Thursday, February 28, 2008

HaKI tidak Lindungi Kekayaan Budaya

JAKARTA (MI): Kelahiran perundang-undangan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), yakni UU No 19/2002 lebih disebabkan kebutuhan Indonesia untuk menyesuaikan diri dengan perdagangan dan ekonomi global. Hal ini berakibat rezim HaKI yang ada tak bisa melindungi kekayaan budaya masyarakat.

Hal itu dikemukakan Agus Sardjono dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap dalam Ilmu Hukum Keperdataan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) di Balai Sidang, UI, Depok, Jawa Barat, kemarin.

Menurutnya, penyusunan dan pemberlakuan perundangan-undangan HaKI di Indonesia merupakan tindakan transplantasi hukum asing berdasarkan konvensi Bern, konvensi Paris, dan lainnya ke dalam hukum nasional. "Transplantasi hukum HaKI ke dalam sistem hukum Indonesia, jika tidak cocok, bisa merusak sistem hukum Indonesia secara keseluruhan," terangnya.

Ia mengungkapkan, Rezim WTO dan Trade Related to Intellectual Properties (TRIPS) berbeda dengan konsepsi masyarakat tradisional di banyak negara, karena rezim intellectual property rights (IPR atau rezim HKI) selalu berusaha membuat kepemilikan pribadi terjadi atas berbagai penemuan atau kekayaan masyarakat lokal, sementara masyarakat lokal yang memiliki kekayaan budaya yang tak terhingga lebih banyak menganut konsepsi kepemilikan komunal atau sosial. "Itu berakibat rezim HaKI yang ada ini tak bisa melindungi kekayaan budaya masyarakat tersebut," ungkapnya.

Tradisional dan Barat

Pandangan masyarakat yang berbeda, yang muncul berkenaan rezim HAKI, pada hakikatnya mencerminkan perbedaan pandangan antara masyarakat tradisional dan masyarakat Barat. "Masyarakat Barat melihat dari sudut pandang teori pembangunan yang memandang sumber daya yang ada di muka bumi ini sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi. Sebaliknya masyarakat tradisional memandang manusia hanyalah merupakan kustodian atau perantara dari sumber daya yang terdapat di bumi ini," ungkapnya.

Guna menjembatani dua kepentingan itu, Agus dalam penelitiannya mencoba melihat sejumlah peluang yang bisa dikembangkan dalam bidang ini. Ia mengusulkan adanya benefit sharing (pembagian kegunaan), yang dibedakan dengan konsep profit sharing (pembagian keuntungan keuangan) yang melulu masalah uang.

Dengan benefit sharing, ia mengusulkan para peneliti asing atau perusahaan besar (apakah itu lokal ataupun asing) yang hendak memanfaatkan kekayaan masyarakat tradisional harus mengikat perjanjian agar masyarakat pun mendapat keuntungan dari kekayaan tradisional tersebut. (Eri/H-1)

Sumber: Media Indonesia, Kamis, 28 Februari 2008

Wednesday, February 27, 2008

Sastra: Menyimak Dunia Sufi dari Syair Goethe

PENYAIR dunia asal Jerman, Goethe, memandang kebudayaan Timur sebagai salah satu gerbang yang dapat menghantarkannya mencapai sebuah kebenaran. Ia menghormati Muhammad dan mengidolakan ajaran sufi Hafiz. Syair-syair Goethe ternyata juga mengungkap budaya Timur.

Penyair, Agus R Sarjono (kiri) bersama pengamat sastra Jerman, Berthold Damshauser tampil membacakan puisi karya Penyair Jerman, Johann Wolfgang von Goethe pada pembacaan puisi dwibamasa di Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Hause, Jakarta, Selasa (26/2). (sp/ignatius liliek)

Hal tersebut diungkapkan oleh Agus R Sarjono, penyair sekaligus Ketua Dewan Kesenian Jakarta, yang ditemui saat membacakan puisi karya Goethe, di Goethe Haus Jakarta pada Selasa (26/2) malam. Agus dan Berthold Damshauser, pengamat sastra Jerman ikut membacakan sejumlah puisi Goethe. Sekalipun syair Goethe hidup, gaya membaca Agus dan Damshauser tidak cukup ekspresif.

Agus mengatakan Goethe sebagai seorang penyair besar di zamannya, yang telah memiliki pemikiran sangat maju mengenai kebudayaan dunia termasuk kebudayaan Arab dan Persia. Ia mempelajari agama Islam secara intelektual, yang mungkin tidak dipahami oleh sebagian besar budayawan zaman itu.

Goethe mengagumi kesatuan dan keesaan Tuhan yang dipercaya oleh umat Islam. Dalam puisi Diwan Barat dan Timur, ada pengaruh ajaran Islam sangat tercermin.

Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri

Maka dalam Islam semua kita hidup dan mati.

Sastrawan bernama lengkap Johann Wolfgang von Goethe mendapat banyak inspirasi dari puisi kebudayaan Persia, seperti ajaran sufi milik Hafiz yang sangat ia kagumi. Ia bahkan terpesona dengan ragam kekayaan puitis negeri Timur, sehingga merasa dari sanalah tempat puisi itu berasal. Goethe mempelajari bahasa Persia dan Arab. Goethe mempelajari pula Al-Quran dan puisi-puisi klasik Persia.

Dalam satu karya berjudul Selige Sehnsucht (rindu dendam), Goethe memperlihatkan kedekatan dan kekagumannya terhadap ajaran sufisme seperti milik Hafiz yang ia rasakan sangat menyerupai kepercayaan yang ia yakini. Karya tersebut menceritakan sebuah kupu-kupu yang merindukan sebuah kematian dalam kobaran api, seperti manusia yang merindukan cahaya Ilahi.

Pada kesempatan yang sama, Berthold Damshauser yang juga Dosen Sastra Indonesia di Universitas Bonn, Jerman, mengatakan Goethe suka membandingkan ilmu-ilmu teologi yang pernah ia pelajari. Ia merupakan satu-satunya sastrawan besar di zamannya yang sangat terbuka terhadap kebudayaan Timur. Ia merasa beberapa hal dalam ajaran Islam, sesuai dengan kebenaran yang diyakini.

Kagumi Timur

Goethe lahir dan mati sebagai penganut ajaran Kristen Protestan. Walau memiliki kekaguman terhadap agama Timur dan ajaran Islam, ia tidak dapat disebut sebagai penyair yang berkiblat pada kebudayaan Timur. Ia mempelajari semua agama dan kebudayaan di dunia untuk mencari sebuah kebenaran sejati yang akan mendekatkan dia kepada Sang Penciptanya.

Dalam salah satu karya berjudul Diwan Barat-Timur, Goethe juga memberikan kontribusi besar terhadap sastra dunia yang mungkin dilakukan secara tidak ia sadari. Segala pemisahan dunia Barat dan Timur, Islam dan Kristen, tidak berpengaruh bagi Goethe. Ia mempelajari semua agama sebagai pengetahuan yang kasual dan menyerap bagian-bagian yang ia anggap benar. Menurut Goethe, sebuah pencarian akan kebenaran tentang Tuhan, alam dan kesinambungannya tidak dapat dibataskan dengan Timur dan Barat, maupun ajaran-ajaran tertentu.

Lahir pada tahun 1749 di Frankfrut, Jerman, dari orangtua yang berada dan memiliki sebuah perpustakaan besar yang berisi buku-buku kebudayaan, Goethe tumbuh sambil melahap habis seluruh pengetahuan dunia yang ia dapatkan melalui bacaan tersebut.

Sejak kecil, Goethe telah memperlihatkan minat yang besar di bidang sastra, khususnya pembacaan puisi, prosa dan pertunjukan teater. Dan pada usia ke-16 ia telah menerbitkan sebuah buku puisi berjudul Anette. Karya-karya puisinya di usia muda juga sudah mencerminkan perhatiannya terhadap kebudayaan Timur dengan melahirkan sebuah puisi Himne Mahomets Gesang (Dendang Nabi Muhammad) dan membuat sebuah drama yang tidak rampung berjudul, Mahomet. Tidak hanya Islam, ia juga mempelajari kebudayaan-kebudayaan Yunani klasik dan Nasrani yang dicerminkan dalam karya-karya lainnya.

Goethe menciptakan karya-karya besar yang menjadi harta besar untuk kebudayaan Eropa abad ke-18. Salah satu karya terkena Goethe berjudul Erlkonig (Raja Mambang) juga digubah menjadi sebuah simponi oleh komponis besar asal Jerman, Franz Schubert. Puisi tersebut menceritakan tentang makhluk spiritual yang sanggup mencabut nyawa manusia. Puisi ini memperlihatkan Goethe yang juga memiliki ketertarikan terhadap dunia spiritual.

Berthold mengungkapkan Goethe merupakan salah satu contoh pujangga besar Eropa abad ke-18 yang memiliki apresiasi tinggi terhadap budaya Timur. Melalui puisi-puisinya, Goethe ingin menyampaikan pada masyarakat Eropa pada zaman itu, antara budaya Timur dan Barat memiliki banyak persamaan daripada perbedaan.

Melalui sebagian karyanya tersebut, ia ingin membantu saling pengertian masyarakat Eropa saat itu terhadap sebuah kebudayaan yang unik yang juga memiliki banyak makna kehidupan yang baik. Karya Goethe dapat menjadi jembatan antara dunia Barat dan Timur yang selama ini terpisah oleh jurang perbedaan kebudayaan. [CAT/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 27 Februari 2008

Opini: Tan Malaka dan "Brief Encounter" 1946

-- Rosihan Anwar*

Brief Encounter" (Perjumpaan Singkat) adalah judul film Inggris pada 1940-an yang menggambarkan kisah roman dan pertemuan sebentar antara seorang perwira Amerika dan seorang gadis Inggris di London. Brief encounter saya dengan Pahlawan Nasional Tan Malaka adalah suatu pertemuan pertama dan terakhir, terjadi di Kota Solo pada Februari 1946, tatkala didirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Harry A Poeze, sejarawan Belanda, penulis biografi Tan Malaka yang dirisetnya selama 30 tahun, diberitakan mengadakan bedah buku tentang Tan Malaka di Bukittinggi pada 20 Februari 2008, dalam rangka 59 tahun meninggalnya Tan Malaka. Poeze pernah ke rumah saya untuk menanyakan beberapa data sejarah tentang Tan Malaka.

Pada 6 Februari 1946, saya sudah berada di Solo mengikuti PM Sutan Sjahrir yang merangkap Menlu dan Mendagri menghadiri Konferensi Pamongpraja seluruh Jawa. Konferensi itu selesai 7 Februari, tapi tanggal 8 saya, sebagai wartawan surat kabar Merdeka, terus menghadiri pembukaan kongres wartawan yang dipimpin oleh Mr Soemanang, Sudaryo Tjokrosworo, dan lain-lain bertempat di sebuah societeit. Saat itu menjelang tengah hari dari Yogya tiba sebuah mobil yang membawa tiga penumpang, yaitu Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakyat Sumantoro, Ida Sanawi yang baru dua bulan mengungsi dari Jakarta dan bekerja di Redaksi Kedaulatan Rakyat, dan Ibrahim Datuk Tan Malaka, tokoh perjuangan kemerdekaan yang legendaris di zaman kolonial Hindia Belanda dan dikenal sebagai langlang buana "Patjar Merah" sebagaimana dilukiskan oleh pengarang Medang Matu Mona dalam seri roman picisannya.

Bagi saya suatu surprise melihat Ida Sanawi yang di zaman Jepang bekerja di surat kabar Asia Raja di Jakarta datang bersama-sama Tan Malaka. Ketika itu saya belum menikah dengan Ida Sanawi. Ini baru terjadi pada awal tahun berikutnya. Tentu saya bertanya kepada Ida, apa saja yang dibicarakan dengan Tan Malaka, selama menumpang mobil bersama dari Yogya ke Solo.

Tan Malaka berpakaian serba hitam. Serupa dengan pemuda pejuang masa itu dia memakai sepatu kaplaars. Dia mengenakan topi helm tropis warna hijau muda. Topi helm biasa dipakai oleh pejabat-pejabat Belanda dari BB (Binnenlands Bestuur) atau oleh tuan besar administratur kebun (onderneming) Belanda. Mengapa Tan Malaka berpenampilan dan berbusana demikian, saya kurang tahu.

Istri saya tidak ingat lagi apa yang dibicarakannya dengan Tan Malaka, maklum, sudah 62 tahun yang silam.

"Apakah kamu bicara dalam bahasa Belanda dengan dia?" tanya saya. Kaum intelektual zaman kolonial didikan Barat memang biasa ngomong berbahasa Belanda. Tan Malaka waktu remaja setelah jadi siswa kweekschool (sekolah raja) di Fort De Kock (Bukittinggi) bersekolah di Haarlem, negeri Belanda, kemudian sekembalinya di Tanah Air menjadi guru sekolah, sebelum bergabung ke dalam Partai Komunis di Semarang awal 1920-an bersama Semaun, Alamin, Darsono, dan Musso.

"Tidak, kami bicara seluruhnya dalam bahasa Indonesia," jawab Ida Sanawi.

"Apa kesanmu tentang diri Tan Malaka?"

"Dia laki-laki yang gallant (sopan terhadap wanita). Dia soft-spoken, bicara dengan suara lembut. Dia tidak mendominasi percakapan. Pribadi yang menyenangkan," kata Ida.

Dikejar-kejar Intel

Kesan yang sama saya peroleh waktu berbicara dengan Jo Abdurrachman, sejarawan, pernah jadi Sekretaris Mr Achmad Subardjo waktu menjawab Menlu di kabinet Soekarno. Jo juga kenal dekat dengan Tan Malaka yang dinilainya sebagai orang yang baik. Jo kadang-kadang bertanya apakah Tan Malaka tidak tertarik pada seks lain. Apakah barangkali dia punya kelainan? Jo tidak pernah memperoleh jawaban. Tapi, Ida Sanawi berkata: "Jangan lupa, Tan Malaka itu sudah berpuluh-puluh tahun hidup sendirian sewaktu dia bertempat tinggal di berbagai negeri. dikejar-kejar oleh pihak intel. Dia tidak sempat mendirikan atau mempunyai suatu gezin (keluarga)".

Tan Malaka masuk ke dalam ruangan di mana para wartawan telah berkumpul. Dia menuju mimbar, lalu berpidato. Tidak pakai teks yang telah dipersiapkan. Seluruhnya di luar kepala. Lamanya empat jam non-stop. Topik yang disentuhnya berkaitan dengan apa yang kelak diterbitkan dalam bukunya "Madilog"- Materialisme, Dialektika, Logika. Saya tidak ingat lagi apa persis yang diutarakannya. Sama dengan wartawan-wartawan lain, terutama mereka yang bertugas di front, sudah tidur nyenyak, saking kelelahan. Tapi, ketika tiba Tan Malaka mengakhiri pidatonya saya sudah bangun lagi dan sempat mengiringkan Tan Malaka ke mobilnya. Berjalan di dekatnya saya tidak sempat bicara banyak dengan Ida Sanawi dan dengan Tan Malaka. Itulah perjumpaan singkat, brief encounter, saya dengan Tan Malaka.

