

Horison: Perayaan 55 Tahun Taufiq Ismail

PERAYAAN bertajuk Taufiq Ismail, 55 Tahun Dalam Sastra Indonesia digelar oleh Majalah Sastra Horison. Menurut Panitia, mata acaranya meliputi lomba karya tulis mahasiswa, seminar nasional, penerbitan buku, dan pembacaan puisi.

Lomba karya tulis untuk mahasiswa bertema Taufiq Ismail dalam Sastra dan Kebudayaan Indonesia. Lomba ini memperebutkan total hadiah Rp 25.000.000. Batas akhir pengumpulan naskah lomba tanggal 30 Maret 2008. Buku karya Taufiq Ismail yang diterbitkan adalah Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit, terdiri dari empat jilid. Jilid 1 berisi himpunan puisi 1953-2008, jilid 2 dan 3 himpunan tulisan 1960-2008), dan jilid 4 himpunan lirik lagu, serta buku Rerumputan Dedaunan (antologi puisi terjemahan penyair Amerika).

Peluncuran buku-buku tersebut akan dilaksanakan di Aula Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu, 14 Mei 2008 Pukul 11.30 WIB. Prosesi peluncuran buku akan dirangkai dengan pidato kebudayaan oleh Anies Baswedan PhD (rektor Universitas Paramadina, Jakarta) dan Emha Ainun Nadjib.

Seminar nasional bertema Taufiq Ismail 55 Tahun dalam Sastra Indonesia akan diselenggarakan di Jakarta dan Padang. Di Jakarta, seminar akan dilaksanakan di Auditorium Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta Pusat, 17 Mei 2008, pukul 08.30 WIB. Seminar ini akan dibuka oleh Mendiknas Bambang Sudibyo, sekaligus sebagai keynote speaker. Sebagai pembicara, antara lain Prof DR Suminto A Sayuti, Prof DR Arief Rachman, Prof DR Budi Darma, dan Yudi Latief PhD.

Di Padang, seminar internasional akan diadakan di Studio TVRI, Padang, Rabu, 28 Mei 2008, pukul 17.00 WIB. Sebagai keynote speaker DR Fasli Jalal PhD, dengan pembicara DR Rebecca Fanany (Australia), Darman Moenir, DR Ismet Fanany MA, Drs Yulizal Yunus MA, DR Ir Raudha Thaib, dan Upita Agustine. Seminar ini akan dibuka oleh Gubernur Sumatera Barat H Gamawan Fauzi. Acara akan dilanjutkan pembacaan puisi-puisi Taufiq Ismail, 28 Mei 2008, pukul 19.30 WIB. Seminar dan pembacaan puisi akan disiarkan langsung oleh TVRI Padang.

Sumber: Republika, Minggu, 30 Maret 2008

Horison: Gebyar Sastra UPI

HIMA Satrasia FPBS UPI akan mengadakan Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia (GBSI) 2008, pada 14-19 April 2008. Acara itu akan diisi seminar bahasa dan sastra Indonesia, diskusi bahasa, diskusi sastra, lomba baca puisi Piala Rendra, lomba tulis puisi Piala Rektor UPI, lomba cipta cerpen Satrasia, lomba menulis esei bahasa, pameran sastra kuno dan modern, serta bazaar buku di Gedung PKM UPI, Bandung. Peminat lomba dapat menghubungi Agus Fauzi (085659001324 atau 022 70668237), Juniarti Naibaho (081361134387) atau Sekretariat GBSI Hima Satrasia Jalan Setia Budhi No 229 Gedung Pentagon Lt 3, UPI, Bandung.

Sumber: Republika, Minggu, 30 Maret 2008

Horison: Seminar Bahasa dan Sastra Mabbim

SEMINAR Bahasa dan Sastra Mabbim akan diadakan di Hotel Borobudur, Jakarta, pada 7-8 April 2008. Seminar ini dalam kaitan dengan Sidang Mabbim ke-47 dan Peringatan HUT ke-35 Mabbim. Rangkaian acara didahului dengan Sidang Mastera pada 5-6 April 2008, dan dipungkasi dengan Sidang Mabbim pada 9-10 April 2008.

Menurut Dad Murniah (Panitia), acara akan dibuka oleh Menko Kesra, di hadapan 3 sekitar 300 peserta yang terdiri atas pakar bahasa, pakar bidang ilmu, dan masyarakat perguruan tinggi. Menu acaranya meliputi seminar, pameran, malam kesenian, dan peluncuran buku.

Pembicara yang akan tampil berasal dari Malaysia, Brunei Darusslam, Singapura dan Indonesia. Untuk seminar hari pertama, antara lain, DR Azmi bin Abdullah (Brunei), DR Sugiyono, DR Dendy Sugono, Prof Madya DR Hashim bin H Abd Hamid (Brunei), Dra Helvy Tiana Rosa MHum (Ind.), dan Prof Madya DR Noriah Mohamad (Malaysia).

Pembicara seminar untuk hari kedua, antara lain Drs A Rozak Zaidan MA, Awang Suip bin H Abdul Wahab (Brunei), Puan Izzah Abdul Aziz (Malaysia), Drs Jan Hoesada MM, Prof Hendrawan, dan DR Siti Norkhalibi Haji Wahsalfelah.

Sumber: Republika, Minggu, 30 Maret 2008

Horison: Era Baru Pantun Dari Kafe ke Pilkada

Jalan-jalan ke Pulau Penyengat
Perginya pada hari Jumat
Apa gunanya pemimpin hebat
Kalau tidak dekat dengan rakyat


(Pantun politik Suryatati A Manan)

Datanglah sekali-kali ke Tanjungpinang, daerah yang kini disebut-sebut sebagai Negeri Pantun. Seakan berpacu dengan Malaysia, masyarakat di Pulau Bintan itu kini beramai-ramai memuliakan pantun. Tiap perhelatan berhias pantun, Pilkada bertabur pantun, dan anak-anak sekolah pun kini sibuk belajar berpantun.

Sekali-kali tengok pula acara-acara sastra di Negeri Jiran, selalu bertabur pantun. Begitu juga di daerah-daerah lain yang beribu budaya Melayu, seperti Pekanbaru, Bangka Belitung, Aceh, Padang, dan hampir seluruh kawasan Sumatera serta semenanjung Malaka; pantun makin mentradisi kembali di masyarakat. Bahkan, juga di kawasan-kawasan lain di Nusantara, dengan bahasa daerah masing-masing.

Namun, yang paling tampak bergairah merevitalisasi tradisi berpantun saat ini adalah masyarakat Tanjungpinang. Tradisi berpantun tidak hanya marak kembali secara alami, tapi ada upaya-upaya serius untuk menghidupkannya melalui pengajaran sastra di sekolah, sanggar-sanggar, pertunjukan, peraduan (lomba), pelatihan, dan berbagai festival. “Kami juga membentuk komunitas pantun. Anggotanya sejak anak-anak muda sampai orang tua. Pada hari-hari tententu kami berlatih bersama, dan beradu pantun di kafe pantun,” kata Tusiran Tanurejo, sastrawan Negeri Pantun.

Untuk mendukung revitalisasi tradisi berpantun yang dilakukannya, Tusiran bahkan mendirikan Rumah Pantun Madah Kelana. Berlokasi di Jl Bayangkara, di rumah pantun ini tiap Senin dan Kamis sore, komunitas pantun berkumpul untuk berlatih bersama Tusiran. Tak cukup dengan itu, tiap Ahad, latihan juga diadakan di Gedung Kesenian Tanjung Pinang, yang diasuh Teja Alhabsi. Pesertanya, sejak remaja hingga orang tua. Dan, merekalah yang pada malam hari suka berkumpul di Kafe Pantun, di Bintan Center, untuk bermain pantun bersama.

Hasilnya, tradisi berpantun kini sangat marak di Kota Tanjungpinang dan sekitarnya. “Pantun kini menjadi bagian dari keseharian masyarakat Tanjungpinang,” kata Suryatati A Manan, walikota Tanjungpinang, yang mendapat julukan sebagai ‘Ratu Negeri Pantun’. “Pilkada yang lalu pun bertabur pantun. Masing-masing kandidat beradu kemahiran berpantun. Spanduk-spanduk juga dihiasi pantun,” tambahnya dalam jumpa pers di kampung nelayan, Madung, Tanjungpinang, pekan lalu.

Menyongsong kegairahan berpantun di kalangan masyarakat Melayu itu, sebuah festival pantun internasional pun dipersiapkan untuk digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, pada 25-29 April 2008. Dengan tajuk Festival Pantun Serumpun, acara akan diisi peraduan pantun se Asia Tenggara, pencatatan rekor berpantun terlama MURI, eksebisi pentun para pejabat, cerdas cermat pantun, berpantun bersama Tusiran Seseno, kedai pantun untuk umum, orasi pantun, opera pantun, dan peluncuran buku Negeri Pantun. ‘’Juga deklarasi Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun,” kata Ketua Yayasan Panggung Melayu (YPM), Asrizal Nur, pelaksana festival.

Sebelumnya, tambah Suryatati, beberapa iven besar telah digelar di Tanjungpinang, seperti Peraduan Pantun Melayu Serumpun pada tahun 2001, 2003 dan 2004, serta peraduan pantun Melayu serumpun dalam Festival Budaya Melayu Internasional 2006.
Pantun gaul
Mulanya, pantun merupakan salah satu bentuk sastra Melayu lama yang bersifat anonim – tidak diketahui siapa penciptanya. Di kalangan masyarakat Melayu, pantun menjadi bagian dari tradisi sastra lisan yang hidup secara turun-temurun.



Ada beberapa jenis pantun klasik yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi miliki masyarakat. Umumnya bersifat didaktik, seperti pantun agama dan pantun nasihat. Ada pula pantun jenaka dan pantun berkasih (pantun cinta). Pantun-pantun klasik itu umumnya terdiri dari empat baris – dua sampiran dan dua isi. Contoh pantun nasihat yang paling populer adalah sbb.

Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian

Sedangkan pantun berkasih yang cukup terkenal adalah,

Layang-layang terbang ke mega
Jatuh ke laut melayang-layang
Siapa bilang abang tak cinta
Siang malam terbayang-bayang

Di luar pantun-pantun klasik yang sudah sangat dihafal dan menjadi milik masyarakat, berkembang pula pantun-pantun baru, yang bersifat spontan, sesuai kebutuhan. Pantun semacam ini jumlahnya bisa ribuan, jika semuanya dicatat. Sebab, siapapun dapat membuat pantun dan mengucapkannya pada acara-acara tertentu, saat menjadi pembawa acara, saat memberi sambutan, saat berpidato, saat beradu pantun, ataupun saat bercengkerama dengan kawan.

Di antara pantun-pantun baru, yang bersifat spontan, dan tidak tercatat itu, ada yang disebut pantun pergaulan. Pantun gaul ini umumnya terdiri dari dua baris – satu sampiran dan satu isi – sehingga sering disebut pantun kilat atau carmina. Pantun gaul inilah yang banyak berkembang di kalangan anak muda, termasuk di luar Sumatera dan Semenanjung Malaka. Misalnya, di kalangan masyarakat Betawi. “Pantun jenis ini sekarang juga banyak menjadi sarana gaul anak-anak muda perkotaan,” ujar Asrizal, sastrawan Tanjungpinang yang lama mukim di Jakarta.

Pada pantun gaul itulah sering terselip kata-kata nakal untuk menimbulkan suasana lucu dan segar, atau agar lawan bicara yang disasar tidak marah, tapi sebaliknya malah tertawa. Para pemantun yang nakal kadang-kadang juga main hantam kromo saja dalam memilih baris sampiran, asal enak diucapkan. Misalnya, “ada bapak wudelnya bodong, minta rokoknya dong!” Maksud yang sama mestinya dapat disampaikan dengan sampiran yang lebih santun, misalnya, “buah papaya buah kedondong, minta rokoknya dong!”

Uniknya, di tengah maraknya pantun gaul ala carmina, menurut Suryatati A Manan, masyarakat Tanjungpinang masih tetap mempertahankan pantun empat baris dengan sampiran yang indah dan santun, baik untuk pergaulan, pengantan perhelatan, pemanis sambutan maupun pidato politik. “Ini yang menggembirakan kami,” katanya.

Dengan tradisi seperti itu, pantun makin mantap menjadi identitas budaya Tanjungpinang. Dan, karena itulah, Suryatati, para sastrawan setempat, dan masyarakat Pulau Bintan, Kepulauan Riau (Kepri), makin mantap untuk menyebut daerahnya sebagai Negeri Pantun.

