Saturday, July 23, 2011

Teks yang Meniru dan yang Berubah

-- Arif Hidayat

KETIKA kau menjumpai sebuah teks, maka sesungguhnya kau sedang membaca pengalaman: ide yang diabstraksikan melalui bahasa. Seorang pakar hermeneutika ilmu sosial, Paul Ricoeur, memandang "teks sebagai diskursus yang dibakukan". Diskursus itu sendiri memuat peristiwa bahasa melalui proses objektivikasi. Jelasnya—ini seperti juga kata Derrida—semuanya dapat menjadi teks: cara memilih baju, sepatu, dan makan adalah teks, terlebih lagi cara bertutur atau cara menulis puisi, juga teks. Apa yang akan kau pikirkan kemudian setelah tahu bahwa praktek sosial adalah juga teks?



Poskolonial

Sesuatu yang lain terjadi, saat para penyair kita, begitu bereuforia menyambut Haiku (puisi tradisonal Jepang yang mendunia, dengan 17 suku kata) sebagai cara berekspresi pula dalam bagian dari perpuisian Indonesia: takjub dan memandang sesuatu yang kecil, tapi terhormat. Jepang sendiri pernah menjajah Indonesia, walaupun seumur jagung. Kita tetap ingat itu karena sejarah mencatat. Namun, struktur sosial kita lebih mengacu pada Belanda ketika berbicara kolonial. Sekarang—entah dalam posisi lupa atau ingat—bahwa kita berada dalam peniruan (mimikri) pada Haiku dengan tak sama persis suku katanya. Kita telanjur berada dalam budaya meniru sesuatu yang sudah populer untuk memopulerkan diri.

Saya tidak membenci Haiku. Saya ingin menilik pada sebuah teks itu diproduksi oleh penyair sebagai fenomena sosial, sebagai entitas tersendiri. Tentunya, Anda akan marah ketika saya mengatakan bahwa menulis Haiku di Indonesia itu meniru, dan akan mengatakan “tidak”. Kita memiliki rasa nasionalisme, patriotisme, juga fanatisme terhadap keadaan sosial secara keseluruhan. Wajar jika penyangkalan itu terjadi karena, itu sebagai komitmen rasa kebangsaan kita yang memiliki tanah air.

Sejauh memang itu dapat merepresentasikan keadaan sosial kita sebagai bentuk estetik dan gagasan dunia yang cukup ditampilkan dengan susunan kata singkat, maka fragmentasi yang kita tampilkan memunculkan gaya (style) yang berbeda dengan Haiku sebagai puisi tradisional Jepang. Yang kita butuhkan adalah konsekuensi logis dari transformasi sosial untuk melakukan penandaan secara sublime terhadap teks-teks Haiku yang kita produksi dengan nilai khas nusantara, tanpa terikat lagi pada Jepang.

Ini tidak berlebihan karena kekayaan nusantara mengenai praktek sosial, prilaku budaya, dan berbagai relasi lain yang begitu bervariasi dapat menjadi gagasan teks yang lebih menjanjikan, ketimbang meniru suatu model. Suatu transformasi sosial yang beragam dari berbagai asal-usul sejarah dan budaya Indonesia sesungguhnya memiliki berbagai macam gerakan yang penuh dengan nilai dan konsep, yang terlahir dari kekuatan karsa dan rasa. Yang perlu dipahami adalah untuk mencapai konvensi, yakni agar dunia mengakui bahwa teks-teks yang kita produksi bukan sebatas tiruan, tapi ia bersumber dari kebeningan jiwa setiap insan yang merepresentasikan pengetahuan hakikat dan esensial.

Penciptaan teks bukan sebatas peniruan. Penciptaan teks harusnya kita pahami sebagai objektivikasi dari karakter internal struktur sosial. Dengan begitu, kehadiran sebuah puisi (ataupun teks sastra lainnya) bagi masyarakat akan lebih berguna daripada sebuah keindahan semata, yang lantas dilupakan seperti sinetron atau acara komedi.



