Wednesday, October 31, 2007

Anugerah Kebudayaan 2007: Bangkitkan Kepedulian Melawan Klaim Pihak Asing

TUMBUH dan lestarinya kebudayaan memerlukan sebuah ruang. Ibarat tanaman, untuk tumbuh perlu lahan yang subur. Agar bisa tumbuh baik, tanaman perlu pula pupuk. Kebudayaan pun akan berkembang bila mendapat tempat layak yang didukung masyarakat dan juga pemerintah. Karena itu, penghargaan kepada budaya dan budayawan menjadi sebuah keniscayaan.

Sebagai wujud penghargaan kepada budaya dan budayawan, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik akan memberikan penghargaan berupa Anugerah Kebudayaan 2007. Penghargaan itu akan diberikan kepada 29 individu dan kelompok masyarakat yang berjasa di bidang kebudayaan.

"Kita harus menghargai budayawan. Penghargaan ini merupakan ciri bahwa kita adalah bangsa yang menghargai budayawan," ungkap Wacik ketika ditemui Media Indonesia di kantornya, kemarin.

Acara Anugerah Kebudayaan 2007 itu akan digelar di Candi Prambanan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), 6 November 2007. Anugerah itu merupakan salah satu bentuk apresiasi pemerintah kepada individu dan kelompok masyarakat, termasuk media massa yang peduli terhadap upaya pelestarian kebudayaan Indonesia.

Penghargaan Satyalencana Kebudayaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Hadiah Seni akan diberikan pada acara Anugerah Kebudayaan tersebut. Para pelestari dan pengembang warisan budaya, pengarang buku anak, dan media massa yang telah berjasa mengembangkan dan melestarikan budaya turut pula mendapat penghargaan.

Anugerah Kebudayaan bukanlah acara perdana. Acara tersebut sudah menjadi agenda tahunan dan sudah lima kali digelar. Namun, warna Anugerah Kebudayaan 2007 berbeda dari sebelumnya. Kenapa berbeda? Menbudpar mengatakan acara kali ini diadakan di tengah banyaknya karya cipta budaya Indonesia yang diklaim negara asing. "Jelas semangatnya berbeda," ujarnya.

Wacik mengatakan memang tidak ada kaitan langsung maraknya klaim dengan acara Anugerah Kebudayaan. Namun, momen Anugerah Kebudayaan dapat dijadikan pijakan dan motivasi menyelamatkan karya cipta budaya Indonesia yang diklaim pihak asing. Momen untuk lebih peduli terhadap budaya bangsa.

Selama ini, kebudayaan sendiri kerap dipandang sebelah mata. Digelarnya Anugerah Kebudayaan akan menjadi tonggak penting menjunjung budaya bangsa. Menbudpar mengharap berbagai kalangan termasuk DPR untuk lebih memerhatikan bidang budaya dengan menaikkan anggaran.

Kebudayaan bukan tanggung jawab pemerintah semata. Semua kalangan, di pundak mereka memiliki tanggung jawab terhadap nasib kebudayaan Indonesia. Karena itu, kata Wacik, penghargaan Anugerah Kebudayaan diberikan kepada semua pihak yang serius dalam memelihara, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan Indonesia.

"Dalam menilai media massa atau iklan, misalnya, kita melihat media masa mana atau iklan mana yang paling banyak mengangkat tema-tema budaya Indonesia. Mana tulisan atau iklan yang tidak melanggar etika budaya Indonesia yang luhur ini," ungkapnya terkait dengan penghargaan kebudayaan kepada media massa.

Menurut Menbudpar, sejauh ini penghargaan kebudayaan ditanggapi positif oleh media massa. "feedback-nya positif dari kalangan media massa. Sebab, mereka beranggapan tulisan atau iklan yang tidak mengangkat atau berakar pada kebudayaan Indonesia akan ditinggalkan," ungkapnya.

Sedangkan untuk cerita anak, Menbudpar mengatakan di tengah derasnya cerita anak-anak dari mancanegara, ternyata masih ada seniman yang peduli dengan anak-anak Indonesia dengan membuat cerita yang berakar pada budaya Indonesia.

Dalam kesempatan itu, Menbudpar mengharap dengan adanya penghargaan tersebut akan lahir penemuan-penemuan kebudayaan baru Indonesia.

"Indonesia itu negara yang luas. Sehingga dimungkinkan adanya daerah-daerah penciptaan atau penemuan budaya Indonesia baru," katanya.

Penghargaan diberikan dalam bentuk lencana emas, medali emas, peniti emas, plakat berlapis emas, piagam, dan uang. Dipilihnya Candi Prambanan sebagai tempat acara merupakan wujud sinergis dalam rangka pemulihan pariwisata pascagempa Yogyakarta pada 2005.(Eri Anugerah/H-2)

Sumber: Media Indonesia, Rabu, 31 Oktober 2007

Kaum Muda Jadi Pelopor, Industri Kreatif Indonesia Tembus Pasar Mancanegara

Bandung, Kompas - Perkembangan industri kreatif di Indonesia sebenarnya cukup menggembirakan. Bahkan, beragam industri kreatif yang digerakkan anak-anak muda Indonesia yang mengandalkan pada kreativitas telah mampu menembus pasar mancanegara.

Kenyataan ini terungkap dari kunjungan ke beberapa perusahaan yang bergerak di bidang fashion, arsitektur, dan seni yang dibangun anak-anak muda di Bandung, Selasa (30/10). Kegiatan ini rangkaian dari simposium regional Strategic Dialogue in South East Asia-Developing Creative Industry yang digelar British Council dan diikuti pengambil kebijakan dan praktisi senior pendidikan dari 10 negara.

PT Urbane Indonesia yang didirikan tahun 2004 oleh M Ridwan Kamil, misalnya, mengembangkan pembangunan kembali dan desain urban, arsitektur, arsitektur lanskap, perencanaan regional dan kawasan, serta pembangunan yang menggabungkan beragam fungsi.

Dalam rancangan kreatif para arsitektur ini, fungsi dan estetika diterapkan secara selaras. Namun, juga tetap memerhatikan masalah lingkungan hidup, masalah sosial, termasuk ekologi, dampak visual, dan peluang ekonomi. Karya-karya kreatif para arsitek muda Indonesia ini sudah merambah mancanegara, seperti di China, Timur Tengah, dan kini mengerjakan proyek di Suriah.

Salah satu proyek arsitektur yang pernah dikerjakan adalah Beijing Islamic Center Mosque, bekerja sama dengan EDAW Hongkong. Untuk master plan, misalnya Huang Pu River Regional Master Plan di Shanghai, China, bersama SOM Hongkong.

Reza A Nurtjahja dari PT Urbane Indonesia mengatakan, karya para arsitek Indonesia ini mampu menembus pasar global karena menawarkan gagasan yang tidak biasa, tetapi tetap memerhatikan kepuasan pengguna. "Yang ditawarkan harus karya yang universal, bisa diterima pasar global," kata Reza.

Menyebar ke mancanegara

Fikki C Satari dari Airplane Systm, yang bergerak di industri kreatif fashion, mengatakan, pangsa pasar fashion yang dihasilkan dari Bandung sudah menyebar ke seluruh Indonesia dan mancanegara. "Kami mengandalkan pada desain yang lahir dari ide-ide kreatif. Fashion yang dihasilkan pun jadi unik dan tidak pasaran, malah bisa jadi trendsetter," kata Fikki.

Kreativitas pun bukan berhenti pada produksi, tetapi juga dalam pemasaran. Fikki dan teman- temannya membuat toko berjalan dengan memanfaatkan bus yang didesain secara kreatif pula. Bus ini menjadi toko berjalan yang menghampiri para pembeli di banyak tempat di Bandung. Bahkan, tahun ini mereka direncanakan menambah bus untuk di luar kota Bandung.

Selain itu, pemasaran dijalankan dengan menggabungkan industri kreatif musik independen atau musik indie yang digemari generasi muda. Dengan demikian, pembeli dikenalkan dengan budaya indie untuk menyerap semangat positif dari budaya ini.

Adapun Gustaff H Iskandar dari Common Room Network Foundation mengembangkan suatu tempat di mana orang dari berbagai kalangan bisa berkumpul untuk menyajikan kreativitas mereka. Seniman bisa memamerkan kreativitas seni mereka, atau ilmuwan bisa memperkenalkan pengetahuan dan teknologi yang sedang dikembangkan.

Pengusaha-pengusaha muda yang menggerakkan industri kreatif di Bandung tersebut juga mengembangkan kegiatan-kegiatan yang mendorong semakin banyak anak muda yang berani mengembangkan diri dengan kreativitas mereka. Pendidikan di luar sekolah dikembangkan bagi anak-anak muda yang tertarik untuk mengeksplorasi diri. (ELN)

Sumber: Kompas, Rabu, 31 Oktober 2007

Tuesday, October 30, 2007

Artefak: Menengok Sejarah lewat Koleksi Varia

SELAMA ini, umumnya orang mengetahui sejarah Indonesia lewat buku-buku kurikulum di bangku sekolah. Tapi sebenarnya pengetahuan sejarah dapat diperoleh dari gambar, litografi, cetakan, gambar cat minyak hingga almanak kuno. Semua benda-benda bersejarah Koleksi Varia ini menceritakan Indonesia pada periode tahun 1600 - 1950.

Koleksi Varia bermula tahun 1778 dan sebagai komunitas pertama di Asia Tenggara yang mengoleksi buku-buku, artefak etnografi, patung-patung Hindu dan Budha, serta lembaran kertas.

Koleksi ini disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) dan dikelompokkan pada Koleksi Varia. Hingga kini, Koleksi Varia berjumlah sekitar 3.000 item.

Koleksi ini jarang dipamerkan. Pasalnya, seluruh benda-benda kuno tersebut telanjang tanpa keterangan gambar mengenai suatu tempat, atau tahun pembuatan benda bersejarah itu. Perjanjian antara Perpusnas dan Rijksmuseum Amsterdam pun menjadi momentum kedua institusi untuk meneliti benda bersejarah Koleksi Varia.

Kepala Perpusnas, Dady P Rachmananta mengatakan, untuk menerjemahkan setiap Koleksi Varia yang dipamerkan, pihaknya mendatangkan ahli sejarah dan kurator dari Rijksmuseum Amsterdam, Max de Bruijn. Sebelumnya, koleksi ini direstorasi dan dipreservasi oleh Tim Restora- si, Anna Soraya dan Ketua Restorasi Kertas dari Rijksmuseum, Peter Poldervaart.

"Jadi, yang dipamerkan ini adalah koleksi aslinya. Hanya saja ada sedikit perbaikan karena faktor usia dan iklim Indonesia, kondisi fisik benda tersebut rapuh dan ada sedikit ke-rusakan. Tetapi, inilah pertama kalinya Koleksi Varia dipamerkan di Jakarta, di luar Perpusnas," ujar Dady ketika ditemui SP usai acara pembukaan Koleksi Varia di Erasmus Huis, Jakarta Selatan, Senin (29/10).

Sementara itu, dari keseluruhan Koleksi Varia, ada sekitar 40 item yang dipamerkan, antara lain teks asli lagu Indonesia Raya yang ditulis di atas kertas cetakan berukuran 30 x 30 centi meter, Litografi Tram Kuda di Batavia yang digambar di atas kertas berukuran 52 x 72 centimeter dan diterbitkan oleh Ernst Sam dan Keller. Ada pula, manuskrip kalender yakni almanak Jawa kuno tahun 1892 - 1920, berbentuk bundar dengan diameter 14,4 centimeter.

Koleksi tersebut diberi keterangan berdasarkan penelitian yang dilaku- kan Max. Tetapi karena keterbatasan tidak semua Koleksi Varia memiliki keterangan.

Menurut Dady, proses penelitian memakan waktu yang panjang. Lebih dari empat tahun dia mencoba menerjemahkan setiap Koleksi Varia

"Proses ini bukanlah pekerjaan mudah, sedikit banyak saya mengetahui sejarah Indonesia terutama kebudayaan Jawa. Saya berharap lewat pameran dan pekerjaan panjang ini, Koleksi Varia dikenal secara luas, sehingga masyarakat mengerti masa lalu dan masa sekarang," ucap Max.

Koleksi Dunia


Dady menuturkan, dari seluruh Koleksi Varia yang ada di Perpusnas, sebanyak 60 persen diperoleh dari Museum Nasional (dahulu bernama Museum Gajah). Namun, Koleksi Varia bukan hanya milik Indonesia.

Ada banyak negara yang ikut menyumbang koleksi untuk Koleksi Varia seperti, India, Italia, dan negara-negara di Eropa. Kebanyakan benda bersejarah ini dikumpulkan sebelum Perang Dunia ke-2.

Max menaruh perhatian khusus pada Koleksi Varia karena koleksi ini mengandung banyak informasi tentang kehidupan sehari-hari, kehidupan gereja, dan kebijakan kolonial dalam bentuk yang asli. Hal tersebut tidak ditemukan pada koleksi manapun di dunia ini.

"Masalahnya, kebanyakan orang Indonesia justru tidak tertarik dengan benda-benda bersejarah. Padahal, benda kuno seperti Koleksi Varia punya banyak cerita dan informasi, terutama mengenai Indonesia periode tahun 1600 hingga 1950.

Koleksi tersebut tidak hanya berhubungan dengan Batavia dan Jawa saja, tetapi juga benda-benda kuno yang terkait dengan daerah-daerah di luar Kepulauan Indonesia," tutur Max. [CNV/N-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 30 Oktober 2007

Butuh Pendekatan Transdisiplin Ilmu, Permasalahan Bangsa Juga Dipicu Pragmatisme

Jakarta, Kompas - Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sangat kompleks. Dalam melihat permasalahan tersebut dan mencari solusinya dibutuhkan pendekatan transdisiplin ilmu. Untuk itu, ilmu tidak perlu terkotak-kotak dan tidak boleh berjalan dengan "kacamata kuda".