Berpantun di Kafe Pantun

Malam itu, di Kafe Pantun, beberapa orang tampak asyik mengobrol ditemani makanan dan minuman ringan. Ada kopi hangat yang masih mengepulkan asap. Ada the manis. Ada pula pisang dan kentang goreng. Kadang tampak ada yang tegang, sesaat kemudian mereka tertawa. “Kami sedang beradu pantun,” kata Tusiran Suseno, sastrawan Tanjungpinang, yang malam itu ikut suntuk bermain pantun di kafe yang terletak di kawasan Bintan Center.

Nama kafe itu sebenarnya Nick Nack Cafe. Tapi, karena biasa untuk nongkrong para pecinta pantun untuk beradu pantun sambil melepas penat, maka orang pun menyebutnya sebagai Kafe Pantun. Di kafe itu pula para anggota Komunitas Pantun Tanjungpinang biasa berkumpul.

Untuk dapat ikut beradu pantun gampang-gampang susah. Diperlukan latihan dan pembiasaan diri secara terus-menerus agar dapat lincah berbalas pantun. Kekayaan kosa kata, pengetahuan lingkungan, kecerdasan, dan kemampuan spontanitas, sangat diperlukan agar dapat berjaya dalam peraduan pantun (lomba berbalas pantun).

Acara peraduan pantun dapat dikemas dengan menghadirkan semacam moderator sebagai penengah. Dialah yang mengatur “jual-beli” pantun dua kelompok yang berbalas pantun. Acara dimulai dengan mempersilakan salah satu kelompok untuk “menjual” pantun. Kelompok lawan akan membalas pantun itu, dan saling berbalas seterusnya.

Di ruang pergaulan, seperti di kafe, acara berpantung bias berlangsung tanpa moderator. Siapa saja boleh mulai melempar pantun, dan yang lain bisa berebut membalasnya, sehingga acara menjadi seru dan meriah. Sebab, kenakalan dan kejenakaan dapat muncul bebas untuk membuat suasana makin segar. (ahmadun yh)

Sumber: Republika, Minggu, 30 Maret 2008

Wacana: Membongkar Kasus 'Politik Sastra Gombal' (Bagian Kedua dari Tiga Tulisan)

-- Katrin Bandel*

TULISAN Amanshauser tentang novel Saman juga penuh pujian gombal yang membosankan terhadap Ayu Utami, tapi sambil lalu dia memberi informasi yang sangat menarik. Dua kali Amanshauser mengutip sebuah teks yang dijadikannya rujukan untuk "membuktikan" kehebatan Ayu Utami, yaitu pidato yang disampaikan pada saat Ayu Utami menerima penghargaan Prince Claus Award di Belanda pada tahun 2000.

Pidato tersebut ditulis oleh seseorang yang namanya tentu tidak asing lagi bagi kita: Goenawan Mohamad. Berikut salah satu dari kedua kutipan tersebut:

"the novel is a new departure from the tradition of indonesian prose writing also in its treatment of god, politics and sexuality. underlying its lyricism is an urge to discover freedom at each stage of writing and reading. one can see the novel as a story of liberation in which the words are no longer sacrificial horses -- as if to anticipate the historical moment of 1998, when suharto's dictatorship collapsed." (Pemakaian huruf kecil adalah bagian dari gaya sok eksentrik Amanshauser.)

Sudah jelaslah sekarang dari mana asal klaim tentang Saman sebagai pertanda perubahan politis dan gagasan bahwa Saman sama sekali berbeda dari karya-karya sastra Indonesia sebelumnya!

Setelah menemukan kutipan tersebut, saya berusaha mencari keseluruhan pidato Goenawan Mohamad tersebut lewat internet, tapi tidak berhasil menemukannya. Di website Prince Claus Fund saya hanya menemukan penjelasan yang sangat singkat tentang alasan kemenangan Ayu Utami. Bahwa Goenawan Mohamad terlibat pembuatan pidato pemberian penghargaan sama sekali tidak disebut-sebut.

Entah kegagalan saya mencari informasi dan mencari teks pidato tersebut disebabkan oleh kekurangtelitian saya dalam pencarian, atau pidato itu memang sengaja disembunyikan dari kita agar kita tidak sadar akan keterlibatan Goenawan Mohamad dalam pemberian Prince Claus Award pada Ayu Utami, sejarah nanti yang akan membuktikannya.

Kutipan dari Goenawan Mohamad yang kedua lebih pendek, menceritakan peristiwa Ayu Utami kehilangan pekerjaan karena keterlibatannya di AJI.

Berkaitan dengan kegiatan Ayu Utami sebelum Saman terbit, di samping pekerjaannya sebagai wartawan, Amanshauser menyebut bahwa "di masa perjuangannya sebagai disiden tersebut dia menulis beberapa novel yang semuanya ditolak oleh penerbit".

Sejauh mana Ayu Utami memang mengalami pemecatan dan pencekalan akibat tanda tangannya di Deklarasi Sirnagalih (pembentukan AJI) tidak bisa saya nilai -- mungkin hal semacam itu lebih tepat dilakukan wartawan Indonesia yang bergelut di dunia jurnalistik pada masa itu.

Tapi terlepas dari benar atau tidaknya informasi yang diberikan seputar hal itu, saya rasa menarik untuk direnungkan mengapa kegiatan tulis-menulis Ayu Utami di masa Orde Baru begitu banyak disebut-sebut dalam teks-teks berbahasa Jerman itu. Dalam keterangan tentang penulis di edisi Saman berbahasa Indonesia yang saya miliki (cetakan ke-15, Agustus 2000) hanya dikatakan:

"Sekitar tahun 1991 menulis kolom mingguan Sketsa di Berita Buana edisi Minggu. Ia pernah bekerja sebagai wartawan di Matra, Forum Keadilan dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor dan Detik tahun 1994, Ayu ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memprotes pembredelan, dan setahun kemudian dipecat dari Forum Keadilan sehubungan dengan itu."

Mengapa di Jerman dan Austria tambahan mengenai artikel dan esei di media underground, buku anonim tentang rejim Soeharto dan novel-novel yang tidak pernah diterbitkan (bertentangan dengan keterangan dalam edisi Indonesia bahwa Ayu Utami "jarang menulis fiksi") dirasakan perlu?

Sepertinya kesan yang ingin ditimbulkan adalah bahwa sejak dulu Ayu Utami sudah giat menulis, tetapi karena tulisan dan kegiatan lainnya terlalu "subversif", dia baru dapat menampakkan bakatnya secara terbuka setelah Orde Baru tumbang.

Mungkin keterangan-keterangan itu dirasakan perlu untuk menjustifikasi apresiasi yang diberikan padanya, antara lain pemberian penghargaan Prince Claus, yang akan terasa janggal kalau dipertimbangkan bahwa Ayu Utami saat itu baru menerbitkan satu novel saja dan namanya pun tidak dikenal secara luas sebelumnya. (Dan akan terkesan lebih janggal lagi kalau kita mengetahui bahwa terjemahan ke dalam bahasa Belanda belum selesai pada waktu Ayu Utami memenangkan Prince Claus Award, dan versi bahasa Inggrisnya pun belum ada.)

Mengapa di Indonesia sendiri tulisan-tulisan "bawah tanah" Ayu Utami itu jarang atau tidak pernah disebut? Saya tidak tahu jawabannya. Tapi saya yakin bahwa seandainya tulisan-tulisan itu disebut, pasti publik Indonesia, khususnya orang yang punya kepedulian terhadap sastra Indonesia, akan bertanya: di manakah tulisan yang begitu banyak dan beragam itu? Di media underground mana Ayu Utami menulis, di mana buku anonim tentang korupsi rejim Soeharto itu, di mana novel-novel yang ditolak penerbit itu?

Saya rasa bukan tidak mungkin bahwa tulisan-tulisan "bawah tanah" itu sengaja tidak disebut di Indonesia karena Ayu Utami tidak siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu!

Dengan latar belakang informasi tentang politik pencitraan Ayu Utami sebagai pemberontak yang subversif di atas bisa dipahami mengapa novel Saman bisa muncul di sebuah website yang menurut pandangan saya sama sekali bukan tempatnya, yaitu website amnesty international.

Buku Saman dengan keterangan singkat mengenai isinya saya temukan di website kelompok Verfolgte AutorInnen und JournalistInnen (pengarang dan wartawan yang dicekal/terancam secara politis, atau persecuted writers and jounalists dalam bahasa Inggris) yang menjadi bagian dari amnesty international Jerman. Ayu Utami sebagai pengarang yang terancam secara politis? Sebagai pengarang yang berhak dan perlu dibela amnesty international? Bukan main!

Kasus amnesty international itu menunjukkan betapa jauh pengaruh politik sastra KUK. Saya tidak tahu atas usul siapa Saman dimasukkan ke website tersebut, dan saya tidak bermaksud menuduh Ayu Utami, KUK atau penerbit Horlemann melakukan rekayasa agar Saman dimasukkan. Tapi masuknya Ayu Utami ke dalam daftar buku di halaman website amnesty international itu tentu tidak bisa dilepaskan dari politik pencitraan dirinya sebagai "disiden" dan "pemberontak" yang saya bicarakan di atas.

Dan, dengan adanya pidato Goenawan Mohamad yang saya sebut di atas, semakin nyata bahwa citra itu tidak timbul begitu saja, atau hanya diciptakan penerbit dan penerjemahnya, tapi bahwa KUK pun mendukung dan dengan aktif dan sengaja mengarahkan pencitraan Ayu Utami yang demikian rupa di luar Indonesia.

Pencitraan Ayu Utami tersebut menyebabkan terciptanya reputasi yang tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak adil bagi sastra Indonesia secara umum -- bukankah banyak pengarang Indonesia lain yang juga (atau malah lebih) layak mendapat perhatian?

Lebih jauh lagi, pencitraan itu juga menjadi bagian dari representasi Indonesia di mata orang asing yang cenderung sangat negatif. Mari kita kembali sejenak pada laporan wawancara Katrin Frigge yang sudah saya bicarakan di awal tulisan ini. Figge membuka laporannya dengan kedua kalimat:

"Ayu Utami kommt zu spaet. Eine typisch indonesische Angewohnheit -- aber wohl ihre einzige." (Ayu Utami datang terlambat. Kebiasaan yang khas Indonesia -- tapi sepertinya satu-satunya kebiasaannya yang khas Indonesia.")

Bukankah penggambaran tersebut luar biasa rasis?

* Katrin Bandel, Kritikus sastra asal Jerman

Sumber: Republika, Minggu, 30 Maret 2008

Esai: Jarak Estetik Sebuah Tafsir

-- N. Mursidi*

KESUKSESAN sebuah novel tak jarang mengantarkan novel itu ke layar lebar. Namun,tak ada jaminan novel laris itu sukses saat diadaptasi dalam film.

Tidak ada jaminan pasti! Sebab, novel menggambarkan kedetailan karakter dan cecapan makna yang nyaris tak bisa digantikan dengan visualisasi gambar. Sebaliknya, film memiliki logika dan aturan yang konon berbeda dengan novel. Maka, tak sedikit novel best seller yang difilmkan, akhirnya tidak bisa mengikuti jejak kesuksesan novel tersebut.

Mungkin dapat disebutkan film Lord of the Ring dan The Godfather adalah perkecualian. Lalu, bagaimana dengan film Ayat- Ayat Cinta (AAC) yang diangkat atau diadaptasi dari novel dengan judul yang sama -karya Habiburrahman El- Shirazy? Dalam beberapa hal saya melihat film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu memiliki beberapa belang. Namun, di sisi lain tetap menawarkan terobosan.

Jarak Estetik

Satu hal lumrah, ketika ada satu film diangkat dari sebuah novel,novel itu tidak jarang jadi referensi sebuah penilaian.Tak pelak jika novel Ayat- Ayat Cinta yang dirilis Habiburrahman itu kemudian menjadi rujukan untuk mengkritisi adaptasi film yang bersumber dari cerita novel tersebut.

Memang,dari sudut sastra,jalinan cerita dalam novel Ayat-Ayat Cinta besutan Kang Abik—panggilan akrab Habibirrahman El-Shirazy—itu sebenarnya tidak cukup istimewa.Jalan cerita yang dibangun biasa. Juga teknik penulisan dan detail karakter tokoh-tokohnya tak cukup kuat.Tak berpilin,bahkan tidak njelimet.

Lantas,kenapa novel tersebut bisa menjadi fenomenal? Jawabnya, karena pengarang mampu menggambarkan setting Mesir dengan memikat dan dikemas dengan nilai dan ajaran Islam. Dua hal yang nyaris belum digarap— setidaknya—oleh pengarang lain di negeri ini.

