-- Harry Widianto*
KECAMUK teori akbar tentang evolusi yang membahana dilontarkan oleh Charles R Darwin pada paruh kedua abad ke-19, telah mengusik pikiran cemerlang seorang bocah di Eijsden, Belanda.
Eugène Dubois, nama anak itu, dengan tekun mencermati berita-berita koran tentang reaksi gegap gempita para ilmuwan mengenai teori evolusi. Dia tidak pernah sadar bahwa kelak di kemudian hari—setelah lulus sebagai dokter—kontroversi teori evolusi akan terjawab melalui tangannya, setelah langkah membawanya ke salah satu sudut Dunia Lama: Pulau Jawa!
Perjalanan Dubois hingga pada pembuktian sahih akan teori evolusi didasarkan pada argumen-argumen yang hipotetif dan fantastis. Teori evolusi yang dihimpun Darwin selama 20 tahun dalam pelayarannya di atas HMS Beagle hingga ke Kepulauan Galapagos (Kompas, 12/2) adalah titik tolak dari langkah akbar Dubois pada suatu pembuktian.
Dia pun percaya bahwa umur Bumi telah begitu tua, apalagi ketika diyakinkan oleh pendapat-pendapat Charles Lyell, seorang ahli geologi akbar saat itu, yang telah memberi banyak inspirasi kepada Darwin melalui bukunya, Principles of Geology.
Dasar-dasar pemikiran Darwin akan teori evolusinya, yaitu spesies, adaptasi, dan seleksi alam, serta buah karya Lyell akan kerentaan Bumi, telah mendewasakan Dubois sebagai seorang naturalis sejati. Di usia remajanya itu, dia pun semakin terkesima dengan pendapat dunia setelah Thomas H Huxley ikut meramaikan panggung evolusi melalui bukunya, Man's Place in Nature, yang terbit pada tahun 1863.
Huxley membandingkan manusia dengan kera-kera Afrika, terutama simpanse, makhluk yang paling dekat pertaliannya dengan manusia. Dia menyimpulkan bahwa struktur anatomi dan pertumbuhan antara manusia dan simpanse hampir sama, dan evolusi keduanya terjadi dalam cara dan hukum yang sama pula. Atribut manusia yang paling unik pun ada analoginya di kalangan hewan. Fosil-fosil kera yang ditemukan saat itu menunjukkan proses evolusi dari bentuk arkaik ke bentuk modernnya.
Ilmu pengetahuan yang saat itu belum siap menerima teori evolusi telah memperburuk situasi sehingga persoalan menjadi demikian sensitif. Kesimpulan-kesimpulan yang cemerlang dari para evolusionis akhirnya disajikan secara spekulatif, malahan disalahtafsirkan.
Masyarakat saat itu, dan bahkan para ilmuwan sekalipun, banyak yang meloncat pada kesimpulan bahwa manusia merupakan keturunan langsung dari kera. Jika manusia adalah manusia, dan kera adalah kera, maka pertalian di antara keduanya harus dapat ditemukan dalam bentuk fosil. Timbullah kemudian istilah missing link, mata rantai yang hilang. Maka, missing link pun segera dipertanyakan dunia dan dicari.
Memulai langkah akbar
Setelah menamatkan pendidikan kedokterannya, Dubois pun bertolak ke Sumatera pada 29 Oktober 1887. Bersama Anna, sang istri, dan Eugenie, sang anak, ia menumpang kapal The SS Prinses Amalia. ”Missing link harus dicari di daerah tropis yang tidak tersentuh dinginnya Zaman Es,” katanya.
Sebelum dia bertolak ke Sumatera, bumi Eropa telah mengajarkan akan penemuan Manusia Neandertal, bagian dari Homo sapiens, manusia modern, yang hampir seluruhnya berasal dari endapan goa. Itulah sebabnya, Dubois mencermati satu per satu goa-goa kapur dan melakukan penggalian-penggalian selama tiga tahun di sepanjang pegunungan karst di Payakumbuh, Sumatera Barat.
Hasilnya sungguh mengecewakan. Tulang belulang yang tampil bukanlah fosil yang ia harapkan, tetapi tulang belulang sub-resen yang terlalu muda baginya. Dia akhirnya memindahkan pencarian missing link ke Jawa setelah mendengar penemuan Manusia Wadjak oleh BD van Rietschoten pada 24 Oktober 1888.
Meski di Jawa dia berhasil menemukan tengkorak Manusia Wadjak yang kedua, ketidakpuasan masih sangat pekat menyelimutinya. ”Bukan, bukan ini yang kucari. Meski Manusia Wadjak ini sangat primitif, dia tetap manusia modern,” ujarnya.
Cerita pun menjadi lain ketika Dubois menekuni endapan-endapan purba di aliran Bengawan Solo. Tanpa diduga, matanya menangkap akumulasi fosil binatang di dasar sungai.
Aliran sungai adalah penggali terbaik karena telah menggerus sedimen purba. Inilah jendela bagi Dubois untuk menengok masa lampau. Di endapan sungai purba ini, kronologi kehidupan selama jutaan tahun dapat dibaca. Hingga akhirnya ia sampai pada sebuah lekukan Bengawan Solo di Desa Trinil, Ngawi, Jawa Tengah.