Demikian benang merah seminar nasional bertajuk "Transdisciplinarity dalam Dunia Pendidikan; Meretas Cermin Keindonesiaan melalui ’Transdisciplinarity’ Ilmu Pengetahuan" di Universitas Negeri Jakarta, Senin (29/10). Pakar pendidikan Conny R Semiawan tampil sebagai pembicara kunci dalam forum yang dihadiri sejumlah pakar kedokteran, filsafat, seni, budayawan, sosiolog, dan pakar politik.

Seperti dikemukakan Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno, ahli filsafat dari Universitas Indonesia, transdisipliner sangat dibutuhkan untuk memperoleh pengetahuan tentang keindonesiaan dan memecahkan masalah bangsa. Dia sendiri berpendapat, permasalahan genting yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini antara lain demokratisasi yang kacau, kemandirian yang belum terwujud, karakter bangsa, sumber daya alam yang tidak dikelola dengan bijak sehingga menimbulkan kerusakan alam, serta ketidakpedulian yang sifatnya struktural dan mendalam.

"Permasalahan-permasalahan ini bukan permasalahan satu ilmu saja," kata Toeti Heraty.

Dia mencontohkan, kemiskinan yang menjadi masalah selama ini sebetulnya sangat kompleks. Kemiskinan mendorong masyarakat irasional. Demi keberlanjutan hidup, mereka melakukan apa saja. Masyarakat miskin jadi apatis, mudah bergejolak, dan ujungnya ialah kekerasan.

Hal senada diungkapkan sosiolog Imam B Prasodjo. Menurut dia, dalam melihat permasalahan di masyarakat sekarang ini ada kecenderungan terjadi pengotak- ngotakan ilmu dan masing-masing disiplin berjalan sendiri. "Kita harus mau melongok ke luar agar tahu betapa dunia sangat luas dan beragam. Kita jarang berdialog untuk membangun manusia yang utuh," ujarnya.

Terkait dengan itu semua, Conny Semiawan mengatakan, pengembangan metode pendekatan transdisipliner ilmu pengetahuan dalam kegiatan belajar- mengajar dan pendidikan memicu terciptanya pemikiran yang kreatif dan kritis. Dengan begitu, pendekatan ini memberikan solusi terhadap permasalahan kegiatan belajar-mengajar dan sistem pendidikan Indonesia yang tidak memberikan kesempatan berkembangnya kreativitas murid.

"Pola berpikir pragmatis merupakan penyebab tidak berkembangnya pendidikan di Indonesia. Proses belajar-mengajar kita monoton hanya bersandar pada kurikulum. Pendidik tak memberikan kesempatan siswa mengembangkan pikirannya dengan kreatif," kata Conny. (A15/INE)

Sumber: Kompas, Selasa, 30 Oktober 2007

Monday, October 29, 2007

Media Massa: 'Blog', Pendukung Kebebasan Berekspresi

JAKARTA (Media): Inovasi tidak mungkin terjadi tanpa kreativitas dan kebebasan berekspresi. Sudah tidak lazim lagi ada batasan-batasan dalam berekspresi. Blog sebagai salah satu fasilitas dalam bidang teknologi komunikasi informasi (ICT) adalah pendukung kebebasan berekspresi tersebut.

Hal itu disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh kemarin di Jakarta saat membuka Pesta Blogger 2007. "Kemauan yang sangat besar untuk mengubah keadaan tidak mungkin terjadi tanpa kebebasan. Agar muncul inovasi harus ada kebebasan berekspresi," kata Nuh saat memberi sambutan.

Kebebasan berekspresi yang didapatkan oleh para blogger ini harus digunakan untuk memberikan hal-hal yang edukatif bagi lingkungannya. "Suara baru Indonesia adalah anak-anak muda ini yang dapat menjadi motor untuk dunia edukasi. Silakan berkreasi, berinovasi, tapi harus mampu membudayakan masyarakat," tambah Nuh.

Suara-suara baru yang muncul dari para blogger ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pencerahan bagi masyarakat luas. "Semangat 28 Oktober harus kita gali kembali dengan pendekatan baru atau gaya baru menuju kebangkitan nasional," ujar Nuh lagi.

Dengan melihat potensi blog yang dapat menjadi alat untuk memengaruhi terjadinya perubahan di masyarakat, maka Nuh secara resmi menetapkan 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional. Diharapkan komitmen dan kesadaran kolektif akan fasilitas bernama blog ini mampu memberi manfaat bagi pembangunan karakter bangsa.

Direktur Aplikasi Telematika Departemen Komunikasi dan Informatika Cahyana Ahmadjayadi menambahkan bahwa blogger harus bisa berfungsi sebagai perekat bangsa. Alasannya mereka adalah representasi orang-orang Indonesia yang datang dari berbagai komunitas, etnis, dan daerah. Dari representasi tersebut terjadi banyak kolaborasi secara horizontal di platform komunikasi baru.

Besarnya jangkauan blog tersebut mengharuskan blogger ikut bertanggung jawab terhadap tulisannya. "Seharusnya ada kode etik di antara para blogger yang ditentukan mereka sendiri. Dalam menulis blog, blogger harus santun, memberikan keuntungan, dan edukatif. Tidak mudah terpancing dengan orang-orang yang membuat kerusakan," kata Cahyana.

Blogger dari Asia Blogging Network, Budi Putra, menambahkan selama ini suara rakyat yang muncul datang dari media-media mainstream, tapi sekarang ada suara-suara lain yang layak dan perlu didengar dari luar media tersebut. "Blog dan blogger bisa jadi pilar keempat. Bukan berarti kita menggantikan media mainstream, tapi kita jadi saling membutuhkan," kata Budi.

Pesta Blogger 2007 adalah temu nasional blogger berskala nasional pertama di Indonesia. Acara ini dihadiri sekitar 480 blogger dari berbagai daerah di Indonesia. Komunitas di berbagai daerah yang ikut mengirimkan perwakilan antara lain Anging Mammiri dari Makassar, Go Ranah Minang dari Padang, Loenpia.net Semarang, serta Angkringan dan Cah Andong dari Yogyakarta. (Isy/H-1)

Sumber: Media Indonesia, Senin, 29 Oktober 2007

Sunday, October 28, 2007

Esai: 'Gerakan Tirani Sastra' Taufiq Ismail

-- Binhad Nurrohmat*

Akademi Jakarta (AJ) menyelenggarakan diskusi bertopik seputar cakrawala penciptaan dan pemikiran pada Agustus 2007 lalu di TIM, Jakarta, yang mendatangkan pembicara antara lain Yudi Latif dan Karlina Leksono serta dihadiri anggota AJ antara lain Rendra, Nh. Dini, Rosihan Anwar, Ahmad Syafii Maarif, dan Misbach Yusa Biran. Dalam diskusi itu saya mempertanyakan dan menuntut pertanggungjawaban AJ yang menggelar acara Pidato Kebudayaan Akademi Jakarta 2006 oleh Taufiq Ismail yang berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka” di TIM, Jakarta, Desember 2006 silam.

Isi pertanyaan dan tuntutan saya itu relevan dengan topik diskusi itu. Apa maksud dan tujuan isi pidato karangan Taufiq Ismail (TI) itu? Kenapa pidato yang sesak eforia hujatan dan penistaan terhadap karya sastra itu disokong oleh AJ?

Alasan pertanyaan dan tuntutan saya itu adalah isi pidato TI itu bertentangan dengan semangat penciptaan dan apresiasi yang mestinya dihormati dan dijunjung tinggi oleh AJ. Selain itu, isi pidato TI itu berpotensi merangsang terbentuknya opini publik yang menyesatkan serta menggalang dan menggerakkan massa yang terprovokasi pidato penyair Tirani dan Benteng itu.
Tanpa disangka Misbach tiba-tiba menyela dan mengatakan forum diskusi itu bukan tempat mempertanyakan masalah pidato Taufiq itu. Aih, apakah Misbach berani mengatakan itu karena dia anggota AJ? Oke, balas saya kepada Misbach. Lantas, saya bertanya: bila bukan dalam forum diskusi itu, kapan dan di mana saya diperkenankan mempertanyakan masalah pidato TI itu? Misbah bungkam, Nh. Dini dan Rosihan Anwar juga bungkam. Tapi, Rendra segera angkat bicara dan berterima kasih atas pertanyaan dan tuntutan saya itu dan berjanji bakal membawa “masalah” pidato Taufiq itu dalam rapat AJ dan hasil rapat itu akan dikabarkan ke saya. Rendra telah “menyelamatkan” muka AJ dalam diskusi itu.

Akademi Jakarta dan Taufiq Ismail Harus Mohon Maaf!

TI secara tiranik menguasai mimbar “kekuasaan” AJ dan menggenggam erat mikrofonnya untuk mengumandangkan pidato yang bertujuan membumi hangus semangat penciptaan dan apresiasi sastra yang berbeda pandangan dengannya. Ulah pongah petinggi majalah Horison itu terwujud lantaran sukses memanfaatkan kekuasaan AJ, bukan karena kekuatan gagasan intelektual, dan yang tanpa rasa malu secuil pun mengklaim adanya Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) di negeri ini dan yang dituduhnya sebagai “maling dan garong genitalia, berserikat dengan alkohol, nikotin dan narkoba, menjadi perantara kriminalitas di masyarakat luas, mencecerkan HIV-AIDS dan aborsi, bersuluh bulan dan matahari “ sebagaimana alenia akhir pidatonya itu.

Berawal dari isi pidato itu, berkecamuklah perseteruan demi perseteruan antar (kelompok) sastrawan serta meruyakkan kedangkalan pikiran nan seram dan menyesatkan melalui tulisan keras membara di koran maupun forum sastra yang riuh suara hujatan dan nistaan. Sungguh, pidato produk tirani TI itu sukses menabuh genderang perang dan menyulut gerakan yang menghujat dan menindas kecenderungan tertentu dalam penciptaan sastra di negeri ini.

Dari mimbar pidato AJ itu kehebohan yang tak perlu dan berbahaya menggelindingkan bola salju percekcokan demi percekcokan dari koran ke koran, dari sms ke sms, dari mulut ke mulut, dari milis ke milis, dari forum ke forum, dari kota ke kota. Hasilnya: pertengkaran demi pertengkaran belaka. Dari hulu beracun, sampai muara pun racun. Efek pidato buruk TI itu memecah belah antar (kelompok) sastrawan dan mencemari kesehatan iklim penciptaan di negeri ini.

Sungguh memprihatinkan, bukan? Tapi, AJ tampak tak mau tahu atau mendengar percekcokan demi percekcokan berbahaya akibat pidato TI itu atau pura-pura tak menyimak belaka. Ah, kura-kura Akademi Jakarta dan Taufiq Ismail dalam perahu.

AJ dan TI harus mohon maaf secara terbuka kepada khalayak atas pidato itu dan semua dampak buruknya, sebab merekalah biang kerok percekcokan antar (kelompok) sastrawan itu. Jika tak mohon maaf, sesungguhnya AJ memberangus sendiri kehormatannya lantaran secara terbuka “mendukung” gerakan tirani sastra TI itu.

Aku Pidato, Maka Aku Ada

TI berhasil menunggangi AJ untuk kepentingan pandangan sastranya serta meminggirkan, menindas, dan mengganyang pandangan sastra yang berbeda dengannya. Jargon orisinil karangan TI yang digemakan melalui mimbar pidato Akademi Jakarta itu maupun tulisannya di media massa, misalnya Gerakan Syahwat Merdeka (GSM), Sastra Mazhab Selangkang (SMS), dan Fiksi Alat Kelamin (FAK) begitu gemilang mencuri dan meracuni opini publik dan jadi senjata massal yang gampang digunakan oleh sejumlah pihak untuk menyerang pengarang dan karya yang diklaim sebagai komponen GSM, SMS, atau FAK.

Sesungguhnya, tanpa dasar teori atau ayat suci pun, menurut akal sehat isi pidato TI itu terbukti ngawur sama sekali, sebab GSM, SMS, dan FAK itu dalam kenyataannya tak ada. GSM, SMS, dan FAK merupakan jargon orisinil karangan TI untuk menista karya sastra belaka. Jargon-jargon itu bentuk kelicikan bahasa intrik TI untuk menghancurkan citra karya sastra menurut opini pribadinya yang sarat kebencian dan permusuhan.

Apa dasar Taufiq mengklaim adanya GSM, SMS, dan FAK dalam sastra? Jika dasarnya adalah erotisme, apakah erotisme merupakan kesalahan dan apakah ukuran erotis atau bukan? Jika dasarnya adalah unsur kecabulan, apa batas kecabulan atau bukan?

Isi pidato TI di mimbar AJ itu sama sekali bukan apresiasi yang sehat lantaran tak proporsional dalam menilai karya sastra. TI tak mendasarkan isi pidatonya pada kenyataan karya sastra dan cara pandang yang adil terhadap karya sastra. Bila pun isi pidato TI itu menghebohkan, diamini, dan direaksi banyak orang, tak lain dan tak bukan karena efek sensasi tong kosong nyaring bunyinya. Ah, agaknya sang penyair Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia itu pemeluk teguh paham “Aku pidato, maka aku ada”. Ah, bikin malu saja!

* Binhad Nurrohmat, Penyair

Sumber: Borneonews, Minggu, 28 Oktober 2007

Kanon Sastra: Siapa Takut?

-- Ayu Utami*

MENGAPA takut, wahai, pada kanon sastra? Toh kita belum pernah punya. Dan sesungguhnya kita perlu punya, ya, sebuah kanon yang cocok untuk kepentingan kita. Dan kepentingan itu adalah proyek kebangsaan Indonesia, yang belakangan ini terbengkalai.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah tonggak awal kebangsaan kita. Sayangnya, pemerintahan Soeharto menjalankan proyek ini dengan cara yang menghilangkan keharuannya. Reformasi 1998, yang mewarisi kegusaran pada slogan Orde Baru, menyingkirkan butir-butir sumpah itu bersama sampah lain ke sudut berdebu. Pelbagai riset menunjukkan, sepuluh tahun ini orang memilih ikatan-ikatan lain, semisal kesukuan, kedaerahan, dan agama, di atas satu bangsa satu tanah air.