Sayangnya, dua kelebihan (setting dan ajaran Islam) yang dicapai novel itu ternyata tak cukup dielaborasi ke bentuk film.Versi film bahkan nyaris mengedepankan adegan in door (80%) sehingga kurang memadai mengungkap setting keindahan Mesir,kampus Al-Azhar,padang pasir, dan Sungai Nil. Celakanya, setting Mesir itu dijadikan sekadar “tempelan”.

Dengan pertimbangan biaya, setting Mesir itu hasil duplikasi semata karena shootingdiambil di India, Semarang,juga Jakarta. Sementara itu, selipan keluasan agama Islam yang dijejalkan pengarang dalam novel nyaris terbengkalai, tidak mendapatkan porsi yang cukup memadai. Lebih parah, alur cerita novel yang lumayan panjang dipangkas dengan ritme cepat, seakan pemahaman penonton ditebas tanpa pertimbangkan yang logis.

Memang tidaklah gampang meringkas sebuah novel ke dalam bingkai layar lebar dengan durasi yang hanya dua jam.Kendati demikian,ruh dan alur cerita tak bisa dipangkas tanpa memadai.Maka,pemangkasan alur dapat menjadi sebuah kecelakaan jika tak teliti. Adegan pemangkasan janggal saat Fahri—diperankan Fedi Nuril—membantu mencari ayah kandung Noura— Zaskia Adya Mecca—dengan mudah.

Tak ada halangan. Tak ada rentang pencarian lama dan rumit. Di sisi lain,karakter pemain masih centang perentang. Fedi Nuril tak cukup kuat mewakili Fahri yang pandai, kuat, bahkan mengundang karisma, justru dalam film ditampilkan lemah.Padahal,sebagai tokoh utama, jelas sekali Fahri "harus" cukup meyakinkan. Belum lagi sosok Zaskia yang tak mewakili (Noura) sebagai gadis Mesir.

Juga tokoh-tokoh lain yang "seharusnya" diisi orang Mesir ternyata nyaris didominasi pemain-pemain Indonesia. Kekurangan itu tak didukung skenario dialog yang kuat. Meskipun tak bisa dinafikan bahwa duo penulis skenario Salman Aristo dan Ginatri S Net tidak cukup mengecewakan, tetap saja masih kurang puitis. Padahal, kekuatan sebuah film selain ditopang visualisasi gambar dengan menampilkan latar, wardrobe, dan properti, tak dinafikan didukung pula dengan kekuatan dialog.

Apalagi, dialog bahasa Arab (Mesir) ternyata minim dan sekadar tuntutan latar cerita. Dengan kebopengan itu, tak salah film yang digarap sutradara kondang Hanung Bramantyo itu dinilai tidak mampu melampaui novel yang mengiris hati dan bisa membuat pembaca tercerahkan.

Meskipun rasa penasaran untuk menonton film itu—sekalipun sudah membaca novel— tetap mengundang daya tarik pembaca untuk menikmati film dari kisah cinta Fahri yang membuat merana Maria Girgis (Carissa Putri), Nurul (Melanie Putria), dan Noura, sebab Fahri memilih menikah dengan Aisha (Rianty Cartwright).

Tetap Tak Celaka

Meski film Ayat-Ayat Cinta memiliki sejumlah kekurangan, film itu tidak dapat disebut sebuah “petaka”.

Hanung yang konon menghabiskan waktu satu setengah tahun untuk mempersiapkan serta menggarap film tersebut masih mampu meneguhkan reputasi sebagai sutradara gemilang. Hanung mampu menemukan kelemahan novel yang menampilkan Fahri nyaris sempurna direduksi menjadi lelaki yang nyaris tidak kuat dan hampir putus asa ketika ia dipenjara.

Bukti itu ditunjukkan Hanung dengan sarkastis melalui petuah orang gila satu sel Fahri—yang justru menasihatinya untuk ikhlas dan sabar. Uniknya, lelaki gila itu justru tak salat dan seakan-akan jauh dari agama.Tetapi,kesombongan Fahri— setidaknya dalam hati Fahri menganggap dirinya lebih pintar dibandingkan teman-temannya meski dalam keseluruhan cerita film tak dielaborasi dengan jelas—itulah justru (di mata orang gila itu) sebagai cara Tuhan menasihati Fahri.

Sebuah cerita yang tidak dapat ditepis, diilhami dari kehidupan Nabi Yusuf. Selain itu, film ini bisa menutupi lubang atau ketimpangan lain dalam novel tatkala dialihkan dalam bentuk gambar. Maka, ada tuntutan kreativitas Hanung dan duo penulis naskah Salman Aristo dan Ginatri S Noer. Maria—yang dalam novel kurang memerankan kunci lantaran sekadar sebagai saksi yang dapat membebaskan Fahri—terpaksa dielaborasi lebih jauh.

Juga soal adegan yang mengundang gelak tawa sehingga mampu menghidupkan film menjadi tontonan yang segar, di samping melankolis karena mengundang derai air mata. Kelebihan itu tentunya telah mencatat prestasi dan kerja keras Hanung yang tak cukup mengecewakan.

Jika hendak dibandingkan dengan filmfilm Indonesia lain,film produksi MD Pictures itu tetap menyuguhkan cerita yang menyegarkan dan mencerahkan. Sebab,film Ayat-Ayat Cinta itu satu-satunya film yang menyodorkan suatu konsep menjalin hubungan lawan jenis dalam Islam, ta’aruf dan juga poligami yang hingga kini masih dianggap kontroversial.

Tak salah jika film Ayat-Ayat Cinta itu bisa menjadi satu alternatif di tengah kebangkitan film-film Indonesia yang kerap mengangkat tema-tema horor.***

* N. Mursidi, Cerpenis dan penikmat film, tinggal di Ciputat

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 30 Maret 2008

Dekatkan Anak pada Seni

ANAK-ANAK adalah bagian dari jembatan kesenian. Generasi penerus kesenian tidak lain adalah anak-anak jika ditanamkan sejak dini. Kalimat itu berkali-kali diucapkan Marusya Nainggolan, direktur Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).

Penegasan itu dilontarkan dalam pembukaan Pesta Kesenian Anak Mutiara Indonesia (PESKA) VI di halaman GKJ,Jumat (28/3). Itulah sebabnya, PESKA tetap bertahan dan selalu diselenggarakan GKJ sebagai rangkaian agenda unik sekaligus unggulan. ”Seni mengasah budi pekerti.

Di dalam seni, anak-anak dilatih aware dengan lingkungannya. Di dalam seni, juga ada unsur pendidikan yang senantiasa dibutuhkan anak, termasuk berkomunikasi,” beber Marusya. Karena itu,dalam setiap penyelenggaraan PESKA,GKJ selalu mengemasnya dengan lebih variatif.

Seperti tahun ini, selain menampilkan kesenian dari berbagai budaya, PESKA juga diselingi beberapa acara menarik. Di bidang pendidikan, GKJ mendatangkan sebuah mobil pemadam kebakaran dari Dinas PMK DKI Jakarta. Bukan hanya untuk mengajak anak-anak untuk lebih mengenal tugas dan kewajiban petugas pemadam kebakaran, anak-anak juga diharapkan peduli dengan lingkungan agar kebakaran bisa diminimalisasi.

Anak-anak peserta PESKA juga diberi pengarahan atau lebih enak disebut sharing pengalaman berkesenian oleh beberapa tokoh.Yessy Gusman, Dorman Borisman, Kak Seto,Prof Dr Komarudin Hidayat,bahkan Sujiwo Tejo juga dilibatkan untuk menampilkan teater anak.

”Lihat saja.Acara ini benar-benar menjadi jembatan antara kesenian dan anak-anak. Orang tua juga diminta peduli,”kata Marusya. Memang, di zaman seperti ini, anak-anak sangat rawan eksploitasi.Demi uang dan popularitas,banyak cara instan. Salah satu faktornya bisa jadi karena orangtua yang kurang peduli dengan perkembangan jiwa anak. Menurut Dorman Borisman, pemimpin Seni Teater Jakarta Timur,anak-anak masa kini dikhawatirkan kurang kreatif dengan cara-cara instan.

Peran orang tua benarbenar diharapkan untuk membimbing di jalan yang semestinya. ”Lihat,banyak orang tua yang mengarahkan anaknya bermain sinetron. Dengan begitu, mereka memang cepat tenar dan mendapat banyak uang. Namun, jiwa sang anak belum terlatih betul dengan kondisi itu.Beda jika masuknya lewat jalur kesenian terlebih dahulu,” tutur Dorman.

Ya, PESKA adalah cerminan budaya masyarakat yang bisa dilihat dari perspektif anak-anak.Kali ini,PESKA akan menyajikan setidaknya 14 penampilan.Pada pembukaan Jumat lalu, marching band SDN 5 Percontohan Pagi Bendungan Hilir Jakarta Pusat ikut serta. Puluhan anak yang rata-rata duduk di bangku kelas 3, 4, dan 5 SD itu dengan centil memainkan alat-alat musik khas marching band. Lagu-lagu yang dibawakan tidak seseremonial yang kita bayangkan.

Lagu-lagu baru yang masih fresh di ingatan justru lebih banyak mereka bawakan. Rupanya,itu adalah strategi yang diterapkan pelatih tim marching band agar anak-anak tidak merasa bosan dan diberi batasan. Itu terbukti dari komentar-komentar anakanak ketika Aurora Tambunan,Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta memanggil beberapa anak naik ke pendopo GKJ.

Ditanya tentang keikutsertaannya dalam marching band,sebagian besar jawaban anak-anak itu adalah karena kegembiraan yang mereka dapat.Seperti yang dilontarkan salah satu majorette, Miranda. Dia suka drum band karena seru dan banyak teman.”Ikut drum band juga menyenangkan hati,lagunya enak-enak,”ujarnya polos.

Pada hari yang sama, juga tampil grup tari TK An-nisa Tangerang.Anak-anak yang masih imut itu membawakan tiga tarian.Tari Payung, Piring, dan Ondel-ondel.Tidak lama berselang, kelompok paduan angklung STBA Yapariaba Bandung giliran unjuk karya.Lagu-lagu pilihan dari beberapa era disimbolisasikan dengan alunan angklung. Pada hari kedua kemarin,empat penampilan luar biasa ditunjukkan anak-anak peserta PESKA.

Ada musik Betawi Gambang Kromong, pertunjukan teater Anak-anak Laboratorium Seni Jakarta Timur, teater Cilukba yang disutradarai Sujiwo Tejo,hingga pertunjukan puisi dan lagu dariYayasan BundaYessy pimpinanYessy Gusman. Hari ini,PESKA punya agenda lebih banyak sebagai hari terakhir.

Dua pertunjukan musik siap dinikmati, di antaranya pertunjukan dari Rumah Sahabat Anak Puspita, dan konser pianis Cilik Randy. ”Saya berharap acara ini bisa menjadi langkah kecil untuk membimbing anak-anak agar mencintai seni dan budaya mereka,”kata Marusya. (donny apriliananda)

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 30 Maret 2008

Takdir dan Chairil

DI seratus tahun kelahirannya: mengapa nama Takdir abadi, namun karya-karyanya terasa bahari?

Jika seseorang tanpa nama mengirimkan sajak serupa anggitan Sutan Takdir Alisjahbana ke koran-koran hari ini,rasanya tak satu pun redaktur budaya akan menyambut. Beta melihat kilau bergurau/ Beta menyambut suria bersinar/ Segar gembira sukma menggetar/ Menunda melanda pergi berjuang.

Demikian kata Goenawan Mohamad—yang saya setuju—dalam diskusi memperingati seabad tokoh besar itu di Galeri Cipta TIM pekan lalu. Namun, jika ada seseorang tanpa nama mengirimkan sajak serupa yang dibuat Chairil Anwar, rasanya para pengasuh rubrik budaya masih senang memuatnya.Padahal,keduanya pernah hidup pada zaman yang sama.

Bahkan, meski lebih muda 24 tahun, Chairil meninggal lebih dulu. Saya kutipkan sebarang: Laron pada mati/ Terbakar di sumbu lampu/ Aku juga menemu / Ajal di cerlang caya matamu / Heran! Ini badan yang selama berjaga / Habis hangus di api matamu / ‘Ku kayak tidak tahu saja.

Mengapa puisi Chairil modern dan puisi Takdir tidak? Apa yang membuat sesuatu modern dan sesuatu yang tidak? Tak ada yang meragukan sumbangan Takdir kepada bahasa dan sastra Indonesia. Namun mengapa, tak hanya puisi dan romannya, tawarannya di bidang linguistik pun terasa kuna hari ini? Takdir menulis Tatabahasa Baru Indonesia Jilid 1 dan 2.

