-- Erdy Nasrul
PERNAH KH Zainuddin MZ mengaku penasaran mengapa partai Islam tak pernah memenangkan pemilu. Kegusaran itu diungkapkan dai sejuta umat tersebut untuk menjelaskan alasannya kembali ke dunia politik pada era reformasi, ketika diwawancarai sebuah koran nasional.
Zainuddin kembali ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai yang pernah dimasukinya jauh sebelum reformasi. "Almarhum memang pernah berpolitik," ujar anak kedua sang dai, Luthfi Manfaluti, Kamis (7/7).
Dai yang semasa kecil bercita-cita menjadi dokter atau pilot ini memang tak asing pada dunia politik. Keterlibatan Zainuddin bermula pada 1977. Menjelang digelarnya pemilu pada tahun itu, ia memutuskan untuk menerima tawaran menjadi juru kampanye di PPP.
Tak sulit menebak alasan kiai untuk memilih partai berlambang Ka'bah ini. Secara kultural, ia merupakan seorang Nahdliyin atau bagian dari keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU). Dia pun murid dari KH Idham Chalid, mantan ketua umum Pengurus Besar NU yang juga deklarator PPP.
NU merupakan bagian dari beberapa partai yang berfusi ke dalam PPP. Zainuddin berduet dengan Rhoma Irama di panggung kampanye. Popularitas kedua tokoh itu ternyata manjur mendatangkan massa di setiap kampanye.
Duo Zainuddin-Rhoma pun kemudian menjadi sorotan pemerintahan Orde Baru yang cemas akan kharisma keduanya. Hingga, Zainuddin mengungkapkan kerap mendapatkan teror dari penguasa Orde Baru yang khawatir hegemoni Golongan Karya akan terganggu.
"Golkar sedang ganas-ganasnya," ujar Zainuddin ketika itu. Hanya bertahan sekitar lima tahun, dia pun lantas memutuskan untuk mengakhiri kiprahnya sebagai juru kampanye.
Luthfi menjelaskan, ayahnya mau terjun ke panggung politik bukan karena untuk uang atau tukar-menukar kepentingan duniawi. Ayahnya terjun ke politik karena tidak ingin hanya pintar beretorika, tetapi juga bisa bertindak. Kiai tidak ingin hanya bisa mengatakan korupsi adalah musuh bangsa, tapi juga bisa menindak koruptor.
Almarhum ingin terjun langsung membangun dan memperbaiki sistem kenegaraan. Menjadi singa podium sudah dialaminya, tetapi singa politik belum tercapai. Bukan tanpa rencana Zainuddin berpolitik. Dia menggunakan belasan koordinator daerah yang selama ini mengatur jadwal dakwahnya untuk mengembangkan sayap politik.
Para penggemarnya diharapkan menjadi basis massa. "Kemampuan Zainuddin menyentuh masyarakat melebihi presiden manapun," ujar Luthfi.
Sayang, Zainuddin selalu menganggap seseorang itu apa adanya tanpa kemampuan membaca manuver yang akan dilakukan selanjutnya. Dunia politik dipandangnya putih, bukan abu-abu. Dia tidak menyadari teman abadi politik adalah kepentingan, bukan manusia. "Almarhum polos saja memandang orang," kata Luthfi.
Seusai keluar untuk kali kedua dari PPP, Zainuddin mendirikan Partai Bintang Reformasi (PBR) pada 2003. Namun, langkah politiknya ini tak berhasil. Sempat merasakan menjadi ketua umum di partai tersebut, ia akhirnya mengundurkan diri. Bahkan berakhir tragis, karena partainya itu kemudian terpecah karena konflik.
Dia pun dipecat dari kepengurusan partai. Keluarga sebenarnya geram melihat ulah politikus yang kerap menipu Zainuddin. Sementara itu, ia tetap kalem menghadapi intrik politik itu. "Lawan saja ayah, jangan diam seperti itu," tutur Luthfi kepada ayahnya kala itu.
Menurut Luthfi, ayahnya kerap bermusyawarah dengan keluarga sebelum berkecimpung di politik. Lutfhi masih mengingat, Zainuddin pun meminta saran dari istri dan seluruh anaknya ketika hendak kembali bergabung dengan PPP. Mereka duduk membentuk lingkaran di ruang keluarga di rumah ayahnya di Jalan Haji Aom, Gandaria, Jakarta Selatan.
Bagaimana menurut kalian jika ayah kembali berpo litik, jelas Zainuddin seperti dituturkan Luthfi. Apa yang terbaik untuk ayah, pasti kami tidak keberatan, jawab Luthfi. Na mun, Luthfi menilai ayah nya lebih baik berdakwah daripada berpolitik. Rekan Zainuddin semasa di PPP, Ahmad Yani, mengingat, Zai nuddin merupakan sosok yang bersikap tegas. ed: budi raharjo
Sumber: Republika, Sabtu, 9 Juli 2011
No comments:
Post a Comment