-- Bandung Mawardi
ABAD XX telah memberi iman modern: sekolah. Perubahan zaman seolah bergantung makna sekolah. Negeri ini pun mengonstruksi identitas diri, menggerakkan transformasi sosial-kultural, menumbuh-semaikan nasionalisme disebabkan oleh sekolah. Konon, agenda politik etis memberi jalan untuk pembentukan elite terpelajar, manusia-manusia modern lahir dari sekolah. Kaum Bumi Putera mengimajinasikan sekolah sebagai berkah dan petaka.
Kaum elite ini mengangankan kemodernan, pem-Baratan, dan pemerdekaan negeri. Mereka mengolah diri, merumuskan identitas, mengonsumsi pengetahuan, dan merefleksikan modernitas di sekolah. Imajinasi sekolah mulai merebak. Rakyat terpikat, tapi mesti tahu diri bahwa sekolah adalah politik pengetahuan, ideologisasi adab, dan agenda diskriminasi ala Barat.
Orang bisa sekolah mengacu pada kelas sosial, etnis, uang, garis politik, dan agama. Rakyat mengimajinasikan sekolah sebagai sejenis revolusi nasib, sihir modernitas bagi sebuah negeri terjajah.
Hindia Belanda awal abad XX dikuasai nalar dan imajinasi sekolah. Sekolah pun terimajinasikan secara kompleks: paradoks dan kontradiktif. Imajinasi sekolah itu ada di jalur kepekaan para pengarang 1920-an dalam mengontraskan jagat tradisional dan jagat modern. Sekolah adalah tanda, pembeda signifikan. Merari Siregar dalam Azab dan Sengsara (1920) mengimajinasikan sekolah sebagai institusi "pemberi" kecerdasan. Tokoh Mariamin masuk sekolah saat usia tujuh tahun. Orang tua memiliki misi: "Bukan maksudnya supaya kepintarannya yang menyamai laki-laki, tetapi sepatutnyalah ia mempunyai badan yang segar dan pikiran yang tajam dan cerdas."
Sekolah menentukan jiwa zaman, memberi iman baru bagi pribumi atas impian dan kehendak kemodernan.
Novel Sitti Nurbaya (1922) garapan Marah Roesli adalah rujukan penting untuk mengimajinasikan sekolah sebagai agenda modernitas di Padang (Sumatera Barat). Agenda mengubah nasib diperantarai dengan sekolah, mengonstruksi identitas dalam bingkai pembaratan. Sekolah "melahirkan" manusia modern. Simaklah deskripsi pengarang atas tokoh Samsul Bahri: "Seorang dari anak muda ini ialah anak laki-laki yang umurnya kira-kira 18 tahun. Pakaiannya, baju jas tutup putih dan celana pendek hitam yang berkancing di ujungnya. Sepatunya, sepatu hitam tinggi yang disambung ke atas dengan kaus sutera hitam pula dan diikatkan dengan ikatan kaus getah pada betisnya. Topinya, topi rumput putih yang biasa dipakai bangsa Belanda."
Tokoh itu tampak sebagai manusia modern, mendefinisikan diri sebagai murid di sekolah kolonial. Masyarakat memandang sebagai representasi imajinasi sekolah: fantastis dan elitis. Tokoh Sitti Nurbaya malah mengimajinasikan sekolah sebagai kehendak feministik: “Biarlah perempuan menuntut ilmu yang berguna baginya, biarlah ia diizinkan melihat dan mendengar segala yang boleh menambah pengetahuannya. Biarlah ia mengeluarkan perasaan hatinya dan buah pikirannya, supaya dapat bertukar-tukar pikiran untuk menajamkan otaknya.” Sekolah adalah berkah: pencerahan dan penyadaran.
Imajinasi sekolah awal abad XX memang identik dengan pesan-pesan transformasi sosial, politik, ekonomi, dan kultural. Imajinasi perubahan nasib pun bertumbuh di Jawa saat pandangan atas dunia kepriyayian dipengaruhi makna sekolah. Umar Kayam dalam novel Para Priyayi (1992) menarasikan tentang imajinasi sekolah untuk mengubah nasib, memartabatkan dan memuliakan orang dari jenjang jelata ke dunia priyayi.
Nalar feodalisme dan kolonialisme telah memunculkan "seleksi" kepriyayian melalui sekolah. Tokoh Lantip, anak keluarga miskin, menempuhi model pendidikan modern. Lantip menemukan berkah sekolah, menjadikan diri sebagai manusia terhormat dan "panutan" dalam jagat nilai masyarakat Jawa. Lantip mengalami "keajaiban" dunia sekolah. Institusi modern ini menentukan nasib, memberi modal bagi kemuliaan dan martabat mereka.
Sekian imajinasi sekolah pada masa kolonial dan Orde Lama itu mungkin terasakan "ajaib" dan berkah. Makna sekolah perlahan berubah menjadi sejenis petaka saat politik pendidikan abai dengan misi manusiawi sekolah. Kita bisa simak dalam puisi Kenangan Anak-Anak Seragam (1988) gubahan Wiji Thukul sebagai kritik dan koreksi atas model pendidikan Orde Baru.
Sekolah adalah institusi tiranik. Sekolah membuat orang menjadi tertib, patuh, dan takut. Sekolah adalah imperatif dan represif: pada masa kanak-kanakku/aku jadi seragam/buku pelajaran sangat kejam/aku tidak boleh menguap di kelas/aku harus duduk menghadap papan di depan/sebelum bel tidak boleh mengantuk.
Imajinasi sekolah ini terasa ironis. Sekolah adalah proyek ideologis, membuat homogenisasi dan kepatuhan politis. Begitu.
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, Minggu, 17 Juli 2011
No comments:
Post a Comment