Dia memiliki pendekatan fonetik yang terasa menyederhanakan dan aneh di zaman yang hingar bingar ini. Misalnya, mengganti semua akhiran –e (pepet) untuk kata serapan menjadi a.Akibatnya,nasionalisme menjadi nasionalisma, liberalisme menjadi liberalisma, organisme menjadi organisma (dengan demikian, orgasme menjadi orgasma).

Dia juga menolak konsonan berhimpitan.Sumatra menjadi Sumatera, pribahasa menjadi peribahasa. (Apakah dengan demikian Brawijaya menjadi Berawijaya, saya tidak tahu). Seperti penulisan puisinya,usulan fonetiknya juga telah ditinggalkan orang sekarang. Namun, tetap ada sesuatu yang menyala dari baranya sampai hari ini. Jadi, apa alasan Sutan Takdir menyederhanakan fonetik Bahasa Indonesia? Bukankah dia sangat melihat ke Barat?

Saya bertanya dan Jos Daniel Parera menjawab. Tampaknya orang sudah lupa alasan yang tepat.Namun, sesungguhnya itu bukan penyederhanaan. Demikian Parera. Takdir menghilangkan e (pepet) dibelakangtapitidak menghilangkan bunyi f. Itu karena dia mencari dari khasanah bahasa-bahasa nusantara.

Dalam penyelidikannya, bahasa-bahasa di kepulauan Indonesia ini tak ada yang mengenal bunyi e (pepet) di akhir kata. Karena tidak dikenal,maka digantilah dengan yang bunyi akhir a, yang dikenal baik di nusantara. Namun, bunyi f yang tidak dikenal suku di sisi Barat Indonesia justru dikenal di Timur Indonesia.

Berbalikan dengan orangorang di kepulauan Barat,orang-orang Indonesia Timur bahkan ada yang mengenal hanya f dan tidak p.Karena itu Takdir mempertahankan f. Sesungguhnya,proses yang dilupakan orang ini sangat menarik.Takdir, seperti kita tahu, mengembangkan layarnya menuju Barat. Sementara Sanusi Pane mengagungkan masa lalu nusantara.

Di antara mereka ada polemik kebudayaan.Namun, pada saat yang sama, dalam merumuskan tata bahasa modern Indonesia Takdir justru menggali dari khazanah nusantara. Dia berusaha untuk tidak menggunakan apa yang tidak dikenal oleh bahasa-bahasa kepulauan. Dia berusaha untuk tidak terlalu banyak menanamkan hal baru dan memilih menggali dari yang ada.

Hal itu mungkin karena dalam hal konsep, dia telah penuh dengan ide-ide Barat sehingga untuk perimbangannya, dia menginginkan tubuh bahasa yang se- Indonesia mungkin,saya tak tahu. Jadi, meski karya dan usulannya tampak kuna, mengapa Takdir tetap dikenang hingga seratus tahun setelah kelahirannya? Chairil tak menurunkan banyak teori. Namun, sajaknya lebih abadi.

Saya kira,Chairil adalah seorang seniman sejati yang berkarya dengan api intuisi.Takdir adalah seorang guru. Dia tidak terutama mencipta.Dia memetakan masalah yang tetap kita hadapi sampai sekarang. Meski jalan yang dia tunjukkan tak lagi dipilih orang,peta itu tetap kita wariskan.(*)

Ayu Utami
utami.ayu@gmail.com

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 30 Maret 2008

Esai: Agama, Sastra, dan Pluralitas

-- Heru Kurniawan*

KALAU saya menganalogikan alam semesta dan sastra sebagai dunia yang sama, itu karena di antara keduanya mempunyai paradigma yang seide, yaitu alam semesta dan sastra merupakan dunia manifestasi dari penciptanya.

Alam semesta adalah manifestasi dari "perbendaharaan Tuhan". Sedangkan sastra adalah manifestasi "pikiran pengarang". Dalam tradisi filosofis, alam semesta dan sastra sama merepresentasikan kejeniusan penciptanya.

Karena alam semesta dan sastra sebagai perwujudan Tuhan dan pengarang selamanya tidak mampu merepresentasikan "kemahaan" penciptanya. Alam semesta adalah bahasa Tuhan dalam mewujudkan diri-Nya, tapi kesempurnaan alam semesta tidaklah sesempurna Tuhan.

Tuhan jauh lebih sempurna lagi. Hal ini juga terjadi pada sastra, seluas apa pun pemikiran dalam sastra tetaplah tidak bisa sama dengan keluasan pikiran pengarangnya karena menulis sastra hakikatnya mengambil keputusan untuk menghentikan pengembaraan ide dan memilih salah satu ide yang dianggap menarik untuk dituliskan. Jadi, masih ada berjuta ide yang terdapat dalam diri penulis yang tidak dituliskan.

Dengan dasar melihat kegeniusan mutlak yang dimiliki pencipta ini maka tradisi romantik lahir. Tradisi romantik muncul sebagai gerakan yang menyuarakan kiblat mengembalikan alam semesta dan sastra pada penciptanya.

Cara pandangnya pun berujung pada pencipta, maka alam semesta dan sastra menjadi dunia yang "diabaikan" karena dialog yang dibangun adalah komunikasi dengan yang "mahagenius", yaitu penciptanya. Dalam tradisi sastra, pembaca akan mengabaikan karya sastra.

Karya sastra dianggap tidak penting, yang paling penting adalah pengarangnya. Sedangkan dalam tradisi keagamaan, manusia akan menyempurnakan hubungan transendental dengan mengesampingkan alam semesta. Yang terpenting adalah kebaktian yang transendental.

Jika hal ini terjadi, saya membayangkan efek terbesarnya adalah dunia akan terbengkalai. Di sini terlihat bahwa tradisi romantik adalah paradigma yang membuat hubungan "manusia dengan alam semesta" dan "pembaca dengan karya sastra" menjadi terdegradasi.

Dalam hal ini, saya menganggap alam semesta dan sastra sama seperti "teks" sebagai fenomena yang diciptakan Tuhan dan pengarang. Oleh sebab itu, dalam alam semesta dan sastra itu terdapat esensi suara "Aku Berada" yang keberadaannya hanya dapat diungkap dengan dialog yang intens antara "manusia dan alam semesta" atau "pembaca dan karya sastra". Hubungan dialogis ini yang menciptakan peluang manusia dan pembaca untuk mengembangkan diri.

Dalam dimensi agama, manusia sebagai khalifah mempunyai kewajiban menjaga hubungan yang harmoni dengan alam semesta. Dengan paradigma harmoni ini, manusia dapat menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sedangkan dalam sastra, pembaca diberikan otoritas untuk membuka pemahaman (understanding) terhadap karya sastra dengan melakukan pendakuan terhadap karya sastra. Pembaca mempunyai otoritas memaknai karya sastra dari perspektifnya.

Dengan menekankan dialog antara "pembaca dengan karya sastra" dan "manusia dengan alam semesta", pembaca dan manusia menjadi objek sentralnya. Di sinilah terlihat semangat humanisme yang kuat dalam paradigma ini.

Dialog 'Aku Berada' dengan 'Mengada Saya'

Dengan kesadaran bahwa dalam alam semesta dan sastra adalah manifestasi "Aku Berada", dialog dan penaklukan yang terjadi "manusia dengan alam semesta" dan "pembaca dengan karya sastra" tetap dalam semangat nilai transendensi dan humanisasi. Manusia memaknai alam semesta dalam rangka untuk mengungkap kebesaran Tuhan.

Oleh sebab itu, saat manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya meneliti nyamuk, misalnya, ujung penelitiannya adalah untuk kemanfaatan umat dan mengungkap kesadaran pada kebesaran Tuhan. Misalnya, kesadaran betapa Tuhan Yang Mahasempurna menciptakan makhluk sekecil nyamuk yang ternyata mempunyai struktur rumit yang tidak bisa diciptakan manusia.

Inilah yang saya sebut dengan kesadaran transendensi yang berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi). Lewat eksistensi nyamuk kemudian manusia berpikir dan meningkatkan dirinya.

Pada wilayah sastra, pembaca memaknai karya sastra dalam rangka mengapresiasi diri dan pengarangnya. Pembaca mengungkap "Aku Berada" pengarang dengan berdasar pada otoritas persepsinya. Tidak ada objektifikasi di sini karena karya sastra dipandang sebagai dunia yang akan hidup jika bersentuhan dengan pembacanya. Tanpa pembaca, karya sastra menjadi dunia yang mati (artefak).

Maka menurut Paul Ricoeur, pada komunikasi seperti ini karya sastra menjadi dunia yang merepresentasikan dua kemungkinan, yaitu "mengacu pada dirinya sendiri" (sense) dan "mengacu pada dunia luarnya" (reference). Sense muncul sebagai penjelasan yang menerangkan karya sastra pada lingkup otonom. Sedangkan reference sebagai penjelasan yang menerangkan keterkaitan karya sastra dengan dunia luar yang diacu.

Pembukaan sekat penjelasan makna ini yang akhirnya mengarahkan pembaca untuk menemukan dirinya sampai pada titik pemahaman, yaitu pembiaran karya sastra dan dunianya memperluas cakrawala pemahaman tentang diri sendiri.

Di sinilah terlihat bahwa pemaknaan karya sastra, selain untuk memaknai "Aku Berada" penulis juga untuk memaknai "Mengada Saya" pembaca. Komunikasi di antara keduanya ini yang menjadikan paradigma ini menjunjung tinggi semangat humanisasi. Pengarang dan pembaca ditempatkan pada posisi yang proporsional, yaitu diapresiasi sebagai individu yang memiliki pemikiran dan ditempatkan sebagai kodrat yang mencipta dan memberi makna.

Apa yang saya pahami dengan paradigma ini bahwa agama dan sastra telah memberikan pemahaman tentang hakikat "Aku Berada" dalam alam semesta dan sastra yang harus dieksplorasi berdasar "Mengada Saya" manusia dan pembaca. Oleh sebab itu, menurut saya, "Aku Berada" mewakili dunia transendensi; Tuhan dan pengarang, sedangkan "Mengada Saya" mewakili dunia yang humanis; pembaca sebagai manusia.

Perkawinan yang harmoni antara dimensi transendensi dan humanisme ini yang melahirkan pembebasan (liberasi), yaitu semangat manusia membebaskan diri dari sekat keprimitifannya yang dapat menciptakan disharmoni. Kuntowijoyo dalam konsep profetiknya memaknai liberasi sebagai semangat mencegah kemungkaran (nahi mungkar), suatu sikap ketika manusia menyadari keberadaannya untuk saling berbuat baik demi kelangsungan hidupnya.

Oleh sebab itu, pembaca sebagai manusia harus mempunyai pemahaman tentang eksistensinya sebagai individu yang harus terus belajar terhadap semua teks di alam semesta demi peningkatan taraf hidupnya yang diukur perilakunya yang transenden dan humanis. Dalam tradisi agama, konsep ini disebut sebagai hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Keberadaan ini bisa tercapai jika manusia terus melakukan eksplorasi terhadap alam semesta dan ilmu.

Semangat Pluralisme

Dengan penekanan pemahaman (understanding) alam semesta dan sastra pada dialog antara "Aku Berada" pencipta dan "Mengada Saya" pembaca sebagai manusia, efek terbesar yang tidak bisa dihindari tradisi ini adalah keanekaragaman (pluralitas). Ini terjadi karena kehakikatan pembaca sebagai manusia yang tidak seragam.

Fitrah yang telah terkodifikasi dalam sejarah pembentukan pengalaman menjadikan antara manusia yang satu dan lainnya berbeda. Oleh sebab itu, "Mengada Saya" lahir dengan wajah yang berbeda antara satu dan yang lain.

Tidak bisa dihindari kalau hasil pemahaman terhadap alam semesta dan teks pun menjadi beragam. Inilah kekayaan yang luar biasa. Pluralitas dunia, menurut saya, adalah kodrat yang indah, harus dihargai dalam semangat pluralisme.

Inilah paradigma semangat gerakan postmodern yang kembali mengkritik keseragaman dan kemapanan dari suatu narasi besar. Peletakan paradigma pada kekuatan pembaca sebagai manusia yang harus dihargai menjadikan semangat humanisasi sesungguhnya yang diletakkan atas dasar nilai-nilai kemanusiaan yang transenden.

Tidak mengherankan bila konsep kekuatan suatu negara kini bergeser pada pluralitas. Pluralitas yang pada awalnya menjadi "persoalan" kini telah menjadi "kekuatan". Tidak mengherankan bila keseragaman yang selalu diperjuangkan pemerintahan orde baru pada akhirnya menjadi bumerang karena pada kenyataannya masyarakat yang plural tentu tidak bisa diseragamkan.

