-- Selamat Ginting
Stasiun Kereta Api Tanjung Priok kini menjadi obyek wisata arkeologi dan sejarah kebudayaan
Di balik ruangan petugas informasi, ternyata ada sebuah bungker rahasia. Ini bukan cerita soal markas militer negara yang sedang dalam keadaan perang, melainkan berada di dalam sebuah stasiun kereta api. Keberadaan bungker rahasia ini tentu bukan tanpa maksud. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk bersembunyi atau melindungi diri dari ancaman musuh.
Bungker itu ditemukan di Stasiun Kereta Api Tanjung Priok, Jakarta Utara. Lubang rahasia itu baru diketahui awal 2010 lalu. Untuk mengungkap misteri di balik keberadaan bungker tua di Stasiun Tanjung Priok, tim arkeologi dari Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang telah menggali lorong bawah tanah peninggalan Belanda tersebut.
“Sekarang banyak yang datang ke stasiun ini untuk mengetahui bungker rahasia,” kata salah seorang petugas keamanan Stasiun Kereta Api Tanjung Priok saat mene rima rombongan Republika, “Melancong bareng Abah Alwi”, Ahad (3/7) lalu.
Penggalian arkeologi untuk mengungkap isi bungker itu dilakukan pertama kali pada 2009 lalu. Kemudian dilanjutkan pada awal tahun lalu. Ruangan yang digali memiliki luas sekitar 10 x 6 meter persegi, dengan ketinggian sekitar tiga meter persegi. Pada ruangan itu, terdapat dua penyangga la ngitlangit yang terbuat dari batu dan ter da pat dua ruangan yang menjorok ke dalam.
Dalam pernyataan persnya, BP3 Serang mengatakan, penggalian dititikberatkan pada ruangan bawah tanah yang berada di bawah toilet Stasiun Tanjung Priok. Penggalian satu ruangan bawah tanah dilakukan oleh PT KAI (Persero).
Diperkirakan masih banyak bungkerbungker rahasia di stasiun tersebut. Hal ini mirip dengan kantor pusat perkeretaapian zaman Belanda yang berada di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Di situ juga ada bungker atau ruangan bawah tanah yang dijadikan sebagai tempat pembuangan air serta menjadi pernah dijadikan penjara saat Jepang menjajah Indonesia. Keyakinan akan ditemukannya bungker-bungker lain ini dikuatkan dengan adanya saluran udara yang dibangun ke atas dan memanjang. “Diprediksi masih ada ruangan bawah tanah lain yang belum digali, seperti di bawah loket. Untuk jumlah bungkernya sendiri, kita belum bisa mengetahuinya,” ungkap Juliadi, arkeolog BP3 Serang.
Kepala Stasiun Tanjung Priok Isroyadi membenarkan penggalian ruangan bawah tanah ini merupakan kerja sama BP3 Serang dengan Pusat Pelestarian Benda Bersejarah PT KAI (Persero). “Penggalian arkeologi merupakan upaya PT KAI untuk menjadikan Stasiun Tanjung Priok sebagai objek wisata,” jelasnya.
Stasiun Tanjung Priok kini tentu saja berbeda dengan kondisi sebelum 2009. Sebelum diresmikan penggunaannya kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009 lalu, stasiun ini menjadi sarang para gelandangan, pengemis, serta preman di Jakarta. Kondisinya pun kumuh, bau pesing, serta menjadi tempat pembuangan berbagai sampah.
Hotel dan tempat dansa
Stasiun KA Tanjung Priok dibangun saat era pemerintahan Gubernur Jenderal AFW Idenburg pada 1914 oleh arsitek Belanda CW Koch. Pada awalnya, pembangunan Stasiun KA Tanjung Priok bertujuan menyuplai bahan makanan, termasuk sayurmayur dan rempah-rempah yang dibawa dari luar Batavia menuju Kota Batavia.