Dari tiga untai Sumpah Pemuda, hanya yang terakhir yang masih lumayan mengilap, berkat para peminat bahasa Indonesia yang masih setia mengelap-ngelap butir ketiga itu tiap tahun. Sebagian di antaranya sastrawan—mereka suka menyelenggarakan seminar di sekitar tanggal ini; misalnya Kongres Cerpen, yang 25 sampai dengan 28 Oktober ini diadakan di Banjarmasin. Sebagian lebih besar adalah para linguis dan birokrat bahasa. Mereka bekerja di Pusat Bahasa, balai bahasa tingkat daerah, yang tanpa bosan mengadakan hajatan di bulan bahasa saban tahun. Tema yang diangkat kerap sloganistis—"dengan sastra kita tingkatkan minat baca insan Indonesia". Apa pun, gosokan merekalah yang membuat sumpah nomor tiga masih tersemir.

Sumpah ketiga itu istimewa adanya. Sumpah yang pertama dan kedua lebih mengenai ikatan darah dan tanah. Sumpah nomor tiga perihal ikatan bahasa, unsur yang lekat pada makhluk berbudaya. Rumusannya pun tersendiri. Para pemuda bukan mengaku berbahasa satu, melainkan menjunjung bahasa persatuan. Kata itu "menjunjung", bukan "mengaku". Lagi pula "bahasa persatuan", bukan "bahasa yang satu". Ini adalah pengakuan matang atas persatuan dalam perbedaan. Bahasa Indonesia dijunjung, sementara bahasa-bahasa nusantara didukung. Tentu saja dalam praktik ada persoalan kesetaraan pengembangan bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah. Akan tetapi, rumusan ideal ini tetaplah bentuk lain pernyataan Bhineka Tunggal Ika, yakni falsafah kebangsaan kita. Tidakkah menakjubkan, kita bisa bersandar kepada kebahasaan kita untuk merumuskan kembali kebangsaan Indonesia yang kini agak terlupakan. Bahasa merupakan epitom kebangsaan kita.

Dengan caranya, para birokrat bahasa, linguis, maupun sastrawan telah berjasa memelihara ide kebangsaan ketika orang banyak alpa.

"Kanon sastra"

Apa hubungannya dengan "kanon sastra"? Kanon bisa bermakna kitab hukum. Kanon sastra kerap berarti kitab hukum sastra, yaitu daftar kitab-kitab sastra yang wajib hukumnya dibaca. Wajib, karena kesahihannya telah diukur. Kanon sastra ini tentu bukan kitab hukum positif seperti KUHP, melainkan lebih berdasarkan kesepakatan. Marilah di sini kita sepakati arti kanon sastra sebagai daftar bacaan standar wajib bagi orang terpelajar.

Pegangan demikian diperlukan dalam proses belajar-mengajar sastra. Namun, berkat kritik postmodernisme, para peminat sastra kerap memandang sinis pada daftar bacaan wajib ini karena penyusunannya tidak bebas politik kepentingan. Contoh paling kasar, di masa Orba karya-karya Pramoedya Ananta Toer tak boleh masuk dalam daftar bacaan.

Sejalan dengan reformasi, belakangan ini ada kecenderungan untuk anti pada segala usaha membangun patokan sastra. Usaha untuk menemukan standar sastra dicurigai motif dan kepentingannya. Kanonisasi sastra, jika pun ada, dianggap sebuah proyek yang semata-mata bernafsu kekuasaan. Contoh prasangka buruk ini adalah ajuan di dalam Kongres Cerpen lalu.

Penyusunan sejenis kanon sastra Indonesia di masa lalu memang sangat ditentukan oleh, bukan cuma politik kepentingan, tetapi kepentingan politik yang kasatmata. Akibatnya, bacaan wajib di sekolah yang bisa disepakati hanya berkisar di antara Pujangga Baru, Balai Pustaka, dan Angkatan 45. Setelah itu, perkembangan kesusastraan kerap berbenturan dengan kepentingan politik Orba sehingga tubuh utamanya tak bisa diajarkan di sekolah.

Setelah angkatan 45, sastra Indonesia dihadirkan tak berpeta. Para guru mencomot beberapa judul untuk diperkenalkan kepada murid tanpa kerangka acuan. Sebagian guru mengaku bahwa keputusan mereka telah mengambil media massa sebagai bahan pertimbangan. Ketika kritik postmodernis menghancurkan batas antara sastra tinggi dan sastra ngepop, media massa membangun tolok ukur baru yang lebih encer—berdasarkan segala kriteria, termasuk sensasionalitas. Inilah keadaan tak berpeta itu.

Harap dicatat. Kenyataan sastra memang tak membutuhkan peta, seperti segala kenyataan yang lain. Namun, pedagogi membutuhkan peta untuk kerangka acuan melihat kenyataan yang niscaya sengkarut. Semata demi membuat mata pelajaran sastra masuk akal bagi murid atau siapa pun yang hendak belajar. Kanon sastra ada dalam kebutuhan spesifik ini. Betapapun tak bisa lepas dari politik kepentingan, ia tetap dibutuhkan untuk proses belajar-mengajar sastra—baik dalam kelas formal maupun tidak.

Kita membutuhkan bacaan wajib sastra yang disusun berdasarkan sebuah kepentingan yang jujur yang bisa direvisi dari waktu ke waktu berdasarkan tantangan zaman. Dan, kepentingan yang mendesak sekarang ini adalah proyek kebangsaan Indonesia.

Gali Pramoedya

Kenapa takut mengemban misi proyek kebangsaan dalam penyusunan kanon sastra? Bukankah Sumpah Pemuda mengamanatkannya dahulu dan masalah ini mendesak sekarang?

Tentu proyek kebangsaan yang baru ini tak boleh mengulangi kesalahan Orba. Kanon ini mesti afirmatif, bukan negatif. Ia harus memberi kerangka, ia menganjurkan karya-karya yang bisa dibaca dalam wawasan kebangsaan, bukan melarang. Ia memberi arah, bukan pagar.

Dengan kurasi begini, tak bisa tidak, tetralogi Pulau Buru dari Pramoedya harus diangkat kepada lampu baca. Larangan atas karya-karyanya tak hanya harus diabaikan, tetapi mesti resmi dicabut. Lepas dari mutu kesusastraannya, serial ini adalah kuartet yang dengan sadar membawa proyek kebangsaan.

Proyek kanon sastra kebangsaan ini juga tak boleh naif. Ia harus memperkenalkan karya sastra bersama konteks dan kritiknya. Maka, polemik kebudayaan serta pembuangan Pramoedya ke pulau Buru menjadi ilustrasi sampingan yang menunjukkan betapa sastra berkelindan dengan problem nasion yang tak sederhana. Obituari pendek Achdiat Karta Mihardja mengenai Amir Hamzah bisa disertakan untuk sebuah cerita tentang pemuda Sumatera yang menjadi Indonesia dan tak ragu mengolah unsur Jawa. Sari-sari "Sastra dan Religiositas" dari Romo Mangun bisa dijadikan bahasan. Demikian, hal-hal yang disampaikan di kelas hanyalah tonggak-tonggak yang berguna untuk membaca peta. Sebab, si manusia kelak menentukan jalannya sendiri.

Kanon sastra yang tidak naif adalah yang melayani keperluan spesifik belajar-mengajar, serta yang jujur mengenai motif dan kepentingannya. Dan, jika kepentingan kita adalah arah kebangsaan, sahutlah, kenapa harus takut?

* Ayu Utami, Novelis

Sumber: Kompas, Minggu, 28 Oktober 2007

Wacana: Mencari Titik Temu antara Sastra dan Agama

-- Asef Umar Fakhruddin*

MEMBINCANGKAN relasi antara sastra dan agama memang selalu menarik. Tidak jarang menyeruak pula perdebatan sengit terkait kedua entitas ini. Perdebatan sengit antara "dua kubu" aliran sastra (kubu Taufiq Islamil dkk dengan kubu Hudan Hidayat dkk) beberapa waktu yang lalu dan bahkan sampai sekarang, jika dirunut, juga berujung pada di mana sebenarnya posisi sastra dan agama dalam kehidupan.

Pada hakikatnya, agama maupun sastra, bermuara pada rasa atau jiwa. Agama, misalnya, meskipun juga membahas dan menyodorkan pusparagam hukum-hukum formal, juga mengetengahkan kajian-kajian kritis tentang jiwa. Bagaimana seyogyanya manusia melakukan pembersihan terhadap hati atau jiwa pemeluknya, merupakan salah satu kajian inti agama.

Sama halnya dengan karya sastra. Setiap karya sastra bisa dikatakan sebagai gelora batin penulisnya (baca: sastrawan). Gelora ini merupakan bentuk kegelisahan sekaligus harapan mereka terhadap kemanusiaan yang semakin ditanggal-tinggalkan. Jiwa para sastrawan terpanggil untuk memberikan alternasi. Jadi, agama dan sastra sama-sama mengacu pada jiwa.

Pada titik ini, teologi pluralis menemukan aksentuasinya. Akan tetapi, teologi ini tidak hanya berhenti di ruang diskusi atau meja perdebatan, melainkan mewujud dalam aksi nyata untuk kemanusiaan dan kehidupan. Bila teologi pluralis ini, kata filsuf Jurgen Habermas, tidak dikembangkan dan dikawinkan dengan tujuan pembebasan kemanusiaan, maka ia akan sekadar menjadi obyek ilmu pengetahuan yang abstrak dan menggantung di langit; hanya menjadi obyek pengetahuan yang tidak mempunyai dimensi praksis. Padahal, paradigma ilmu sosial tradisional yang obyektif dari ideologi telah dirobohkan oleh paradigma ilmu sosial kritis yang membebaskan (Jurgen Habermas, 1993).

Sebagai denyar-denyar gerak hati sastrawan, yang karena muasalnya adalah jiwa, dan kemudian diejahwantahkan dalam bentuk karya sastra, maka karya sastra tersebut seharusnya juga memerhatikan pesan yang dikandungnya. Pasalnya, karya sastra tersebut nantinya akan dibaca, dan bahkan menjadi "teladan" bagi masyarakat. Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra dari Chili, bahkan menegaskan bahwa para sastrawan adalah pendidik bangsa.

Dengan demikian, karya sastra harus menyeruakkan tapak-tapak nilai kebajikan dan kebijaksanaan. Cerpen Gus Jakfar karya sastrawan A Musthofa Bisri, misalnya, adalah salah satu cerpen atau karya sastra yang mampu menggugah kemapanan paradigma yang selama ini bertengger di ujung rasionalitas manusia, khususnya umat Islam. Setelah cerpen tersebut dimuat, banyak kyai yang ingin tahu, bahkan "mewajibkan" diri untuk membacanya.

Setidaknya menurut pandangan penulis, di banyak pesantren, instansi pendidikan, pesantren mahasiswa di kota-kota besar, dan komunitas sastra maupun sosial, banyak orang membaca dan menelaah cerpen tersebut. Tidak hanya itu, sahabat-sahabat penulis yang nonmuslin pun banyak yang mengkaji cerpen tersebut. Pasalnya, menurut mereka, isi cerpen tersebut merupakan kritik terhadap simbolitas yang acapkali mewarnai kehidupan, yang parahnya, sering dijadikan legitimasi melakukan penghukuman.

Pada titik ini, pesan yang disampaikan Gus Mus, demikian ia biasa dipanggil, berhasil mengenai sasaran: jiwa pembaca. Setelah membaca cerpen tersebut, kebanyakan dari mereka membelokkan arah pemikiran mereka yang selama ini cenderung segmentaris-ekslusif-primordial, menuju pemikiran inklusif-sufistik-transformatif. Dan, perubahan seperti ini merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh agama.

Penyair Sutardji Cholzum Bachri, juga pernah mewartakan bahwa karya sastra dapat memberikan hikmah. Hikmah karya sastra yang baik adalah bisa membuat orang yang membacanya tercerahkan. Hikmah itu berupa nilai dan kearifan. Tapak-tapak kearifan itu tinggal di hati. Karena itu, karya sastra yang bagus bukanlah sekadar kata-kata yang bagus, tapi sesuatu yang bersifat mencerahkan.

Intinya, agama dan karya sastra tidak hanya berkelana pada ranah esoteris saja, melainkan juga berkecimpung pada ranah eksoteris. Tidak hanya itu, agama dan sastra juga senantiasa bergerak dari wilayah outward ke inward, juga sebaliknya.

Agama adalah bela rasa (atau cinta), demikian kata peneliti agama-agama dunia, Karen Armstrong. Dalam hal ini, lagi-lagi, sama dengan sastra. Sastra juga menjadikan rasa sebagai landasan pijak dalam menunjukkan eksistensinya. Karena itu, akan sangat bijak jika mempersandingkan keduanya untuk melahirkan konformitas dalam segala hal dengan kembali ke nurani.

Di tengah negara-bangsa yang sedang oleng dan akan karam ini, dibutuhkan kebajikan dan kebijaksanaan dalam berpikir dan bersikap. Dekadensi moral sudah saatnya dienyahkan dari bumi pertiwi Indonesia. Setangkup kearifan sekalipun, harus segera dihadir-jelaskan kepada persada ini.

Ajakan untuk kembali kepada nurani bukan berarti memproklamirkan diri sebagai 'orang suci', moralis, atawa apalah penyebutannya, tetapi lebih sebagai panggilan jiwa. Sudah saatnya seluruh rakyat dan elemen negara-bangsa ini kembali kepada kesucian diri: hakikat kemanusiaan.

Menjadikan kebijaksanaan, baik ketika mendalami agama maupun sastra, sebagai spirit perlu mendapatkan perhatian serius. Pasalnya, tatkala kebijaksanaan dikedepankan, hasil (karya) yang dihasilkan akan mampu memberikan pencerahan. Dalam hal ini, kita, kata Karen Armstrong, harus belajar kepada orang-orang, yang oleh filsuf Karl Jaspers disebut Zaman Aksial, zaman yang berkisar antara tahun 900-200 SM.

