-- Alvi Puspita
AHMAD Fuadi, seorang anak kampung dari ceruk Maninjau Sumatera Barat, menuliskan novel Negeri 5 Menara. Dalam waktu dua tahun, novel tersebut telah mengalami sepuluh kali cetak ulang. Mengapa dan ada apa dengan novel ini?
Islam, Pasantren dan Solusi (Ideologi Utama)
Tidak ada tulisan yang non-ideologis. Segala macam bentuk tulisan adalah sebuah bentuk pembuatan, sebuah cara penyusunan, yang karenanya tidak bisa menghindari tanda-tanda pembuatan atau gaya tersebut (Barthes via Strinati, 2010). Sependapat dengan apa yang disampaikan Barthes, maka membaca novel Negeri 5 Menara adalah membaca ideologi-ideologi tertentu. Ideologi secara sederhana dapat dipahami sebagai pengetahuan tentang gagasan yang berkaitan dengan sistem pemikiran, sistem kepercayaan, dan sistem tindakan. Dalam sistem pemikiran, ideologi sering dijadikan alat legitimasi terhadap kebenaran. Dalam sistem kepercayaan, ideologi dijadikan landasan keyakinan. Adapun dalam sistem tindakan, ideologi dijadikan pedoman perilaku manusia. Dengan demikian, ideologi dijadikan acuan berpikir, berkeyakinan, dan bertindak (Harsono, 2009). Lalu, ideologi apakah yang terkandung dalam novel Negeri 5 Manara?
Berdasarkan pembacaan pada keseluruhan novel, maka menurut penulis setidaknya ada dua ideologi utama yang ingin disampaikan oleh novel ini. Ideologi tersebut adalah ideologi keislaman dan ideologi kepasantrenan. Ideologi keislaman yaitu ideologi tentang nilai-nilai dan prinsip Islam yang terselip pada apa yang diterima dan diyakini tokoh utama dari persentuhannya dengan tokoh-tokoh lain, mulai dari lingkup keluarganya hingga lingkungan pasantren. Nilai-nilai itu misalnya tentang keharusan umat nabi Muhammad menjaga ukhuwah (hal 137-138), tentang pilihan dan konsekuensi (hal. 39), perjuangan membela kebenaran dan kejujuran (hal.140), kewajiban menuntut ilmu agama dan ilmu dunia hanya karena Allah, tentang keyakinan pada Islam, Allah dan Nabi Muhammad, tentang istiqamah, qanaah, tawakal, ikhtiar dll. Adapun yang dimaksud dengan ideologi kepasantrenan yaitu penanaman pikiran-pikiran tertentu yang berhubungan dengan pasantren sebagai sebuah institusi pendidikan yang berbasis Islam. Dengan kata lain, pasantren adalah sebuah pendidikan alternatif yang mampu memberikan sumbangsih besar untuk sebuah perubahan keadaaan yang lebih baik dengan mencetak individu-individu yang baik secara intelektual baik pula secara spiritual.
Sebuah petikan pidato tokoh Alif dalam novel yang berjudul The Decandence of the World, How Islam Solves It menurut penulis adalah ideologi utama dari novel ini. Berikut kutipannya:
“My beloved Madanian, Assalammualaikum Warahmatullahhi Wabaraaatuh!..... Do you know why are you stupid?... Do you know? aku ulang lagi Do you know?.... Because you forget the alhadist and Koran. Because you forget what Allah and his prophets taught us!” (hal. 154-155).
Keras dan menyentak. Dunia sedang mengalami dekadensi dan Islamlah solusinya. Namun orang-orang islam itu sendiri tidak menyadari itu dan malah larut dalam kepintaran yang bodoh karena hanya memikirkan dunia dan materi saja. Dua pedoman keselamatan dunia dan akhirat, hadis dan Alquran dilupakan bahkan dibuang. Diganti dengan televisi serta referensi-referensi Barat yang diterima begitu saja tanpa dikritisi. Kira-kira hal itulah yang ingin disampaikan dari pemilihan judul dan petikan pidato Alif tersebut. Dan penulis pikir hal itu pula yang sedang diresahkan Ahmad Fuadi selaku penulis novel sehingga ia menciptakan novel Negeri 5 Menara beserta triloginya.
Namun, menurut hemat penulis, Islam yang dimaksud Fuadi di sini tentu bukanlah pemaknaan islam yang sempit dan cupit, fanatik, keras dan anarkis. Boro-boro menyelesaikan masalah malah membuat masalah baru yang semakin jauh dari hal substansial. Semestinya, seperti yang penulis pikir dari novel ini, hal yang paling dasar untuk dilakukan adalah bagaimana agar nilai-nilai islam dan bentuk pengajarannya mampu merasuk dan membentuk individu-individu dengan mentalitas yang kokoh. Individu-individu yang cerdas secara intelektual dan spiritual, sehingga mampu menjadi agent of change. Capaian semestinya, Islam adalah individu itu sendiri.
Nilai-nilai yang bagus sering diabaikan bahkan ditentang karena cara penyampaian yang tak bagus. Doktrinisasi ortodoks sudah basi dan tak memberi solusi malah menjadi biang keladi. Maka mensiasiati adalah salah satu jalan. Bagaimana caranya? Yaitu dengan penaman nilai-nilai keislaman mulai dari keluarga dengan cara-cara yang arif dan bijak bukan dengan dogmatisasi yang kaku. Pasantren merupakan salah satu solusi, namun solusi itu akan sia-sia saja jika si anak tidak dibekali terlebih dahulu dengan pendidikan keluarga. Jadi, idealnya Islam yang menjadi solusi adalah Islam yang mengglobal dengan nilai-nilai universal yang mendarah daging pada diri individu yang merupakan hasil dari kesadaran individu itu sendiri karena persentuhan terus-menerus dengan nilai-nilai keislaman. Islam yang menjadi solusi adalah Islam yang bukan sebatas ritual dan kefanatikan semata melainkan Islam yang membuka diri seluas-luasnya sekaligus mawas diri sebetul-betul awas. Islam yang sebetul-betul lembut dan Islam yang sebetul-betul tegas.
Persoalan kita, persoalan negara bahkan persoalan dunia semakin menumpuk. Hal mendasar dari semua itu adalah soal mentalitas dan persoalan nilai-nilai. Kurang apalagi nilai-nilai Islam dan nilai-nilai dari agama lain? Kurang apa lagi nilai-nilai dalam tradisi-tradisi kita? Kemudian sastra, karya seni juga pendidikan, apakah memang telah betul-betul kering nilai sama sekali? Lalu, mengapa masih ada permasalahan yang menunjukkan kebobrokan moral manusia? Sudah tidak bergunakah agama? Sudah tidak bergunakah Islam? Novel Negeri 5 Menara mencoba mengajak kita berpikir dan menjawab tentang itu. Islam, pasantren dan solusi. Namun, hal paling awal dari semua menurut penulis adalah pasantren dalam keluarga. Ya. pasantren dalam keluarga!
Alvi Puspita, lahir di Desa Teratak, Kampar. Sedang menyelesai S-2 di Fakultas Ilmu Budaya UGM Jogjakarta.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 31 Juli 2011
No comments:
Post a Comment