Setelah terjadi aksi militer Belanda kedua 19 Desember 1948, terdengar kabar bahwa Tan Malaka ikut bergerilya melawan tentara Belanda di Jawa Timur. Kemudian terdengar dia ditangkap oleh tentara Indonesia. Atas perintah komandan tentara di Jawa Timur dia ditembak mati dan jenazahnya dihanyutkan di Sungai Brantas.

Kematian Pahlawan Nasional itu merupakan suatu kontroversi besar. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum Muhammadiyah, berkata kepada saya: " Apakah pihak yang menembak itu tidak tahu siapa Tan Malaka dan apa jasanya bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia?" Harry Poeze berpendapat, yang menghabisi Tan Malaka itu adalah seorang moordenaar alias pembunuh. Seorang wartawan senior bilang "tapi, waktu itu kan berlaku hukum perang?"

Tapi, bagi saya tiada kesangsian bahwa Tan Malaka adalah putra Indonesia yang besar, seorang pejuang kemerdekaan bangsa yang patut kita hormati.

* Rosihan Anwar, wartawan senior

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 27 Februari 2008

Pustaka: Kelumpuhan Imajinasi Hambat Perubahan

JAKARTA (Media): Kelumpuhan imajinasi sosial menghambat perubahan yang positif di Indonesia. Imajinasi adalah kunci untuk memahami kekuatan kreatif yang menciptakan masyarakat.

Hilmar Farid, pengajar Fakultas Sastra Universitas Indonesia, mengatakan hal itu pada diskusi buku The Imaginary Institution of Society karya Cornelius Castoriadis di kantor Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Jakarta, Senin (25/2). "Imajinasi sosial itu memberi arah pada institusi sosial, memotivasi tindakan, menggerakkan tradisi, dan lain-lain," katanya.

Buku yang pertama kali terbit pada 1975 itu merupakan karya yang paling dikenal dari Castoriadis. Dalam buku tersebut, filsuf Prancis itu menawarkan analisis yang berbeda terhadap kerangka kehidupan sosial. Castoriadis menempatkan imajinasi sebagai kerangka sosial, bukan hanya sebagai aktivitas individual seseorang.

Hilmar menerangkan bahwa selama ini terjadi kemandekan dalam pemikiran imajinatif, di mana kreasi terhambat karena masyarakat dibatasi aturan-aturan yang ada dalam pemikiran mereka. "Bagaimana mau menjalankan perubahan bila pemikiran mengenai perubahan tersebut tidak ada. Orang malas dengan perubahan dan hanya menginginkan kepastian," tambah Hilmar.

Saat ditanya mengenai implementasi pemikiran Castoriadis untuk perubahan nyata di Indonesia, Hilmar menjelaskan, imajinasi Castoriadis dapat diterapkan sebagai cara untuk memikirkan perubahan. "Jadi ini merupakan cara berpikir tentang konsep, dapat dipahami sebagai pemikiran sebelum merumuskan konsep."

Sedangkan Arif Susanto menyatakan perlunya kemapanan pada kerangka tertentu. "Masyarakat perlu sistem yang pasti sebagai sebuah sandaran," ujar dosen politik Universitas Paramadina tersebut.

Menanggapi kemiskinan imajinasi masyarakat yang diutarakan Hilmar, Ahmad Salman menyatakan sebaliknya. "Imajinasi masyarakat tidak dalam krisis. Saat saya ke Papua, sebagian besar penduduknya optimistis memandang bangsa. Saya melihat kukuhnya imajinasi positif ini," papar peserta diskusi P2D ini. (*/H-1)

Sumber: Media Indonesia, Rabu, 27 Februari 2008

Tuesday, February 26, 2008

Semakin Banyak Bahasa Daerah yang Punah

* Sebagian Kekayaan Budaya Mulai Hilang

Jakarta, Kompas - Bahasa daerah yang menjadi bahasa ibu bagi sebagian warga Indonesia terancam punah sehingga perlu perlindungan. Kepunahan bahasa sekaligus menandai hilangnya sebagian budaya dan peradaban.

Hal itu terungkap dalam Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 2008 di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Senin (25/2). Peringatan itu dihadiri Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan) Arief Rachman, Duta Besar Banglades Salma Khan, Duta Besar Sri Lanka Nanda Mallawaarachchi, serta perwakilan dari Kedutaan Besar India dan Pakistan di Indonesia.

Kepala Pusat Bahasa Depdiknas Dendy Sugono mengatakan, bahasa ibu dengan penutur sedikit cenderung kian punah.

”Fenomena tersebut terjadi di seluruh dunia. Sekitar 50 persen dari 6.700 bahasa di dunia mengalami kepunahan dalam satu abad terakhir. Anak-anak muda meninggalkan bahasa ibunya dan ini tak lepas dari kuatnya pengaruh globalisasi,” ujar Dendy.

Di Indonesia, menurut catatan Pusat Bahasa, sejumlah bahasa daerah tak lagi digunakan. Sebagai contoh, di Papua terdapat sembilan bahasa yang punah. Sedangkan di Maluku Utara ada satu bahasa yang punah.

”Itu baru di sebagian wilayah Indonesia Timur yang kami teliti, belum lagi di kawasan barat dan tengah. Penelitian kami diperkirakan baru selesai Agustus tahun ini,” ujarnya.

Summer Institute of Linguistics (SIL), lembaga swadaya masyarakat internasional yang mendokumentasikan bahasa-bahasa yang hampir punah di dunia, mencatat, di Sumatera dari sebanyak 52 bahasa pada tahun 2000, yang tersisa kini hanya tinggal 49 bahasa atau sebanyak tiga bahasa hilang.

Di Papua, dari 271 bahasa yang ada, dua di antaranya sudah menjadi bahasa kedua. Di Maluku, dari 132 bahasa, hanya 129 yang aktif dituturkan dan tiga bahasa lainnya hilang. Bahasa yang hilang tersebut bisa saja hilang bersama dengan penggunanya.

Peran bahasa daerah


Dendy mengatakan, persoalan bahasa yang hampir punah itu harus diatasi dengan meningkatkan peran bahasa daerah di masyarakat, terutama di kalangan penuturnya. ”Perlu penelitian dan upaya pengembalian bahasa itu jika masih punya peran di masyarakat penuturnya,” ujarnya.

Adapun bahasa ibu dengan jumlah penutur yang besar dapat dijadikan peluang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memasukkannya ke dalam pembelajaran di sekolah. ”Agar lestari, kosakata bahasa itu perlu dikembangkan,” kata Dendy.

Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO mengatakan, UNESCO mendukung pengajaran bahasa ibu di sekolah. ”Pendidikan tidak harus meninggalkan bahasa ibu. ”Untuk mengakomodasi kepentingan pelestarian bahasa ibu, nasional, dan penggunaan bahasa internasional, misalnya, sekolah bisa menerapkan pendidikan bilingual atau multilingual,” ujarnya.

Dia mengatakan, punahnya bahasa berarti hilangnya sebagian kebudayaan dan nilai serta kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Hilangnya kemampuan bertutur dalam bahasa ibu juga akan memengaruhi pengajaran membaca dan menulis. Di Indonesia terdapat sekitar 700 bahasa ibu.

Pengalaman negara lain


Duta Besar Banglades untuk Indonesia, Salma Khan, mengatakan, bahasa menjadi unsur yang memperkuat rasa kebangsaan. Namun, bahasa-bahasa lain dibiarkan tumbuh. Apalagi yang mempunyai peranan dalam masyarakat, termasuk bahasa asing, seperti bahasa Inggris.

”Kehadiran bahasa asing tidak menjadi sebuah ancaman. Kami berupaya agar setiap anak menguasai bahasa-bahasa yang ada dengan fasih. Keberadaan berbagai bahasa justru akan memperkaya,” ujarnya.

Sekretaris II Bidang Informasi Politik dan Pendidikan Kedutaan Besar India di Jakarta Anju Ranjan mengatakan hal senada. Di India, terdapat lebih dari 1.000 dialek dan 18 bahasa daerah yang aktif digunakan secara resmi. Bahasa ibu diajarkan sejak sekolah dasar (primary level). Pada level sekolah menengah (secondary level), murid mendapatkan pelajaran bahasa Inggris dan dapat memilih salah satu bahasa daerah. ”Semua bahasa diperlakukan sederajat,” ujarnya. (INE)

Sumber: Kompas, Selasa, 26 Februari 2008

Langkan: Pembuatan Antologi Cerpen Nusantara 2008

Pustaka Pelanduk, lembaga kerja sastra di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, saat ini mengundang, baik sastrawan, penulis, peneliti , peminat, pegiat sastra, maupun masyarakat umum di seluruh Tanah Air untuk menyumbang cerita pendek (cerpen) bertema ”Orang-orang Pedalaman”. Kumpulan cerita pendek yang berhasil diseleksi nantinya dimasukkan dalam sebuah Antologi Cerpen Nusantara 2008. Antologi ini juga akan menyajikan beberapa karya cerpen dari Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Setia Budhi dari Pustaka Pelanduk menyatakan, adapun panjang cerpen berkisar enam hingga 10 halaman dengan spasi ganda pada kertas A-4. Cerpen yang dikirim tidak pernah dipublikasikan di media massa sebelumnya. Batas pengiriman paling lambat 17 Agustus 2008. Mereka yang ingin berpartisipasi pada kegiatan ini bisa mengirim cerpennya ke Jalan Sang Giringan Raya Nomor 142 RT 08, Kompleks Ratu Elok, Banjarbaru, Kalsel, atau melalui e-mail: oot_danum@yahoo.com. ”Setidaknya cerita-cerita dari orang-orang pedalaman dalam Antologi ini akan dapat menjadi cermin untuk menatap diri dan masa depan bangsa,” kata Budhi. (FUL)

Sumber: Kompas, Selasa, 26 Februari 2008

Bahasa Ibu Harus Jadi Muatan Lokal

[JAKARTA] Bahasa ibu di sekolah-sekolah harus dijadikan sebagai bagian muatan lokal dalam kurikulum untuk melestarikan kekayaan budaya dari ancaman kepunahan. Di Indonesia ada 742 bahasa ibu, namun dari tahun ke tahun jumlahnya terus berkurang.

Bahasa ibu di Indonesia paling banyak yang punah.

"Berkurangnya bahasa ibu, antara lain sudah tidak ada penuturnya karena telah meninggal tanpa sempat menurunkan kemampuan bahasa tersebut kepada generasi berikut," ujar Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), Arief Rahman, pada peringatan "Hari Bahasa Ibu Internasional 2008", di Jakarta, Senin (25/2).

Hadir dalam acara tersebut, Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Dendy Sugono, Duta Besar Bangladesh Salma Khan, Duta Besar Sri Lanka Nanda Malla- waarachchi, serta per- wakilan dari India dan Pakistan.

Arief mengungkapkan, UNESCO sangat prihatin dengan ancaman kepunahan bahasa-bahasa ibu di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, paparnya, terjadi penurunan jumlah bahasa ibu, seperti di Papua dari 273 bahasa menjadi 271 bahasa, di Sumatera dari 52 bahasa kini 49 bahasa, dan di Sulawesi dari 116 bahasa turun menjadi 114 bahasa.

Dia mengingatkan, jika bahasa ibu punah maka punah pula budayanya. Hal yang lebih memprihatinkan, katanya, adalah kemampuan bertutur dalam bahasa ibu yang punah akan mempengaruhi kemampuan membaca dan berbicara. "Ketika bahasa ibu sudah tidak digunakan maka ancaman baru dihadapi masyarakat, yakni dalam waktu cepat atau lambat mereka akan kembali menjadi buta aksara," tuturnya.

UNESCO sangat prihatin dengan kebijakan dan perhatian yang tidak sungguh-sungguh untuk mengatasi kepunahan itu karena generasi mendatang tidak memiliki lagi bahasa ibu. Dia menambahkan, UNESCO menjadikan tahun 2008 sebagai "Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional" untuk membangkitkan kepedulian pemerintah dan masyarakat dunia melawan buta aksara. [W-12]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 26 Februari 2008

Pembinaan Bahasa Ibu Harus sejak Dini

JAKARTA (MI): Hasil penelitian UNESCO (Organisasi PBB untuk Bidang Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan) menyatakan dua bahasa ibu di Papua dan dua bahasa ibu di Sumatra telah hilang. Oleh karena itu, pembinaan bahasa ibu harus dilakukan secara dini.

"Pembinaan bahasa ibu juga harus berkelanjutan di kalangan generasi muda, baik jenjang pendidikan formal maupun pendidikan nonformal," kata Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman di sela peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 2008, di Gedung Depdiknas, Jakarta, kemarin.

Lebih lanjut, Arief mengatakan pembinaan bahasa ibu penting dilakukan guna mempertahankan ruh budaya bangsa Indonesia yang sudah mengakar ratusan tahun.

Selain itu, pembinaan akan menjaga kelestarian atas keragaman budaya bangsa Indonesia.

Arief mengemukakan perlunya pembinaan secara dini terhadap bahasa ibu, khususnya bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa ibu bisa diajarkan kepada anak-anak yang sudah masuk jenjang pendidikan sekolah dasar kelas tiga.

"Pada umumnya, mereka (siswa) sudah mulai paham, dan sudah mulai banyak mendengar kosakata bahasa ibu di tengah-tengah masyarakat. Jika hal itu tidak diasah pada pendidikan formal, kosakata yang mereka kuasai dikhawatirkan sedikit pudar, dan dipahami secara bias," ujarnya.

Untuk pendidikan nonformal, lanjut Arief, hal itu bisa diajarkan di sela pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pendidikan. Namun, menurutnya, bahasa daerah tetap diajarkan secara berkelanjutan sehingga muatan bahasa daerah sebagai ibu tetap menjadi perhatian para peserta didik nonformal.

Arief juga meminta kalangan media massa lokal, baik surat kabar maupun televisi, tetap memberikan perhatian kepada pembinaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu di kalangan massa, mengingat semakin gencarnya gempuran bahasa-bahasa internasional ke tengah masyarakat.

Sementara itu, Kepala Pusat Bahasa Depdiknas Dandy Sugono menambahkan pembinaan bahasa ibu, dalam hal ini, bahasa daerah, sangat penting dalam proses kemajuan bangsa.

"Apalagi, di era globalisasi saat ini, ketika penggunaan bahasa internasional yang cenderung dominan, dan bisa menimbulkan masalah bagi bahasa-bahasa ibu di daerah," ujar Dendy.

Dendy menilai, dengan adanya globalisasi, ada tiga masalah yang akan dihadapi bahasa ibu, yakni bahasa ibu yang masih banyak digunakan, bahasa ibu yang terancam punah, dan bahasa ibu yang sudah punah.

"Saat ini, bahasa ibu yang terancam punah adalah bahasa ibu yang jumlah penuturnya di bawah 1 juta. Bahkan berdasarkan penelitian oleh UNESCO, ada 50% dari 6.700 bahasa ibu di dunia akan punah dalam 100 tahun," kata Dendy.(Dik/H-2)

Sumber: Media Indonesia, Selasa, 26 Februari 2008

Monday, February 25, 2008

Sastra: Karya Karl May Memukau dan Menginspirasi

JAKARTA, KOMPAS - Karl May, pengarang besar kelahiran Jerman, melahirkan karya-karya yang memukau dunia, terutama di bidang geografi dan antropologi. Semasa hidupnya, 25 Februari 1842-30 Maret 1912, dia telah melahirkan 80 buku yang kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa.