Harus disadari bahwa pluralitas adalah kenyataan alamiah yang tak terhindarkan, demikian paradigma alam semesta dan sastra menempatkan pemahamannya pada manusia dan pembaca. Oleh sebab itu, keberbedaan yang menghiasi seluruh lingkup kehidupan haruslah dimaknai sebagai apresiasi atas nilai humanisme-transendental yang akan berujung pada pembebasan (liberasi).

* Heru Kurniawan, pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto dan Mahasiswa S-2 Ilmu Sastra di UGM Yogyakarta.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Maret 2008

Apresiasi: Sastra dan Batas Makna Kebudayaan

-- Yanuar Arifin*

BERBICARA mengenai sastra, dalam benak kita tertancap sebuah entitas kebudayaan yang lahir dari proses kreativitas manusia. Maman S. Mahayan, kritikus sastra Indonesia, mengatakan sastra adalah roh kebudayaan? Ia lahir dari proses yang rumit kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya.

Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Sebagai sebuah karya, sastra tidak hanya menjadi artefak kebudayaan semata.

Lebih dari itu, sastra merupakan karya manusia yang berwujud gagasan yang pada akhirnya turut memengaruhi segala bentuk aktivitas kehidupan manusia. Dari aktivitas religius hingga sosial, karya sastra menjadi sebuah entitas yang menyatu dengan napas kehidupan.

Dalam konteks inilah, karya sastra telah menembus batas-batas kebudayaan. Artinya, dalam setiap penciptaan karya sastra, seluruh unsur yang terkait dengan manusia dan alam, baik unsur material maupun nonmaterial selalu ikut menyertai kelahirannya. Tidak salah apabila karya sastra juga sering kita identikkan sebagai karya manusia yang paling orisinal, private (pribadi) dan transenden.

Misalnya saja, dalam karya sastra yang berbentuk puisi, manusia dapat menangkap dan mengumpulkan realitas kehidupan manusia yang begitu kompleks ke dalam sebuah rangkaian bait-bait yang sangat ringkas. Proses penyusutan yang terjadi menggambarkan efektivitas imajinasi manusia dalam karya sastra terhadap realitas.

Dari beberapa bait puisi yang pendek, manusia dapat memiliki pemahaman yang berbeda-beda dan luas. Sungguhpun demikian adalah sebuah kebohongan apabila karya sastra mendeklarasikan diri sebagai kebudayaan yang menolak keberadaan intervensi dari luar entitasnya. Dalam hal ini, sifat manusia yang berbeda-beda, cenderung mengarah ke sifat egoistik.

Karya sastra tidak terlepaskan dari keberadaan kepentingan. Maka, karya sastra yang dahulunya suci, agung, dan estetis telah ternodai. Ia menjadi sebuah kebudayaan yang kotor.

Ketika realitas yang demikian tengah terjadi, tiada cara bagi karya sastra untuk meretas jalan kebudayaannya. Karya sastra harus mengembalikan makna primordialnya, sebagai representasi akal rasional dan akal budi manusia yang paling transenden.

Ia harus terus tetap mempertahankan diri pada garis wilayah estetis religius. Karya sastra harus terlihat sebagai wujud dari adanya ekspresi spiritual kehidupan manusia. Dengan demikian, entitas karya sastra tetap dapat dipertahankan.

Lalu, bagaimana cara karya sastra mempertahankan diri ketika modernitas melancarkan serangannya? Bukankah modernitas telah merubah sistem, norma, dan nilai dalam kehidupan? Adakah modernitas juga menggeser kedudukan karya sastra sebagai karya yang agung, magnum opus?

Pertanyaan-pertanyaan ini mengantarkan kita pada satu titik temu, akar dari karya sastra itu sendiri, yakni locus penghayatan atas realitas kosmologis dan kosmogonis tertentu. Dari sini, dapat kita tarik benang merah bahwa karya sastra tercipta ketika manusia mau menggunakan akal rasionya serta menjadikan hati nuraninya sebagai alat penimbang dan penentu, apakah ia layak disebut sebagai karya sastra atau tidak.

Meskipun, akal rasio terkadang sangat sering berbenturan dengan hati nurani. Pilihan untuk menggunakan kedua instrumen tersebut adalah sebuah keniscayaan. Hal ini akan berdampak pada karya yang lahir dari rahim makhluk hidup yang bernama "manusia"?

Bukankah pada akal dan hati, di antara manusia dengan makhluk Tuhan lainnya terentang jarak yang begitu luas? Manusia adalah makhluk yang sungguh berbeda dengan hewan, tumbuhan. Meskipun dari kedua makhluk itu dapat kita temukan beberapa unsur yang sama dengan yang ada pada manusia.

Sementara itu, meskipun modernitas turut menggerakkan gerbong-gerbong perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, terutama turut mengubah paradigma berfikir manusia, karya sastra akan tetap abadi selama dimensi spiritualitas manusia tetap tumbuh subur. Namun, ketika dimensi tersebut telah mengering, dapat dipastikan bahwa usia karya sastra tidak akan lama lagi.

Artinya, karya sastra akan kehilangan sentuhan estetis religius. Mengapa? Sebab, karya sastra tak dapat berfungsi sebagai penghilang dahaga kerohanian, ia hanya sebagai alat pemuas nafsu semata.

Dalam konteks ini, kita dapat melihat perbedaan yang sangat kentara di antara karya sastra yang telah terkooptasi modernitas dan karya sastra yang tetap bertahan di tengah-tengah gelombang arus perubahan oleh modernitas.

Adalah karya sastra yang lahir dari rahim peradaban Barat yang dikenal sebagai karya sastra modern. Karya sastra golongan ini sangat kental dengan nuansa estetisnya, tapi sangat disayangkan ia tidak mampu menyirami lahan gersang spiritualitas bangsa Barat. Tidak heran apabila kita melihat kehidupan orang-orang Barat teramat kaku.

Sedangkan karya sastra dari peradaban Timur sering dikatakan sebagai karya sastra yang unsur estetis religiositasnya sangat kental. Unsur estetis religiositas inilah yang terkadang memberi kesan utopis?

Terlepas dari itu semua, peradaban Barat dan Timur memang tidak akan pernah bertemu pada satu titik yang sama. Bagaimanapun, peradaban Barat dan Timur adalah entitas peradaban yang harus saling melengkapi.

Dari kedua peradaban besar manusia itu, karya sastra pada awalnya lahir untuk menembus batas perbedaan yang ada. Di mana pun dan kapanpun, karya sastra tetaplah berada dalam ruang kehidupan manusia yang tersendiri dan profan. Ia terlahir guna menembus batas makna kebudayaan.

Tidak ayal, karya sastra telah menjadi wujud ataupun simbol ekspresi dan eksistensi diri manusia yang paling relevan, baik secara fisik maupun spiritual, dalam rangka menjalin komunikasi antara manusia dengan Tuhan dan alam semesta.

Setidaknya dengan pemahaman seperti di atas, kehadiran karya sastra di tengah gagap gempitanya kehidupan modern dan global ini telah membuka jalan yang mem-paralel-kan tradisi kebudayaan masa lampau dengan tradisi kebudayaan kontemporer. Selain itu, keberadaan karya sastra juga diharapkan tetap dapat menjadi oase yang menyejukkan dahaga spiritual kita di tengah derasnya perkembangan sains dan teknologi yang tidak mungkin terbendung lagi.

*) Yanuar Arifin, pemerhati budaya, sosial, politik, dan keagamaan pada Hasyim Asyari Institute Yogyakarta.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Maret 2008

Saturday, March 29, 2008

Etnisitas: Membayar Kealpaan Sejarah Ilmu Sosial

-- Afthonul Afif Mahasiswa*

PERNAH pada suatu masa, pada tahun 50-an sampai awal tahun 60-an wacana etnisitas di ambang kematian karena dianggap kedaluwarsa dalam kajian ilmu-ilmu sosial. Etnisitas disikapi sebagai gejala pramodern yang tidak sejalan dengan pembangunan ilmu dan teknologi sehingga lambat laun akan lenyap dari katalog kajian ilmu sosial.

THOMDEAN /Kompas Images

Dalam The Ethnic Phenomenon (1981), Pierre van den Berghe dengan cermat menggambarkan bagaimana sebagian besar ilmuwan sosial waktu itu begitu pesimistis menyikapi etnisitas.

Sebagai gejala masyarakat pramodern, menurut Berghe, etnisitas tak lebih dari sekadar limbah partikularisme yang tidak cocok dengan kecenderungan masyarakat industri. Suatu masyarakat yang menjunjung tinggi prestasi, universalisme, dan nasionalisme.

Para teoretikus pembangunan atau modernisasi begitu yakin, dalam masyarakat industri—dengan pembagian kerja yang makin rumit—masalah-masalah etnisitas secara bertahap akan tenggelam dan kebudayaan modern menjadi satu-satunya kemungkinan dari evolusi panjang peradaban umat manusia.

Secara teoretik, modernisasi memang merupakan keniscayaan sejarah yang sulit disangkal, namun secara empirik selalu saja ada deviasi-deviasi yang memaksa kita untuk menerima bahwa modernisasi tidak selamanya berwajah tunggal. Ahmed Gurnah (Alan Scott (ed.), The Limits of Globalization, 1997: 120), misalnya, melihat globalisasi budaya tidak sesederhana sebagai sebuah homogenisasi budaya sebagaimana diyakini oleh para teoretikus pembangunan. Tetapi di dalamnya terdapat proses seleksi, pertukaran, dan pengaruh yang rumit antarbudaya.

Meruyaknya etnisitas

Futurolog modernis seperti Alvin Toffler sendiri jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa globalisasi kebudayaan tidak serta-merta membawa wajah dunia dalam satu rupa, tetapi juga telah memicu munculnya resistensi budaya lokal yang notabene berbasis etnik.

Pada abad ke-21, lanjut Toffler, masalah etnisitas akan kembali mengemuka karena dipicu oleh kegagalan negara nasional memfasilitasi dialog antar-etnik dan mewujudkan kehidupan politik-ekonomi yang berkeadilan.

Ramalan Toffler sepertinya bukanlah isapan jempol semata sebab gerakan-gerakan sosial berbasis etnis dan masalah-masalah sosial yang berpangkal pada etnisitas berkecambah lagi hampir di seluruh penjuru dunia. Keberhasilan partai bernuansa etnik, seperti One Nation Party pimpinan Pauline Hanson yang meraih sepuluh kursi di parlemen Negara Bagian Queensland dan tiga kursi di Senat Federal Australia pada tahun 1990-an, adalah contoh yang cukup fenomenal.

Andai saja masalah etnisitas dari awal tidak dianggap sebagai anak haram bagi ilmu sosial, barangkali para ilmuwan sosial tidak akan gagap dalam menjelaskan dan memberikan solusi terhadap masalah-masalah sosial kontemporer. Karena disukai atau tidak, seperti ditulis Koentjaraningrat (1993:3), dari 175 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hanya 12 negara yang penduduknya relatif homogen. Karena itu, pengabaian masalah etnisitas dapat menjadi bom waktu yang setiap saat dapat berkembang menjadi gejolak sosial-politik yang serius.

Dalam konteks Indonesia, misalnya, kecerobohan penguasa Orde Baru dalam mengelola masalah etnisitas harus dibayar mahal dengan merebaknya konflik antar-etnis pada akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an. Konflik etnis di Ambon, Sampit, Sambas, dan tragedi 1998 yang memakan banyak korban jiwa dari kalangan etnis Tionghoa adalah contoh nyata betapa keragaman etnis di Indonesia belum bisa menjadi berkah sosial (social capital), namun justru menjadi sumber keresahan politik yang bersifat laten.

Terobosan teoretik

Dihadapkan pada pluralisme kebudayaan yang menguat belakangan ini, para ilmuwan sosial semestinya mampu menawarkan terobosan teoretik yang dapat menjelaskan dinamika etnisitas secara lebih komprehensif. Tesis lama yang meyakini munculnya identitas kemanusiaan universal akibat modernisasi kebudayaan, misalnya, harus segera direvisi.

Karena dinamika masalah etnisitas pun sekarang ini jauh lebih kompleks dari sekadar penjelasan tentang asal-usul ras manusia. Karena ternyata ia juga terkait dengan sumber-sumber identitas lainnya seperti agama, pekerjaan, pendidikan, dan afiliasi politik. Ditambah lagi dengan munculnya prasangka stereotipik yang cukup ”mencemaskan” seperti penyebutan orang China adalah ”pedagang”, orang Batak itu ”Kristen”, orang Padang ”perantau”, orang Bugis ”nelayan”, dan sebagainya.

Prasangka semacam ini kerap kali menjadi sumber terjadinya konflik antar-etnik di negeri ini. Maka sudah seharusnya setiap strategi penanggulangan konflik berbasis etnisitas mensyaratkan dialog intensif. Di mana gambaran tentang identitas etnis lain tak lagi berdasar prasangka, namun lantaran pengenalan dan pemahaman.