Orang-orang zaman ini telah menampilkan keagungan dan keberadaban tingkat tinggi. Konfusianisme dan Taoisme di Cina, Hinduisme dan Buddhisme di India, monoteisme di Israel, dan rasionalisme filosofis di Yunani ada pada Zaman Aksial ini. Zaman ini merupakan periode Buddha, Sokrates, Konfusius, Yeremia, mistikus Upanishad, Mensius dan Euripides. Selama periode kreativitas yang kental ini, para genius dan filosofis memelopori jenis pengalaman kemanusiaan yang sama sekali baru (Karen Armstrong: 2007).

Dalam terang peradaban seperti sekarang, problem kemanusiaan tidak muncul dari under development, tetapi justru dari over development. Maka dari itu, sudah saatnya agama dan sastra dijadikan pilar pembangun peradaban manusia. Dengan kata lain, melahirkan karya sastra dengan tetap menjadikan agama dan nurani kemanusiaan sebagai landasan pijak merupakan sebuah sine qua non.

Agar agama dan sastra bisa berjalan beriringan, kita harus melakukan reformasi terhadap pola pikir dan sikap kita, serta perlu, seperti saran Mensius, pergi mencari hati yang hilang. Bela rasa atau cinta bisa menjadi titik tolak perubahan peradaban manusia tersebut: agar konformitas kehidupan ini selalu lestari. Rasa yang menyublim dalam agama dan sastra adalah anima mundi (ruh dunia). Rabbi Yahudi, Akiba, yang terbunuh oleh Romawi pada 132 M, tambah Karen, mendedahkan bahwa prinsip utama dalam Taurat adalah cinta.

Kita semua berharap agar agama dan sastra-sebagaimana dikatakan oleh Anton Kurnia dalam pengantarnya untuk novel peraih Nobel Sastra, Gunung Jiwa, karya Gao Xingjian-memang merupakan 'jalan' menuju kesejatian. Sebab, konon, ada empat jalan meraih kesejatian (baca: pencerahan), yaitu agama, sains, filsafat, dan sastra.

* Asef Umar Fakhruddin, Peneliti pada Centre for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga

Sumber: Republika, Minggu, 28 Oktober 2007

Kodok Ngorek: Kumon Sastra

DI antara banyak perkara pada Oktober, ada dua hal yang saya catat.Satu,sebuah iklan metode kumon berbunyi,“Matematika, Bahasa Inggris = Sukses!”Dua,Kongres Cerpen di Banjarmasin akhir pekan ini.

Keduanya berhubungan secara tolaktolakan. Kongres Cerpen diadakan dalam semangat merayakan bahasa Indonesia. Maklum, Oktober selalu merupakan bulan bahasa.Ini sebagai peringatan Sumpah Pemuda yang menjadikan bahasa Indonesia bahasa persatuan. Sementara iklan kumon yang menyedihkan itu,hmmm,mungkin bukan bermaksud melecehkan bahasa Indonesia. Iklan ini sekadar polos betul dengan nafsu memburu sukses. Demikianlah pragmatisme pendidikan dan pekursusan di negeri ini.

Dalam langkah-langkah menuju sukses itu,tak perlulah orang peduli bahasa Indonesia.Apatah merayakannya! Salahkah iklan itu? Namanya juga iklan. Ya harus mengeksploitasi nafsu-nafsu pasarnya. Bukankah pasar mereka adalah orangtua yang, menurut penelitian anekdotal, paling menghindari menantu lelaki yang pekerjaannya adalah sastrawan? Para orangtua itu meragukan apakah sastrawan adalah sejenis pekerjaan.Menantu idaman berturut-turut adalah pengusaha sukses, pengacara atau dokter (tak perlu sukses-sukses amat juga oke), direktur, manajer, pegawai tetap.

Sastrawan? Hiii… Lebih mudah bagi kaum hawa untuk memahami pragmatisme ini. Sebab, kebanyakan dari mereka akan hamil, melahirkan,menyusui, mengasuh anak, demi kemanusiaan. Dalam keadaan ini, mereka tak bisa terlalu banyak mengerjakan hal lain.Mencari nafkah,misalnya. Tak heran, lelaki yang tak hamil diharapkan untuk memberi mereka setidaknya keamanan yang standar. Begitulah, ketika saya kuliah di fakultas sastra dulu, saya lebih memilih lamaran pemuda harapan bangsa dari fakultas teknik ketimbang cowok-cowok sastra yang gondrong, tidak sikat gigi, dan banyak omong.

Jika saya cinta sastra dan bahasa Indonesia, mendingan saya yang jadi sastrawati ketimbang pacaran dengan orang yang mengaku sastrawan. Jika saya membayangkan diri sebagai wanita yang memutuskan untuk penuh menjadi ibu dan mengasuh anak-anak, menginginkan agar anak-anak saya mentas dan mapan,sebagian penghuni dunia sastra pastilah merupakan makhluk yang menggidikkan. Bahasa mereka sulit dimengerti.Kemarahan mereka apalagi.

Mereka menuding sesamanya sebagai antek imperialis, agen asing, juga dengan kata-kata kasar yang tak pantas disebutkan di sini,seolah kita ada di zaman perang kemerdekaan.Dan jika mereka tak tampak seperti bekerja, mereka sungguh tampak seperti parasit. (Sebetulnya sih, meski penghuni dunia sastra juga,saya tak bisa mengerti “chachairilan”—itu, sastrawan yang suka sekali memasang potret sedang menghirup rokok dalam ekspresi Chairil Anwar.)

Tentu saja tidak semua sastrawan seperti itu. Sebagian dari mereka sungguh bekerja untuk bahasa dan sastra Indonesia di sela-sela tanggung jawab menghidupi anak, istri, keluarga, atau diri sendiri. Kongres Cerpen sesungguhnya sebuah usaha antara sastrawan dan birokrat pemda yang patut dihargai. Segala pertemuan rutin kesusastraan—arisan hingga kongres, bulanan hingga tahunan— adalah potensi yang berharga. Hanya saja, sikap antiasing dan antiukuran yang belakangan ini suka berembus juga bertiup di Banjarmasin. Contohnya adalah prasangka buruk baik terhadap usaha menyusun karya-karya terbaik (seperti yang dilakukan Kompas dengan kumpulan cerpen pilihan) maupun terhadap kerja keras komunitas seni (seperti Teater Utan Kayu).

Sastra Indonesia tak akan menjadi lebih baik dengan prasangka buruk atau sikap anti asing. “Kami berpendapat bahwa tanpa usaha sungguh-sungguh untuk bersinggungan dan berbenturan dengan sastra asing, sastra kita akan menjadi pucat dan kehilangan celah untuk menerobos kemacetan,” kata Sapardi Djoko Damono sebagai editor seri terjemahan cerpen dunia suatu kali. Sastra Indonesia juga tak akan menjadi lebih baik dengan sastrawan yang menuding dan memaki. Sastrawan yang menuding dan memaki hanya membenarkan iklan kumon yang menyedihkan itu. Matematika, Bahasa Inggris = SUKSES!(*)

Ayu Utami
utami.ayu@gmail.com

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 28 Oktober 2007

In Memoriam: Henriette Marianne Katoppo

-- Myra Sidharta*

Ketika mendapat kabar bahwa Marianne pun telah menghadap Sang Pencipta-nya, saya tentu sangat terkejut. Dia adalah yang termuda dari semua teman yang meninggalkan saya dalam dua bulan terakhir ini. Kebanyakan di antara mereka adalah berusia 90 tahun lebih, yang satu lagi berusia 82 tahun dan ada juga yang 74 tahun. Marianne "baru" berusia 64 tahun, masih belia kalau dibandingkan dengan usia saya. Meskipun selisih usia kami 16 tahun, kami bisa menjadi sahabat baik karena persahabatan memang tidak mengenal usia.

Dia dikenal sebagai Marianne atau Yetty, tetapi "apalah arti sebuah nama", kata Shakespeare. Dan, hal itu juga berlaku bagi Marianne. Dengan nama apa pun, Marianne adalah seorang penulis yang memikat. Penggunaan bahasanya secara indah adalah salah satu kunci keberhasilannya. Lagi pula, Marianne fasih dalam 10 bahasa, termasuk bahasa-bahasa Skandinavia.

Memang dia berasal dari keluarga intelektual. Ayahnya, Elvianus, berpendidikan guru dan pernah turut dalam tim penyempurnaan ejaan Bahasa Indonesia. Ia bekerja sebagai pegawai tinggi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Departemen Agama. Ia juga turut mendirikan Universitas Kristen Indonesia. Beberapa kakaknya adalah wartawan yang terkenal, terutama Aristides, yang pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Sinar Harapan.

Sebagai anak bungsu, Marianne mendapat perhatian khusus dari ayahnya karena sebagai bekas guru, Elvianus mengerti bahwa putrinya sangat berbakat, terutama dalam mengungkapkan pikiran-pikirannya. Ia menganjurkan Marianne untuk menulis tentang apa saja yang dia baru alami atau selesai dibaca.

Sejak tahun 1951, ketika baru berusia delapan tahun, Marianne sudah dikenal sebagai penulis. Dia mengisi halaman rubrik anak-anak pada majalah Nieuwsgier, sebuah majalah berbahasa Belanda. Selain itu, tulisannya dapat ditemukan di pelbagai majalah, seperti Mutiara, Ragi Buana, Femina, dan harian Sinar Harapan.

Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas (SMA), Marianne masuk sekolah tinggi teologi (STT) dan sambil mengikuti kuliah, dia menulis beberapa karya fiksi yang sangat berbobot.

Cerpennya yang berjudul Supiyah mendapat hadiah hiburan dalam sayembara Kincir Emas yang diselenggarakan Radio Nederland dan dimuat dalam antologi cerpen Dari Jodoh sampai Supiyah.

Sebelumnya, novelnya berjudul Raumanen memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan secara bersambung dimuat dalam majalah Femina. Pada tahun 1978 ia dianugerahi penghargaan Yayasan Buku Utama untuk novelnya yang sama dan pada tahun 1982 dia memperoleh kehormatan sebagai perempuan pertama yang menerima South East Asia Writer’s Award.

Setelah itu, Marianne tidak banyak menulis karya fiksi lagi. Dia telah lulus sebagai sarjana teologi dan lebih berfokus sebagai pengajar di STT dan menulis tentang posisi perempuan.

Setelah melanjutkan studi di Institut Oecumenique Bossey, Swiss, untuk mengambil Licenciaat Theologia, dia kembali dan memulai perjuangannya untuk mengangkat harkat perempuan. Dia mulai dengan kata perempuan, yang menurut dia mempunyai arti yang sangat mendalam karena berasal dari kata mpu, yang berarti mempunyai ilmu. Kata ini jauh lebih baik daripada kata wanita, yang berarti yang wangi, yang dipuja.

Tulisan yang dihasilkan selama perjuangan ini adalah Compassionate and Free (Tersentuh dan Bebas) yang sering dinamakan Theology of the Womb (teologi peranakan atau kandungan) karena menggambarkan kehidupan baru yang berjuang untuk kemerdekaannya: Seperti seorang ibu yang merasa adanya komitmen untuk mengasuh dan mengembangkan benih kehidupan yang tumbuh di dalam tubuhnya, maka orang-orang yang beragama Kristen harus memiliki komitmen untuk memunculkan dunia baru, di mana terang menang dari kegelapan, cinta menang dari kebencian, dan kebebasan menundukkan penindasan.

Tulisannya yang diterbitkan pada tahun 1979 ini diterjemahkan dalam banyak bahasa, tetapi sayang sekali, baru sekarang ini selesai diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan sedianya akan diluncurkan pada awal November nanti.

Buku ini membawa dia ke banyak negara di dunia, di mana dia diminta untuk mengajar sebagai dosen tamu atau memberi ceramah, seperti di Birmingham, Inggris; Kampen di Negeri Belanda; Kyoto di Jepang; dan Harvard di Amerika Serikat. Namanya terkenal juga di Afrika karena perhatiannya untuk nasib kaum perempuan di Dunia Ketiga.

Kegiatan Marianne di bidang agama sangat banyak. Dia adalah salah seorang pendiri Ecumenical Association of Third World Theologians (EATWOT), kelompok Hati dan Forum Demokrasi. Ia juga pernah duduk pada Dewan Internasional dalam World Conference of Religion for Peace (WRCP), badan yang mengurus perdamaian dunia lewat agama. Dia juga pernah duduk sebagai anggota Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.

Di bidang sastra, Marianne menerjemahkan beberapa karya yang berhubungan dengan perempuan. Di samping itu, dia juga berjuang agar Pramoedya Ananta Toer mendapat penghargaan selayaknya. Ketika Pram dianugerahi Magsaysay di Manila dan dilarang menerimanya karena masih dalam status tahanan kota dan tahanan negara, Marianne-lah yang mewakilinya. Marianne juga pernah ke Swedia untuk bertemu dengan anggota PEN Club dan melobi hadiah Nobel untuk kesusastraan untuk Pram, tetapi tidak berhasil.

Pada awal milenium baru ini saya dengar bahwa Marianne telah pindah ke Pamulang. Untuk alat komunikasi, dia mempunyai telepon seluler, tetapi biasanya tidak dinyalakan. Yang ingin berhubungan dapat tinggalkan >small 2small 0<, yang ia akan akan dibalas setelah ponselnya dinyalakan. Ia jarang ke Jakarta dan sibuk mengurus kucing-kucing yang berkeliaran di jalanan. Dia membawanya pulang dan memberikan makanan. Akhirnya ada 30 ekor kucing di rumahnya.

Baru pada bulan April ketika di Erasmus Huis, Jakarta, ada malam Aceh dan peluncuran buku, kami sempat bertemu lagi. Dengan sangat antusias dia menceritakan bahwa dia sekarang ke mana-mana naik bus transjakarta. Dari rumah dia naik bus ke Blok M dan dari sana dia dapat pergi ke mana saja. Dia memuji bus tersebut sebagai transportasi yang sangat ekonomis dan efisien. Kami berjanji untuk bertemu lagi dan makan siang bersama. Namun, niat itu tidak pernah terwujud karena pada bulan Juni, Marianne terserang stroke dan pindah ke rumah kakaknya, Pericles, yang tinggal di Bogor. Di sanalah dia menikmati hari-hari terakhirnya yang bahagia. Marianne telah pergi, tetapi karya-karyanya, baik yang fiksi, nonfiksi, maupun terjemahan akan selalu bersama kita dan tersedia untuk generasi mendatang.