”Profesor siapa pun akan mengalami kesulitan besar bila bertanding dengan Karl May di bidang geografi, antropologi, dan psikologi, termasuk didaktika mengajar ilmu-ilmu tersebut,” kata Daniel Dhakidae, Direktur The Indonesian-American Education Foundation (IAEF), dalam Diskusi Dunia Karl May yang digelar Bentara Budaya Jakarta (BBJ) bekerja sama dengan Paguyuban Karl May Indonesia, Sabtu (23/2) di BBJ, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta. Tampil pula dalam diskusi tersebut sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Selain diskusi, juga ada pemutaran film dokumenter drama Si Pengkhayal dari Saksen dan film televisi Kara Ben Nemsi. Sejak 20 Februari juga dipamerkan buku-buku yang ditulis Karl May.

Menurut Daniel, kalau ada yang belum pernah membaca kisah-kisah petualangan Karl May, bacalah tetralogi karya besar pengarang ternama kelahiran Jerman tersebut. Karl May melalui karya-karyanya menjadi guru ilmu bumi dan geografi.

”Saya mengenal tempat-tempat belahan barat dan timur, tentang adat istiadatnya, dan jiwanya hanya dengan membaca Karl May,” ujarnya. Walaupun terbit 100 tahun lalu, buku Karl May tetap menggugah.

Sementara itu, Seno Gumira Ajidarma mengatakan, dengan membaca Karl May kita akan mencintai suku-suku dan penduduk asli. ”Karl May mampu menceritakan kehebatan suku-suku tersebut sebagai manusia yang mencintai alamnya. Yang luar biasa, Karl May mendahului zamannya. Ide-idenya aktual, padahal itu ditulis 150 tahun lalu,” katanya. Menurut Seno, Karl May semestinya menjadi ide menyelesaikan kasus-kasus kekacauan antarsuku di Indonesia. (NAL)

Sumber: Kompas, Senin, 25 Februari 2008

Depsos akan Berdayakan Komunitas Adat Terpencil

JAKARTA (MI): Departemen Sosial menargetkan 12.935 keluarga dari Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara bisa diberdayakan dengan baik tahun ini. Pada 2007, Depsos melalui Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil telah memberdayakan 12.300 keluarga KAT.

KAT kini masih terdapat di 30 provinsi. Populasi KAT yang sudah diberdayakan sebanyak 64.788 keluarga, sedang diberdayakan sebanyak 14.805 keluarga, dan yang belum diberdayakan sebanyak 146.797 keluarga.

"Kami sudah mendata komunitas adat terpencil di seluruh Indonesia. Mereka tersebar di 30 provinsi, 236 kabupaten, 825 kecamatan, 2.038 desa, dan 2.628 lokasi," kata Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Hartono Laras kepada Media Indonesia, kemarin.

Menurut Hartono, Depsos akan mengembangkan tiga pola pendekatan dalam pemberdayaan KAT yaitu pemberdayaan dari tempat asal, pengembangan usaha melalui stimulus, dan pemberdayaan di tempat baru atau dipindahkan. "Dalam menghadapi KAT, kami tidak bisa main asal pindah. Ini bahaya. Sebab, keberadaan mereka dilindungi UUD 45," ujarnya.

Ia menjelaskan pada masalah KAT, terdapat dua bagian penting. Pertama, masalah internal menyangkut terbatasnya akses pelayanan sosial dasar, terpencil, terisolasi, sulit dijangkau, dan jalur terbatas. Selain itu, ekonominya masih subsisten bahkan rawan pangan, teknologi sederhana, belum mengenal budi daya, sumber terbatas, dan menurunnya kualitas lingkungan.

Kedua, masalah eksternal menyangkut kesenjangan sosial, ekonomi, budaya, dan wilayah. Daya serap pemberdayaan dan populasi terbatas, perhatian pemerintah daerah kurang proporsional, peran masyarakat dan LSM bidang pemberdayaan KAT terbatas, serta sosialisasi keberadaan dan pemberdayaan KAT masih terbatas. (CS/H-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 25 Februari 2008

Wisata Museum dan Asa Peradaban

SEBUAH gedung tinggi bercat putih bernuansa kolonial terletak di Jalan Merdeka Barat 12, Jakarta. Pada puncak gedung tersebut tertulis, 'Museum'. Itulah Gedung Arca Museum Nasional, satu di antara 275 museum yang ada di Indonesia.

Sebagai suatu lembaga pelestarian budaya, Museum Nasional mengelola sedikitnya 142 ribu benda warisan budaya Indonesia. Namun akibat keterbatasan ruang pameran, hanya sekitar 10% yang dipamerkan di ruang pameran tetap.

"Kami tidak memungkiri pergeseran minat remaja yang kini cenderung kepada budaya modern. Mungkin ini yang menjadi penyebab sepinya pengunjung di beberapa daerah di Tanah Air. Tetapi tidak untuk Museum Nasional. Tercatat ada sekitar 5.000 pengunjung setiap bulannya," ujar Kepala Museum Nasional Retno Sulistianingsih Sitowati.

Jumlah pengunjung bukan satu-satunya indikator keberhasilan sebuah museum, melainkan seberapa besar manfaat museum tersebut untuk masyarakat. Utamanya bagi masyarakat Indonesia selanjutnya kepada masyarakat dunia secara garis besar.

Museum sering menjadi tempat pembelajaran bagi pelajar dan mahasiswa. Beberapa museum daerah di Indonesia juga memberikan kesempatan kepada pegawai mereka untuk magang di Museum Nasional itu, seperti belajar kuratorial.

Untuk skala internasional, Museum Nasional sudah sangat dikenal di negara-negara Eropa. Retno mengakui beberapa kali komunitas museum di negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Belanda meminjam koleksi dari Museum Nasional. Bahkan mereka sering meminta kerja sama dengan Museum Nasional untuk menyelenggarakan pelatihan pengelolaan museum.

"Memang persepsi museum sebagai aset sejarah bangsa dengan nilai jual tinggi belum berkembang maksimal di Indonesia. Di negara maju, para konglomerat berlomba-lomba memberikan donasi atau sponsor dalam berbagai kegiatan untuk kepentingan museum. Faktor ini menyebabkan museum tetap hidup," kata Retno di sela-sela acara Program Wisata Museum di Gedung Museum Nasional, Jakarta, pekan lalu (21/2).

Kekayaan geologi

Sementara itu, Kepala Museum Geologi Yunus Kusumahbrata mengungkapkan kecemasannya terhadap beberapa kendala khusus untuk museum yang berdiri sejak 1929 itu. pasalnya, kapasitas Museum Geologi maksimal menampung 600 orang. Tatkala musim libur tiba, pengunjung bisa mencapai 4.500 orang dalam satu hari. Maka mereka harus antre dan sementara duduk di luar gedung museum.

"Kami berencana untuk membuat outdoor exhibition khusus untuk pameran batu-batuan Indonesia. Tujuannya, ketika antre di luar gedung, pengunjung tetap dapat menikmati pameran sembari menikmati kekayaan alam Nusantara," tutur pria berkaca mata itu.

Yunus membenarkan hanya 10% dari seluruh koleksi yang ada masuk ke ruang pameran tetap. Selebihnya akan disimpan dalam gedung khusus dalam kompleks museum yang sama. Untuk mendapatkan prioritas masuk ke ruang pameran, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi koleksi tersebut. Di antaranya substansi yang menarik, kelengkapan informasi, dan koleksi itu harus sesuatu yang unik dan sangat jarang ditemui tidak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia.

Di Museum Geologi, ada fosil gajah purba Indonesia (Stregodon trigonocephalus) yang hidup pada zaman kuarter, sekitar 1,7 juta tahun yang lalu. Ada fosil manusia purba Pithecantropus yang termasuk P-VIII. Bahkan koleksi gajah purba adalah koleksi asli, bukan replika. Susunan tulang vertebrata itu juga yang paling lengkap di dunia. "Ini salah satu koleksi langka yang hanya terdapat di Indonesia," jelas Yunus. (*/H-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 25 Februari 2008

Sunday, February 24, 2008

Buku Terakhir Kuntowijoyo Diluncurkan

YOGYAKARTA (MI): Buku berjudul Penjelasan Sejarah tulisan almarhum sejarawan Kuntowijoyo diluncurkan Jumat (22/2) lalu. Peluncuran buku itu bertepatan dengan peringatan seribu hari meninggalnya guru besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM tersebut.

Peluncuran buku dilaksanakan dengan sederhana, di ruang auditorium FIB UGM dan dihadiri sejumlah kolega.

Dalam peluncuran buku itu sekaligus diadakan diskusi dengan narasumber dari UGM, yakni sejarawan Suhartono, dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Budi Irawanto, serta dosen sejarah Margana.

Pada diskusi itu Suhartono menjelaskan, dalam buku terakhir yang ditulis almarhum Kuntowijoyo setebal 197 halaman itu, Kunto memaparkan bahwa ilmu sejarah merupakan ilmu yang terbuka. Hakikat dan kemandirian ilmu sejarah merupakan kekuatan yang mampu menjelaskan sejarah, sehingga perlu dibedakan antara penjelasan ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial di satu pihak, dan ilmu sejarah di pihak lain. ''Selain itu, dalam sejarah sendiri, kuantifikasi belum banyak diterapkan. Kuantifikasi sebagaimana dalam tradisi sejarah sebenarnya hanya menjelaskan narasi. Jadi bukan merupakan penjelasan numerical dan statistical. Pada dasarnya sejarah itu persoalan kualifikatif,'' kata Suhartono.

Adapun Budi Irawanto berpendapat, buku pamungkas Kuntowijoyo itu memuat tidak kurang dari 60 ulasan review terhadap karya sejarawan, baik dari dalam maupun luar Indonesia. Sementara tahun publikasi karya-karya yang diulas Kuntowijoyo merentang cukup jauh, dari karya klasik Sartono Kartodirdjo berjudul Peasant's Revolt of Banten in 1888 yang terbit 1966 hingga karya Kuntowijoyo berjudul Raja, Priyayi dan Kawula pada 2004.

''Dalam buku Penjelasan Sejarah itu karya dalam konteks Indonesia mempunyai tempat yang lebih luas ketimbang karya dari luar Indonesia,'' jelas Budi. (AZ/H-3)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 24 Februari 2008

Esai: Pengarang di Tepi Panggung

-- Agus Noor*

AKANKAH Sanusi Pane menuliskan Sandyakala Majapahit bila naskah lakon tersebut tidak akan dipentaskan di malam Kongres Pemuda pada tahun 1928? Pertanyaan itu mengisyaratkan betapa naskah lakon ditulis memang untuk dipentaskan.

Itulah sebabnya, Seno Gumira Ajidarma ”merasa perlu repot-repot” mementaskan dan menyutradarai sendiri naskah Kenapa Kau Culik Anak Kami? yang ditulisnya. Situasi seperti itu menemukan relevansinya ketika dalam perhelatan Festival Teater Jakarta (FTJ) yang baru rampung pada akhir Desember 2007 memunculkan kegundahan: begitu sedikitkah naskah lakon yang ditulis hari ini? Hingga nyaris sebagian besar kelompok teater yang tampil lebih banyak menyajikan ”naskah lakon lama” semacam Lysistrata Aristhopanes (Rumah Teater), Pintu Tertutup Jean Paul Sartre (Teater Enam), Raja Mati Eugene Ionesco (Teater Ciliwung), Malam Jahanam Motinggo Busye (Study Teater 24), Macbeth William Shakespeare (Teater Amoeba), Penagih Hutang Anton Chekov (Komunitas Kaki 5), dan Cermin II Nano Riantiarno (Teater Mode). Bila kita cermati, lakon-lakon tersebut telah cukup populer dalam perteateran kita dan ”terlalu sering” dipentaskan sejak tahun 70-an.

Untuk diketahui, FTJ itu berupaya mengusung tema ”realitas dan teater”, di mana teater saat ini diandaikan menghadapi realitas yang telah banyak berubah. Hingga teater pun mestinya berupaya untuk menemukan kembali kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukannya dalam mengolah ”realitas” tersebut melalui panggung-panggung pementasannya. Mungkin kita bisa mencari padanan melalui dunia seni rupa kontemporer saat ini, yang secara paradigmatik cukup banyak mengalami perubahan ketika ia mulai bergelut dan mengolah realitas, sebagaimana kemudian bisa dilihat melalui representasi rupa, warna, dan bentuk-bentuk visual yang dihasilkannya. Bila membandingkan dengan pertumbuhan seni rupa kontemporer kita, sangat terasa, betapa kita jarang menemukan upaya-upaya untuk mereinterpretasi dan mengolah kemungkinan-kemungkinan ”realitas” itu dalam panggung teater kita. Sebagaimana yang menampak di banyak pertunjukan di FTJ itu: seakan ada realitas yang berhenti, ”realitas lama yang terus mendekam” dalam kepala para teaterawan yang tampil di atas panggung tersebut. Teater seperti hidup dengan ”tema-tema lama” yang terus diyakini. Sementara realitas di luar dirinya berubah dengan seluruh keguncangannya.

Apakah, ketika memilih naskah lakon lama itu, mereka meyakini bahwa lakon tersebut masih memiliki relevansi dengan realitas kekinian? Pada beberapa pementasan mereka, saya tidak melihat adanya upaya menafsirkan kembali naskah lakon itu agar menjadi ”aktual”, hingga kita bisa melihat urgensi kenapa lakon seperti Pintu Tertutup, misalkan, mesti dipentaskan pada hari ini. Karena sifat teater memang ”di sini dan kini”. Karena itu, apa yang dimaksud dengan ”aktual” mesti dipahami: bahwa naskah lakon itu memberikan kemungkinan bagi kita untuk memahami dan merefleksikan kembali apa yang kita alami hari ini. Ini tentu saja soal interpretasi kita atas satu naskah lakon. Tetapi interpretasi itu mesti muncul di atas panggung. Dan itulah yang seakan absent dalam FTJ, kecuali pada lakon End Game Samuel Beckett (Teater Kolom) yang mencoba melepaskan lakon itu dari dunia absurdisme komunikasi menjadi absurdisme sistem politik (dunia). Bagi mereka yang setia pada teks, interpretasi semacam itu atas End Game boleh jadi memperlihatkan ketidaksetiaan pada ”semangat” teks lakon. Tetapi itu setidaknya memperlihatkan suatu upaya bagaimana panggung teater mesti secara terus-menerus mencoba merefleksikan realitas kekinian yang dihadapi.

Kemungkinan lain bisa dilacak: apakah naskah-naskah lama itu diangkat ke panggung hari ini karena minimnya ketersediaan naskah lakon yang ”lebih kontemporer”, yang secara artistik bisa memenuhi kegelisahan pencarian atas kemungkinan-kemungkinan pemanggungan? Lembaga semacam Dewan Kesenian Jakarta memang masih menyelenggarakan lomba penulisan lakon, tetapi (barangkali) naskah- naskah lakon pemenang lomba itu tidak bisa memenuhi hasrat artistik kelompok teater yang ingin mementaskannya. Di sinilah, kita melihat suatu karakteristik yang (mungkin) menarik dan unik dalam teater kita, yakni hubungan antara naskah lakon, penulis lakon, dan kelompok teater.

