-- Siti Muyassarotul Hafidzoh
SETIAP tahun ajaran baru terjadi ragam keganjilan yang melingkupi dunia pendidikan kita. Selain keganjilan banyaknya pungutan liar sekolah, terjadi juga wajah paradoks sekolah yang berbeda kasta satu dengan lainnya. Mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai perguruan tinggi (PT), muncul kasta dengan sebutan favorit atau unggulan. Orang tua yang mempunyai kecukupan finansial (the have) akan mengejar sekolah dengan tarif tinggi sebagai bukti sekolah favorit. Sementara kaum miskin (the have not) harus puas dengan sekolah seadanya, sesuai dengan kecukupan dana yang dimiliki orang tuanya.
Dalam dinas pendidikan sendiri, kasta ini sudah diciptakan. Sebutan "kluster" untuk sekolah negeri dan "akreditasi" untuk sekolah swasta. Kasta ini semakin tajam kala berdiri sekolah bertaraf internasional (SBI) di berbagai kota di Indonesia. Sistem kasta ini membuat orang tua berlomba mendapatkan sekolah dengan kasta tinggi, seperti SBI, Kluster I, dan Akreditasi A. Orang tua yang berada tak lagi peduli dengan biaya sumbangan dana pendidikan yang menjulang tinggi. Semakin tinggi sumbangannya, seolah anaknya akan mendapatkan sekolah favorit yang berkelas yang kelak bisa menjadi modal untuk mencari kerja.
Jelas sekali, sistem kasta ini mencederai UUD 1945. Amanat UUD 1945 memberikan hak kepada semua warga negara untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang sama dan setara. Ketika pendidikan dibatas-batasi oleh pola kasta yang berujung kepada sistem komersial, pemerintah telah melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945. Terbukti, mereka yang pandai dan cerdas namun berasal dari keluarga miskin tak akan bisa masuk SBI, Kluster I, dan Akreditasi A. Semua itu hanya untuk kaum kaya. Kalaupun kaum miskin bisa masuk dengan beasiswa sekalipun, secara psikologis akan sangat tertekan karena masyoritas yang ada lahir dari kaum kaya.
Lahirnya kastaisasi pendidikan berawal dari proyek SBI. Sayang sekali, SBI bukan lagi bertaraf internasional, melainkan bertarif internasional. Kalau dilihat dari legal standing atau pijakan hukum, berdirinya SBI tersebut adalah UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003, khususnya pasal 50 ayat 3, yaitu pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Regulasi inilah yang kemudian melahirkan peraturan di bawahnya, yakni Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Permendiknas ini mengatur dan menjelaskan secara terperinci mengenai SBI. Kemudian bagaimana persepsi publik sekarang dibawa ke dalam term baru ini agar tetap bisa memahami secara holistik, tentu masyarakat mesti mengetahui definisi dari SBI tersebut.
Pasal 1 ayat 8 Permendiknas No 78 Tahun 2009 menyebutkan bahwa sekolah bertaraf internasional selanjutnya disingkat SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya.
Menurut Satriwan (2010), masyarakat Indonesia sebenarnya mengharapkan sekolah berkualitas namun terjangkau (sampai ke pelosok daerah). Namun, wacana sekolah murah bahkan gratis hanya sebatas pemanis bibir pemerintah. SBI ini kemudian diplesetkan menjadi "sekolah bertarif internasional". Sebab kabarnya, yang namanya SBI itu pasti mahal, jika mahal yang mendapatkan akses untuk bersekolah di sana hanya orang kaya, sedangkan orang miskin dilarang bersekolah di SBI.
"Pendidikan untuk semua" yang menjadi moto bahkan jargon ketika kampanye politik tidak akan terwujudkan jika SBI menjadi produk kegagalan pemerintah dalam merealisasikan pendidikan murah dan berkualitas. Karena secara sosio-pedagogis, pelaksanaan atau penyelenggaraan SBI harus sesuai dengan spirit filosofi pendidikan itu. Jika filosofinya adalah internasionalisasi, jelas sudah parameternya adalah kualitas pendidikan, bukan sekadar formalistik-ekonomis an sich.
Label internasional, lanjut Satriwan, bukan parameter determinatif terhadap kualitas pendidikan nasional. Jika dengan label internasional otomatis pendidikan terdistribusikan secara adil dan proporsional sampai ke daerah-daerah terpencil, tentu semua orang sepakat dengan itu. Tetapi, jika penambahan label internasional hanya akan menjadi sebuah 'kesadaran mengglobal' tanpa memahami wajah pendidikan nasional, sama saja dengan kembali mendorong pendidikan Tanah Air ke lubang yang semakin dalam dan gelap.
Perilaku diskriminatif dalam kastaisasi pendidikan berdampak sistemik dalam proses bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebuah pengingkaran sejarah dan pengingkaran kodrati sebagai manusia Indonesia yang berumah Pancasila, yang beralamat UUD 1945, serta yang berprinsip bersama-sama menjadi satu, sama untuk bersendiri-sendiri. Kalau masih terjadi diskriminasi dan kastaisasi dengan model tarif internasional, kita sudah mencederai Pancasila sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, karena kita telah menggantikannya menjadi "Keuangan Yang Maha Esa".
Pendidikan Indonesia ingin mencetak manusia yang beriman dan bertakwa sehingga bisa berguna untuk kemajuan bangsa. Jangan lagi ada pengotak-ngotakan sehingga semakin membuat jurang dikotomi dan kesenjangan sosial makin tajam. Dikotomi "kaya-pintar-sukses" dan "miskin-bodoh-gagal" harus diakhiri. Semua adalah sama dan sejajar untuk menikmati layanan pendidikan.
Pemerintah sebaiknya becermin lagi kepada nenek moyang kita yang sukses menjadi bangsa besar, berpikir besar, berjiwa besar, berhati besar, dan berkarya besar. Candi Prambanan, Borobodur, candi-candi yang berjajar dari Sabang sampai Merauke; keraton-keraton yang masih tegar tegak; serta bangunan-bangunan tempat ibadah yang masih kokoh kuat meskipun telah dibangun ratusan tahun silam, merupakan wujud nyata bangsa besar. Mengapa ngotot melakukan internasionalisasi yang mempertajam kesenjangan sosial kalau ternyata bangsa kita sendiri sudah besar?
Siti Muyassarotul Hafidzoh, Mahasiswa Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Republika, Sabtu, 16 Juli 2011
No comments:
Post a Comment