-- Delvi Yandra
DI antara sederetan nama-nama penulis modern yang berhasil mempopulerkan karya-karya genre horor, misteri, teror, maupun suspensi, seperti Margaret Atwood, Jane Austen, William Faulkner, Stephen King, Oscar Wilde dan lain-lain, nama Edgar Allan Poe (1809-1849) memang tidak asing lagi di telinga pembaca puisi dan cerita pendek. Ketika Charles Dickens, Nathaniel Hawthorne dan Mark Twain sibuk mempelopori cerita saga berpesan moral (era Romantisme), Poe menoreh warna baru dalam kancah kesusastraan dunia. Suspensi. Misteri. Macabre.
Ia dianggap oleh penggemarnya sebagai salah satu penulis terbaik sepanjang masa. Teknik menulis yang ia gunakan juga telah berulang kali ditiru (dan dikembangkan) oleh penulis modern yang mempopulerkan genre yang sama. Mulai dari penggambaran detail adegan, sampai penjabaran kondisi psikis karakter dalam cerita yang tidak pernah gagal menggiring pembaca ke dalam situasi di atas kertas. Di situlah letak jeniusnya seorang Poe!
Keberhasilan terbesarnya terletak pada tekad bulatnya untuk terus menulis walau tulisannya (semasa dia hidup) tidak menghasilkan apa-apa. Di usia 40 tahun, Poe meninggal dalam keadaan miskin, ditemani sebotol minuman keras, tanpa teman atau saudara.
Di dalam buku Kisah-kisah Tengah Malam karya Edgar Allan Poe yang dialih-bahasakan oleh Maggie Tiojakin ini, terdapat 13 cerpen. Beberapa di antara cerpen Poe yang terkenal seperti “Kucing Hitam” (1843), “Misteri Rumah Keluarga Usher” (1839), dan “Gema Jantung yang Tersiksa” (1843). Dan tentu saja, kita akan diajak menuju pengalaman unik yang penuh ketegangan, teror, dan misteri. Kita akan memasuki rumah tua misterius, pembalasan dendam, kegelisahan sang pembunuh, hingga terombang-ambing dalam badai di lautan.
Lihat saja! Di dalam cerpen “Hop-Frog” (1849), Poe sangat lihai memadukan antara ketegangan, pembalasan dendam dan dark humor yang berkisah bagaimana seorang pelawak bernama Hop-Frog dengan bentuk fisiknya yang kontet serta kondisinya yang cacat justru memberikan nilai tersendiri di mata Sang Raja. Pada akhirnya, Sang Raja bersama tujuh menterinya tewas terbakar dalam lelucon permainan yang dirancang oleh Hop-Frog sendiri. Selain itu, dalam cerpen “Gema Jantung yang Tersiksa” (1843), Poe memunculkan karakter tokoh yang memperlihatkan kondisi psikisnya yang gelisah karena membunuh seorang lelaki tua, memutilasinya, dan menyimpannya di bawah lantai.
Beberapa cerpen Poe juga mengambil latar di sebuah kapal yang terseret gelombang dan pusaran air yang akan membuat pembaca bergidik dan terperangkap dalam teror yang dibangun Poe seperti dalam cerpen “Mengarungi Badai Maelstrom” (1841) dan “Kotak Persegi Panjang” (1844).
Berbeda dengan penulis lain seangkatannya, kekuatan Poe terletak pada ironi dan dark humor yang akan membawa kita menelusuri pengalaman unik penulis yang menjadi sebuah legenda yang terangkum dalam Kisah-kisah Tengah Malam.
Kita akan terkagum-kagum pada Poe, yang dalam membangun suasana karyanya sangat kental dengan kata-kata gereja, rumah tua, kucing hitam, pisau, mimpi buruk, jenazah, mummy, kegelapan, kutukan, tenggelam, dan ketakutan.
Selain itu, ilustrasi sampul karya Staven Andersen yang melengkapi Kisah-kisah Tengah Malam ini juga mampu membawa karya Poe ke atas kertas gambar dengan metode senada: detail, misterius, dan ironis.
Selamat menikmati halaman demi halaman yang dihadirkan Poe!
Delvi Yandra, Cerpenis, penyuka buku, tinggal di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, 10 Juli 2011
No comments:
Post a Comment