-- Beni Setia
TERMIN Camar Putih itu merujuk kepada eksistensi Sheikh Mansor bin Sheikh Mohammad, sastrawan Brunei Darussalam. Termin Camar Putih (selanjutnya: CP) itu sebagai penanda kegemarannya akan pantai—biografi antoloji puisi Titik (selanjutnya: T), Neo Edition, Kuala Lumpur, 2007, bersama Adi Swara dan Z.A. Brunai—,sekaligus dikarenakan ia merasa namanya tercemar sehingga sangat kesulitan memublikasikan puisinya meski di majalah sekolah—lihat Prakata kumpulan sajak, cerpen, makalah dan proposal, Hanya Satu, (selanjutnya: HS), tp tt. Dan itu tampaknya tak hanya basa-basi dari fakta yang sangat menarik: CP menulis dengan kepekaan sosial yang pekat, sekaligus amat kritis akan model negara Brunei Darussalam—meski merasa yakin bisa dikontrol metoda demokrasi partisipasi rakyat dari corak pemerintahan parlementer.
Setidaknya kalau kita mau mencermati proposal dalam HS, Raja untuk Rakyat dan Rakyat untuk Raja. Satu tulisan berani di konteks Brunei Darussalam sehingga tidak satu media yang berani memublikasikannya di Brunei, karenanya CP terpaksa menerbitkannya di buku yang dibiayainya sendiri—bersama dengan makalah Sastra Brunai Rentas Minda Global: Antara Cita-cita, Harapan dan Hambatan Menulis Kecemerlangan, cerpen Iman, Cuma Selapis Angin, serta puisi panjang Pecah dan Perintah. Jalan keluar yang dirasa adil untuk dirinya dan untuk para pemilik media massa yang ada dalam situasi dilematik. Dan kalau mengapresiasi tiga karya dari tiga genre penulisan yang berbeda itu, kita akan menangkap aura kritisme seorang CP.
Di atas telah disinggung soal kritisme politik dan keinginan agar rakyat itu aktif terlibat dalam proses mengawasi kepemimpinan Sultan, mengontrol mesin birokrasi, dan terutama menjaga spririt puritanisme Melayu Brunei. Sedangkan makalah untuk Pertemuan Sasterawan Brunei Darussalam ke-4 (2007), gamblang nyaris "memercik air di dulang" CP memotret kondisi sastra Brunei Darussalam yang terasing sekaligus menggelisahkan. Tak ada minat apresiasi dari generasi muda yang lebih tertarik pada bacaan hiburan, karenanya meski ada subsidi bagi penerbitan buku sastra tapi tak ada yang mau membeli buku sastra—buku sastra akhirnya dibagikan antara sastrawan dan kenalan sastrawan. Dan pada puncak krisis, buku-buku sastra yang tertahan lama di gudang itu terpaksa dilelang murah sehingga penghasilan sastrawan pun terdegradasi. Lantas adakah masa depan sastra di Brunei?
CP tak merasa perlu untuk menjawab. Tapi merasa bila pertanyaan kritis radikal itu akan dianggap tindakan lancang nan lancung, karenanya ia merasa itu merupakan makalah satu-satunya. Yang pertama sambil tidak akan ada makalah selanjutnya—sama seperti proposalnya yang sulit dipublikasikan itu. Tapi tidak hanya makalah dan proposal membuatnya ada dalam situasi dilematik maju kena mundur kena, cerpennya juga terkatung kesulitan dipublikasikan karena dianggap cabul. Meskipun saya menolak pelabelan cabul—tak ada deskripsi mesum kayak Nina Arrow atau Ayu Utami—sebab inti penulisan cerpen itu bukan tabiat suka selingkuh dari bos, istri bos, dan anak buah bos yang kesulitan mencukupi kebutuhan, tetapi fakta kalau perselingkuhan terjadi di mana saja kalau para peselingkuh itu agresif mengeksplorasi kesempatan. Satu isyarat tentang kemunafikan di satu sisi, dan bagaimana susahnya mempertahankan iman di dunia yang serbaboleh. Sebuah cerpen yang punya ambekan sufistik pada dasarnya.