Dalam skala makro, dialog antarbudaya dianggap sebagai sebuah cultural complex: rangkaian proses yang memotivasi setiap orang untuk menyaring, menyusun, memisahkan, memilih, dan mengaktifkan tanda-tanda kultural supaya pertemuan kebudayaan yang berbeda lebih produktif dan bermakna (Gurnah, 1997:123). Melalui pertemuan dan pertukaran budaya, diharapkan akan berkembang makna-makna kultural baru, yang dapat menciptakan kartografi makna kultural yang kompleks. Dan, pada setiap titik pertemuan ini, terjadi pula reposisi makna, nilai, dan identitas.

Dan semua itu tak terjadi secara instan, semacam budaya kloning. Karena cultural complex sebenarnya bukanlah sebuah idealisasi kondisi, melainkan proses panjang untuk mencari kemungkinan-kemungkinan pemahaman bagi tetap tegaknya toleransi.

* Afthonul Afif Mahasiswa, Psikologi Pascasarjana UGM, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Maret 2008

Opini: Sikap dan Suara Kaum Intelektual

-- MT Zen*

KETAHANAN nasional adalah kemampuan suatu bangsa untuk dapat kembali sebagaimana keadaan semula dalam waktu relatif singkat setelah mengalami gangguan berat.

Itu adalah deskripsi yang amat umum. Karena itu, masih memerlukan penjelasan lebih rinci. Padanan dalam bahasa Inggris untuk kata ketahanan nasional adalah resilience: the ability to recover from (or to resist being affected by some shocks, insult, or disturbance). Meski demikian, pengertian resilience berbeda implikasinya bagi tiap kegiatan.

Pertanda malapetaka


Ketika semua unsur yang disebutkan itu menjadi amat rapuh, masyarakat kehilangan kepercayaan sosial dan harapan, pemerintah kehilangan wibawa. Derap langkah ketiga lembaga tinggi negara tidak lagi sinkron.

Tiap lembaga seolah mempunyai agenda masing-masing. KPK berseteru dengan Kejaksaan, BI bersilat dengan DPR, Mahkamah Agung dijuluki sarang mafia, DPR sering bertindak sebagai eksekutif, para menteri sering melontarkan keterangan yang membingungkan, seperti Menteri Perdagangan di tengah pasar mengatakan, mengoplos beras boleh-boleh saja. Jadi, mengoplos bensin atau solar, obat-obatan juga boleh? Mana yang benar? Apa yang dapat dan harus dijadikan pegangan atau patokan? Masyarakat yang sehat harus tahu apa yang salah dan benar, membedakan antara buruk dan baik.

Akhir tahun ini Indonesia akan menghadapi krisis besar, khususnya dalam hal listrik, pangan, dan infrastruktur. Beberapa pekan lalu CNN menyiarkan berita, Thailand kebanjiran pesanan beras dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia. Infrastruktur Indonesia pun menghadapi keadaan amat suram, jalur pantura, penyeberangan Merak-Bakauheni, dan lainnya.

Dilihat dan direnungkan


Hujan yang sedang-sedang saja lebatnya selama dua hari sudah cukup untuk melumpuhkan DKI Jakarta dan Bandara Soekarno- Hatta selama tiga hari. Para penumpang telantar selama tiga hari tanpa informasi yang jelas. Semua ini terjadi pada awal tahun Visit Indonesia Year 2008.

Bahkan, Presiden Yudhoyono pun harus ”diselamatkan” ke kendaraan lain, bukan di hutan Kalimantan atau Papua, tetapi di tengah kota di Jalan Thamrin yang letaknya hanya sejengkal dari istana negara. Lihat, betapa tidak berdayanya Indonesia. Hal seperti ini tidak bisa disembunyikan dari rakyat yang sudah dapat berpikir sehat dan kritis. Tidak perlu perang. Dihujankan saja selama seminggu, Indonesia pasti sudah menyerah.

Harga kedelai di-”pelintir” sedikit oleh para pedagang luar, pengusaha dalam negeri sudah ”kelimpungan”. Keluarlah berbagai keterangan tentang program dan proyek penanaman kedelai di sana-sini.

Tidak bisa dibohongi


Menghadapi masalah beras, kedelai, dan lainnya, rakyat tahu, Departemen Pertanian tak berdaya. Kini masalah kedelai seolah sudah hilang, apakah masalah sebenarnya sudah terurai? Tentu tidak.

Seusai heboh kedelai, menyusul harga minyak goreng, minyak tanah, telor, daging, dan lainnya. Semua melonjak bukan hanya 5-10 persen, tetapi hingga 20-30 persen. Para ibu panik. Namun, siapa yang peduli?

Sudah tiga pekan ini sebagian dari Jawa Timur terendam banjir karena luapan Bengawan Solo. Siapa yang peduli? Menyebut saja tidak lagi. Idem dito dengan masalah lumpur Lapindo. Ribuan orang terpaksa mengungsi berbulan-bulan, bahkan ada yang lebih dari setahun, demo demi demo dilakukan untuk menuntut haknya. Siapa peduli?

Di antara begitu banyak demo, sudah ada yang menuntut diturunkannya harga sembako. Masih ingatkan kita, pada tahun 1965 para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menuntut agar harga beras diturunkan dan PKI dibubarkan? Namun, di kalangan atas sana tetap adem ayem, seperti tidak terjadi apa-apa.

Tak ada yang istimewa


Mari kita menyimak buku-buku sejarah. Kita perlu mempelajari makna sejarah. Pesan Revolusi Perancis, Rusia, China, Kuba, Iran, dan lainnya.

Bagi yang melihat dan peka terhadap penderitaan rakyat, semua pertanda itu sudah cukup. Tiada hari tanpa unjuk rasa yang lebih sering berakhir dengan kericuhan dan perusakan. Baik demo yang memprotes hasil pilkada, ketidakadilan petinggi setempat, maupun sepak bola, semua berakhir dengan kebiadaban.

Semua gejala itu menandakan, rakyat sudah tidak lagi senang dan percaya kepada penguasa. Semua mengarah ke event kekacauan yang meminta biaya sosial amat tinggi. Lihat apa yang terjadi di Kenya; kekacauan besar; negara terbelah menjadi 10-15 banana republics dan bangsa Indonesia bakal terhapus dari peta dunia. Atau, tidak terjadi apa-apa, tetapi pelan dan pasti, RI perlahan-lahan bakal tenggelam ke dalam kemiskinan dan kenistaan. Skenario kedua ini paling menakutkan. Suatu revolusi, meski meminta darah dan jiwa, mungkin akan membawa solusi yang baik. Skenario kedua itu tidak membawa perbaikan akibat kemiskinan yang amat sangat.

Suara kaum cerdik pandai


Di tiap negara selalu ada tiga pilar yang mencirikan arah perkembangan negara itu, yakni politisi, wirausahawan, dan kaum intelektual. Yang terakhir ini selalu berfungsi untuk menyuarakan nurani rakyat. Lihat peran kaum encyclopaedists menjelang Revolusi Perancis, the Fabian Society di Inggris, dan pejuang Indonesia sebelum Revolusi Indonesia. Menjelang runtuhnya Orde Lama, muncul kelompok perjuangan baru.

Masyarakat harus menyadari, pada kelompok intelektual itu terpendam kekuatan yang amat dahsyat. Pada saat krisis, suatu kultur yang sehat secara moral selalu dapat memobilisasi semua tata nilai, harga diri, dan semangat juangnya untuk dapat mempertahankan cita-cita moralitas yang mereka junjung. Yang diperjuangkan mati-matian bukan sekadar masalah ekonomi, masalah HAM, demokrasi, dan lainnya, tetapi masalah penyelamatan bangsa dari proses penghancuran diri secara menyeluruh.

Pada saat ini kaum intelektual, masyarakat kampus, dan profesional harus membuat satu front untuk menyuarakan nurani rakyat, memberi alternatif solusi. Agar tidak sia-sia bekerja, berbagai kelompok itu tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi membuat suatu gerakan yang tidak hanya bergerak satu kali, tetapi gerakan berlanjut, menyertakan semua kelompok yang peduli kepada nasib bangsa.

* MT Zen, Guru Besar ITB

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Maret 2008

Opini: Warisan Tan Malaka

-- Yandry Kurniawan Kasim*

KUNJUNGAN Harry A Poeze ke Indonesia disambut bak bangsawan oleh para pengagum Tan Malaka. Poeze berhasil menghadirkan sosok Tan Malaka di Indonesia, bahkan dunia internasional dengan utuh, lengkap, dengan berbagai romansa yang mengiringi alur kehidupannya.

Melalui berbagai karya Poeze, khalayak mengenal sosok Tan Malaka yang misterius dan/atau kegemilangan gagasan yang seolah bersemburan dari tubuh kurus, kecil, dan sakit-sakitan. Bagi kita, pengetahuan tentang Tan Malaka justru dibentangkan oleh seorang Belanda, bangsa yang dilawan dan berusaha diusir selama hidup Tan Malaka. Sebuah ironi, tetapi begitu humanis.

Gagasan Tan Malaka


Penghargaan tanpa batas harus diberikan kepada berbagai gagasan Tan Malaka. Namun, tanpa mengurangi arti keluhuran buah pikirnya, gagasan-gagasan itu dapat dipahami dan dimaknai secara lebih proporsional pada dua tataran, filosofis dan strategis.

Pada tataran filosofis, gagasan Tan Malaka begitu progresif dan visioner, melampaui zamannya. Ini ditunjukkan minimal oleh dua karya Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) ditulis di Kanton tahun 1925, dan Madilog (Materialisme, Logika, Dialektika) ditulis tahun 1942-1943.

Melalui karya pertama, tak berlebihan jika Moh Yamin menyebut Tan Malaka sebagai ”Bapak Republik Indonesia”. Di sini Tan Malaka tidak hanya mencanangkan Indonesia merdeka, tetapi sekaligus menetapkan Indonesia merdeka itu kelak akan berbentuk republik.

Menuju Republik Indonesia ditulis delapan tahun lebih awal dari Ke Arah Indonesia Merdeka yang ditulis Moh Hatta tahun 1932 dan sembilan tahun lebih awal dari Mentjapai Indonesia Merdeka yang ditulis Soekarno tahun 1933.

Sementara Madilog berawal dari kegelisahan Tan Malaka dalam memahami nasib bangsanya sebagai resultan feodalisme, kolonialiasme, dan kepercayaan terhadap takhayul yang bercampur ilmu akhirat yang tanggung.

Madilog memberi jalan keluar dengan mengenalkan dialektika-materialisme dalam tradisi keilmuan Barat, dengan menonjolkan penguatan logika sebagai tahap awal. Pada dasarnya, Madilog berupaya menawarkan satu kerangka pikir modern sebagai alat pembongkar (dekonstruksi dan rekonstruksi) bongkahan keterbelakangan intelektual masyarakat Indonesia pada masa itu.

Pada tataran strategis, gagasan Tan Malaka begitu radikal, nonkooperatif, bahkan konfrontatif dengan highest call yang begitu tinggi, seperti dituangkan dalam Minimum Program yang dicanangkannya tahun 1946. Gagasan pada tataran ini dapat ditelaah dari dua sisi pandang.

Pertama, tuntutan radikal, nonkooperatif, dan konfrontatif akan berguna dalam membakar semangat persatuan dan perjuangan kaum muda dalam mempertahankan republik yang masih bayi.

Kedua, dari sisi pragmatisme penyelenggaraan negara yang baru lahir beserta seluruh keterbatasan sumber daya dan faksionalisme yang begitu tajam, Minimum Program menafikan realitas sifat hubungan antarnegara dalam sistem internasional.

Dengan semangat kebijakan yang radikal, nonkooperatif, dan konfrontatif, sulit untuk membayangkan Indonesia akan mendapat dukungan internasional, terutama dari negara adidaya ketika itu untuk bertahan.

Secara empiris, sejarah memperlihatkan tidak ada negara setelah Perang Dunia II yang dapat berdiri sendiri tanpa bantuan internasional (khususnya Amerika Serikat), baik negara pemenang maupun kalah perang di Eropa maupun Pasifik. Kebijakan-kebijakan politik (terutama politik luar negeri dalam bernegosiasi dengan aktor eksternal) yang dipaksakan Tan Malaka saat itu sangat membatasi (kalau tidak menghilangkan) ruang gerak serta alternatif pendekatan dan pilihan solusi.

Warisan Tan Malaka


Terlepas dari semua kegemilangan maupun kontroversinya, gagasan Tan Malaka adalah pemikiran orisinal anak bangsa yang ditujukan untuk kemajuan peradaban bangsanya dan mendapat tempat yang mendunia. Keseluruhan gagasan Tan Malaka harus diapresiasi sebagai sebuah kesempurnaan olah budi sehingga harus dilestarikan dalam taman sari khazanah intelektual bangsa Indonesia.

Dalam konteks kekinian, ada dua pilihan moderat untuk melestarikan warisan Tan Malaka.

Pertama, memopulerkannya sebagai kajian akademik, khususnya di perguruan-perguruan tinggi. Gagasan Tan Malaka akan memperkaya ilmu sosial dan politik yang telah berkembang di Indonesia.

Kedua, menjadikannya sebagai rujukan dalam setiap bentuk moral enterpreneur dalam setiap gerakan civil society berdampingan secara harmonis dengan paham-paham humanisme lainnya.

Gagasan Tan Malaka pada tataran filosofis tak tergantikan meski pada tataran strategis perlu perdebatan lebih dalam, apalagi jika disandingkan dengan dinamika Indonesia modern saat ini. Namun, di atas semua itu, gagasan (bahkan ajaran) Tan Malaka harus tetap lestari dan berkontribusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keunggulan olah budi itu jangan hanya berakhir menjadi fosil sejarah di balik pigura dalam ruang hampa dan tidak tersentuh gerak peradaban, yang akhirnya hanya dipatut-patut oleh generasi penerus sepanjang zaman.

Setelah 57 tahun sejak kematiannya, setelah lebih dari setengah abad, misteri kematian Tan Malaka baru terungkap. Syahdan seorang bijak pernah berkata, ”revolusi memakan anak kandungnya sendiri”, maka Tan Malaka adalah anak kandung yang menjadi korban revolusi perjuangan. Ia menjadi korban meski seluruh hidup dan kehidupannya telah didedikasikan untuk negara merdeka 100 persen yang dicita-citakannya.

* Yandry Kurniawan Kasim , Peneliti Pusat Kajian Global Civil Society-Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Maret 2008

Kebangsaan: Masa Depan Indonesia Ada di Daerah

Jakarta, Kompas - Saat ini Indonesia membutuhkan lebih banyak pemikir yang tersebar di sejumlah daerah, bukan pengelompokan berdasarkan etnis atau latar belakang tertentu.

”Hal ini karena masa depan bangsa ini berada di daerah dan bukan Jakarta,” kata peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indra J Piliang dalam diskusi peluncuran buku berjudul Pemikiran Tionghoa Muda, Cokin? So What Gitu Lho! di Jakarta, Jumat (28/3). Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang dieditori oleh Ivan Wibowo.

Pembicara lain dalam diskusi yang diberi kata pengantar oleh pendiri CSIS Harry Tjan Silalahi ini adalah Suma Mihardja dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika dan sejarawan Didi Kwartanada.

Menurut Indra, kehadiran para pemikir beretnis China akan lebih dirasakan manfaatnya jika mereka tersebar ke beberapa daerah untuk menumbuhkan pemikiran dan pencerahan di tempat itu karena potensi dan persoalan bangsa sekarang lebih banyak di daerah.

”Desentralisasi telah membuat Indonesia tak dapat hanya dilihat dari Jakarta karena masalah yang ada di Jakarta amat berbeda. Isu seperti pemilihan presiden sekarang mungkin sudah hangat di Jakarta, tetapi tidak dirasakan di Ternate,” kata Indra.

Harry Tjan Silalahi menuturkan, Indonesia juga membutuhkan harmoni dan tenggang rasa di antara warganya. ”Hal itu tidak datang dengan sendirinya, tapi proses tanpa henti yang harus terus dibina,” katanya.

Didi Kwartanada menuturkan, anggapan etnis China sebagai orang asing karena mereka lebih dikenal sebagai pedagang. Padahal, masyarakat agraris umumnya menganggap kegiatan mencari untung seperti yang dilakukan pedagang bukan pekerjaan yang dapat dibanggakan. (NWO)

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Maret 2008

Kritik Sastra: Tiga Pertanyaan untuk Yeni

-- Yopi Setia Umbara*

MENARIK membaca tulisan Yeni Mulyani (YM) yang berjudul "Kritik Sastra Rasa Bandung" di "Khazanah" Pikiran Rakyat (Sabtu, 15 Maret 2008). Saya tergelitik untuk urun rembug. Ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan saya terhadap tulisan YM. Pertama, apakah tema tulisan tersebut memang berpusat pada kritik sastra rasa Bandung? Kedua, apakah tulisan tersebut justru bertema kritik sastra rasa kritikus Bandung? Dan ketiga, apakah temanya tentang kritik sastra rasa koran Bandung ("PR")?

Sebelum membahas beberapa pertanyaan tersebut ada baiknya kembali sedikit berbicara mengenai kritik sastra. Dalam sastra Inggris abad ketujuh, istilah critic digunakan untuk orang yang melakukan kritik maupun untuk perbuatan sendiri. John Dryden pertama kali menggunakan istilah criticism (1677) dan istilah criticism menjadi lebih kokoh daripada istilah critic setelah terbitnya buku John Dennis, The Grounds of Criticism in Poetry (1711). Kritik sastra lantas tumbuh dan berkembang menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari dunia pendidikan dan pengajaran sastra.

Di Indonesia, dalam Kritik Sastra (Attar Semi: 1985), pengertian kritik sastra baru dikenal setelah para sastrawan Indonesia memperoleh atau mendapat pendidikan di negara Barat sekitar abad kedua puluh.

Hari ini sering kita temukan kritik sastra di media massa, terutama koran. Sebagai media massa, koran tentu saja berusaha untuk objektif dalam menyampaikan berita terhadap publik. Pada posisi demikian, koran disebut egaliter. Begitu pula dengan pembaca. Oleh karena itu, tulisan atau kritik sastra koran akan berbeda dengan kritik sastra dalam jurnal-jurnal ilmiah.

Kritik sastra akademis sebagai bentuk kajian komprehensif yang bersifat formal disampaikan di lingkungan akademis untuk kepentingan perkembangan dunia akademis. Apakah hasil penelitian itu nantinya diterapkan untuk dunia pendidikan dan atau untuk kemudian dipublikasikan kepada publik dalam bentuk yang lain, buku misalnya. Oleh karena itu, bila YM gelisah dengan kritik sastra koran yang berbeda dengan kritik sastra akademis adalah wajar. Sebab ruangnya berbeda, ruang dalam hal ini adalah ruang pembaca.

Jika YM mengacu pada model pendekatan Abrams lantas mencoba menguraikan mengenai kritik sastra di koran, sesungguhnya itu baru sedikit dari berbagai metode yang dikehendaki oleh kritikus. Mengingat ruang koran yang terbatas untuk kritik sastra, mungkin hanya cukup untuk 9.000-12.000 karakter maka setiap penulis yang melakukan kritik terhadap karya sastra berusaha semaksimal mungkin menyampaikan gagasannya pada ruang koran seobjektif mungkin.

Sebagai pembaca yang egaliter, saya memaklumi asumsi YM mengenai kritik sastra di Bandung (di PR) sebagai sebatas kegelisahan seorang pengamat yang belum selesai membaca berbagai teori sastra dan mungkin juga kurang bergaul dengan kiritik sastra koran. Apalagi, jika kita merujuk data kasus yang disampaikan YM yang tidak dilengkapi edisi tanggal pemuatan dan nama penulisnya. Hal tersebut telah mengesankan saya pada kekuatan intuisi YM yang hebat.

Menilik kritik sastra koran yang berbeda dengan kritik akademis sesungguhnya hanya pada persoalan wilayah. Namun demikian, bukan berarti kritik sastra koran boleh asal tulis karena kritik sastra koran pun tetap harus ilmiah (bukan akademis). Ilmiah sebagai kata sifat berbeda makna dengan kata sifat akademis. Maka, seharusnya YM bisa mendudukan dua perkara yang berbeda tersebut pada posisinya masing-masing, bukan malah menjustifikasi kasus berdasarkan asumsi yang dangkal dan tidak ditunjang dengan data dan fakta yang akurat. Sebab, akibatnya dapat menimbulkan distorsi informasi pada masyarakat.

Secara pragmatis, kritik sastra koran ditulis seorang kritikus untuk mengkaji teks dan konteks yang tersirat dalam sebuah karya sastra, lantas ditransformasikan kepada masyarakat sebagai sebentuk ulasan atas pembacaan kritis terhadap objek yang dikritiknya. Tentunya, untuk mencapai sebuah tesis kritis terlebih dahulu digunakan metode yang baku, yaitu kajian struktural dan untuk menganalisis lebih dalam setiap struktur konstruksi karya sastra maka digunakan pisau-pisau kajian.

Dalam teori sastra ada yang disebut sosiologi sastra, semiotika, stilistika, hermeneutika, dan resepsi (Terry Eagleton: 1996). Dan pisau-pisau kajian tersebut penerapannya disesuaikan dengan objek kajian dan tujuan kritikus dalam membedah karya sastra. Akan tetapi, konstruksi kritik yang sangat detail hanya bisa kita temukan dalam karya tulis ilmiah seperti skripsi, tesis, dan disertasi di lemari perpustakaan universitas jurusan sastra.

Suatu kritik sastra tidak ditulis dengan memisahkan antara teori dan penerapannya. Lain halnya dengan kajian ilmiah yang membutuhkan landasan teori sebagai dasar kajian karya tulis ilmiah pada bab yang terpisah. Meski demikian, pada penerapannya teori-teori tersebut diaplikasikan sesuai dengan metode dan fungsinya sehingga memberikan kejelasan dan kemudahan pada kajian yang dilakukan.

Sementara hari ini, kritik sastra koran lebih mengutamakan efektivitas dan keluwesan bentuk supaya bisa dibaca masyarakat dari berbagai kalangan. Bukan berarti pula bahwa kritik sastra koran hanya sebatas potongan-potongan kajian yang dipublikasikan kepada masyarakat. Saya sendiri membaca "PR" yang menyajikan kritik sastra setiap pekan dalam kolom "Khazanah" mengacu pada konsep umum seperti media massa yang lain. Di mana kritik sastra koran sebagai semacam ulasan dari opini dan argumentasi kritis atas pembacaan terhadap karya sastra.

Kritikus sastra sendiri sesungguhnya tidak terbatas dari mana dia berasal. Tidak peduli dia berasal dari lingkungan akademis atau jalanan sekalipun, apabila dia mampu melakukan kritik terhadap karya sastra berarti dia telah membaca karya yang dikritiknya. Setiap kritik sastra yang ditulis di media massa pasti berlandaskan pada pijakan yang jelas. Dengan kata lain, jelas objek dan metodenya serta didukung referensi yang dapat menguatkan argumentasi penulisnya (setiap penulis tentu sudah paham hal ini).

Kritikus sastra selama ini memang kebanyakan berasal dari lingkungan akademis, sastrawan, jurnalis, dan budayawan. Jarang sekali masyarakat umum menulis kritik sastra. Hal demikian mungkin disebabkan oleh kultur dan kemampuan dalam membaca. Apalagi, jika kita merujuk pada fenomena budaya membaca masyarakat kita yang rendah.

Dalam dunia sastra di Jawa Barat dan Bandung khususnya, barangkali kita tidak banyak mengenal para penulis kritik sastra yang berasal dari luar lingkungan seperti yang telah disebutkan tadi. Kita mungkin telah sangat akrab dengan nama-nama seperti Jakob Sumardjo, Wilson Nadeak, serta Saini KM yang sering menulis kritik sastra.

Kebetulan nama-nama yang disebut adalah yang senior dalam dunia sastra Bandung, bukan berarti mengecilkan para kritikus sastra lainnya. Namun, tiga nama tersebut cukup punya pengaruh dan dihormati dalam perkembangan kesusastraan bukan hanya di Bandung. Maka, apabila YM mau bicara kritik sastra rasa Bandung wajib menyebut kritik sastra karya tiga orang tersebut. Apalagi, bila mengingat keterlibatan tiga nama tersebut dalam kesustaraan Indonesia yang telah lebih dari dua dekade. Artinya, kredibilitasnya tidak perlu diragukan lagi.

YM memang menyebut Jakob Sumardjo dalam tulisannya di "Khazanah" pekan kemarin, tapi melupakan Wilson Nadeak dan Saini KM. Selain dikenal sebagai sastrawan, dua nama terakhir pernah menjadi pengasuh rubrik sastra koran. Wilson Nadeak pernah menjadi pengasuh rubrik di "PR" dan juga sering menulis kritik di berbagai media massa nasional. Dan Saini KM telah membimbing penyair seperti Acep Zamzam Noor, Juniarso Ridwan, Soni Farid Maulana, dan lainnya dengan ulasan-ulasannya di rubrik "Pertemuan Kecil" "PR". Kritik sastra rasa Bandung akan terasa pédo jika komposisinya komplet.