* Myra Sidharta, Ahli Sastra Tionghoa

Sumber: Kompas, Minggu, 28 Oktober 2007

Apresiasi Seni di Media Massa

-- Noorca M Massardi*

DEFINISI “media massa” selama ini terbagi dalam dua kategori besar, yakni media massa cetak (surat kabar, majalah) dan elektronik (radio, televisi, internet).

Namun, mengingat luasnya “medan” dan besarnya volume “media massa” itu, melalui tulisan ini saya hanya membatasi pada apa yang saya pahami dan akrabi sebagai media massa, baik karena pengalaman profesional maupun akibat interaksi dengan media massa selama ini. Untuk memudahkan,yang dimaksud dengan apresiasi adalah appreciation, yang antara lain berarti positive opinion: a favorable opinion of something; valuing something highly: recognition and liking of something’s qualities; statement of praise: a written or spoken statement of somebody’s qualities; full understanding: a full understanding of the meaning and importance of something.

Dan,seni adalah art(s),yakni creation of beautiful things: the creation of beautiful or thought-provoking works, e.g. in painting, music, or writing; forms of creative beauty: activities enjoyed for the beauty they create or the way they present ideas, e.g. painting,music, and literature. Dalam pemahaman itulah, seni terbagi dalam tujuh cabang,yakni sastra,teater, seni rupa,tari,suara,musik,dan film.

Berdasarkan pengalaman pribadi sebagai pencipta sekaligus penikmat, apresiator, dan pengelola media massa, ada empat pendekatan yang saya lakukan dalam tulisan ini, yakni apresiasi seni dari kacamata pencipta, penikmat, apresiator, dan pengelola media. Sebagai catatan, untuk setiap kata penyiaran harus dibaca sebagai penerbitan, penayangan,pementasan,pameran, penyiaran, publikasi.Karya merupakan karya cipta film,musik, teater, tari, sastra, seni rupa, dan seni suara.

Media berarti media massa, yakni radio, televisi, surat kabar,majalah, internet, telepon seluler,buku. Apresiatoradalah pewarta, penulis, penyiar,pembawa acara, penulis kritik seni. Penikmat adalah pembeli, pembaca, penonton, pemirsa, pendengar karya,dan media massa. Dan, pencipta adalah pelaku,pekerja,penulis, pelukis, penari, aktor, pematung, sutradara, penyair,penyanyi,dan lain-lain.

Apresiasi Seni di Mata Pencipta

Sebagai salah seorang pencipta sastra dan teater, pengalaman saya mungkin hampir sama dengan apa yang dirasakan dan dialami semua pencipta.Karya para pencipta tidak selalu mendapatkan tempat dan perlakuan yang layak,sama dan “adil”di media.Hal itu terjadi umumnya antara lain karena ekspresi/gagasan yang ingin disampaikan pencipta tidak selalu bisa dipahami apresiator sehingga menimbulkan kesenjangan.

Kesenjangan itulah yang kemudian melahirkan apresiasi buruk terhadap suatu karya, walau secara umum disepakati bahwa sesudah disiarkan, sebuah karya akan dan harus mampu membela dirinya sendiri, dan penikmat boleh menafsirkan dan mengapresiasi apa saja sesuai selera, rujukan, pengalaman, dan kepentingan masing-masing, dan itu harus dihormati sebagai bagian dari kebebasan dan perbedaan pendapat.

Kesenjangan juga bisa terjadi karena apresiator tidak cukup memahami masalah teknis, estetis, dan proses yang melahirkan sebuah karya.Atau karena pencipta terlalu maju atau terlampau mundur dibanding pengetahuan, pengalaman, dan rujukan para apresiator.

Bisa juga karena penciptanya tidak paham atau tidak menguasai proses, teknik, estetika seni di bidangnya,sehingga ia tidak mampu menuangkan ekspresi/ gagasannya sendiri. Toh,terkadang ekspresi/gagasan pencipta bisa dipahami dengan baik dan benar oleh apresiator sehingga karya tersebut memperoleh apresiasi yang dapat berdampak positif, baik secara moral maupun ekonomi terhadap karya, karier,dan kinerja penciptanya.

Namun, sering kali apresiator hanya menyiarkan apresiasinya sebagai berita/informasi sesuai kaidah jurnalistik tanpa penilaian dan hanya sesuai kriteria aktualitas dan magnitudonya. Selain itu, ruang (space) atau waktu (running-time) di media sering terlampau sempit dan tidak seimbang dengan daya, dana, dan proses yang dikerahkan pencipta untuk melahirkan karyanya, kecuali yang bersangkutan mampu memasang iklan atau pariwara.

Terciptanya jarak––baik kedekatan maupun kerenggangan––antara pencipta dan apresiator bahkan terkadang dengan pemilik media,juga sangat menentukan ruang dan waktu yang diberikan terhadap karya dan penciptanya.Padahal, volume dan frekuensi penyiaran karya jauh lebih besar dari jumlah dan frekuensi apresiasi di media, sehingga para pencipta yang tidak terseleksi harus menggantungkan nasib karyanya pada kekuatan/kelemahan karya itu sendiri, dan pasrah pada mekanisme pasar dan jaringan eksibitor/distributor yang tersedia.

Apresiasi Seni di Mata Penikmat

Mayoritas penikmat media tidak begitu peduli atau tidak tertarik menikmati apresiasi di media. Sementara penikmat yang minoritas hanya meminati apresiasi yang sesuai seleranya, dan umumnya tidak peduli pada karya seni yang lain. Minoritas tersegmentasi ini bisa terpengaruh atau bahkan tidak terpengaruh sama sekali oleh apresiator, tergantung kredibilitas, oplah,dan daya jangkau medianya.

Minoritas ini juga hanya menikmati karya sebatas kemampuan intelektual, ekonomi, kebutuhan, dan prioritasnya dalam kehidupan. Meskipun demikian, umumnya mereka bisa menilai baikburuk, objektif-subjektif, serta kualitas para apresiator di media.Apalagi,sering kali apresiasi negatif atas suatu karya tidak selalu berdampak buruk secara ekonomis terhadap suatu karya. Sementara penikmat juga bisa menilai bila ada perbedaan perlakuan atau diskriminasi, baik kualitatif (penilaian) maupun kuantitatif (pemberian ruang/ waktu), yang dilakukan apresiator dan bahkan pemilik media, terhadap karya dan pencipta tertentu.

Apresiasi Seni di Mata Apresiator

Apresiator seni di media hanya menjalankan tugasnya sesuai assignment atau perintah atasannya, tanpa pertimbangan apakah yang bersangkutan paham atau tidak terhadap suatu karya.

Umumnya, mereka diwajibkan memenuhi alokasi ruang/waktu rubrik yang dikelolanya, baik karena inisiatif pribadi maupun atas perintah atasannya, dan secara kualitatif hasilnya sangat bergantung pada pengetahuannya pribadi atas karya seni tertentu. Sementara itu, apresiator freelance atau yang tidak bekerja atau tidak terikat pada suatu media, hanya menyiarkan apresiasinya apabila diminta, atau bila usulan inisiatifnya disetujui, terutama kalau itu sesuai kepakarannya di bidang seni tertentu.

Namun, pada umumnya itu hanya terjadi kalau si apresiator memiliki kedekatan dengan pengelola media sehingga memperoleh prioritas utama penyiaran. Sedangkan bagi apresiator yang mengirimkan apresiasi atas inisiatif sendiri, hanya akan disiarkan bila karya dan penciptanya cukup penting dan memiliki aktualitas serta nilai jual. Dan,umumnya hal itu terjadi bila kebetulan masih tersedia ruang/waktu atau karena apresiator freelance itu sedang bernasib baik...!

Apresiasi Seni Pengelola Media

Sejumlah survei dan riset oleh media atau lembaga lain selalu menempatkan seni di peringkat terbawah atau tidak diminati pemirsa/pendengar/pembacanya. Karena itulah,sejumlah besar media tidak merasa perlu mengalokasikan ruang dan waktunya untuk apresiasi seni. Minoritas media yang mengalokasikan ruang dan waktunya, umumnya melakukan hal itu karena media itu dikelola para penikmat atau (mantan) pencipta.

Atau karena media ingin mendapatkan citra sebagai media prestisius dan berbudaya. Atau karena media sengaja ingin merangkul masyarakat seni yang minoritas tetapi elitis. Sebagai bagian dari pencitraan,tetapi ruang dan waktu yang dialokasikannya boleh dikorbankan untuk kepentingan iklan. Ada pula media yang memiliki apresiator memadai,tetapi demi efisiensi jumlah mereka dibatasi, sehingga apresiator itu “dipaksa” menguasai beberapa cabang seni sekaligus.Sebab,mengaryakan secara eksklusif seorang apresiator untuk satu cabang seni masih merupakan “kemewahan.

” Karena itu pula, ada media yang lebih memprioritaskan apresiatornya sendiri ketimbang apresiator dari luar demi penghematan anggaran. Toh,ada media “idealis”yang kendati memiliki apresiator sendiri, namun karena punya anggaran berlebih, sering mengundang apresiator luar untuk berperan serta.Selain untuk menambah bobot di bidang seni,juga sebagai bagian dari lobi dengan para pakar seni, serta membina para apresiator baru, atau sekadar “beramal dan beribadah” bagi apresiator freelance yang umumnya belum atau tidak (lagi) bekerja tetap di suatu lembaga.

Di luar soal itu, sesungguhnya media sulit mendapatkan apresiator karena keterbatasan sumber daya manusianya. Karena itu, media harus “memaksa” karyawannya menjadi apresiator walau kalau disuruh memilih, mereka lebih suka bekerja di bidang ekonomi,politik, hukum, olahraga, bahkan kriminal, ketimbang membuat apresiasi yang penikmatnya hanya minoritas.

Karena alasan terakhir itulah, bisa dimaklumi bila kemudian terjadi kesenjangan antara apresiator media dan karya atau para penciptanya. Namun, untuk mengurangi kesenjangan teknis/ estetis itulah,para apresiator media menyiasatinya dengan melakukan apresiasi sesuai pakem, dan metode jurnalisme umum.Mereka hanya “meliput” suatu karya sesuai persyaratan “5 W 1 H” (apa, siapa, kapan, mengapa, di mana, dan bagaimana), dan tanpa beropini sama sekali, atau “meminjam” opini narasumber yang diakui kepakarannya.

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan itulah maka bisa disimpulkan dan mungkin juga harus dimaklumi,bila kemudian muncul pernyataan/keluhan/ kecaman sebagai berikut: Kritik seni sudah mati; tidak ada lagi apresiator yang berbobot; apresiator menjauhkan karya dari publiknya; apresiator hanya bagian dari “jurnalisme seni”; karya yang diapresiasi tinggi tidak akan laku di pasaran; para apresiator tidak menguasai bidang yang diapresiasinya; apresiasi di media tidak memengaruhi publik karena publik punya ukuran, rujukan, dan selera sendiri; pasar kesenian tidak (pernah) terpengaruh apresiasi di media, karena kebanyakan tidak pernah menikmatinya; media dan apresiator diskriminatif terhadap karya dan pencipta tertentu; para apresiator terutama yang freelance, tidak objektif karena kebanyakan merangkap sebagai kurator/promotor karya/pencipta tertentu, sehingga apresiasinya merupakan iklan terselubung; pencipta berkarya bukan untuk apresiator tapi untuk masyarakat; dan sebagainya.

Keadaan itu tentu sangat memprihatinkan. Toh,apa yang sudah terjadi,dan betapa pun pernyataan/keluhan/ kecaman kepada apresiator dan media, begitulah kiranya potret diri kita sejak 25 terakhir ini,yakni sejak berakhirnya era keemasan atau masa kejayaan kesenian Indonesia modern 1970–1980, yang diawali dengan berdirinya Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (PKJTIM), dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)-nya yang berwibawa. Sebuah dekade yang telah melahirkan begitu banyak maestro di tujuh bidang kesenian kita, dan sekaligus mengorbitkan para maestro estetika di bidang yang sama, sebagaimana disiarkan media pada masa itu.Suatu pencapaian yang ternyata tidak atau belum mampu diulang kembali sampai hari ini.Apa boleh buat.(*)

* Noorca M Massardi, Pencipta,apresiator,pewarta, mantan pengelola media,dan mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 28 Oktober 2007

Saturday, October 27, 2007

Esai: Menulis Karangan

-- Jacob Sumardjo*

INI pengalamanku waktu menjadi redaktur cerita pendek tidak resmi di sebuah harian terkenal di daerahku. Tidak resmi, kukatakan, karena saya tidak mendapat bayaran sesen pun atas pekerjaan itu.

Saya mendapat mandat dari redaktur budaya surat kabar tersebut untuk memilih cerita pendek yang dimuat tiap minggu. Hampir setiap bulan harus memeriksa setumpuk naskah cerita pendek, kira-kira lima puluh naskah, dan saya menetapkan empat atau lima cerita pendek yang akan dimuat.

Tidak mudah menyeleksi naskah-naskah cerita pendek yang rata-rata ditulis oleh para pemula. Hanya sedikit pengarang yang sudah punya nama mengirimkan naskahnya. Kalau ada nama-nama penulis yang sudah dikenal sebagai cerpenis, karangan merekalah yang lebih dahulu saya baca. Kadang cukup bagus, tetapi kadang juga kurang puas untuk dimuat.

Yang paling menjengkelkan adalah penulis-penulis pemula, yang namanya kadang aneh-aneh untuk nama Indonesia. Kebanyakan mereka menulis tentang pengalaman cinta mereka. Judulnya juga masih pantas dimuat di zaman tahun 1930-an, karena memakai judul semacam "purnama", "bayu", "rindu dendam", dan sebagainya.

Ada seorang penulis yang amat rajin mengirim karangannya. Namun, belum pernah saya muat. Dia selalu melampirkan sepucuk surat yang menerangkan riwayat kepengarangannya, cerpen, serta puisi yang pernah dimuat. Bahkan di sebuah suratnya, ia menyertakan foto setengah badan. Menilik gambarnya, ia cukup berusia, setengah baya, mungkin sekitar 40-an. Sampai pada suatu ketika, saya menerima karangannya dan saya putuskan untuk memuatnya meskipun sebenarnya saya juga belum puas menilainya sebagai sebuah cerpen yang baik.

Saya menjadi redaktur cerpen kira-kira sepuluh tahun. Dan karena tak dapat bayaran, saya mulai menulis komentar pendek pada setiap cerpen yang saya muat. Itu tahun kedua. Komentar pendek itu merupakan penilaian dan pertanggungan jawab saya sebagai redaktur. Dan komentar-komentar pendek itulah yang kemudian dibayar oleh surat kabar. Sejak itu, setiap cerpen yang saya muat selalu saya beri komentar nilainya sebagai cerpen.

Pada suatu siang, ketika saya akan mengambil naskah cerpen, sekretaris keuangan memberi tahu saya bahwa ada orang yang menunggu sejak dua jam yang lalu di ruang lobi. Saya bergegas menuju lobi. Di sana ada tiga orang yang duduk menunggu, mungkin mau ambil honor tulisan. Seorang pun tak ada yang saya kenal. Ketika melihat yang duduk di kursi pojok, saya ingat sebuah foto yang pernah saya kenal. Itulah Emhaes Purbowangi yang menyertakan foto di karangannya.

"Anda mencari saya?" kataku menyapa.

"Bapak Asmara?"

"Betul."

"Saya Purbowangi. Emhaes Purbowangi. Dari Tegal."

"Jauh amat. Khusus ke sini?"

"Ya. Mau minta pertanggungjawaban bapak."

"Tanggung jawab apa?"

"Bapak sudah bertahun-tahun mengasuh ruang cerpen di sini. Dan saya telah banyak mengirim cerpen. Baru satu yang bapak muat. Padahal sudah ada sekitar lima belas cerpen saya dimuat di surat kabar Jakarta."

"Mari kita duduk di dalam."

Saya mengajak dia masuk ke ruang redaksi yang kebetulan masih kosong. "Apakah Bapak betul-betul membaca cerpen-cerpen saya? Redaktur tak punya tanggung jawab. Ini. Ini bagaimana. Cerpen semacam ini dimuat, apa? Taik. Cerpen naik bus kota kok dimuat. Cerpen-cerpen saya lebih berbobot. Tragedi cinta anak manusia. Apa naskah saya 'Mendung di Langit Tegal Arum' telah benar-benar dibaca? Naskah itu di mana sekarang? Naskah itu pengalaman cinta saya yang sesungguhnya. Saya menulisnya dua minggu penuh. Sedang cerpen ini cengeng bener, naik bus kota berdesakan saja sudah dianggap penderitaan. Ditolak cintanya, itulah tragedi universal...."

"Lho Anda mau menuntut saya? Pada siapa?"

"Saya hanya minta pertanggungjawaban moral redaktur di sini. Cerpen recehan dimuat. Cerpen berbobot dibaca pun tidak." Beberapa orang di ruangan itu mulai menengok ke arah kami.

"Setiap redaktur mempunyai penilaian sendiri mana yang dapat dimuat dan mana yang tidak. Kalau cerpen-cerpen Anda ditolak di sini, dan dimuat di penerbitan lain, itu wajar saja. Setiap redaktur memiliki penilaian sendiri. Saya sendiri mengalami...."

"Tidak usah bela diri. Tiga cerpen saya pernah dimuat di sini sebelum redakturnya diganti. Dasar redaktur goblok!"

"Hei, ada apa ribut-ribut di sini?" tiba-tiba suara Mas Marwan, redaktur budaya, muncul di belakang saya.

"Ini Mas...."

"Lu siapa ngotot mendelik? Cerpen tidak dimuat saja ribut seperti nagih utang. Kalau tidak, keluar dari ruangan ini ...," Mas Marwan mulai membuka ranselnya dan mengeluarkan pistol. Mas Marwan memang bekas militer di zaman revolusi dulu. Dan dia suka membawa-bawa pistolnya ke mana saja pergi. Kabarnya juga dalam rapat redaktur. Purbowangi tiba-tiba pucat. Ia ketakutan memandang wajah Mas Marwan.

"Minggat dari sini tidak?"

"Saya hanya minta penjelasan...."

"Keluar!"

Saya kasihan juga melihat orang itu tiba-tiba melunak. Ia mulai memasukkan berkas-berkas guntingan koran yang sejak tadi dipegangnya. Purbowangi kemudian keluar ruangan. Saya masih di dalam dengan Mas Marwan.

"Mengapa melayani orang gila semacam itu? Lain kali ditolak. Sudah ngambil honor belum? Honornya sudah naik belum?"

"Masih lima belas ribu!"

"Sudah berapa lama?"

"Ada kalau delapan tahun ini."

"Nanti saya minta naikkan."

"Mas...."

"Ah nggak usah basa-basi. Kamu kan butuh duit. Menulis memang untuk dapat duit."

Sesudah ngobrol sebentar di ruang redaksi kebudayaan, saya pamit. Ketika melewati pintu gerbang dengan mengendarai Suzuki minibus saya yang tua, saya lihat Purbowangi berdiri di pinggir jalan mau mencegat angkot.

"Hei Purbo! Purbo! Mau ke mana?"

Ia menoleh ke arah saya. Ia menunjuk ke arah terminal bus Leuwipanjang.

"Ayo ikut saya. Saya lewat terminal."

"Terima kasih."

Ia naik setelah saya bukakan pintu depan.

"Mau terus ke Tegal?"

"Ya. Naiknya di Cicaheum."

"Wah, kebetulan dekat rumah saya. Saya antar sampai pertigaan Cicaheum."

Kami masih tegang. Namun, saya usahakan untuk melupakannya. Untuk beberapa lama kami terdiam.

"Di surat kabar mana saja cerpen-cerpennya pernah dimuat?"

"Di Pos Betawi ada lima. Lainnya di Mayapada, di Semarang, dan Purwokerto. Maaf tadi...."

"Ah, lupakan. Saya memahami kegeraman Anda. Tadi itu Pak Marwan, bekas tentara. Meskipun tampaknya kasar, hatinya baik." Purbowangi diam lagi. Melewati Terminal Leuwipanjang, suasana sudah mulai cair. Saya benar-benar berusaha memendam peristiwa yang baru terjadi. Untuk saya, merupakan perjuangan tersendiri. Beberapa kali saya dilecehkan terang-terangan di depan umum yang memerahkan telinga dan hati. Namun saya pendam dengan kesabaran. Kadang malam harinya saya berniat membalas dendam, tetapi saya berusaha memaafkan mereka yang sengaja melampiaskan sakit hatinya pada saya.

"Mengapa sulit dimuat, Pak?"

Tiba-tiba Purbowangi berkata dalam nada orang yang baru saja dikalahkan dalam sebuah pertandingan. "Saya punya penilaian sendiri yang tidak tiap redaktur menyetujuinya."

"Semua karangan saya berdasarkan pengalaman nyata. Sebagian besar pengalaman saya sendiri dan teman-teman dekat saya. Terutama pengalaman waktu SMA."

"Namanya juga karangan. Jadi fiksi. Bikinan saja. Tak usah harus pengalaman nyata. Mengarang itu bukan pengetahuan yang sudah ada, tetapi yang tidak ada."

"Bagaimana bisa begitu, Pak?"

"Itulah mengarang namanya. Dalam menulis Anda akan menulis apa yang sudah Anda ketahui, tetapi kalau dalam proses penulisnya Anda tidak menemukan sesuatu di luar yang Anda ketahui, itu karangan biasa saja. Sebenarnya Anda tidak tahu apa yang akan Anda tulis sampai tulisan itu jadi. Dalam proses itulah pengetahuan yang tidak ada Anda peroleh."

Purbowangi lama terdiam. Mencoba mencerna apa yang saya katakan. "Kita hanya kadang-kadang saja bisa menulis secara demikian. Tetapi pada suatu ketika bisa berjubel hal-hal yang ingin ditulis. Namun, Anda tetap tidak tahu bagaimana jadinya tulisan itu. Pengetahuan dan pengalaman penting, tetapi lebih penting apa yang Anda tidak ketahui dan apa yang Anda tidak alami."

Di pertigaan Cicaheum Purbowangi saya turunkan.

"Terima kasih Pak Asmara!"

"Selamat jalan!"***

* Jacob Sumardjo, budayawan.

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 27 Oktober 2007

Doris Lessing: Dari Persia Sampai Swedia

Jalan hidup Doris Lessing terbentang berliku antara Kermanshah dan Stockholm, dari Persia sampai Swedia.

Perempuan panjang umur ini dilahirkan 22 Oktober 1919 di Kermanshah, Persia (kini disebut Iran), sebagai Doris May Tayler. Nama belakang Lessing berasal dari nama keluarga suami keduanya yang hingga kini terus disandangnya.

Saat Doris lahir, ayahnya yang kelahiran Inggris dan kehilangan sebelah kaki dalam Perang Dunia I, Alfred Cook Tayler, bekerja di Bank Negara Persia. Ibunya, Emily McVeagh, adalah mantan juru rawat.

Saat Doris berumur lima tahun, keluarganya pindah ke Lomagundi, Rhodesia (kini Zimbabwe), Afrika, demi mencari penghidupan yang lebih baik. Di sana Doris tumbuh bersama adik lelakinya, Harry. Masa kecilnya dilalui dengan sepi. Tetangga terdekat mereka tinggal beberapa kilometer jauhnya dan belum ada jalan yang bagus di antara tanah pertanian mereka.

Doris minggat dari rumah saat berumur 15 tahun dan tak pernah menamatkan SMA-nya. Dia belajar secara otodidak dengan banyak membaca.

Ketika baru menginjak usia 18 tahun, Doris menikahi Frank Wisdom. Mereka dianugerahi dua anak. Namun, empat tahun kemudian mereka bercerai.

Pada 1945 Doris mengawini Gottfried Lessing, sesama aktivis Left Book Club, sebuah organisasi komunis. Perkawinan mereka melahirkan anak lelaki bernama Peter. Perkawinan keduanya itu bertahan empat tahun. Doris lalu memboyong Peter ke Inggris pada 1949 setelah bercerai dari Gottfried dan hingga kini dia menetap di London.

Sejak 1950-an Doris membiayai hidupnya dan anaknya dengan menulis. Merasa kecewa dengan gerakan komunis di negaranya, seperti halnya Jos? Saramago --pengarang Portugal peraih Hadiah Nobel Sastra 1996-- dia kemudian keluar dari partai komunis. Namun, pandangan politisnya yang radikal jelas tergambar dalam karya-karyanya.

Doris kemudian malah tertarik pada sufisme. Pada 1979 dia mendirikan lembaga dana sufi dengan menyumbang seratus ribu dolar dari tabungannya.

Pengabdiannya yang panjang dalam dunia sastra membuahkan puluhan karya dari beragam genre, termasuk puisi, lakon drama, kisah misteri, sains-fiksi, dan cerita anak. Ibarat buah kelapa yang makin tua makin bersantan, Doris terus produktif berkarya. Saat ini dia tengah menulis sebuah novel berjudul Alfred and Emily (diambil dari nama ayah dan ibunya) yang digarapnya sejak November tahun lalu. Novel itu diilhami masa lalu dan kisah cinta kedua orang tuanya dengan berlatar zaman sebelum Perang Dunia I.

Buku-buku Doris telah diterjemahkan ke banyak bahasa. Oleh para pengamat sastra, karya-karyanya dianggap berpengaruh luas terhadap para penulis dari generasi setelahnya, seperti Toni Morrison (pemenang Nobel Sastra 1994 dari Amerika Serikat), Margaret Atwood (pemenang Booker Prize 2000 asal Kanada), dan Joyce Carol Oates (pengarang terkemuka AS).

Berbagai penghargaan resmi pun telah didapat Doris, termasuk Somerset Maugham Award (1954), Shakespeare Prize (1982), hadiah sastra dari pemerintah Austria (1982), dan WH Smith Award (1985).

Sebelum Oktober ini, Erica Jong, penulis ternama yang menghebohkan AS karena keterbukaannya dalam menuliskan seksualitas perempuan dalam novel laris Fear of Flying (1973), mengomentari Doris seperti ini dalam sebuah esainya, "Saya sangat mengagumi Doris Lessing yang telah menulis berpuluh-puluh buku, tapi tak pernah mendapat Hadiah Nobel, mungkin hanya karena dia seorang perempuan. Dia tumbuh di Rhodesia, kini Zimbabwe, dan telah menulis autobiografi, novel sains-fiksi, novel kontemporer, dan cerita pendek. Dan dia menulis dengan indah tentang persoalan rasial di Afrika. Dia adalah seorang tokoh dunia yang luar biasa."

Dalam sebuah wawancara dengan Harvey Blume yang dimuat harian The Boston Globe Agustus 2007 silam, tak lama setelah penerbitan novel terakhirnya, The Cleft, Doris ditanya mengapa hingga saat itu dia tak kunjung mendapat Hadiah Nobel.

Doris menjawab, "Ada satu cerita… Suatu kali dalam sebuah pesta makan malam di Swedia ketika penerbit novel saya dalam edisi bahasa Swedia masih hidup, seorang lelaki mungil berambut kelabu yang merupakan anggota Akademi Swedia duduk di samping saya dan berkata, 'Anda tak akan pernah mendapat Hadiah Nobel karena kami tak menyukai Anda.' Saya terkejut dan tak menyahut. Saya bahkan tidak tahu mengapa mereka tak menyukai saya…"

Kini sepotong kisah kelabu itu berganti kenyataan manis. Doris diumumkan sebagai peraih Hadiah Nobel Sastra tahun ini dan berhak atas medali emas bergambar wajah Alfred Nobel beserta uang sebesar 10 juta krona atau sekitar Rp 14,5 miliar yang akan diserahkan dalam upacara resmi di Stockholm, Swedia, 10 Desember 2007.

Kemenangan Doris disambut hangat oleh banyak pihak. Dia dinilai amat layak mendapatkannya setelah puluhan tahun teguh berkarya. (Anton Kurnia)

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 27 Oktober 2007

Nobel Sastra: Tahun Ini Giliran Doris

-- Anton Kurnia*

Di negeri kita, bulan Oktober dinyatakan sebagai bulan bahasa dan sastra.