Kelompok teater kita ialah kelompok teater yang mengacu pada pencapaian artistik, di mana ”identitas artistik” yang dikembangkan kelompok menjadi semacam penanda untuk memahami gagasan-gagasan yang dikembangkan dalam pentas-pentasnya. Pada Teater Mandiri, misalnya. Gagasan teater sebagai teror mental dalam panggung- panggung Teater Mandiri tidak bisa dilepaskan dari ”pilihan” naskah yang mereka panggungkan. Bahwa gagasan ”teater teror” itu memang sudah tersedia dalam naskah lakon. Ini dimungkinkan karena naskah lakon adalah sebuah ruang untuk tumbuhnya gagasan teater yang ingin dikembangkan. Putu Wijaya merasa perlu menuliskan lakon-lakon Teater Mandiri karena naskah lakon yang ditulisnya itulah yang ”cocok” dengan gagasan teater yang diolahnya. Pendek kata, dalam naskah lakon terkandung gagasan teater. Naskah lakon Obrok Owok-owok Obrok Ewek-ewek Danarto, misalnya, memperlihatkan gagasan teater yang mengolah ruang-ruang permainan di atas panggung.

Begitupun dengan Nano Riantiarno, ia menulis naskah lakonnya dengan kesadaran: bahwa naskah itu memang memungkinkan dan cocok dengan gagasan artistik yang dikembangkan Teater Koma. Bahkan ketika Teater Koma memilih naskah lakon yang bukan ditulis oleh Nano, selalu naskah itu diinterpretasi, ditulis ulang, agar sejalan dengan gagasan artistik Teater Koma. Juga naskah lakon seperti Kapai-kapai sampai Ozon yang ditulis Arifin C Noer pun memperlihatkan gagasan artistik yang ingin dicapai oleh Teater Ketjil. Pada kasus yang lebih mutakhir terjadi pada Teater Garasi, di mana pada tingkat tertentu naskah memang disiapkan untuk memenuhi proyek artistik yang ingin dikembangkannya dalam pentas. Naskah lakon Waktu Batu adalah ”studi” tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa diolah oleh ruang, waktu, dan tubuh dalam teater. Bagaimana mengolah ruang dalam panggung pun menjadi semacam gagasan yang memengaruhi Radhar Panca Dahana ketika menulikan naskah lakonnya yang kemudian dipentaskan Teater Kosong.

Dengan begitu, kelompok teater kita pada dasarnya sangat sadar dengan pilihan artistik dan ”gagasan teater” yang ingin dikembangkan dan dicapainya. Kesadaran semacam ini membawa implikasi: betapa mereka membutuhkan naskah lakon (sebagai dasar atau bahan awal untuk diolah dalam pentas) yang ”sesuai” dengan ”gagasan teater” yang ingin dikembangkannya. Mungkin karena itulah, nyaris para penulis lakon seperti Putu, Riantiarno, Arifin, Heru Kesawa Murti, dan Rahman Sabur menjadi bagian yang terlibat dalam proses lakon secara langsung. Karena dengan begitu, seorang pengarang naskah lakon pada dasarnya menyadari pada pilihan dan kecenderungan artistik yang ingin dikembangkan kelompok teater itu.

Naskah lakon-naskah lakon yang ditulis tanpa gagasan teater pada akhirnya menjadi closet drama, naskah lakon yang (hanya) menarik ketika dibaca. Naskah lakon seperti itu barangkali tidak dianggap cukup mewakili gagasan artistik yang ingin dikembangkan oleh satu kelompok teater tertentu. Bila pada FTJ lalu tidak muncul ”naskah lakon baru”, tentu saja bukan berarti tak ada naskah lakon kontemporer (yang lebih mewakili realitas sosial kita hari ini) yang ditulis belakangan ini. Tetapi barangkali, naskah lakon-naskah lakon tersebut memang tidak mampu mewakili gagasan teater yang ingin dikembangkan kelompok teater itu. Naskah lakon ditulis tidak hanya untuk ”menggambarkan realitas”, tetapi yang lebih penting bagaimana mengolah realitas tersebutke dalam gagasan teater. Dalam situasi seperti ini, teater kita memang membutuhkan para pengarang yang mau menjadi bagian dari proses pematangan dan pencarian gagasan teater. Bahwa, sebagaimana tampak dalam banyak kelompok teater kita, sebuah pentas teater bukan hanya suatu upaya untuk mengomunikasikan makna yang ada dalam naskah lakon, tetapi yang tampak lebih ”penting” adalah merepresentasikan gagasan dan ide-ide teater di atas panggung.

* Agus Noor, Prosais, Penulis Lakon

Sumber: Kompas, Minggu, 24 Februari 2008

Deklarasi Sastra Indonesia-Malaysia

PRIHATIN melihat 'hubungan budaya' antara Malaysia dan Indonesia yang kurang harmonis belakangan ini, sejumlah lembaga seni-budaya kedua negara akan menggelar pentas seni dan sastra bersama di Kafe Penus, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, pada Selasa, 4 Maret 2008, pukul 19.00 WIB. Selain diskusi, baca puisi dan musikalisasi puisi, juga akan dibacakan Deklarasi Sastrawan Indonesia-Malaysia yang berisi kesepakatan bersama untuk kerja sama dan kerukunan budaya.

Dari Malaysia, antara lain, akan diwakili Gapena (Gabungan Penulis Nasional Malaysia). Sedangkan dari Indonesia, akan diwakili Komunitas Sastra Indonesia (KSI), dengan dukungan dari Komunitas Cerpen Indonesia (KCI), Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ), Komunitas Sastra Nusantara, Yayasan KSI, Yayasan Tamaddun Melayu (YPM), dan Forum Peduli Bangsa. Ketua Umum KSI Ahmadun YH dan Ketua YKSI Wowok Hesti Prabowo berharap, farum tersebut dapat ikut meningkatkan kerja sama sastra, serta saling pengertian dan 'kerukunan budaya' antar-kedua negara. "Juga menjajaki penerbitan bersama karya-karya sastra Indonesia dan Malaysia," tambah Maman S Mahayana dari Yayasan Tamaddun Melayu.

Sumber: Republika, Minggu, 24 Februari 2008

Rilis Buku Puisi Dino F Umahuk

Penyair Dino F Umahuk akan merilis buku kumpulan puisi terbarunya, Dino Umahuk, Metafora Birahi Laut, pada Rabu, 27 Februari 2008, pukul 19.00 WIB, di Warung Wapres (Wapres) Bulungan. Acara akan diisi diskusi dengan pembicara Kurnia Effendi, pembacaan puisi oleh Yonathan Raharjo, Irine Gayatri, dan Jorgy, serta pentas musik bersama Volloand Humonggio (aktor film Sang Dewi) dan Araditya Mahessa.

Sumber: Republika, Minggu, 24 Februari 2008

Pameran Lukisan Puisi Lukman SH

Gallery Elcanna, Jl Pakubuwono VI No 35, Jakarta Selatan, menggelar Pameran Lukisan Puisi Lukman SH. Pameran dibuka pada 23 Februari 2008 oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat RI, dan akan berlangsung sampai 29 Februari 2008. Selanjutnya, pameran akan diteruskan di Gedung Merah Putih, Balai Pemuda Surabaya, pada 6-11 Maret 2008.

Pameran ini menampilkan 46 lukisan puisi karya Lukman SH. Dalam pameran, Lukman SH juga meluncurkan buku Lukisan Puisi dan Nyanyian Puisi dalam bentuk CD. Buku itu berisi seluruh lukisan puisi dan komentar beberapa rekan sejawatnya, antara lain dari Herry Dim.

Sumber: Republika, Minggu, 24 Februari 2008

Gelar Sastra Cinta-Kemanusiaan

GELARAN sastra bertajuk Cinta dan Kemanusiaan untuk Harmoni Kehidupan akan diadakan di studio RRI Pusat, Jakarta, pada Rabu, 27 Februari 2007, pukul 20.00 WIB. Acara yang diselenggarakan oleh LPP-RRI dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) ini akan disiarkan langsung oleh RRI Pro 4 ke seluruh penjuru Nusantara.

Menu acaranya berupa diskusi dan baca puisi. Diskusi akan diisi oleh Parni Hadi, Ahmadun Yosi Herfanda, Diah Hadaning, dan Fatin Hamama. Sedangkan baca puisi akan diisi Endang Supriadi, Fatin Hamama, Viddy AD Daery, Bambang Widiatmoko, Shobir Poer, Mahdiduri, Meddy Loekito, Husnul Khuluqi, Hasan Bisri BSF, Budi Setiawan, dan Ayit Suyitno PS. n

Sumber: Republika, Minggu, 24 Februari 2008

Pustaka: Buku Puisi Arsyad

DUNIA kepenyairan punya banyak 'orang gila'. Salah satunya, Arsyad Indradi. Salah satu kegilaan penyair senior Banjarbaru, Kalimantan Selatan, ini adalah rela menjual tanahnya untuk membiayai penerbitan buku antologi puisi. "Dia sampai harus menjual tanahnya untuk buku itu," kata penyair Banjarmasin, Micky Hidayat.

Antologi puisi yang dibiayai Arsyad dengan sebidang tanahnya itu memang bukan buku sembarangan. Buku bertajuk 142 Penyair Menuju Bulanyang diterbitkan melalui Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (KSSB) yang didirikannya itu berisi 426 puisi karya 142 penyiar Nusantara sejak yang baru muncul sampai yang paling senior. Termasuk, sajak-sajak presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri.

Di tengah tebaran ratusan buku antologi sajak di Tanah Air, kehadiran buku 142 Penyair Menju Bulan itu tentu menjadi sangat penting, karena merangkum hampir semua penyair Indonesia dari semua generasi. Buku tersebut tidak hanya telah mendokumentasikan karya-karya mereka untuk diabadikan, tapi juga untuk dapat menjadi rujukan penting penulisan sejarah perkembangan perpuisian di Nusantara. Karena itu, pengorbanan dan dedikasi Arsyad (semoga) tidaklah sia-sia.

Selain Arsyad, dunia kepenyairan Indonesia banyak memiliki penyair yang sering menunjukkan pengorbanan dan dedikasi yang luar biasa pada sastra Indonesia. Di Mataram, NTB, misalnya, ada penyair senior Dinullah Rayes, yang sering harus menjual kudanya untuk biaya kegiatan sastra dan mengikuti acara sastra di luar kota. Luar biasanya, meskipun rumahnya belum lama ini ludes terbakar, Dinullah masih saja dengan penuh semangat menghadiri acara-acara sastra di Jawa secara swadaya.

Jika inti kepahlawanan adalah kerelaan berkorban untuk bangsanya, maka Arsyad Indradi dan Dinullah Rayes adalah pahlawan sastra. Keduanya rela mengorbankan apa saja untuk ikut memajukan kesastraan bangsanya, tanpa peduli waktu, jarak, dan usia. Apalagi sekadar berkorban harta, mereka akan rela-rela saja.

Karena itulah, ketika menjadi pembicara pada The 1st International Poetry Gathering di Medan tahun lalu, saya sempat mengusulkan agar pemerintah dapat memberikan penghargaan khusus untuk penyair-penyair seperti Arsyad dan Dinullah. Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film, Mukhlis Pa'Eni, yang saat itu tampil sebagai keynote speaker, menyambut baik ide tersebut. Namun, realisasinya memang masih harus kita tunggu.

Sejak tradisi penulisan puisi tumbuh subur di Indonesia, sejak akhir dasawarsa 1980-an, khasanah sastra Indonesia sudah disemaraki buku-buku antologi puisi (bersama) dan kumpulan puisi (tunggal) yang diterbitkan secara swadaya, sejak edisi stensilan sampai cetak mewah.

Buku-buku semacam itu makin marak saja ketika kantong-kantong dan komunitas-komunitas sastra bertumbuhan di Tanah Air, sejak awal dasawarsa 1990-an. Tiap kantong dan komunitas sastra seakan belomba-lomba menerbitkan buku antologi puisi secara swadaya, baik secara patungan maupun atas bantuan sejumlah donatur. Tidak kurang pula jumlah penyair yang menerbitkan karya-karya sendiri dengan biaya sendiri.

Jika dihitung secara cermat, jumlah buku semacam itu mungkin sudah mencapai ribuan. Pada periode antara 1992 sampai 1994 (dua tahun) saya pernah mencoba mengumpulkan buku-buku puisi swadaya semacam itu untuk bahan kajian. Tapi, karena jumlahnya membludak, saya kewalahan. Akhirnya, banyak yang terpaksa saya relakan untuk pemulung, dibawa siapa saja yang tertarik, dan sisanya hanya teronggok bisu di dalam sejumlah kardus.

Sebenarnya sangat menarik untuk meneliti dan mengkaji sajak-sajak yang terkumpul dalam buku-buku swadaya semacam itu. Saya yakin, di dalamnya tersimpan kanon-kanon yang potensial untuk menjadi tonggak perkembangan perpuisian Indonesia. Tetapi, memang dibutuhkan kerja berat yang pasti sangat melelahkan.

Mungkin karena itu, hingga kini belum ada peneliti maupun akademisi sastra yang mengkaji sajak-sajak dalam buku-buku puisi swadaya itu secara sungguh-sungguh dan komprehensif. Ada yang sempat membicarakan kesemarakan buku-buku puisi itu, memang, semisal Budi Darma. Tetapi, mungkin karena hanya berdasar pembacaan sepintas dan kurang menyeluruh, hasil analisisnya kurang memuaskan.

Di dunia penerbitan komersial, buku kumpulan sajak mendapat stigma sebagai buku yang tidak laku. Karena itu, buku kumpulan sajak dari penerbit komersial jumlahnya sangat terbatas. Karena itu pula, justru buku-buku antologi dan kumpulan puisi swadayalah yang sebenarnya lebih mewakili realitas perkembangan perpuisian Indonesia.

Namun, sayangnya, buku-buku puisi swadaya justru cenderung terlewat dari perhatian pengamat, akademisi, dan lembaga pemberi penghargaan sastra. Karena itu, sejarah perpuisian Indonesia yang disusun oleh akademisi sastra bisa jadi hanya 'sejarah semu'. Sebab, fakta sejarah yang paling mendekati kebenaran justru tersimpan dalam buku-buku puisi swadaya yang terlewat dari perhatian para penyusun sejarah sastra kita. (Ahmadun Yosi Herfanda)

Sumber: Republika, Minggu, 24 Februari 2008

Pustaka: Menulis untuk Eksplorasi Isu

QAISRA Shahraz melakukan tur ke Indonesia untuk novel Perempuan Terluka dan riset tentang Muslimah.

Qaisra Shahraz mempunyai pengandaian. Novelis Inggris kelahiran Pakistan ini menggambarkan proses menulis sama halnya dengan proses melahirkan. ''I much liken the creative writing process to the cycle of motherhood,'' tutur perempuan yang beremigrasi bersama keluarga ke Inggris sejak usia 9 tahun itu.