Sayangnya, fenomena kritik terhadap karya sastra seperti yang sering kali dilakukan ketiga begawan sastra Bandung tersebut, hari ini jarang sekali tampil di koran, bahkan di "PR". Entah karena karya-karya yang tampil di media massa atau yang terbit dalam bentuk buku tidak layak untuk dikritik atau justru karya sastra hari ini memang jarang dibaca.

Kritik sastra yang ramai hari ini malah lebih banyak berbicara perkara wacana dan isu politik sastra yang ruwet. Hal demikian menyebabkan kurang terpantaunya kemunculan karya-karya sastra dan para pendatang baru (penyair dan prosais) dalam dunia sastra Bandung. Oleh karena itu, apabila YM lebih jauh memperhatikan perkembangan kritik sastra di Bandung maka rasanya adalah hambar.

Kembali pada pertanyaan saya terhadap YM, pertama, apa kritik sastra rasa Bandung tersebut? Apabila YM bicara soal rasa sesusungguhnya agak sulit mendefiniskan asumsi tersebut. Apakah harus dilihat dari domosili si kritikus atau dari cara pandang kritikus dalam mengkritik karya sastra dengan cara Bandung.

Sebab, walau bagaimanapun kritik sastra sebagai sebuah karya yang ilmiah akan berlandaskan pada teori-teori baku dalam ilmu kesusastraan. Kecuali memang telah ada teori kritik dengan parameter rasa Bandung. Akan tetapi, adakah parameter tersebut? Sejauh yang saya amati, belum ada teori seperti demikian. Maka, pernyataan YM tersebut menjadi kabur maknanya.

Kedua, apakah kritik sastra rasa kritikus Bandung? Jika tema tulisan YM memang demikian, lalu apa bedanya dengan kritikus asal Padang atau Jakarta misalnya yang menilai karya sastra. Oleh karena landasan kritikus adalah teori ilmu kesusastraan maka metodenya tidak akan berbeda, kecuali retorika dalam menyampaikan pembacaan kritisnya, dan hal tersebut masih sangat umum. Dan apakah harus disesuaikan dengan selera kritikus Bandung? Saya kira hal demikian tidak mungkin.

Sebab, karya sastra berbeda dengan kuliner. Jika dalam kuliner lidah bisa menentukan rasa karena kebiasaan yang dilakukan dengan cara makan dan makanan yang dikonsumsi. Misalnya, orang sunda akan merasa pedas bila makan masakan padang atau agak manis ketika makan masakan jawa. Sementara menilai karya sastra bukan hanya dengan "lidah", namun juga menggunakan konvensi logika yang rasional. Karena jika memaksakan unsur-unsur lokal pada hal yang universal bisa menyebabkan terjadinya primordialisme atau chauvinisme.

Ketiga, kritik sastra rasa korang Bandung ("PR")? Mengenai pertanyaan terakhir ini seperti yang telah saya singgung, "PR" selama ini menyajikan kritik sastra tidak jauh berbeda dengan konvensi media-media massa lainnya. "PR" menyajikan kritik dalam bentuk ulasan penilaian terhadap karya sastra, seperti yang dilakukan oleh Mona Sylviana terhadap novel Hubbu karya Mashuri ("Dunia Hubbu yang Serius", Sabtu, 5 Januari 2008), misalnya.

Kalau mau yang agak berbeda adalah pada masa Saini KM yang sangat signifikan dengan ulasan karya di "Pertemuan Kecil", tapi itu terjadi sekitar dua puluh tahun yang lalu. Sementara hari ini kritik sastra di koran Bandung ("PR") rasanya tidak berbeda dengan koran-koran yang lain. Oleh karena itu, tulisan YM "Kritik Sastra Rasa Bandung" sesungguhnya tidak terasa rasa Bandungnya.***

* Yopi Setia Umbara, Penggiat ASAS dan Jurnal Sastra DerAS.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 29 Maret 2008

Obituari: "Nyekar" Yoseph Iskandar

-- Dhipa Galuh Purna dan Yulianto Agung*

YOSEPH Iskandar, sosok sastrawan motékar telah berpulang ke pangkuan Allah Yang Mahaakbar. Ia menderita komplikasi jantung dan gula, sampai akhirnya meninggal dunia di rumahnya, Kecamatan Ujungberung, Bandung, pada 26 Maret 2008, jam 1.00 WIB. Karya-karya besar Yoseph Iskandar telah mengakar dan menjadikan orang Sunda semakin sadar akan kekarnya sosok Ki Sunda.

Yoseph adalah satu-satunya sastrawan Sunda yang berhasil mempertemukan sejarah Sunda dengan karya sastra. Ia sangat gigih mengangkat ajén-inajén Sunda melalui karya-karyanya. Ketika naskah Wangsakerta menjadi bahan polemik di kalangan para sejarawan, dengan berani Yoseph menulis novel-novel yang bersumber dari naskah kontroversial tersebut, seperti Perang Bubat (1998), Wastukancana (1990), Prabu Wangisutah (1991), Pamanahrasa (1991), Putri Subanglarang (1991), dan Prabu Anom Jayadéwata (1996).

Yoseph berhasil mereka ulang sejarah ke dalam karya fiksi. Roman sejarahnya, Tanjeur na Juritan, Jaya di Buana (Unggul Dalam Perang, Sejahtera Dalam Hidup, 1991) mendapat hadiah Sastra Rancagé tahun 1992. Pada tahun 1997, ia mendapatkan kembali hadiah sastra Sunda paling bergengsi tersebut atas romannya yang berjudul Tri Tangtu di Bumi (1996). Biarlah naskah Wangsakerta diragukan kebenarannya, tetapi roman sejarah karya Yoseph Iskandar tidak diragukan lagi kehadirannya. Ia telah merasuk ke dalam hati masyarakat Sunda yang pareumeun obor kepada leluhurnya.

Ketertarikannya pada sejarah Sunda bermula dari kedekatannya pada Saleh Danasamita ketika Yoseph menjabat redaktur di majalah Manglé (1979-1985). Maka, artikel Yoseph mengenai sejarah Sunda pun menghiasi Manglé. Tentu saja, minatnya yang serius terhadap sejarah sangat membantu proses kreatifnya dalam menulis karya sastra.

Seolah tidak mau kalah oleh para sejarawan, Yoseph pun membuktikan diri bahwa ia mampu menulis sejarah. Silakan simak buku Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa) yang diterbitkan Geger Sunten, atau Sejarah Kebudayaan Jawa Barat (empat jilid), Sejarah Cirebon, dan Sejarah Banten. Yoseph bahkan sempat menulis peristiwa serangan pasukan RI terhadap tentara Inggris di daerah Sukabumi pada masa revolusi. Baik karya fiksi maupun sejarah, ditulisnya dengan menggunakan bahasa yang indah dan lincah sehingga sangat nikmat untuk dibaca. Buku-bukunya banyak dijadikan sumber rujukan oleh para penulis, akademisi, dan para peminat sejarah Sunda.

Selain menulis prosa, Yoseph Iskandar menulis puisi dan drama Sunda. Sastrawan kelahiran Purwakarta, 11 Januari 1953 ini tercatat sebagai penulis drama berlatar sejarah yang paling produktif. Tengok saja naskah drama berjudul "Ngadegna Pajajaran", "Pemberontakan Cakrawarman", "Runtagna Pajajaran", "Nyi Puun", "Tanjeur Pajajaran", "Haji Prawatasari", dan sebagainya. Ia sangat berperan dalam membangun gairah dan tradisi drama berbahasa Sunda.

Sebagai penulis yang peduli terhadap sejarah, Yoseph pun terbilang peka dalam menyelami realitas sosial di sekitarnya. Silakan tengok naskah drama berjudul "Juag Toéd", "Haréwos Nu Gaib", "BOM", atau "Cucunguk". Di dalamnya, banyak kritikan pedas nan berani. Pada Festival Drama Basa Sunda (FDBS) IX tahun 2006, "Cucunguk" menjadi naskah drama yang paling banyak dipilih oleh peserta FDBS.

Drama "Juag Toéd" (1984) dipentaskan berkali-kali di Bandung, Jakarta, dan berbagai kota lain di Jawa Barat, dengan disutradarai langsung oleh Yoseph. Drama komedi ini tidak bisa lepas dari sejarah perkembangan seni tari jaipongan yang dipopulerkan menjelang akhir tahun 1970-an oleh Gugum Gumbira, Tati Saleh (alm.), dan Euis Komariah. Cerita dalam "Juag Toéd" merupakan semacam bantahan dan pembelaan Yoseph terhadap seni jaipongan. Pada saat itu, jaipongan diprotes oleh kalangan istri pejabat karena dianggap terlalu vulgar, erotis, dan hanya membangkitkan nafsu berahi. Drama "Juag Toéd" menyindirnya dengan mengambil setting tatar Sunda sebelum zaman perang. Pada zaman itu, istri seorang wedana disebut juag toéd dan bupati pun masih disebut kangjeng dalem.

Orang teknik

Yoseph Iskandar sebetulnya orang teknik. Selepas SMA, ia meneruskan kuliah ke Akademi Teknik Pekerjaan Umum (ATPU) Bandung. Meski menuntut ilmu di bidang teknik, Yoseph lebih tertarik terhadap kesenian. Terbukti, di kampus teknik itu aktivitasnya lebih banyak tercurah pada kegiatan seni, seperti memimpin Teater Khas (1977-1981).

Bahkan, selanjutnya Yoseph memilih untuk meninggalkan dunia teknik, demi mendalami sastra Sunda. Bersama sastrawan seangkatannya seperti Eddy D. Iskandar, Godi Suwarna, Juniarso Ridwan, Beni Setia, dan sebagainya, ia mendirikan sebuah organisasi para sastrawan Sunda generasi muda yang bernama Durma Kangka. Saksi dan bukti dari sejarah Durma Kangka di antaranya adalah buku Antologi Puisi Sunda Mutakhir (1980) dan Tumbal (1982).

Nama Yoseph telah terukir pula di bidang pers Sunda dan dunia pendidikan. Selain pernah menjadi redaktur Manglé, ia pun pernah menjadi redaktur tabloid Giwangkara. Sementara itu di bidang pendidikan, Yoseph pernah menjadi dosen di UNPAS, UNTIRTA, dan bahkan di UC Santa Cruz, California, Amerika.

Dari perjalanan karier Yoseph Iskandar, kita bisa menyimpulkan bahwa ia adalah seorang sastrawan yang produktif, penulis sejarah, penggiat teater Sunda, organisator, insan pers yang gigih, dan kepala rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Di hari-hari terakhirnya, dalam keadaan sakit pun Yoseph masih tetap berkarya, seakan mau nyacapkeun kasono kepada sastra Sunda, sebelum akhirnya harus berpisah untuk selama-lamanya.

Tentu, sangat layak jika Yoseph Iskandar mendapat penghargaan dari pemerintah atas karya-karya dan perjuangannya dalam nanjeurkeun Ki Sunda.***

* Dhipa Galuh Purna dan Yulianto Agung, Peminat sastra Sunda

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 29 Maret 2008

Bahasa-Sastra: GBSI 2008 di UPI

HIMA Satrasia FPBS UPI menyelenggarakan "Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia (GBSI) 2008" pada tanggal 14-19 April 2008. Acara ini diisi kegiatan seminar bahasa dan sastra Indonesia, diskusi bahasa, diskusi sastra, lomba baca puisi Piala Rendra, lomba tulis puisi Piala Rektor UPI, lomba cipta cerpen Satrasia, lomba menulis esai bahasa, pameran sastra kuno dan modern, serta bazar buku. Kegiatan bertempat di Gd. PKM UPI. Untuk informasi lengkap hub. Agus Fauzi (085659001324 atau 022 70668237), Juniarti Naibaho (081361134387) atau Sekretariat GBSI Hima Satrasia Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Gd. Pentagon Lt.III UPI.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 29 Maret 2008

Diskusi: Penulis Makassar di Ultimus

DUA penulis Makassar (Aan Mansyur dan Lily Yulianti) akan meluncurkan bukunya di Toko Buku Ultimus, Jln. Lengkong Besar No. 127 Bandung, Senin, 31 Maret 2008, mulai pukul 19.30 WIB s.d. selesai. Aan Mansyur dengan kumpulan puisi Aku Hendak Pindah Rumah dan Lily Yulianti dengan kumpulan cerpen Makkunrai. Kedua buku tersebut akan dibicarakan oleh Wienny Siska, Anjar "Beraja", Lukman A. Sya., dengan moderator Yopi Setia Umbara.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 29 Maret 2008