Nun di tanah Inggris, bulan ini ditandai pengumuman pemenang hadiah sastra paling terkemuka di negeri itu dan segenap bekas wilayah jajahannya, Booker Prize (sekarang namanya menjadi Man Booker Prize setelah berganti sponsor), yang tahun ini diraih pengarang Irlandia, Anne Enright, lewat novelnya The Gathering. Sementara itu, di Swedia sana bulan Oktober adalah saat pengumuman para pemenang Hadiah Nobel, termasuk di bidang sastra.

Tahun ini banyak orang meramalkan Philip Roth (novelis ternama Amerika keturunan Yahudi) bakal terpilih sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra. Setidaknya sudah tiga tahun terakhir namanya santer disebut. Tahun lalu ia kalah dari pengarang Turki, Orhan Pamuk, yang di sini kita kenal melalui dua novelnya, Namaku Merah Kirmizi (terjemahan Atta Verin; Serambi, 2006) dan White Castle (terjemahan Fahmy Yamani; Serambi, 2007). Tahun sebelumnya, hadiah itu jatuh ke tangan Harold Pinter, dramawan Inggris.

Media massa internasional sempat menyebut pula beberapa nama calon unggulan yang beredar, di antaranya Adonis alias Ali Ahmad Said (penyair eksil Suriah yang sejumlah sajak dan bukunya telah diterjemahkan di sini), Ko Un (penyair Korea Selatan yang di negeri kita karyanya hanya sayup-sayup sampai), Milan Kundera (novelis eksil Ceko yang novelnya telah banyak diterjemahkan di sini), Carlos Fuentes (novelis Meksiko yang salah satu novelnya diterbitkan sebuah penerbit di Bandung), Assia Djebar (novelis dan sutradara asal Aljazair), Joyce Carol Oates (novelis Amerika Serikat), dan Tomas Transtr?mer (penyair Swedia).

Ada sebuah usul mengejutkan agar tahun ini penyanyi balada yang dipuja banyak orang, Bob Dylan (terlahir sebagai Robert Allen Zimmerman), mendapat penghargaan bergengsi ini. Sebagian kalangan mendukungnya dengan pertimbangan lirik-lirik lagu Dylan (yang nama panggungnya diambil dari nama penyair legendaris Wales, Dylan Thomas) memang puitis dan berpengaruh luas walaupun ia bukan penyair.

Jangan lupa, seorang Winston Churchill yang mantan perdana menteri Inggris dan jago pidato, tetapi jelas bukan sastrawan, pernah ketiban Hadiah Nobel Sastra pada 1953. Sebaliknya, pengarang terkemuka Elie Wiesel yang seumur-umur tak pernah diganjar Hadiah Nobel Sastra, justru dinyatakan sebagai pemenang Hadiah Nobel Perdamaian pada 1986.

Orang boleh saja menduga-duga, tetapi keputusan sepenuhnya berada di tangan panitia. Pada 11 Oktober lalu, Akademi Swedia sebagai panitia penganugerahan Hadiah Nobel Sastra mengumumkan bahwa pemenang tahun ini adalah Doris Lessing (88), pengarang Inggris kelahiran Iran yang dibesarkan di Rhodesia (kini Zimbabwe).

Keputusan ini tidak terlalu mengejutkan walaupun nama Doris nyaris tak disebut media massa sebagai calon pemenang Nobel.

Siang itu Horace Engdahl, sekretaris tetap Akademi Swedia, seperti biasa mencoba menelepon sang pemenang 15 menit sebelum pengumuman, tetapi Doris tak dapat dihubungi lewat telefon. "Dia tidak ada, mungkin sedang berjalan-jalan dengan kucingnya. Tampaknya dia sudah tak lagi mengira akan mendapatkan penghargaan itu. Saya ingin berbicara dengannya, misalnya mengenai sejarah kolonialisme dan banyak hal lain lagi," ujar Horace kepada wartawan seperti dikutip oleh Deutsche Welle.

Dalam kesempatan itu, Horace juga menyinggung sejumlah karya Doris yang memaparkan pandangannya mengenai hubungan antara kaum perempuan dan lelaki dan membuatnya dianggap layak mendapat Hadiah Nobel. "Baginya pengalaman perempuan dan laki-laki sama pentingnya. Dia menemukan bentuk penggambaran yang membuat lelaki dan perempuan sama menariknya dan enak dibaca. Selain itu, dia sangat berarti bagi gerakan perempuan."

Doris baru mengetahui dia meraih hadiah bergengsi itu dari para wartawan yang berkumpul di depan rumahnya. Doris mengaku tak terlalu terkejut. Sudah sejak berpuluh tahun sebelumnya dia mendengar selentingan dirinya dicalonkan sebagai pemenang Nobel.

Sejarah kolonialisme Inggris dan hubungan penuh ketegangan antara kaum perempuan dan lelaki adalah tema utama dalam karya-karya Doris. Namun, meski karya-karyanya dianggap menggaungkan pengalaman kaum perempuan, Doris memiliki pandangan kritis terhadap gerakan feminisme.

Dalam sebuah wawancara empat tahun silam, dia menyatakan pendapat kontroversial, "Jika ada perubahan terhadap kondisi kaum perempuan, maka ini terjadi melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan melalui gerakan feminisme. Yang mengubah kehidupan perempuan adalah mesin cuci, mesin pengisap debu dan pil KB, bukan slogan. Kalian tak akan mencapai apa pun bila hanya turun ke jalan dan meneriakkan slogan. Tujuan dapat dicapai jika kalian membentuk sebuah komite, menulis di berbagai koran, atau memilih anggota parlemen. Ini sangat sulit, jalan yang panjang dan lambat."

Doris membuktikan sendiri ucapannya itu. Dia menjadi perempuan kesebelas yang pernah menerima Hadiah Nobel Sastra, sekaligus pemenang tertua yang masih hidup, setelah terus menerus berkarya dan menuliskan gagasan-gagasannya selama lebih dari separuh abad.

Doris menulis tentang dunia batin kaum perempuan dan menolak gagasan bahwa mereka sebaiknya meninggalkan kehidupan pribadi demi perkawinan dan mengurus anak. Karena menyuarakan kemarahan kaum perempuan secara terbuka, dia pernah diserang sebagai "perempuan yang tidak feminin." Sebagai tanggapan, dia menulis, "Jelas sekali bahwa apa yang sungguh dipikirkan, dirasakan, dan dialami oleh banyak perempuan ternyata dipandang sebagai kejutan besar."

Dalam karya-karyanya, Doris juga bersuara keras menentang kolonialisme kulit putih, ketidakadilan rasial, dan penindasan terhadap kaum pribumi di Afrika. Akibat pandangan-pandangannya yang keras, penguasa Rhodesia dan Afrika Selatan menyatakannya sebagai persona non grata pada 1956.

Jejak panjang

Doris memang memiliki jejak yang panjang dalam sastra dunia. Novel pertamanya, The Grass is Singing, terbit pada 1950. Novel yang ditulisnya semasa tinggal di Afrika itu mengisahkan hubungan seorang istri petani kulit putih miskin, Mary Turner, dengan pembantunya yang berkulit hitam, Moses, yang akhirnya membunuh Mary. Novel itu bertemakan hubungan cinta dan benci di tengah konflik rasial yang mencerminkan pengalamannya saat tinggal di Rhodesia.

Oleh para kritisi sastra, novel The Golden Notebook (1962) kerap dianggap sebagai adikarya Doris. Novel pertama yang ditulisnya sejak bermukim di London itu mengisahkan curahan hati seorang perempuan sepi yang merindukan kebebasan, Anna Wulf, dalam lima buku catatan. Di dalamnya Anna yang dalam beberapa hal merupakan alter ego Doris mengungkapkan banyak hal yang terpendam dalam batinnya mengenai politik, rasialisme, dan seks.

Setelah menulis novel yang kelak terpilih sebagai satu dari seratus buku sastra terbaik sepanjang masa oleh harian Guardian itu, pada dasawarsa 1970 dan 1980-an Doris mulai tertarik mengeksplorasi sisi mistis tokoh perempuan dalam novel-novelnya semacam Briefing for Descent into Hell (1971), Memoirs of A Survivor (1974), dan Canopus in Argos: Archives (1979-1983).

Novel-novel Doris yang lain di antaranya lima serangkai novel Children of Violence (1951-1959), The Summer Before Dark (1973), The Fifth Child (1988), Mara and Dan (1999), dan The Sweetest Dream (2001). Dia juga menerbitkan dua novel dengan nama samaran Jane Somers, yakni The Diary of a Good Neighbour (1983) dan If the Old Could... (1984).

Selain novel, Doris menerbitkan sejumlah kumpulan cerpen dan karya nonfiksi, termasuk buku-buku tentang kucing, binatang kesayangannya sejak kecil. Beberapa kumpulan cerpennya adalah The Habit of Loving (1957), The Story of a Non-Marrying Man (1972), The Real Thing (1992), dan The Grandmothers (2003). Autobiografinya, Under My Skin, terbit pada 1995 dan mendapat penghargaan James Tait Black untuk buku biografi terbaik.

Hadiah Nobel Sastra dan kita

Sejak Hadiah Nobel Sastra diraih pertama kali oleh sastrawan Prancis Sully Prudhomme pada 1901 hingga saat ini, sastrawan berbahasa Indonesia yang pernah menjadi kandidat kuat pemenang hadiah paling terkemuka dalam sastra dunia itu hanyalah Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), sastrawan besar kita yang pernah dipenjarakan di Pulau Buru tanpa pengadilan oleh rezim Orde Baru selama belasan tahun (1965-1979).

Hadiah Nobel Sastra memang bukan segalanya. Banyak sastrawan terkemuka dan berpengaruh yang sepanjang hayatnya tak pernah meraih hadiah bergengsi itu, sebutlah misalnya James Joyce atau Franz Kafka. Sebaliknya, ada pula pemenang hadiah tersebut yang namanya perlahan-lahan lenyap dari ingatan. Namun, bagaimanapun Hadiah Nobel Sastra adalah sebuah tonggak pencapaian yang suka tidak suka mesti diakui wibawanya dalam peta sastra dunia.

Di balik keberhasilan individu para peraih Hadiah Nobel Sastra terbentang tradisi sastra sebuah bangsa yang berakar dan tumbuh sejak berabad-abad silam. Tradisi itu dalam wujud sederhana adalah kebiasaan membaca dan menerbitkan karya sastra, serta mewariskan pustaka sebagai pusaka yang terus dimaknai dan kemudian mewujud dalam karya-karya besar. Mereka menyumbangkan karya besar bagi umat manusia, bukan sekadar merayakan perdebatan hampa dan kebanggaan kosong.

Lalu, bagaimana dengan kita? Berapa banyak perpustakaan yang kita miliki sebagai sarana persemaian kepala dan hati anak-anak bangsa? Berapa buku sastra yang kita terbitkan dalam setahun? Berapa buku yang sempat kita baca di tengah riuh politik dan impitan ekonomi sehari-hari?

Khalayak pembaca sastra kita perlu mendapatkan lebih banyak pengalaman membaca karya-karya utama dalam peta sastra kontemporer, misalnya melalui karya terjemahan, baik melalui penerbitan buku atau publikasi di media massa. Saya kira "hal-hal kecil" semacam itu dapat bermanfaat secara luas bagi perkembangan sastra dan kebudayaan kita. Upaya seperti itu sekaligus menjadi jendela bagi terciptanya dialog antarbudaya tanpa perlu terhalang oleh sekat perbedaan bahasa.

Sementara itu, bagi kita yang lebih suka bertengkar daripada berkarya, Doris yang terus bersetia menulis dengan segala prosesnya hingga usia lanjut adalah sebuah cermin untuk mengingatkan kita. Kita sering lupa, keberhasilan adalah buah kerja keras, bukan semata-mata berkat nasib baik.***

* Anton Kurnia, Penulis buku Ensiklopedia Sastra Dunia (2006), Chief Acquisition Editor Penerbit Serambi, Jakarta. Buku terbarunya yang sedang disiapkan adalah kumpulan cerpen Cinta Semanis Racun

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 27 Oktober 2007

Penghargaan: Anugerah Kebudayaan Diserahkan di Prambanan

Jakarta, Kompas - Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik akan memberikan penghargaan berupa Anugerah Kebudayaan 2007 kepada 29 individu dan kelompok masyarakat yang berjasa di bidang kebudayaan. "Kita harus menghargai budayawan. Penghargaan ini merupakan ciri bahwa kita adalah bangsa yang menghargai budayawan," kata Jero Wacik di Jakarta, Jumat (26/10).

Anugerah kebudayaan itu akan diberikan di Candi Prambanan, Yogyakarta, 6 November 2007. Anugerah ini merupakan salah satu bentuk apresiasi pemerintah kepada individu dan kelompok masyarakat, termasuk media massa, agar peduli terhadap upaya pelestarian kebudayaan Indonesia.

Anugerah Kebudayaan 2007 yang akan diberikan berupa Satyalencana Kebudayaan dari Presiden RI dan Hadiah Seni. Selain itu, penghargaan juga diberikan kepada pelestari dan pengembang warisan budaya, pengarang buku anak, serta media massa (TV dan koran). Para penerima penghargaan tersebut dinilai memiliki dedikasi tinggi terhadap upaya pelestarian kebudayaan Indonesia.

Penghargaan diberikan dalam bentuk lencana emas, medali emas, peniti emas, plakat berlapis emas, piagam, dan uang. Dipilihnya Candi Prambanan sebagai tempat acara merupakan wujud sinergis dalam rangka pemulihan pariwisata pascagempa Yogyakarta 2005.

Pemberian penghargaan kebudayaan ini sesuai PP No 38/1959 tentang pemberian Anugerah Satyalencana Kebudayaan, di mana Presiden RI memberikan penghargaan kebudayaan kepada warga negara Indonesia dan warga negara asing yang memiliki jasa besar di bidang kebudayaan. Hasil karya mereka dinilai berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Sesuai Keputusan Presiden RI No 23/1976, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dimungkinkan memberikan penghargaan Hadiah Seni kepada warga negara Indonesia yang berjasa dan menunjukkan prestasi luar biasa dalam meningkatkan dan mengembangkan seni budaya bangsa Indonesia. (LOK)

Sumber: Kompas, Sabtu, 27 Oktober 2007

Friday, October 26, 2007

Nabil Award: Setelah Sastra, Salmon Akan Teliti Kesehatan

SETELAH berhasil memberikan sumbangsih atas sejarah perkembangan kesusastraan Melayu-Tionghoa di Indonesia, ahli sastra Tiongkok, Dr Claudine Salmon akan terus memfokuskan diri dalam masalah kedokteran Tiongkok. Hal ini diungkapkan Claudine ketika ditemui SP, Kamis (25/10) malam pada acara penganugerahan Nabil Award yang diterimanya.


Budayawan Franz Magnis Suseno SJ (kanan), menyerahkan piala Nabil Award 2007 kepada ilmuwan asal Prancis, Dr Claudine Salmon (kiri), di Jakarta, Kamis (25/10). Penghargaan yang diberikan kepada Salmon oleh Yayasan Nabil ini untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda. Salmon dinilai tak kenal lelah meneliti kehidupan warga Tionghoa di Indonesia sejak 1966 hingga kini. (SP/Ignatius Liliek)

Menurut Nabil, dengan latar belakang sastra Tiongkok yang dimilikinya, ia akan terus mengkaji semua hal yang berhubungan dengan kebudayaan Tiongkok. Termasuk di dalamnya adalah masalah cara pengobatan ala Tiongkok yang sering dikenal dengan shinse.

Walaupun dirinya belum banyak mengetahui seni pengobatan tradisional ini, Claudine mengakui tidak akan putus asa dengan keterbatasannya dalam masalah medikal. Ia akan berusaha berkonsultasi dengan para pakar kesehatan untuk memperdalam pemahamannya mengenai dunia kesehatan Tiongkok.

"Teknik pengobatan Tiongkok yang dilakukan para shines sudah ada sebelum teknik pengobatan umum berlaku. Obat-obat yang digunakan juga banyak didatangkan dari luar. Hal ini menarik karena bidang kesehatan yang berkembang di Indonesia pada masa lalu juga dipengaruhi oleh ilmu kesehatan china," papar wanita yang kini berumur 69 tahun ini.

Claudine juga akan terus melakukan kajian dalam pertukaran budaya antara suku-suku kecil yang berada di Tiongkok. Baginya amatlah menarik apabila ia menggali lebih dalam keberadaan suku-suku kecil yang berada di Tiongkok, dan keberadaannya di tengah-tengah suku besar seperti suku Han.

Wanita yang berhasil membawa pulang penghargaan dari yayasan Nabil ini mengaku amat berterima kasih dengan semua pihak yang telah membantunya menyelesaikan penelitiannya dalam bidang sastra, agama, komunitas Tionghoa, dan perkembangan Islam yang ternyata cukup dipengaruhi oleh masyarakat Tionghoa pada masa itu.

Terlengkap

Sosiolog Mely G Tan ketika ditemui mengaku, karya-karya terlengkap mengenai kesusastraan roman Melayu-Tionghoa terlengkap dapat dilihat dalam buku Claudine. Dia banyak mengumpulkan karya roman Melayu yang merupakan akar dari bahasa Indonesia yang sekarang ini digunakan sebagai bahasa nasional.

Hal senada juga disampaikan oleh budayawan dan rohaniawan, Prof Franz Magnis Suseno. Menurut Franz, kontribusi yang diberikan Claudine sangat berarti. Hasil-hasil yang ia temukan membuka sebuah pandangan baru mengenai masyarakat Tionghoa.

"Jauh sebelum masuknya Islam ke Indonesia, ternyata masyarakat Tionghoa sendiri sudah memeluk agama Islam. Bukan hanya itu, masyarakat Tionghoa di Indonesia juga banyak memberikan kontribusi dalam berbagai bidang," papar Franz.

Yayasan Nabil adalah yayasan yang memiliki tujuan meningkatkan pemahaman antaretnis, dan intraetnis guna memajukan proses nation building. Proses nation building (pembangunan bangsa) ini sendiri sangat berkaitan erat dengan golongan Tionghoa-Indonesia. [MAR/M-15]

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat 26 Oktober 2007

Perlu Upaya Saling Sapa Antar-komunitas Bangsa

* Claudine Salmon, Orang Pertama Penerima Nabil Award

Jakarta, Kompas - Agar cita-cita Indonesia yang bersatu benar-benar tercapai, upaya saling sapa antarkomunitas perlu terus digalang. Apalagi proses menjadi Indonesia belum rampung dan itu dialami oleh semua unsur pembentuk bangsa.

Demikian terungkap dalam pidato sambutan Ahmad Syafii Maarif—yang dibacakan cendekiawan Muslim Yudi Latief—dalam penyerahan Nabil Award kepada Claudine Salmon (69), Kamis (25/10) malam. Syafii yang menjadi ketua dewan juri dalam pemberian penghargaan tersebut berhalangan hadir.

Nabil Award merupakan penghargaan yang diberikan kepada para tokoh yang berjasa dalam mendukung kehidupan pluralis. Jasa Claudine antara lain dalam berbagai kajian dan penelitiannya terkait peran orang Tionghoa di Indonesia dalam kesusastraan.

Dalam sambutan tersebut diungkapkan bahwa orang Tionghoa merupakan salah satu unsur pembentuk Indonesia, seperti halnya unsur-unsur lain. Karya- karya Claudine membuktikan peran serta Tionghoa dalam pembangunan bangsa dan pembentukan Indonesia modern. Orang Tionghoa antara lain berperan besar dalam penyebaran bahasa Melayu dan percepatan penyebaran Islam di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Oleh karena itu, semua pihak antargolongan dan suku harus saling mengerti dan berbagi sehingga tercipta Indonesia yang elok dan ramah bagi semua.

Penghargaan berupa piagam, pin emas Nabil Award, plakat kristal, dan hadiah uang Rp 50 juta diberikan secara bergantian oleh anggota dewan juri, yakni pendiri harian Kompas Jakob Oetama, Siti Musdah Mulia, Franz Magnis-Suseno, dan Adrian B Lapian. Anggota juri lainnya, yakni Dorodjatun Kuntjoro- Jakti, juga berhalangan hadir.

Dalam kesempatan itu, Claudine berterima kasih atas penghargaan tersebut. Dia juga mempersembahkan penghargaan tersebut kepada orang-orang yang membantu penelitian dan kajiannya di Indonesia bertahun-tahun lampau. Sebagian dari mereka kini telah meninggal dunia.

Orang pertama


Claudine Salmon (69) adalah penerima Nabil Award pertama dari Yayasan Nabil di Jakarta. Keputusan dewan juri itu didasari beberapa pertimbangan. Walau bukan yang pertama, Claudine Salmon adalah orang pertama yang membuktikan secara ilmiah bahwa kesusastraan yang dijuluki "Melayu-China" sebenarnya bagian tak terpisahkan dari perkembangan kesusastraan Indonesia.

Ia berhasil mengidentifikasi 3.005 karya dari 806 penulis, memberi ringkasan isi ceritanya dan menampilkan biodata para penulisnya, sehingga buku itu tidak sekadar katalog, tetapi juga merupakan ensiklopedia kesusastraan Melayu-Tionghoa.

Dewan juri juga melihat adanya satu paham yang mengilhami seluruh karyanya, yaitu keikutsertaan yang aktif dan integrasi orang Tionghoa dalam masyarakat Indonesia. Dalam 301 karya yang terbagi dalam sembilan kategori, secara tersurat Claudine menyatakan, orang Tionghoa di Indonesia adalah elemen yang tidak terpisahkan dari apa yang disebut bangsa Indonesia.

Claudine Salmon dilahirkan di Desa Bruyeres, Perancis Timur, tahun 1938. Ia menyelesaikan studi bahasa China di Ecole Nationale des Langues Orientales (Sekolah Nasional Bahasa-bahasa dan Kebudayaan Timur) tahun 1962. Gelar sarjana hukum diraih dari Faculte de Droit, Universitas Sorbonne, Paris (1963), sarjana humaniora dari universitas yang sama (1964), serta master dari Ecole Pratique Hautes Etudes tahun 1969.

Tahun 1970 ia meraih gelar doktor melalui disertasi tentang sejarah akulturasi suku minoritas di Provinsi Guizhou, Tiongkok Barat Daya, pada abad ke-18, yang diterbitkan sebagai buku dua tahun kemudian. Ia menguasai secara aktif bahasa Perancis, Indonesia, Inggris, dan Mandarin serta secara pasif bahasa Belanda, Jepang, Jerman, Portugis, Hokkian, serta Vietnam.

Claudine menikah dengan ilmuwan Denys Lombard (1938- 1998), ahli terkemuka Asia dan Indonesia. Perkenalannya dengan Indonesia berawal tahun 1967 ketika mengikuti suaminya bertugas sebagai kepala perwakilan Ecole Francais d’Extreme Orient (EFEO), lembaga penelitian nasional Perancis mengenai Timur Jauh (Asia). Saat itu masyarakat Tionghoa Indonesia sedang mengalami berbagai pembatasan, pascatragedi 1965.

Adapun Yayasan Nabil didirikan Eddie Lembong tahun 2006. Tujuan utamanya berpartisipasi aktif dalam nation-building, antara lain dengan memajukan dan meningkatkan hubungan antaretnik dan menyelesaikan secara tuntas apa yang disebut sebagai "masalah Tionghoa di Indonesia", masalah nasional warisan sejarah kolonial. (MH/NMP/ine)

Sumber: Kompas, Jumat, 26 Oktober 2007

Kebangsaan: Pembangunan Karakter Harus Realistis

Jakarta, Kompas - Pembangunan karakter bangsa harus dilaksanakan secara realistis. Tidak lagi cukup dengan dikemas dalam jargon terkait nasionalisme belaka, melainkan harus ada upaya yang realistis.

Seperti dikatakan Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Somantri dalam pembukaan acara Koentjaraningrat Memorial Lecture IV/2007, membangun karakter bangsa berarti secara nyata dan realistis membangun keunggulan, daya saing, dan penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi. Kegiatan yang bertema "Membicarakan Kembali Pembangunan Karakter Bangsa" itu diselenggarakan Forum Kajian Antropologi Indonesia bekerja sama dengan Ikatan Alumni Universitas Indonesia dan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, Kamis (25/10).

Dalam konteks tersebut, Gumilar berpandangan, Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan knowledge based economy. "Pembangunan karakter bangsa menjadi bagian dari upaya menumbuhkan memori kolektif akan arah pembangunan bangsa kita ke depan," ujarnya.

Antropolog Universitas Indonesia, Prof Achmad Fedyani Saifuddin, berpendapat senada. Isu sifat dan kepribadian suatu masyarakat atau bangsa setelah Perang Dunia Kedua lebih berorientasi internal masyarakat atau bangsa bersangkutan. Orientasi itu lebih kepada isu identitas sebagai suatu masyarakat atau bangsa. Khususnya terjadi pada bangsa baru merdeka, termasuk Indonesia. Bangsa-bangsa berupaya membangun karakter yang kuat sehingga memiliki ketahanan bangsa sebagai bagian dari negara-negara lain.

Menurut Fedyani, karakter suatu masyarakat tak lain ialah identitas masyarakat itu sendiri yang terekspresikan keluar sehingga terbaca oleh masyarakat yang berbeda. Dengan kata lain, karakter suatu masyarakat ialah ekspresi yang terpancar dari kebudayaan masyarakat.

Pada masa kini dan mendatang, Indonesia dihadapkan pada pilihan, yakni antara nation-state yang bernama Negara Kesatuan RI dan suatu bangsa yang dibayangkan memancarkan karakter bangsa tertentu. Pilihan lainnya ialah welfare-state, yakni negara yang mengutamakan kesejahteraan warganya tanpa harus memosisikan ideologi kebangsaan yang kentara sebagai sentralnya. Dalam welfare-state atau negara kesejahteraan, manusia dipandang sebagai subyek yang dapat berpikir, merancang kehidupannya, memproduksi sesuatu. Negara menjadi fasilitator dan tak lagi merupakan kekuasaan sentral yang mendominasi.

Demokratisasi diterapkan secara nyata. Dengan demikian, berbicara tentang karakter bangsa berarti berbicara tentang keragaman. Karakter harus ditempatkan pada setiap unsur pembentuk bangsa sehingga pembicaraan bukan lagi mengerucut pada karakter "orang Indonesia". Pada masa lalu ketika negara bersifat sentralistik, kenyataan keberagaman itu terkurung dalam program kebijakan dan kekuasaan pemerintah. Pemerintah sebagai penjaga nation-state bersifat mengontrol. Namun, manusia sekadar menjadi obyek, susah bersuara, dan menyatakan pendapat.

"Saya mengajukan usulan hipotetis bahwa kita harus membenahi kekuatan ekonomi, hukum, birokrasi, dan pendidikan. Jika semua itu tercapai, tidak akan ada masalah dengan nation-state," ujar Fedyani. Dengan peningkatan kesejahteraan, pendidikan, perbaikan hukum secara nyata akan tercipta kebanggaan sebagai bangsa. "Koentjaraningrat mengatakan, kebangsaan harus ada kaitannya dengan kebanggaan menjadi orang Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain," kata Fedyani.

Antropolog dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Selly Riawanti, dalam makalah Generasi Muda Indonesia: Siapa dan Bagaimanakah Mereka, mengemukakan, dari sisi identitas sosial, generasi muda seragam, dan memperlihatkan dialektika antara hibridisasi dan pengkristalan identitas. Di sisi lain, kesejahteraan, keanekaragaman nasib masih memperlihatkan reproduksi struktur-struktur sosial ekonomi yang ada. Kesenjangan sosial ekonomi menyebabkan akses terhadap pendidikan sebagai salah satu pembentuk karakter tidak dinikmati secara adil. (INE)

Sumber: Kompas, Jumat, 26 Oktober 2007