Penulis novel Perempuan Suci (Mizan, 2006, memasuki cetakan kelima) dan Perempuan Terluka (Mizan, 2007, memasuki cetakan ketiga) itu Februari ini sedang berada di Indonesia. Sambil melakukan book tour ke empat kota di Indonesia, Qaisra juga melakukan serangkaian riset tentang Muslimah di Indonesia.

Hal itu ia lakukan untuk mendukung proyek penulisan buku nonfiksinya, bertema Muslim Women from Around the World. Maka, sejumlah perempuan dari berbagai kalangan ia wawancarai. Antara lain para pemetik teh di kawasan Gunung Mas, Puncak.

Saat tampil di Jakarta, Qaisra menyatakan proses menulis dan proses melahirkan kuranglebih serupa. Dalam menjalani kehamilan, ada masa mengandung, janin tumbuh dan membesar di dalam rahim, dan menjalani masa melahirkan. Proses selanjutnya, anak tumbuh dan berkembang dengan dunianya sendiri.

Menurut Qaisra, sebagaimana halnya kehamilan, hal pertama yang dialami seorang penulis adalah 'mengandung' ide-ide dan karakter tokoh. Ide dan karakter ini kemudian tumbuh di dalam diri sang penulis, sampai akhirnya melahirkan sebuah karya.

Sebagaimana seorang ibu yang pada saatnya mesti melepas anaknya menempuh kehidupan sendiri, dalam menulis pun pada akhirnya sang penulis mesti menepi. Ia mesti rela melepas karyanya dan hanya bisa melihat dari jauh, bagaimana karya itu mengarungi samudra luas kehidupan para pembacanya.

Bagi Qaisra, menulis juga ibarat hidup itu sendiri. Penulis melakukan dialog dan jatuh cinta pada karakter yang diciptakannya, merasa berat ketika harus berpisah dengan karakter-karakter itu. Boleh jadi, karena perasaan tak mau berpisah itulah, lahir novel keduanya, Perempuan Terluka.

Novelnya, The Holy Women (Perempuan Suci), pertama kali diterbitkan di Inggris pada 2001. Novel ini meraih penghargaan Best Book of the Month di Bradford dan Jubilee Award pada 2002 di Manchester. Setalh itu, lahir novel keduanya, Typhoon (Perempuan Terluka) yang merupakan sekuel dari The Holy Women. Kini Qaisra tengah mengerjakan novel ketiganya.

Book tour Qaisra ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, pada 29 Januari - 7 Februari 2008 berkaitan dengan novel Perempuan Terluka. Selain bertemu dengan fans, Qaisra memberikan pula workshop pendidikan. Di Inggris, Qaisra juga dikenal sebagai konsultan pendidikan, pelatih guru, dan pengawas pendidikan.

Bagi Qaisra, ini bukan kali pertama ibu tiga anak itu datang ke Indonesia. Qaisra pertama kali datang ke Indonesia, Oktober 2006, menghadiri Ubud Writer and Reader Festival sekaligus peluncuran buku pertamanya versi bahasa Indonesia, Perempuan Suci.

Budaya

Perempuan Suci menceritakan kisah seorang perempuan Pakistan yang dipaksa oleh keluarganya menjadi seorang perempuan suci yang tidak boleh menikah. Perjalanan waktu membuat sang perempuan suci menjadi semakin terbiasa dengan burqa yang dipakainya dan semakin memahami ajaran agamanya.

Sebagai seorang perempuan suci, dia mendapatkan sebuah identitas baru sebagai seorang Muslimah. Ia menjadi seorang perempuan yang bangga dengan keyakinannya dan bangga menggunakan jilbab. Di sisi lain, sebagai perempuan suci, ia tidak boleh menikah. Tapi, toh, ia juga manusia biasa yang punya perasaan cinta. ''Ini cerita tentang kungkungan budaya,'' kata Qaisra. ''Novel ini menceritakan mengenai revolusi batin dari tokoh utama sang perempuan suci,'' lanjutnya.

Seperti juga novel Perempuan Suci yang berlatar budaya, novel Perempuan Terluka mengisahkan tiga perempuan belia mengalami kisah tragis yang menghantui kehidupannya masing-masing di Desa Chiragpur --asal mula sang perempuan suci. Tiga perempuan belia itu: Naghmana, perempuan glamour dari kota; Chaudharani Kaniz, sang maharani; dan Gulshan, istri tak berdosa.

Qaisra Shahraz memang paham dengan berbagai budaya. Sebagai perempuan yang lahir di Pakistan dan besar di Inggris, ia acap mendiskripsikan dirinya sebagai produk dua dunia: dunia Muslim dan dunia Barat. Qaisra memang tumbuh dengan salah satu kaki di dunia Muslim, satu kaki lainnya berjalan di dunia Barat.

Dia merasakan, hal itu melahirkan liku-liku tersendiri. Namun, belakangan dia merasa sangat beruntung karena dengan memahami kedua dunia tersebut, dia bisa menjadi jembatan yang menghubungkan keduanya. Menjadi jalan dialog, melebur segala salah persepsi yang terjadi di antara keduanya.

Qaisra mempelajari peradaban klasik dan sastra Inggris di Universitas Manchester, meraih dua gelar master dalam bidang sastra Eropa dan penulisan naskah dari Universitas Salford.

Meski harus membagi waktu antara karier menulis dan tugasnya sebagai guru dan penggiat pendidikan di Inggris, Qaisra bertekad menjadikan proses menulis sebagai media diskusi dan eksplorasi atas berbagai isu yang menurutnya penting: Komitmennya terhadap pemberdayaan kaum perempuan, pendidikan, dialog antaragama, dan budaya. ''Saya cinta menulis. Itu hal paling alami yang bisa kita lakukan,'' tutur perempuan yang berobsesi menjadi penulis sejak usia 14 tahun ini. n burhanuddin bella

Sumber: Republika, Minggu, 24 Februari 2008

Wacana: Dongeng-dongeng Perempuan di Dunia Ketiga

-- Neneng Nurjanah*

BERBICARA tentang nasib perempuan di dunia ketiga, ingatan kita akan terbawa pada beberapa novel Nawal El Sadawi, seorang sastrawan Mesir yang memotret nasib buram kaum perempuan di tanah airnya. Ingatan sayapun terbidik pada karya-karya Arundhati Roy, seorang sastrawan India pemenang Booker Prize 1997. Tak berbeda, diapun berujar tentang nasib perempuan dan rakyat miskin di tanah airnya. Dalam esai The Cost of Living dengan apik dia menulis tentang pembangunan waduk Narmada yang menelan ratusan ribu warga India.

Dari Indonesia, kita memiliki Oka Rusmini, sastrawan Bali yang mengungkap nasib perempuan Bali di tengah gebyar pariwisata dan modernisme. Di mata pena Oka, Bali yang elok ternyata bobrok. Dalam novel Tarian Bumi, diapun memotret nasib perempuan di tengah diskrimanasi kasta dan kemiskinan.

Lokalitas


Baik Nawal, Arundathi maupun Oka Rusmini, berbicara tentang perempuan dalam kerangka lokalitas budaya. Meskipun tema umum yang diusung adalah diskriminasi gender, namun mereka mengungkapnya dalam konteks tanah airnya masing-masing. Merekapun tidak serta merta menelan bulat feminisme Barat yang mengawang. Dengan tetap berpijak pada budaya setempat, mereka beranjak untuk menelisik ketimpangan yang terjadi di masyarakat.

Gambaran umum yang tampak pada karya-karya mereka adalah adat budaya serta otoritas negara dan agama. Nawal banyak bercerita tentang otoritas negara yang bersembunyi di balik dalil-dalil agama yang dianggap mengekang kebebasan dan keadilan. Ia mengeritik para pejabat yang korup dan otoriter. Sikapnya itu berbuah penahanan, ancaman fisik, serta masuk ke dalam daftar hitam pemerintahan Anwar Sadat. Buku-bukunya pun dicekal dan dibredel oleh Majma Al-buhuts.

Begitupun dengan Arundhati, yang menampilkan sosok India dengan sinis. Ia berpendapat India tidak lebih dari mesin yang memproduksi kemiskinan massal. Ia pun memotret buramnya nasib penduduk desa di India yang dipaksa untuk menyetujui pembangunan sejumlah waduk. Imbasnya, mereka kehilangan hutan yang sedang bersemi, taman bermain untuk anak-anak, dan sungai yang menghidupi mereka. India seakan hanya hidup di kota-kota, bukan di desa. Desa hanya hadir untuk melayani kota-kota.

Tidak berbeda dengan Bali di tengah gemerlap pariwisata. Oka mengungkap diskriminasi kasta yang memenjarakan warga Bali. Pencapaian kasta tertinggi dianggap sebuah prestasi. Kasta menjadi ukuran seseorang dalam memperoleh nilai di masyarakat dan kemapanan secara ekonomi.

Kondisi budaya

Menurut Ignas Kleden, penciptaan karya sastra tidak bisa terhindar dari kondisi sosial dan budaya di sekitar pengarangnya. Karya sastra memuat realitas sosial secara simbolik, evokatif (menggugah) dan artistik. Ketiga sastrawan itu pun menggambarkan masyarakat di dunia ketiga dengan pengungkapan yang khas.

Dalam novel Memoar Seorang Dokter, Nawal bercerita dengan gaya colloquaialism (bahasa keseharian) tentang budaya Mesir yang mengatur tata kehidupan perempuan. Para perempuan muda dipaksa untuk menjalani sebuah pernikahan dengan laki-laki yang jauh lebih tua. Sang perempuan dipaksa berdandan semenarik mungkin agar laki-laki itu menikahinya, dan akhirnya sang perempuan berontak.

Karya Nawal lainnya adalah Jatuhnya Seorang Imam. Dengan tajam ia mengkritik kebobrokan pemerintahan yang berselimut di balik otoritas agama. Imam yang dipuja oleh masyarakat sebagai pemimpin yang shaleh ternyata banyak melakukan perbuatan yang salah. Kejahatan demi kejahatan pun terungkap atas penyidikan seorang perempuan (Bintullah) yang lahir dari rahim ibu yang pernah dianiaya oleh sang Imam.

Dalam novel The God of Small Thing, dengan kontruksi cerita yang begitu memukau dan gaya simile (perbandingan) yang tajam, Arundathi bercerita tentang kondisi Kerala, sebuah daerah di India yang memiliki tingkat keaksaraan yang paling tinggi, namun berkubang kemiskinan, konfigurasi sosial yang diskriminatif, faham Marxisme dan keterpurukan nasib perempuan.

Yang menarik adalah awal cerita yang memotret kantor polisi, ketika Ammu (tokoh perempuan) hendak menemui inspektur Thomas. Karena terjadi kesalahan, Ammu tidak jadi dimintai keterangan. Dengan tatapan yang culas Inspektur Thomas berkata bahwa kepolisian Kottayam tidak mau menerima pernyataan dari kaum veshya (pelacur) atau anak-anak jaddah. Lalu, Inspektur Thomas mendekati Ammu dan mengambil tongkat komando sambil menepuk dada Ammu seperti sedang memilih buah mangga untuk segera dikirimkan.

Dari kepingan cerita tersebut Arundhati ingin memnggambarkan situasi yang paradoks: di satu sisi aparatur negara dituntut untuk menjaga nilai-nilai kesopanan, kepatuhan, kesetiaan dan kecerdasan, tapi mereka sekaligus melanggarnya.

Begitu pun dengan Oka Rusmini, yang memotret kesemrawutan Bali. Kebangsawanan menjadi titik masuk Oka untuk membeberkan ketidakadilan. Predikat sebagai kota pariwisata dan masuknya modernitas berpengaruh pada kehidupan di Bali. Tokoh Sekar dalam novel Tarian Bumi mau melakukan apa saja agar bisa menikah dengan seorang Ida Bagus (kasta Brahmana) agar kehidupannya tidak lagi menderita dan dipandang sebelah mata karena ayahnya aktivis PKI.

Ketimpangan modernsime pun dipotret dalam novel tersebut. Luh Dampar, yang menikah dengan pelukis Jerman (Jean Paupiere), bukannya mendapatkan kebahagiaan tapi eksploitasi tubuh sebagai objek foto dan video telanjang. Dampar ternyata hanya dimanfaatkan untuk memuluskan administrasi pembuatan galeri. Pariwisata yang seharusnya mendatangkan berkah dan kesejahteraan bagi warga Bali, ternyata malah mengundang pelecehan terhadap perempuan.

Dari karya-karya di atas saya ingin menarik sebuah benang merah bahwa karya perempuan yang membicarakan diskriminasi gender tidak selalu berucap tentang seksualitas, politik tubuh, dan pendobrakan terhadap hal-hal yang tabu. Ketiga sastrawan itu mengungkap bahwa diskriminasi gender bukan hanya persoalan perempuan tapi juga persoalan masyarakat.

Mereka juga tidak menafikan bahwa kondisi sosial yang buruk adalah penyebab ketimpangan dan pelanggaran hak asasi manusia. Nawal mengingatkan, janganlah terjebak pada perjuangan melawan patriarkal semata, tapi yang lebih perlu diwaspadai adalah kapitalisme global yang mengancam kehidupan masyarakat di dunia ketiga.

Fungsi sastra adalah dulce de utile (menghibur dan mendidik). Sastra hendaknya tidak hanya berkata-kata, tapi memberikan pencerahan pada pembacanya agar lebih peka pada nilai-nilai kemanusiaan. Ketiga sastrawan di atas tidak hanya memotret situasi di dunia ketiga, tapi juga memberi spirit untuk membangun dunia ke arah yang lebih baik.

* Neneng Nurjanah, Mahasiswa sastra UPI

Sumber: Republika, Minggu, 24 Februari 2008

Esai: Meretas Jalan Seni

-- Miming Ismail*

DALAM konteks kebudayaan modern, kekayaan seni tradisi sering kali hanya menjadi etalase yang seakan telah melewati masa hidupnya. Seni dan budaya masa lalu hanya dilihat sebagai epos yang menjadi romansa hidup masa kini.

Karena itu akar dan habitusnya juga berangsur punah ditelan keganasan dan kelalaian memahami sebuah epos ruang dan waktu. Manusia pada zaman ini umumnya memandang semua anasir tradisi masa lalu sebagai artefak kebudayaan semata.Padahal, apa yang kita sebut sebagai tradisi sesungguhnya memiliki dimensi kosmogonis atau metafora yang mengungkapkan sisi kehidupan manusia dengan kerangka rasionalitasnya sendiri, sebagaimana dalam mitos dewadewi zaman Yunani Antik.

Perspektif yang melihat masa lalu hanyalah sebuah artefak mati itu berdasarkan pengandaian tentang masa kini yang seakan lepas dari tradisi masa lalu. Transformasi selalu dipandang sebagai upaya melampaui bahkan mengakhiri apa yang pernah ditoreh masa lalu,karena pembayangan akan masa kini yang selalu jadi hakim paling bijak atas masa lalu.

