-- Erdy Nasrul, Ichsan Emrald
JAKARTA -- Sastrawan dan wartawan senior Syubah Asa tutup usia pada pukul 17.00 WIB di sebuah rumah sakit di Pekalongan, Jawa Tengah, pada Ahad, 24 Juli 2011. Syubah sebelumnya telah lama terserang stroke dan sudah beberapa kali menjalani pengobatan.
Syubah, lelaki yang terlahir di Pekalongan, 21 Desember 1941, ini juga dikenal sebagai seniman. Dia menyelesaikan pendidikan sarjana muda di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia menjadi redaktur Tempo sejak 1971 hingga 1987 sebelum hijrah ke Editor pada 1987 dan 1988 dan Panji Masyarakat. Dia dikenal sebagai seniman dan aktif di Teater Muslim dan Bengkel Teater di Yogyakarta pada 1950 - 1969. Pada era 1970-an. Dia juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta.
Aktingnya pernah menghiasi layar kaca saat ia diminta Arifin C Noer menjadi pemeran tokoh PKI Aidit dalam film kolosal Pengkhianatan G-30 S PKI, pada 1982. Syubah juga menulis sejumlah novel, di antaranya Cerita di Pagi Cerah tahun 1960. Selain itu, ia juga banyak menulis kolom, termasuk juga puitisasi ayat-ayat Alquran dan menerjemahkan karya klasik Arab ke bahasa Indonesia, di antaranya Asraful Anam dan Qasidah Barzanji.
Wartawan senior Republika, Alwi Shahab, mengatakan Syubah kala itu dikenal sebagai wartawan yang dekat dengan dua organisasi massa keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdathul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. "Beliau itu dikenal dekat dengan kedua ormas tersebut," ujar pria yang seringkali dipanggil Abah Alwi ini.
Hanya saja, lanjut Abah, Syubah Asa juga dikenal menulis berbagai hal bernuansa Islam dan juga seni. Dalam dunia seni dan Islam, ia pernah membuat puitisasi ayat-ayat Alquran dan menerjemahkan Qasidah Barzanji. Republika sendiri pernah memiliki kesan mendalam soal Islam dan seni di mata Syubah Asa. Hal ini ketika Syubah diwawancara wartawan Republika, Fery Kisihandi, beberapa tahun silam.
Syubah kala itu mengatakan agama dan seni akan bersilangan dalam sebuah kata yang disebut religiositas. Bagi Muslim menurutnya ketika pertemuan keduanya, agama dan seni, akan memiliki nilai estetika tersendiri seperti halnya bagi seseorang dalam berkesenian. Ia pun menyatakan bahwa berkesenian itu harus ada nilai religiositas di dalamnya. Meski bukan berarti harus selalu mengeluarkan ayat-ayat dalam kitab suci dalam karya seni.
Wartawan Senior Tempo, Amarzan Lubis, memiliki kesan tersendiri tentang Syubah Asa. Dia menilai Syubah sebagai editor terbaik, karena mampu mengubah tulisan yang bagus gagasannya, namun buruk penulisannya. Di tangan Syubah, tulisan itu menjadi enak dibaca. "Bahkan, dialah editor terbaik se-Indonesia," ungkap Amarzan. Tak terhitung berapa banyak tulisan yang dieditnya.
Amarzan juga menilai Syubah sebagai penulis resensi terbaik, terutama untuk karya seni, karena bukan hanya bermain perasaan, melainkan juga seni. Padahal, Syubah berlatar belakang pendidikan agama, bukan seni. Dia menguasai musik klasik Barat dan mampu menuangkannya dalam tulisan yang mampu dipahami pembaca dengan mudah. ed: joko sadewo
Sumber: Republika, Senin, 25 Juli 2011
No comments:
Post a Comment