Di antara ribuan pecahan fosil Stegodon sp. (gajah purba), Axis sp (sejenis kijang), Bubalus paleokarabau (kerbau purba), dan jenis-jenis hewan lainnya, ditemukan gigi-geligi primata purba pada bulan September 1891. Sekitar satu meter dari penemuan itu, muncul pula batu coklat kehitaman yang menyerupai cangkang kura-kura.
Perlahan, temuan tersebut dibersihkan. Di tengah takjub, disingkapnya sebuah atap tengkorak manusia! ”Gigi dan atap tengkorak ini berasal dari manusia yang menyerupai kera,” kata Dubois dalam buletin pemerintah.
Tahun berikutnya, sekitar 15 meter dari lokasi penemuan atap tengkorak, ditemukan pula sebuah tulang paha kiri yang menunjukkan tingkat fosilisasi sempurna, yang sama dengan atap tengkoraknya, meskipun mirip dengan tulang paha modern. Hampir sempurna penemuan itu: gigi-geligi yang primitif, sebuah atap tengkorak primitif yang mempunyai volume otak sekitar 900 cc (berada di antara kapasitas kera dan manusia), dan sebuah tulang paha kiri yang memberi kesan pemiliknya telah berjalan tegak!
Maka, diumumkanlah penemuan Pithecanthropus erectus, manusia kera yang berjalan tegak. Segera Dubois mengirim kawat ke teman-temannya di Eropa bahwa dia telah menemukan missing link-nya Darwin.
Dunia belum siap
Di luar harapan Dubois, koleganya menanggapi temuan itu dengan penuh keraguan. Tantangan segera muncul: apakah tulang paha yang berkesan modern itu juga milik individu beratap tengkorak primitif? Jika nantinya tulang paha kiri lain yang mencirikan kesan primitif ditemukan lagi, apakah Pithecanthropus erectus memiliki dua tulang paha kiri, satu primitif dan lainnya modern?
Debat ilmiah masih tetap berlanjut di saat Dubois tampil dalam Kongres Zoologi Internasional III di Leiden tahun 1895. Juga ketika ia memajang temuannya itu di ruang kuliah British Zoology Society, London, dan memberikan kesempatan orang lain untuk mengamatinya lebih dekat.
Nyatanya, dibawanya fosil itu ke Eropa tidak memecahkan masalah. Malang bagi Dubois, temuannya—saat itu—berasal dari daerah yang hampir-hampir tidak diketahui geologinya. Dia muncul di saat dunia belum siap menerimanya.
Di tengah kekecewaan itulah Dubois kemudian menyimpan temuannya di bawah lantai rumah selama lebih dari 30 tahun. Dalam jangka waktu selama itu, ditemukan Pithecanthropus-pithecanthropus lain di berbagai bagian dunia: Mauer (Jerman) dan Zhoukoudian (China). Kelak di kemudian hari, fosil ini dimasukkan dalam genus Homo erectus, yang mulai muncul ke dunia pertama kali pada periode 1,8 juta tahun yang lalu di Afrika dan menyebar ke seluruh permukaan dunia hingga mencapai Pulau Jawa, dan punah sekitar 100.000 tahun silam.
Akhirnya, pada 1932 temuan Dubois diterima oleh para ilmuwan sebagai sebuah tingkatan evolusi manusia sebelum mencapai Homo sapiens, manusia modern. Akhir-akhir ini sebaran spesies manusia purba ini sangat luas dan signifikan: Afrika Selatan, Afrika Timur, dan Afrika Utara, Eropa, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Di Indonesia, sejak tahun 1930-an ditemukan pula di Sangiran dan Sambungmacan (Sragen), Kedungbrubus dan Selopuro (Ngawi), Ngandong (Blora), Perning (Mojokerto), maupun Patiayam (Kudus).
Begitulah, jerih payah Dubois selama puluhan tahun pencarian berbuah mengesankan. Jawaban pasti tentang polemik berkepanjangan akan missing link sejak paruh kedua abad ke-19 terjawab telak di tangan Dubois.
Dia muncul secara spektakuler dari sebuah daerah tropis di Jawa, suatu daerah yang jauh dari gema teori dan polemik evolusi itu sendiri. Meski dilandasi dengan dasar yang sederhana bagi latar belakang pencariannya, penemuan tersebut telah dianggap sebagai bukti pertama dari Teori Darwin.
Sayang sekali, Darwin tidak pernah mendengar dan melihat pembuktian teorinya oleh Dubois karena Darwin telah meninggal pada 19 April 1882, sepuluh tahun sebelum penemuan bersejarah itu terjadi. Obsesi masa kecil Dubois, sekaligus obsesi dunia pengetahuan, telah dijawab dengan jitu oleh Dubois dari Desa Trinil, Ngawi. Lima tahun, dua minggu, dan tiga hari setelah kakinya untuk pertama kali menginjak bumi Indonesia.
* Harry Widianto, Ahli Arkeologi dan Paleoanthropologi; Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran
Sumber: Kompas, Rabu, 25 Maret 2009
1 comment:
bagaimana dengan opini dari Harun Yahya? tidakkah mematahkan teori evolusi tersebut?
Post a Comment