Akhirnya seluruh anasir budaya masa lalu selalu tinggal di ruang sana. Pertanyaan pun muncul, betulkah kekinian yang kita jalani tidak memiliki paralelisme dengan masa lalu? Adakah semua peninggalan masa lalu itu tidak relevan bahkan ”buruk”bagi masa kini? Dalam konteks inilah pekerjaan untuk mendudukkan tradisi masa lalu dan kini selalu sulit untuk dicari garis batasnya secara tegas, karena multiplisitas yang menyiratkan batas sekaligus ketidakmungkinan untuk merengkuhnya dalam kesatuan, terlebih dalam hempasan kondisi posmodernisme yang membentangkan fragmentasi ruang dan waktu.

Spirit masa lalu sebenarnya merupakan ”habitus” atau tempat tinggal paling primordial di mana manusia dan seluruh entitas budaya berekspresi. Dalam habitus itu pula manusia selalu riuh rendah dengan segala anasir budaya, kuasa, dan capaian keseniannya yang fantastis, sejak zaman Yunani,Romawi, fajar keemasan agama-agama hingga melahirkan epos baru yaitu modernitas.

Dalam kenyataan, tak dapat dimungkiri bahwa seluruh epos masa lalu tetap saja tinggal di masa kini. Sebuah hikayat panjang tidak selalu sinkron dengan asumsi dan pengandaian konseptual kita tentang kebudayaan. Karena di dalamnya juga terletak hasrat, imaji, bahkan kubangan nafsu-nafsu hewani yang secara beringas menancapkan ambisinya. Seluruh jalinan simbolik dan metaforis mengenai khasanah itu selalu memunculkan irama, decak kagum ironi, sekaligus fiksi tentang kejayaan suatu latar kebudayaan tertentu.

Wilayah estetis itu sangat terlihat ketika ekspresi kebudayaan mendapatkan medan artikulasi dan ekspresinya dalam kehidupan.Tetapi tentu saja di sana ada habitus, latar kosmogonis, dan kosmologis penanda adanya kehidupan budaya manusia yang elastis. Karena pengandaian yang organis tentang satu jenis hewan atau makhluk bernama manusia, yang dinilai lebih baik dari hewan-hewan lainnya. Tapi, bukankah yang berbau modernis juga mengandung sisi ganjil dalam riwayatnya? Representasi akal budi dan transendensi manusia secara konseptual dibayangkan juga memuat ilusi bahkan fiksasi.

Jadi tidak niscaya sempurna sebagai universum yang dibayangkan lebih baik dari epos masa lalu. Dalam situasi itulah sebenarnya Rhyhm Salad, sebagai wadah apresiasi tradisi dan ”klinik musik tidak hanya menempatkan seni musik sebagai instrumen dan teknik yang melahirkan lirik.Tapi lebih dari itu, ia juga modus dan ekspresi yang memiliki latar budaya, horizon pemahaman, akar, dan habitusnya dalam budaya atau tradisi Indonesia.

Tak heran dalam setiap tampilan dan pementasannya ia tidak hanya memperlihatkan decak kagum, tapi juga tegangan komposisi musikal,dialog,konflik,dan harmoni di mana arus pertukaran dialog berlangsung dalam silang tradisi dan budaya kontemporer. Seni tradisi baik yang lahir dari masa lalu maupun masa kini, sebenarnya lahir dan memiliki akar primordialnya dalam tradisi yang lekat dengan modus dan penghayatan kosmologis dan kosmogonis tertentu.

Meski kita boleh menyangsikan hal itu tidak terjadi di era seni modern, terutama musik yang terkesan lepas dari habitusnya, kecuali hanya menjadi instrumen dan teknik yang terus menerus direproduksi dalam rangka komoditas. Dalam bahasa filsuf sekaligus musikolog,Adorno,itu disebut sebagai tindakan mimesis atas mimesis (mimesis of mimesis) atau tiruan atas tiruan. Bukan sebaliknya karya yang orisinal (berdaya kultis/ mitis) dan revolusioner dalam penciptaan komposisi musikal, sebagaimana tampil dalam komposisi nada atonal dalam komposisi twelf tone atau dua belas nada dalam komposisi Schoenberg yang ia kagumi.

Lalu adakah keduanya mungkin di mediasi atau diintegrasikan sebagai sebuah jalinan komposisi yang harmonis, atau sebaliknya hanya akan bertabrakan satu sama lain, karena medan artikulasi dan ekspresinya yang sudah berbeda.Bukankah mustahil menciptakan karya yang orisinal di zaman ini? Kemungkinan itulah yang tengah diterobos Rhythm Salad.Setidaknya jalan tengah yang lebih menekankan integrasi ketimbang transformasi dalam merajut dan melihat sisi estetis dalam masyarakat terutama masyarakat Indonesia yang cenderung abai mempertahankan segala bentuk tradisi.

Kita semua mungkin memahami bahwa dalam kultur industri,semua hal yang berbau seni dan tradisi selalu bertukar tangkap dengan kepentingan kapitalisasi ekonomi atau komoditi serta budaya yang masif. Namun, bukankah semuanya memiliki bingkai dan struktur yang jelas berbasis pada tradisi. Bukankah kebudayaan secara holistis memiliki habitus dan akarnya dalam tradisi? Mengapa dalam situasi industri yang memungkinkan kapitalisasi atas seni,kekayaan tradisi tidak ikut berbunyi,bahkan cenderung punah. Setidaknya pertanyaan dan problem macam inilah yang kini sedang mendera seni dan tradisi negeri ini.

Karena gejala prapemahaman tentang rasionalitas dan seluruh capaian yang melulu dipandang lepas dari anasir dan tradisi, hingga abai mengembangkan dan mengintegrasikan tradisi dalam lanskap kehidupan industri serta keseharian masyarakat. Padahal kebudayaan sendiri memiliki cakupan yang luas, tidak hanya terkait instrumen dan barang peninggalan yang dibayangkan sebagai kaleng rombeng atau kepingan logam masa lalu.

Ironisnya di negeri ini semua tradisi seakan hanya menjadi pernik di ruang etalase yang megah, hanya dapat dipentaskan ketika massa bosan dengan rutinitas budaya pop yang penuh kebisingan hasrat dan nafsu-nafsu komoditas. Kemunculan Rhythm Salad sekurang kurangnya memberi gambaran betapa meretas jalan tradisi dan kebudayaan kontemporer akan terasa begitu pelik,meski oase yang ditawarkan sejatinya mampu membangun struktur industri dan proses integrasi antara tradisi dan khasanah kontemporer. (*)

* Miming Ismail, pegiat sastra dan filsafat pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Paramadina, Jakarta.

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 24 Februari 2008

Esai: Eksistensialisme Makna Karya Sastra

-- Heru Kurniawan*

MENURUT Ricoeur dalam bukunya Interpretation Theory: Discourse and Surplus Meaning, Tradisi Posivistik-Logis telah menciptakan pembedaan antara makna eksplist dan makna implisit yang diperlakukan sebagai perbedaan antara bahasa kognitif dan emotif yang dalam tradisi strukturalisme disebut juga dengan makna denotasi dan konotasi. Persoalannya adalah di manakah makna karya sastra meletakan paradigma filosofisnya?

Makna eksplisit adalah makna absolut yang langsung diacu oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat denotatif (sebenarnya) sebagai representasi dari bahasa kognitif. Sedangkan makna implisit adalah makna universal yang disembunyikan oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat konotatif (kias) sebagai representasi dari bahasa emotif. Makna eksplisit mengacu pada informasi, sedangkan makna implisit mengacu pada emosi. Mencermati paradigma makna ini, maka karya sastra jelas condong pada tradisi implist karena substansi dari sastra adalah subjektivikasi-ekspresi yang diarahkan pada estetika dengan pemberdayaan bahasa yang emotif. Namun, tradisi positivistik-logis yang mengasumsikan bahwa tujuan satu-satunya bahasa adalah kode yang merepresentasikan dan mengkomunikasikan informasi aktual menyebabkan tradisi positivistik jelas lebih berpihak pada makna eksplisit-denotatatif daripada makna yang diusung karya sastra implisit-konotatif.

Di sinilah kemudian tradisi positivistik cenderung memandang miring karya sastra, karena maknanya yang implisit-konotatif dan tidak objektif, tidak menciptakan satu sistem yang pasti. Oleh sebab itu, objektivisasi karya sastra lahir sebagai gerakan kaum positivistik yang menyuarakan faham strukturalisme-otonom, yang memandang makna karya sastra sebagai dunia yang independen. Oleh sebab itu, makna konotasi-implisit dalam bahasa emotif karya sastra dimaknai dalam paradigma internal teks. Faktor eksternal teks dinihilkan dengan tujuan untuk menjaga kemurnian makna karya sastra agar tetap, karena usaha analisis kajian ini adalah untuk mengungkap makna strutur dalam (deep structure).

Padahal kenyataannya, pengertian makna konotasi-implisit pada bahasa emotif dalam karya sastra tidaklah sesederhana hanya bergerak pada wilayah semantik (internal teks) saja, karena persoalan sastra bukan hanya mengacu pada dunia yang dikonstruksi oleh struktur--seperti diwacanakan oleh kaum strukturalisme atau persoalan intern bahasa yang defamiliar--seperti yang diwacanakan kaum formalisme Rusia--. Dalam hal ini saya menganggap bahwa sastra adalah "realitas imajiner" yang dikonstruksi sebagai refleksi "realitas masyarakat". Jadi, makna konotasi karya sastra tidak hanya terkotak pada tradisi internal-semantik, tetapi juga keluar dari dirinya, yaitu selalu menjalin hubungan yang dialektis dengan "realitas masyarakat" sebagai bahan dasarnya.

Dalam hal ini saya memahami makna konotasi dalam tradisi filsafat sebagai makna yang universal dan selalu berubah. Oleh sebab itu, substansi makna konotasi hakikatnya adalah eksistensialis. Perubahan makna konotasi ini bukan terjadi dalam dinamika internal karya sastra. Akan tetapi sebaliknya, perubahan makna ini terjadi karena dinamika eksternal karya sastra, yaitu pembaca sebagai mahluk sosial, yang dipahami sebagai individu yang telah dikodifikasi oleh sejarah sosial masyarakatnya. Oleh sebab itu, perubahan makna dalam karya sastra dibentuk juga oleh dinamika historis yang diakronik. Hal inilah yang menjadikan karya sastra selalu merepresentasikan semangat zamannya. Dalam hal ini Deridda mengatakan bahwa konsep (makna) terus berubah, bergerak, dan berkembang berdasar pada penyejarahaannya. Sehingga makna sebagai inti dari struktur karya sastra bergerak dalam poros ruang dan waktu.

Jadi, eksistensialisme makna dalam karya sastra tidak hanya menyangkut keberadaan makna bahasa yang multiinterpretasi, tetapi lebih dari itu, makna eksistensialisme karya sastra mengacu pada perubahan makna yang selalu dimunculkan oleh pembaca dalam konteks ruang dan waktu. Dengan menempatkan posisi makna karya sastra seperti ini, maka menurut saya, kita telah menempatkan teks sastra pada "ruang kebudayaan" yang humanis karena eksistensialisme makna karya sastra dipandang dari realitas sosial budaya yang menjadikannya. Sebaliknya, jika makna karya sastra yang implisit-konotatif ditempatkan pada dinamika internal teks, maka kita berarti telah mengalienasi karya sastra dari ruang kelahirannya, yaitu dinamika sosial masyarakat.

Polemik Sastra Kelamin

Dalam studi kasus yang masih hangat tentang polemik sastra antara kubu Hudan Hidayat, Binhad Nurrohmat dkk. dengan Taufik Ismail dkk. yang menyangkut tentang fenomena sastra yang pada akhir-akhir ini diramaikan oleh vulgarisme dalam berbicara tentang seks beserta pernik-perniknya, bagi saya adalah dinamika yang wajar. Oleh sebab ruang makna sastra yang terbuka memang menuntut para praktisi dan kritikus sastra untuk mengisinya dari sisi manapun, termasuk ideologi dan kepentingannya.

Oleh sebab itu, apa yang dikatakan Ahmadun Yosi Herfanda bahwa untuk "mengembalikan sastra ke kekuatan teks" yang menganggap bahwa kemandegan capaian estetika sastra Indonesia salah satunya disebabkan meningkatnya kegiatan "politik sastra nonteks" atau politik sastra yang tidak mengandalkan kekuatan teks. Politik sastra tidak lagi dimaknai sebagai "strategi pemasyarakatan karya (teks) sastra" tapi lebih sebagai "strategi pemasyarakatan diri atau kelompok" tanpa mempertimbangkan kekuatan karya, menurut saya adalah hal yang cenderung degradatif dan tidak mungkin, karena; pertama, jika "kekuatan teks" dimaknai sebagai "otonomi teks", maka ini sama seperti kita berpikir positivistik yang antihumanis dan cenderung nomothetik. Sastra dilihat hanya pada satu sisi, yaitu "teks" saja dengan mengabaikan dinamika eksternal yang melahirkan karya sastra.

Kedua, bahwa kekuatan sastra itu terletak pada harmonisasi antara kekuatan "teks" dan "nonteks", dan menurut saya "politik sastra nonteks" saat ini masih tetap berangkat dari "teks sastra" sebagai fenomena, misalnya fenomena sastra kelamin. Jadi "kekuatan teks" sastra haruslah dilihat tidak hanya "teks" sebagai karya, tetapi juga sebagai fenomena.

Sehingga apa pun "kepentingannya" selama apresiasi masih berangkat dari sastra, baik sebagai teks atau fenomena maka itu adalah hal yang wajar, karena sastra adalah fenomena yang dikodifikasi lewat bahasa yang terbuka untuk beragam interpretasinya, karena pertama, bahasa pada dasarnya bersifat terbatas sehingga tidak bisa merepresentasikan seluruh pengalaman manusia; kedua, pengalaman atau mungkin kepentingan dalam setiap penafsir pasti tidak sama. Hal ini wajar juga bila dilihat bahwa hakikatnya tidak ada yang bebas nilai dalam setiap argumen dan perilaku manusia.

Persoalaannya kemudian; bagaimana reaksi yang tepat atas polemik sastra kelamin ini? Kita tanggapi saja secara positif karena ini adalah dinamika yang memang diciptakan dunia sastra. Dengan semangat multikulturalisme semua pro-kontra adalah natural. Selanjutnya, proses naturalisasi akan terjadi dalam seleksi sosial dunia sastra. Siapa yang akan dimenangkan adalah persoalan apresiasi "siapa yang benar-benar dianggap mewakili semangat zamannya" dan ini pun akan selalu bergerak dalam rangkaian diakronis sastra.

Dalam hal ini yang perlu dijaga adalah semangat menghargai pluralisme bersastra, karena semangat ini pada hakikatnya tertanam dalam paradigma filosofi karya sastra yang merepresentasikan makna yang implisit-emotif-konotasi sebagai gerakan antipositivistik yang ideologik dan humanis.

* Heru Kurniawan, pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Februari 2008

Saturday, February 23, 2008

Iklan: Menundukkan Puisi Menjadi Suci

-- Thomdean*

SEBAGAI sesama teks, dilihat secara sepintas iklan dan puisi memang berada dalam ruang yang terpisah jauh. Puisi adalah bagian dari produk kesenian yang sering kali dianggap memiliki nilai-nilai tertentu dan jauh dari aroma komersial. Sebaliknya, iklan adalah teks yang memang sengaja dibuat untuk menjual sesuatu.

Iklan, seperti kata Budiman Hakim (2006: 218), dibuat bukan untuk mendidik masyarakat, melainkan untuk menjual sebuah barang atau jasa.

Kalau puisi adalah sebuah teks yang diharapkan membawa pembacanya menyusuri imajinasi-imajinasi yang jauh atau memberi perenungan-perenungan yang dalam, iklan diharapkan mampu merangsang khalayaknya untuk membeli sesuatu.

Selain itu, perbedaan keduanya juga terletak pada tingkat kesadaran manusia yang ingin disentuh. Puisi diharapkan mampu menyentuh manusia pada sisi terdalamnya, sedangkan iklan dianggap hanya akan menyentuh manusia pada perasaannya yang lebih permukaan.

Pembedaan yang kedua itu, saat ini, lama-kelamaan mulai meluruh. Bukan karena puisi yang mengalami degradasi, tetapi karena iklan yang terus mengalami peningkatan secara tekstual. Iklan-iklan yang kita saksikan di media massa saat ini telah banyak yang mengalami metamorfosis dari sekadar promosi yang kering menjadi teks yang kaya imajinasi.

Bahkan, di kalangan produsen iklan sudah ada kesadaran bahwa iklan yang baik adalah gabungan dari puisi dan lukisan (Hakim; 2006: 13). Kesadaran inilah yang agaknya membuat produsen iklan saat ini tak ragu memasukkan puisi atau penyair sebagai bagian dari sebuah iklan.

Alam bawah sadar

Di zaman dulu, ketika puisi Indonesia modern baru merintis jalannya, barangkali tak akan terpikirkan untuk menggabungkan iklan dan puisi. Tetapi di zaman ini, ketika industri periklanan terus melakukan perluasan terhadap kemungkinan untuk menanamkan pengaruh lebih banyak pada khalayak, penggabungan dua teks itu telah terjadi.

Kita mungkin pernah melihat Rendra membaca puisi dalam sebuah iklan di televisi. Atau, kita mungkin pernah membaca puisi-puisi Joko Pinurbo dalam sebuah iklan.

Puisi-puisi Joko Pinurbo seperti Tiada, Citacita, Rumah Cinta, dan Baju Bulan pernah dimuat dalam kolom iklan sebuah perumahan mewah yang ditayangkan di pojok kiri-bawah halaman satu sebuah surat kabar nasional.

Masuknya puisi sebagai bagian dari teks iklan adalah penanda bahwa konvergensi antara dua dunia—dunia sastra dan dunia periklanan—yang sering kali dianggap tak memiliki relevansi ternyata telah terwujud.

Dalam puisi yang berjudul Iklan, Sapardi Djoko Damono mengabarkan kisah seorang manusia yang terjebak pada pesona iklan: Ia penggemar berat iklan. / ”Iklan itu sebenar-benar hiburan,” kata lelaki itu. / ”Siaran berita dan cerita itu sekedar selingan.” / Ia tahan seharian di depan televisi. / Istrinya suka menyediakan kopi dan kadang-kadang kacang atau kentang / goreng untuk menemaninya mengunyah iklan.

Puisi itu adalah sebuah kabar tentang dominasi iklan terhadap kehidupan sehari-hari manusia. Kehidupan manusia yang tak bisa melepaskan diri dari libido untuk mengonsumsi adalah dampak dari kuatnya pengaruh iklan.

Sapardi dalam puisi itu juga menyebut betapa iklan tak hanya berurusan dengan hasrat mengonsumsi, tetapi sudah meresap sangat jauh pada pribadi manusia. Sapardi menulis: Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu; konon yang / terakhir diucapkannya sebelum ”Allahuakbar” adalah ”Hidup / Iklan!” //

Seakan mengamini Sapardi, Nukila Amal dalam novel sulungnya, Cala Ibi, juga mengisahkan tentang pengaruh iklan pada dorongan bawah sadar manusia. Nukila bercerita tentang seorang perempuan yang tinggal di kota yang terobsesi pada iklan-iklan yang ada di sepanjang kota.

Tokoh perempuan dalam Cala Ibi begitu terobsesi pada papan-papan iklan yang bertebaran di ruas jalan kota sehingga dalam sebuah perjalanan bersama kawan-kawannya, ia memilih keluar dari rombongan dan berjalan sepanjang jalan kota untuk satu tujuan: membaca iklan!

Menjadi suci


Melalui kisah perempuan yang berjalan menyusuri kota untuk membaca iklan, Nukila seperti hendak membuat metafora bahwa iklan pada hari ini hampir sama dengan kitab suci yang wajib dibaca. Iklan, melalui teknologi yang makin canggih dalam mengonstruksi realitas, telah masuk pada batin manusia yang terdalam, memprovokasi manusia agar menganggapnya sebagai barang penting yang layak untuk dibaca dan diperhatikan.

Kini para produsen barang dan jasa menyeru kita untuk membaca iklan.

Mengambil pendapat Peter L Berger (1990: xx) tentang dialektika manusia dan realitas sosial, iklan adalah produk manusia yang telah mengalami obyektivasi lalu balik memengaruhi manusia dalam sebuah proses yang oleh Berger disebut sebagai ”internalisasi”. Meski pada awalnya iklan adalah hasil dari proses eksternalisasi yang dilakukan manusia, pada titik tertentu ia menjadi obyektif—menjadi wujud yang mandiri dan bebas dari campur tangan manusia—lalu pengaruhnya akan terserap oleh manusia.

Dalam perkembangannya, eksternalisasi yang dilakukan manusia untuk menghasilkan iklan terus mengalami peningkatan. Penyempurnaan dari metode beriklan terus dilakukan. Penyempurnaan ini, ironisnya, juga berdampak pada menguatnya pengaruh iklan terhadap manusia. Seperti dalam puisi Sapardi dan Cala Ibi, iklan bukanlah sesuatu yang hanya menyentuh keinginan melakukan konsumsi.

Kini, iklan bahkan bisa ”diingat sampai mati” seperti dalam puisi Sapardi, atau mampu membuat manusia terobsesi untuk terus-menerus membacanya seperti dalam Cala Ibi. Hari ini, kita memang mendapati sebuah kenyataan bahwa iklan telah ”mengejar” puisi dalam hal memengaruhi kesadaran manusia.

* Haris Firdaus, Pengarang dan Pegiat Kabut Institut; Tinggal di Solo

Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Februari 2008

Opini: Bahasa dan Kemanusiaan

-- P Ari Subagyo*

”FAR from being a field reserved for analysis by specialists, languages lie at the heart of all social, economic and cultural life. That is the meaning of the slogan launched by UNESCO for the International Year of Languages: Languages matter!” ucap Dirjen UNESCO Koïchiro Matsuura dalam pesan khusus untuk International Mother Language Day 2008.

Sejak tahun 2000, PBB menetapkan tanggal 21 Februari sebagai International Mother Language Day atau Hari Bahasa Ibu Internasional. Penentuan itu dimaksudkan untuk mempromosikan penghargaan dan penggunaan bahasa-bahasa ibu, terutama yang tergolong bahasa-bahasa minoritas. Dalam selebrasi ke-9 tahun 2008 bahkan dicanangkan sebagai International Year of Languages atau Tahun Internasional Bahasa-bahasa dengan slogan Languages matter.

Ada tiga isu aktual yang perlu menjadi perhatian bersama, yaitu kepunahan bahasa-bahasa, penyelamatan bahasa-bahasa, dan pemanfaatan bahasa-bahasa untuk mengatasi aneka masalah global.

Kepunahan bahasa-bahasa

Menurut portal resmi UNESCO, hampir separuh dari 6.700-an bahasa di dunia terancam kepunahan (endangered languages). Disebutkan, 96 persen dari 6.700-an bahasa itu dituturkan hanya oleh empat persen populasi dunia. Jika penghuni bumi—menurut GeoHive dalam http//www. xist.org—per 16 Februari 2008 berjumlah 6.650.774.942 orang, berarti 6.432 bahasa dituturkan 266.030.998 orang, sedangkan 268 bahasa digunakan 6.384.743.944 orang. Sebuah ketimpangan besar yang sulit terbantah. Statistik itu juga menunjukkan telah terjadi dominasi bahasa dengan berbagai latar belakang dan motif. Dalam istilah Bjeljac-Babic (2000), saat ini arah menuju penghomogenan bahasa kian terasa.

Di negara-negara multietnis dan multilingual, kepunahan bahasa-bahasa ibu—identik bahasa-bahasa lokal etnis minoritas—lazimnya merupakan akibat sampingan kebijakan pembinaan bahasa nasional, terutama melalui pengajaran. Berlakulah adagium versi Bjeljac-Babic (2000): ”Kalau hendak mematikan sebuah bahasa, ajarkan bahasa lain”.

UNESCO mengemukakan fenomena ”dilema bahasa ibu”. Bahasa-bahasa ibu diakui telah memudahkan anak-anak belajar memahami dunia; tetapi jika harus diajarkan di sekolah, tidak ada tempat untuk semua bahasa ibu. Apalagi telah menjadi rahasia umum, masuknya bahasa tertentu dalam kurikulum lebih menyangkut pertimbangan ekonomis-politis.

Tentang akibat punahnya bahasa, Finnbogadottir (2004)—mantan Presiden Islandia yang menjadi Duta-Relawan UNESCO untuk Bahasa-bahasa—mengajukan alasan amat mengesankan, ”Everyone loses if one language is lost because then a nation and culture lose their memory, and so does the complex tapestry from which the world is woven and which makes the world an exciting place.”

Penyelamatan bahasa-bahasa


Penyelamatan bahasa-bahasa (saving languages) merupakan cara pandang baru terhadap fenomena kepunahan bahasa (language death) secara lebih optimistis. Grenoble dan Whaley (2003) menawarkan istilah revitalisasi bahasa (language revitalization).

UNESCO mengajukan tiga skenario penyelamatan bahasa-bahasa ibu. Pertama, mempromosikan pendidikan dengan bahasa ibu untuk meningkatkan mutu pendidikan. Skenario ini didasari asumsi, bahasa ibu—termasuk bahasa isyarat (sign language) bagi tunarungu—menjadikan hasil belajar lebih baik.

Dalam sudut pandang psikolinguistik, usaha UNESCO dapat diterima. Timothy B Jay (The Psychology of Language, 2003) menyatakan, bahasa ibu merupakan sarana ekspresi paling otentik, maka berpotensi membangkitkan kemampuan ekspresi anak-anak.

Kedua, mendorong pendidikan bilingual dan/atau multilingual di sekolah sebagai sarana menanamkan kesetaraan jender dan sosial sebagai bagian kunci masyarakat dengan beragam bahasa. Skenario ini sejalan dengan Deklarasi Universal UNESCO tentang Keragaman Budaya (2001).

Ketiga, mendorong bahasa-bahasa sebagai pusat pendidikan interkultural. Skenario ini dapat dijalankan keluarga atau komunitas basis, misalnya secara terprogram menciptakan ”kelas-kelas bahasa ibu” untuk anak-anak dan kaum muda.

Grenoble dan Whaley (2003) menyodorkan enam model/program revitalisasi bahasa, yaitu (1) total-immersion programs, (2) partial-immersion programs, (3) the local language as a second/”foreign” language, (4) community-based programs, (5) master-apprentice program, dan (6) language reclamation models.

Penyelamatan bahasa-bahasa lokal memiliki arti penting dalam strategi kebudayaan manusia. Eksistensi bahasa-bahasa lokal dapat menjaga harmoni global-lokal secara simbolik.

Pemanfaatan bahasa-bahasa


UNESCO berkeyakinan, bahasa-bahasa lokal bermanfaat untuk mengatasi berbagai masalah global demi mencapai enam tujuan education for all (EFA) serta Millennium Development Goals (MDGs) yang disetujui PBB tahun 2000.

Sebagai faktor dalam membangun integrasi sosial, bahasa-bahasa lokal secara efektif memainkan peran strategis dalam pemberantasan kemiskinan dan kelaparan (MDG 1). Sebagai pendukung keberaksaraan, pembelajaran, dan life skills, bahasa-bahasa lokal merupakan faktor esensial untuk mencapai pendidikan dasar universal (MDG 2). Perang melawan HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit lain (MDG 6) harus ditempuh dengan bahasa-bahasa yang dimengerti masyarakat. Selain itu, usaha perlindungan pengetahuan asli serta untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat untuk menjamin environmental sustainability (MDG 7) secara intrinsik terkait bahasa-bahasa lokal-asli berbagai masyarakat.

Terlepas dari tiga isu aktual itu, International Year of Languages 2008 agaknya juga dimaksudkan sebagai ajakan untuk bersyukur. Umat manusia patut mensyukuri bahasa-bahasa beserta kemampuan berbahasa yang dimilikinya. Sebab, bahasa dan kemampuan berbahasa merupakan anugerah Ilahi yang membuat hakikat manusia menjadi utuh. Secara evolutif, kemampuan berbahasalah yang membedakan manusia dari ciptaan-ciptaan lain.

Hari Bahasa Ibu Internasional dan Tahun Internasional Bahasa-bahasa patut kita rayakan. Tidak dengan ingar-bingar pesta dan perhelatan, tetapi dengan menyelamatkan bahasa-bahasa, memanfaatkannya, serta merayakan kemanusiaan kita atas bahasa.

* P Ari Subagyo, Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Februari 2008

Sastra: FLP, Kritik, dan Gerakan Literasi

-- Topik Mulyana*

PADA Februari 2005, Musyawarah Nasional I Forum Lingkar Pena (FLP) diselenggarakan di Kaliurang, Yogyakarta. Para peserta datang dari Aceh hingga Ternate. Hal terpenting dari Munas tersebut adalah terjadinya pergantian ketua umum. Bagi FLP, pergantian ini merupakan peristiwa penting, karena warna FLP diprediksikan akan berubah drastis. Hal ini mengingat ketua umum terganti Helvy Tiana Rosa (HTR), adalah patron sekaligus brand image yang begitu kuat bagi FLP. HTR adalah FLP, FLP adalah HTR. Sementara, ketua umum pengganti M. Irfan Hidayatullah (FLP Jabar), tidaklah demikian.

Berkenaan dengan itu, ada beberapa informasi tambahan. Pertama, sebetulnya semua anggota FLP masih menginginkan HTR, namun HTR bersikeras menolaknya. Kedua, penggantian itu sendiri bukan tanpa setting. HTR "mengondisikan" agar Irfan menjadi ketua, bukan Izzatul Jannah (FLP Jateng) atau Asma Nadia (Pusat), yang merupakan patron lain selain HTR. Kedua peristiwa ini diikat oleh satu benang merah, yakni bahwa HTR dan beberapa pentolan FLP yang lain menyadari betul bahwa patronisme itu berbahaya.

Satu hal lagi yang harus segera saya tambahkan bahwa pada mulanya kepengurusan FLP oleh Irfan, dibentuklah Divisi Kritik dan Litbang. Divisi ini dibentuk karena Irfan, sebagai akademisi sastra, menyadari bahwa kritik sastra harus segera ditradisikan di FLP, dengan harapan gerakan literasi ini akan lebih sehat. Untuk menunjang divisi tersebut, kawan-kawan FLP dari kalangan akademisi sastra pun direkrut. Sebagai tindak lanjut, divisi ini kemudian menjalin kerja sama dengan beberapa majalah Islam, seperti Annida dan Sabili berupa penyediaan kolom kritik sastra. Di tingkat daerah, bahkan FLP menjalin kerja sama dengan media-media lokal yang warnanya lebih umum, seperti Aceh Magazine, Batam Pos, dan Radar Bandung.

Selain itu, untuk menghentikan "pemanjaan" para penulis FLP oleh beberapa penerbit Islam, yang menyebabkan minimnya kompetisi dan berujung pada munculnya karya-karya religi picisan ala sinetron, FLP juga menggalakkan para anggotanya untuk ikut berjibaku dengan para penulis lain demi dimuat di media massa umum nasional. Upaya ini mulai dijajaki dan terus dikampanyekan. Hal itu, terbukti dengan munculnya semacam "serangan" terhadap media massa nasional selain Republika. Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Jawa Pos telah disambangi oleh para penulis FLP, seperti Alimudin (Aceh), Ade Efdira (Padang), Fitra Yogi (Padang), Palris Jaya (DKI), Zaenal Radar T. (DKI), Denny Prabowo (Depok), dan Wildan Nugraha (Bandung). Lebih jauh, diharapkan dari FLP akan muncul karya-karya berkualitas, bahkan dapat menjadi kanon bagi dunia kesusastraan di Indonesia.

Namun demikian, FLP tetaplah FLP yang dalam istilah Beni R. Budiman (alm.) adalah para "mualaf sastra". Artinya, FLP masih sangat perlu belajar dari para penulis senior. Maka, sejumlah sastrawan pun diminta untuk turut andil, baik intensif maupun insidental. Tersebutlah mereka, Taufik Ikram Jamil, Isbedy Stiawan Z.S., Ahmad Tohari, Agus R. Sarjono, Taufiq Ismail, Jamal D. Rahman, Ahmadun Yosi Herfanda, Maman S. Mahayana, Joni Ariadinata, Erwan Juhara, Soni Farid Maulana, dan banyak lagi.

Informasi ini penting karena masih ada beberapa pihak yang menilai keberadaan FLP dan karya-karyanya secara stereotip, bahkan mengarah pada gosip. Mereka hanya melihatnya berdasarkan helicoptre view, sehingga menyebabkan luputnya detail-detail dan dinamika objek yang dipandangnya.

Penilaian itu, diperparah dengan munculnya pemberitaan yang tidak komprehensif dari media sehingga membuat stereotivitas itu semakin kuat. Orang yang tadinya berkeyakinan bahwa FLP itu adalah komunitas sastra Islam yang barangkali sesuai harapannya, semakin yakin bahwa FLP itu memang demikian (beberapa waktu lampau, seorang wartawan senior memetakan dunia sastra Indonesia dengan terlampau simplistik, yakni "sastra pengusung moral" (HTR dan FLP) versus "sastra penghancur moral" (Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dll.).

Pun sebaliknya, orang yang tadinya sudah berasumsi bahwa FLP itu mengerucutkan sastra Islam, kian yakinlah bahwa FLP memang demikian (milis Mediacare malah secara menggelikan menyebut FLP sebagai underbouw PKS). Orang pertama akan semakin yakin bahwa FLP adalah satu-satunya komunitas dan karya sastra Islam, sementara orang kedua semakin sinis dan gelisah. Keduanya, baik yang senang maupun yang gelisah, adalah keliru. Yang tidak keliru adalah menilai FLP dengan mekanisme studi, baik studi tentang ke-FLP-annya (historis-ekspresif, meminjam terminologi Abrams) maupun kekaryaannya (objektif).

Melani Budianta pernah melakukan studi objektif. Dia membaca beberapa karya FLP, kemudian mengkritisinya. Dia mengupas beberapa kekurangan teknis yang mendasar dengan menunjukkannya, misalnya membuat komparasi antara logika cerita dan fakta. Maman S. Mahayana pernah melakukan studi historis-ekspresif. Ia menilai bahwa FLP adalah salah satu bentuk perayaan terhadap komunitas literer yang akan turut memberikan sumbangsih pada kemajuan budaya literasi di Indonesia karena kemajuan, apa pun namanya dan siapa pun pelakunya, harus dicapai dengan langkah-langkah strategis.

Amien Wangsitalaja pernah membuat penilaian yang lebih spesifik dan berimbang. Dalam rangka melawan "sastra pizza" yang hendak menghegemonikan "ideologi estetika kelas" kaum perempuan yang suka bereksperimen dengan "kelamin" di dalamnya, model gerakan FLP sudah pas. Hanya saja, diperlukan gerakan serupa dengan perangkat dan modus operandi yang berbeda, komunitas dengan semangat serupa tapi mengusung karya universal, yang tidak hanya membidik segolongan spesifik pembaca dan tidak berparadigma hitam-putih dalam mendedah persoalan.

Setiap orang memang berhak mengkritik, tetapi setiap orang juga berhak menolak kritik karena tidak setiap orang dapat membuat kritik yang baik.

Kritik

Secara umum, pengertian kritik tergolong pada dua hal, yakni "pengecaman" dan "pengupasan". Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2002) mendefinisikan kritik sebagai "kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb." Kritik yang cenderung pada pengecaman adalah pengertian kritik di wilayah umum (pragmatik), sedangkan kritik yang cenderung pada pengupasan adalah kritik yang berada di wilayah khusus (diskursif).

Kritik di wilayah sastra (kritik sastra), sudah pasti merupakan kritik di wilayah diskursif. Maka dari itu, ia mesti bersifat ilmiah. Setidaknya, ia harus melewati beberapa tahap, mulai dari pembacaan (apresiasi), pemerian (definisi), pemilahan (klasifikasi), pengupasan (analisis), penilaian (evaluasi), dan penghakiman (justifikasi). Dalam satu simposium sastra akhir 60-an tentang kritik dan esai, Gayus Siagian menyebutkan bahwa membuat kritik sastra "lebih sulit" daripada membuat esai. Pasalnya, dalam kritik sastra aspek ilimiah lebih condong ketimbang kreativitas. Maka, tak perlu heran jika nasibnya selalu memusingkan dan menyedihkan.

Selain tahapan-tahapan tersebut, ada satu langkah penting lagi dalam upaya membuat kritik sastra, yaitu soal pengolahan teori atau pendekatan. Bakdi C. Soemanto pernah mengatakan bahwa pendekatan "pinjaman" yang berasal dari kebudayaan yang sudah mantap, tidak bisa diterapkan begitu saja pada karya yang kebudayaannya masih belum mantap. Misalnya, semiotika Pierce tidak bisa begitu saja digunakan, untuk mengkritisi sajak-sajak Linus Suryadi A.G. atau Darmanto Jatman. Barangkali, karena itu pula, ketika ditanya tentang pendekatan apa yang digunakan untuk menganalisis aspek-aspek mistik dalam cerita-cerita klasik Sunda Si Kabayan, Jakob Sumardjo menyebutkan "semiotika lokal"; ia tidak berani menyebut semiotika Pierce atau Lotman.

Bagaimana pula jika teori-teori "pinjaman" itu diterapkan pada karya-karya populer? Tentu butuh upaya yang lebih berdarah-darah lagi, untuk mengolah teori tersebut. Penerapan langsung teori terhadap karya-karya yang dinilai dari segi apa pun, masih jauh dari mantap itu hanya akan melahirkan kritik yang mentah, tidak mengena, jauh panggang dari api.

Estetika Resepsi a la Jaus akan terlampau mengawang jika diterapkan pada Ketika Mas Gagah Pergi. Kritik Sastra Feminis a la Spivak akan terlampau mengangkasa jika diterapkan pada Aisyah Putri. Kritik Sastra Marxis a la Adorno terlampau melangit jika diterapkan pada Ayat-Ayat Cinta. Oleh karenanya, jangankan terjadi penerapan, sekadar bersentuhan pun tidak.

Antikritik?

Dalam tulisan saya yang berjudul "FLP, Sastra Islam, dan Seni Rendah" ("Khazanah", 15/12/07) yang ditujukan untuk menanggapi tulisan Kurniasih, "Wajah Sastra Islam" ("Khazanah", 3/11/07), saya menulis "alangkah lebih baiknya jika Anda mengkritisinya dengan penuh tanggung jawab dan apresiatif, yang tentu akan lebih berguna bagi si pengarangnya, sehingga di hari kemudian ia akan menghasilkan karya yang lebih baik lagi". Saya kira, Kurniasih dapat menangkap maksud saya dengan jelas, yaitu karya-karya FLP membutuhkan satu kritik yang berdasarkan metode, yang apresiatif, konstruktif. Maka saya sungguh heran, dalam tulisan yang ditujukan untuk menanggap-balik tulisan saya, "FLP dan Pendidikan Sastra" ("Khazanah", 26/01/08), Kurniasih malah menuduh saya dan FLP sebagai antikritik.

Lebih jauh, Kurniasih menuding kami sebagai bagian dari masyarakat kapitalistik yang materialis. Jika diakumulasikan dengan tuduhannya dalam "Wajah Sastra Islam", ia juga menyebut kami sebagai pihak yang telah mereduksi nilai-nilai Islam dan membodohi kaum muda Islam. Saya tidak tahu, sudah sejauh mana Kurniasih melakukan studi terhadap FLP, baik historis-ekspresif maupun objektif. Saya tidak tahu, sudah seberapa banyak informasi tentang keberadaan dan dinamika FLP yang didapatnya dan sudah sebanyak apa karya-karya FLP yang dibacanya. Sudahkah ia melakukan studi tentang pengaruh karya-karya tersebut terhadap masyarakat pembacanya (pragmatik)? Jika tidak, apakah tidak wajar kalau saya menyebut tudingan-tudingan yang disebutnya sebagai "kritik" itu sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab?

Kembali menyoal "Wajah Sastra Islam", Kurniasih ’mengkritik’ Ayat-Ayat Cinta sebagai gerakan industrialisasi. Bukan soal terima atau tidak terima untuk dikritik yang saya masalahkan, melainkan metode kritik itu sendiri. Saya melihat Kurniasih banyak mencomot "Maklumat Sastra Profetik" Kuntowijoyo. Kemudian, dia mengutip secuil pemikiran Adorno. Terakhir, dia menggunakan istilah milik Hawe Setiawan untuk menghakimi.

Saya tidak melihat satu pun argumentasi atau alasan Kurniasih dalam tulisan tersebut, karena semuanya adalah "pinjaman". Saya pun tidak melihat adanya apresiasi ataupun pengolahan teori. Saya tidak melihat tulisan Kurniasih sebagai kritik sastra. Saya tidak melihatnya seperti Sapardi menulis tentang sajak-sajak Rendra, tidak seperti B. Rahmanto membahas novel-novel Y.B. Mangunwijaya, Yudiono K.S. mengupas Ahmad Tohari, Samuel Taylor Coleridge mengkritisi puisi-puisi William Wordsworth, atau Lytton Strachey menganalisis drama-drama Shakespeare dan Homer (mungkin juga tidak seperti Chinua Achebe menjabarkan Heart of Darkness Joseph Conrad).

Namun, dalam kondisi tulisannya yang seperti itu, Kurniasih masih begitu percaya diri menyebutnya sebagai "kritik" dan "pemikiran yang mendalam". Padahal, saya tidak melihat adanya upaya yang berdarah-darah di dalamnya. Jangankan berdarah-darah, sekadar berkeringat pun tidak. Daripada menimbulkan pemerkosaan terhadap teori dan penilaian yang timpang, kritik yang mentah sebaiknya tidak dulu dipublikasikan!

Tidak ada yang meremehkan chiklit dan teenlit. Tidak ada! Saya jelas-jelas menyebutkan bahwa "chiklit dan teenlit itu perlu `dilawan` karena…". Artinya, saya dan kawan-kawan di FLP sama sekali tidak menganggap remeh, justru sebaliknya (kalau remeh, untuk apa dilawan?). Toh kehadiran karya-karya FLP tidak akan sampai menggeser, apalagi mengeliminasi, karya-karya Icha Rachmanti, Raditya Dika, Agnes Jessica, Fira Basuki, Alberthiene Endah, atau Clara Ng. Jadi, tak perlu sungkan untuk mengonsumsinya tanpa perlu merasa terganggu oleh "cangkokannya".

Siapa pula yang terganggu oleh hierarki? Tuhan mengabarkan dalam Alquran dan telah terverifikasi secara eksak bahwa langit dan bumi itu terdiri atas tujuh lapisan. Tak hanya yang eksak, perkara gaib pun demikian: surga dan neraka terdiri atas tujuh tingkatan. Saya juga bekerja di salah satu perusahaan yang sistemik dan terdiri atas hierarki-hierarki. Sebagai makhluk Tuhan yang teramat rendah dan sebagai karyawan biasa, tentu saya sadar hierarki itu ada dan tidak perlu merasa terganggu olehnya. Saya merasa terganggu jika ada pihak yang satu mengkritisi pihak lain secara tidak berimbang, di mana pun itu (saya tak lagi menggunakan istilah "elite" karena sangat mudah dimanipulasi).

Gerakan literasi

Seperti halnya Kurniasih mengibaratkan sastra Islam, sebagai satu wajah, saya pun dapat mengumpamakan FLP demikian. FLP adalah satu wajah di antara wajah-wajah komunitas literer lainnya. Dalam konsep wajah menurut Konfusianisme, wajah (mianzi) memiliki empat sifat dasar, yakni relasional, komunal/sosial, hierarkis, dan moral. Dalam konteks komunal, wajah adalah perisai yang dapat melindungi seseorang dari berbagai kemungkinan "serangan" dan cercaan warga masyarakat lainnya terhadap perilaku pemiliknya. Bagaimana pun kondisinya, orang tidak boleh kehilangan wajahnya. Jadi, bersikap defensif adalah sesuatu yang teramat wajar dan tidak lantas dicap antikritik.

Benar apa yang dikatakan Kurniasih bahwa dunia literasi kita tengah terpuruk. Maka, sebagai sesama pecinta dunia literasi Indonesia, mari kita bersinergi membenahinya sedikit demi sedikit. Mari kita berjalan beriringan walau tidak di jalan yang sama tanpa saling menggelisahkan satu sama lain. Mari kita saling mengkritisi dalam kerangka studi, tidak sekadar pada kecaman.

Terlepas dari standar estetik yang masih rendah dan kapitalisasi yang masih membayanginya, Forum Lingkar Pena telah berhasil menjadi gerakan literasi dari kota-kota besar hingga ke pelosok-pelosok Nusantara, yang sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat praliterasi. Untuk memperluas dan memperkaya gerakan tersebut, mampukah forum yang lain melakukan --meminjam istilah Amien Wangsitalaja-- "gerakan serupa, namun dengan modus operandi yang berbeda" sehingga kemajuan dunia literasi Indonesia tidak sekadar angan-angan yang diperpanjang tanpa langkah-langkah strategis? Kita tunggu saja.***

* Topik Mulyana, Pegiat FLP Bandung, editor di Penerbit Sygma Examedia Arkanleema

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 23 Februari 2008