Melihat konstruksi bangunan yang menjadi satu dengan stasiun, diduga dahulunya fungsi bungker adalah sebagai tempat atau gudang penyimpanan suplai makanan. Tak cuma itu, cerita lain yang beredar, bungker itu adalah lorong panjang menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Namun, hingga kini belum ada yang bisa mengungkapkan misteri bungker tersebut.
Yang menarik, dari hasil penggalian arkeologi, ditemukan benda bersejarah peninggalan zaman Belanda yang berumur ratusan tahun. Di situ menariknya ada bentangan pipa tua untuk sistem pengairan, keramik di kedalaman air 50 cm, dan tulang yang sudah berwarna kehitaman, yang berhasil ditemukan tim arkeolog dari kantor Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala BP3 Serang.
Serangkaian misteri seputar bungker Stasiun Tanjung Priok masih belum terpecahkan karena membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar untuk menguaknya. “Ada info terowongan ini menuju Pulau Onrust, Museum Fatahillah, dan sebagainya, namun masih belum pasti karena perlu bukti yang nyata,” tutur Isroyadi, kepala Stasiun Tanjung Priok.
Selain bungker, di Stasiun Tanjung Priok juga terdapat bekas toilet VVIP yang masih dipertahankan ornamen dan kelengkapannya. Ornamennya terkesan modern namun unik. Sejumlah ruangan antik dalam kondisi terpelihara, seperti dapur yang lengkap dengan lemari makanannya, ruang kecil yang mirip dengan lift namun menggunakan tali untuk mengantar bahan makanan, ruang dansa tempo dulu, kantor, ruang resepsionis, dan kamar hotel.
Keberadaan Stasiun Tanjung Priok tidak dapat dipisahkan dari ramainya Pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan pelabuhan kebanggaan masa Hindia Belanda itu dan bahkan berperan sebagai pintu gerbang Kota Batavia serta Hindia Belanda.
Bandar pelabuhan yang dibangun pada 1877 di masa Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van Lansberge yang berkuasa di Hindia-Belanda pada 1875-1881 itu semakin mengukuhkan perannya sebagai salah satu pelabuhan paling ramai di Asia setelah dibukanya Terusan Suez.
Stasiun Tanjung Priok menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priok dengan Batavia yang berada di selatan. Alasan pembangunan stasiun, karena pada masa lalu wilayah Tanjung Priok sebagian besar adalah hutan dan rawa-rawa yang berbahaya sehingga dibutuhkan sarana transportasi yang aman pada saat itu (kereta api). Pada akhir abad 19, Pelabuhan Jakarta yang semula berada di daerah sekitar Pasar Ikan tak memadai lagi sehingga Belanda membangun fasilitas pelabuhan baru di Tanjung Priok.
Saat pembangunan stasiun ini, muncul pro dan kontra dalam pemerintahan Hindia Belanda karena dianggap terlalu megah dan memakan biaya cukup banyak. Stasiun ini memiliki delapan peron dan nyaris sebesar Stasiun Jakarta Kota (Beos), saat itu bernama Batavia Centrum.
Sementara itu, kereta api-kereta api yang menghubungkan kota-kota seperti Bandung dengan kapal-kapal langsung menuju ke dermaga pelabuhan dan tidak menggunakan stasiun ini. Stasiun ini terutama hanya digunakan untuk kereta rel listrik yang mulai digunakan di sekitar Batavia pada 1925.
Kini, dari stasiun ini, terdapat kereta api jurusan Pasar Turi-Tanjung Priok, Purwakar ta-Tanjung Priok dan Cikarang. Belum banyak penumpang yang dilayani di hari kebangkitan Stasiun Tanjung Priok yang sem pat tidur selama puluhan tahun lamanya.
Bentuk keaslian Stasiun Tanjung Priok ini memang dipertahankan oleh PT Kereta Api dengan tujuan menjadi pusat studi sejarah dan cagar budaya. Jika sebelumnya ruangan-ruangan di dalam stasiun ini disesaki kantor biro perjalanan, kini akan diisi oleh kantor manajemen cagar budaya, akan ada tempat memajang simbol sejarah dan budaya bangsa. Dua hal menjadi tujuan renovasi Stasiun Tanjung Priok, sebagai jalur transportasi juga untuk kawasan wisata sejarah bagi pengunjungnya.
Dari Galangan Menjadi Restoran
Bus berjalan begitu lambat ketika menyeberangi sebuah jembatan kecil di kawasan Sunda Kelapa. Hanya sekitar 20 meter sudah berbelok ke kiri menuju sebuah gedung tua yang bertuliskan VOC. Sekilas, gedung ini mirip dengan benteng pertahanan militer karena dibangun dengan tembok kokoh setinggi lebih dari empat meter.
“Selamat datang di gedung galangan kapal Batavia selama tiga ratus tahun,” ujar Cahyadi, pengelola rumah makan di gedung tersebut saat menyambut rombongan Republikadengan komunitas “Melancong Bareng Abah Alwi”, Ahad (3/7) lalu.
Tempat yang semula adalah galangan kapal VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang terletak di Jalan Kakap No 1, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara, itu kini menjadi sebuah restoran dan objek wisata bersejarah di wilayah utara Kota Jakarta. Dahulu, Jakarta masih bernama Batavia ketika galangan kapal ini berdiri sekitar tiga ratus tahun lalu.
Di kawasan yang diberi nama Pasar Ikan ini pernah menjadi pusat perdagangan utama di Asia, bahkan ada yang menyebutkan hampir selama dua abad wilayah ini merupakan urat nadi suatu jaringan niaga yang terentang dari Pulau Decima di Nagasaki (Jepang) sampai Cape Town (Afrika Selatan) dan dari Ternate sampai Bandar Surat di pantai Teluk Arab.
Galangan kapal VOC merupakan salah satu unsur pendukung yang amat penting bagi jaringan niaga sedunia yang berlangsung dengan memakai kapal-kapal layar. Kapal-kapal berukuran besar dan kecil ini bongkar muat di galangan itu. Dan, berlayar mengarungi lautan Pasifik, Hindia, serta Atlantik dan singgah di berbagai pelabuhan antara Amsterdam dan Nagasaki, antara Hormuz (Persia) dan Pulau Banda.
“Meskipun sudah beberapa kali mengalami pemugaran, bangunan galangan kapal ini masih banyak yang asli dan bisa dijadikan warisan leluhur sejarah masa lalu,” ungkap Cahyadi. Diperkirakan galangan kapal VOC ini berdiri pada 1628 yang semula dijadikan kantor dan tempat dagang VOC.
Memang, kini, sudah tak ada lagi galangan kapal tersebut. Namun, galangan kapal VOC itu sesungguhnya telah berfungsi di lokasi ini sejak 1632. Namun, pernah terjadi kebakaran besar pada 1721 yang sempat merusak sebagian dari kompleks bangunan galangan ini.
“Di seberang sungai itu semula ada kastel Batavia menuju ke Pelabuhan Sunda Kelapa yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari galangan ini,” ujar Abah Alwi, panggilan akrab Alwi Shahab, wartawan senior Republika.
Gedung galangan kapal yang berlantai dua itu kini dikelola oleh PT Sunda Kelapa Lestari dan sempat direnovasi pada 1997 sampai 1999. “Sekarang ini, di galangan kapal VOC, terdapat restoran dan kafe,” ungkap Cahyadi yang memimpin restoran terdiri atas restoran Cina dan Indonesa dan juga terdapat kafe yang diberi nama Cafe Galang.
Rencananya, gedung ini juga akan dijadikan sebagai tempat pameran buku lintas sejarah budaya Indonesia yang ditulis dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Mandarin. Juga akan menjadi tempat acara kesenian rutin dari berbagai daerah, khususnya kesenian Betawi dan etnik Cina di lingkungan Jakarta.
Sumber: Republika, Jumat, 8 Juli 2011
No comments:
Post a Comment