Ada dua belas sajak yang bisa dianalisis untuk memahami siapa CP. Kedua belas sajak itu ada dalam antologi bersama T—dan kemudian sajak Pecah dan Perintah itu diterbitkan lagi dalam HS. Sebuah sajak yang ditulis di Agustus 1998, serta baru bisa dipublikasikan Bahana pada Mei 2002—mendapatkan anugrah Hadiah Kreatif Bahana 2002, selain sajak Aku Sudah Terlalu Kewalahan, Ma untuk 2005. Rentang sebuah penantian yang pantas karena sajak panjang itu menekankan arti dari menjadi korban dan ide pengorbanan dari generasi muda yang menginginkan persamaan, perdamaian, dan menentang laku politik licik yang mementingkan diri serta golongan sendiri. Dan sekaligus menganjurkan untuk melawan kesewenangan, kecurangan politik yang tidak hanya melakukan kudeta halus tapi juga kudeta berdarah, seperti si Brutus yang berani menusuk dari belakang tapi dijadikan kambing hitam kejahatan atas kekuasaan legal—yang tak disukai karena mengerucut eksklusif di tangan Julius Caesar.
Pada sajak Sepetang di Purwakarta, misalnya, CP bercerita tentang perjalanan turistik ke Bandung dari Jakarta. Lewat Cikampek dan mampir makan satai kambing, melihat gadis telanjang di Ciater dan terpersona dingin Lembang. Tetapi di Cikalong Wetan ia ada melihat dua bocah yang membantu mendorong gerobak berisi singkong, terpersona saat kedua bocah itu riang mendapat upah lima ratus perak. CP tercenung. Memang ada warta kemiskinan, tapi sekaligus keriangan ikut berlatih agar ada terlatih kerja sejak dini. Meskipun upah kecil, masa kanak sulit semacam itu lebih bermakna dari anak-anaknya yang pergi-pulang sekolah naik mobil, yang di rumah santai main game, yang pergi ke mal belanja barang bermerek. Lalu apa yang akan terjadi kalau cadangan minyak Brunei habis serta hibah kesimakmuran berakhir? Dengan apa dan secara apa mereka akan hidup di masa depan?
Pertanyaan cerdas dan sekaligus arif mencoba menggelisahkan rupa masa depan dengan melihat apa yang dilakukan banyak pihak di masa kini. Satu kritisme kiri yang mengguncang kemapanan, yang berangkat dari etika dan kesantunan tradisional. Lihat Abortions II, yang deskriptif menandai laku seks bebas yang berakhir di kehamilan alami dan artifisialitas aborsi. Atau, rujukan nilai yang menjunjung tinggi kearifan (Melayu) bersendikan Alquran pada sajak Seorang Atuk dan Cucu Perempuannya—orang tua buta yang hafal Quran sehingga bisa mengajari cucu perempuannya. Lalu apa yang telah dilakukan penyair bagi anak turunannya? Apakah hanya mengumbar nafsu judi tak membelajani istri dan anak sehingga istri berselingkuh setelah memberi uang jajan lebih pada anak? Atau tak berani menikah lagi karena merasa tidak mampu membahagiakan ibu dengan istri baru di sajak Aku Sudah Terlalu Kewalahan, Ma?
Ada kegelisahan dengan cara hidup kini yang asyik masyuk dengan kesenangan duniawi sehingga lupa kalau kita dihadirkan untuk sekejap ditandai oleh Izrail—mati, lihat Pada Saat Aku Mati. Melupakan masa depan, abai akan pertanggungjawaban di masa amat depan sekali—lihat Al-Amin Tidak Lagi Ketawa. Itu kunci memahami CP. Kenapa suntuk mengurus dan (bahkan) meneguk nikmat dunia bila si hakiki dari keberadaan kita itu mempertanggungjawabkan laku hidup? Guncangan ke kemapanan dari lubuk religiositas sufistik. n
Beni Setia, pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Juli 2011
No comments:
Post a Comment