‘Posmodern’

Beberapa akhir-akhir ini, saya juga mulai prihatin lagi dengan teks-teks mini, yang beredar melalui ruang maya. Ia diproduksi secara singkat dengan alasan bahwa masyarakat sudah tidak butuh nasihat yang panjang-panjang. Ruang maya menjadi mediasi untuk realitas, tapi itu tidak lebih dari sekadar ekspresi selintas sepintas secara spontan. Ia tidak diproduksi berdasarkan pengetahuan mendalam dengan melibatkan ide, kepekaan, nalar, intuisi, rasa, nilai, konsep, dan jiwa. Maka, teks-teks mini tersebut, telah mengubah pengetahuan tentang sastra yang disimulasikan dengan semacam petuah.

Saya yakin bahwa kehampaan manusia modern yang bosan dengan dogma-dogma bukan karena kehadiran dari teknologi semata. Namun, ini juga efek dari banyaknya teks-teks sastra yang diedarkan tanpa kualitas sehingga stigma masyarakat menjadi berubah. Kondisi ekonomi yang mengharuskan setiap individu melakukan konsumsi dari berbagai sisi menjadi bagian pelik yang jarang diungkap oleh teks sastra di masa sekarang. Teks-teks sastra sekarang lebih banyak didominasi dengan bicara tentang keindahan, paling bicara tentang kebaikan dan nasihat. Seandainya saja, ada teks sastra yang mampu mengungkap secara penuh praktek korupsi secara mendetail, mampu mengkritisi sebuah kepemimpinan, dan mampu memberikan kesan-kesan terbuka bagi masa depan dengan memberikan kesadaran femonenologis.

Teks sastra tidak perlu menjadi mini, tapi lebih menginginkan hadir dalam personalisasi dan proletarianisasi agar ia dapat hadir pada seluruh elemen masyarakat dengan melokalisasi fenomena kultural yang menjadi bagian hidup dari setiap individu. Masyarakat (dalam keadaan sekarang ini) masih peka mencermati kode-kode sosial yang melekat dalam setiap tulisan. Ketika masyarakat sadar bahwa teks sastra merupakan bagian dari dirinya yang penting dan selalu membawa kesadaran baru terhadap realitas, maka ia akan dicari tanpa bentuk yang diubah atau transformasi estetikanisasi.

Akan tetapi, kembali kita perlu ingat pada kata Paul Ricoeur dan Derrida, tentang teks, yang berarti kita sedang berhadapan dengan ide, maka dapat dimaknai bahwa kehadiran teks-teks sastra mini di sisi kita adalah kegagalan yang kurang cermat pada tatanan sosial yang berubah. Kegagalan menyisipkan pesan, kode, dan tanda pada setiap kata membuat mengerah begitu saja pada masyarakat yang bosan. Ini adalah momok kerapuhan yang mengancam. Kerapuhan itu berjalan di atas kegagalan sehingga harus mengubah pada cara ungkap. Ketika teks-teks sastra itu menjadi mini, maka akan ada yang berubah: sastra yang mulanya mengesankan melalui susunan peristiwa yang disajikan dengan bahasa unik (karena berbeda dengan bahasa sehari-hari), kemudian menjadi sangat pragmatis dengan selintas sepintas. Kita bukan hidup di negeri sunyi, di mana seluruh penghuninya adalah penernung, tetapi kita hidup dalam keberkesanan cerita (peristiwa) secara komunal.

Ketika kau menjumpai bahwa sebuah teks yang dengan nama sama itu berubah: wayang yang dulu semalam suntuk menjadi berduarasi dua jam, atau sastra yang menjadi mini, berarti ada yang goyah pada hubungan antar individu, goyah pada nilai dan pengertian, yang akhirnya tanpa kau sadari telah mengubah segalanya. n
|
Arif Hidayat, Mahasiswa Kajian Budaya UNS Solo

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 23 Juli 2011

No comments: