-- Herman
TAMPAKNYA Indonesia sudah berada dalam ancaman kehancuran akibat tindakan korupsi yang semakin merajalela. Praktik korupsi terus menggerogoti para elite politik, bahkan merambah ke ranah hukum. Jika masalah ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin negara ini akan menemukan kehancuran kerena perbuatan yang dinamakan korupsi.
Kita semua tahu, beberapa kasus yang hingga kini belum terungkap dengan jelas, seperti kasus BLBI, Bank Century, mafia pajak, mafia hukum, kasus Sesmenpora yang melibatkan bendahara umum partai berkuasa dan masalahnya kian meluas manakala membawa-bawa nama-nama tokoh lain. Terakhir, kita juga dikagetkan dengan masalah 'kursi haram' DPR yang juga melibatkan politisi Partai Demokrat, Andi Nurpati. Betapa kompleks masalah korupsi di negeri ini yang membuat wajah negeri ini semakin suram dan semakin terancam di ambang kehancuran.
Penegak hukum juga tidak luput dari masalah korupsi. Penangkapan hakim Syarifuddin oleh KPK, belum lama ini adalah sebuah bukti nyata bahwa hukum kita bisa dibeli oleh siapa saja yang memiliki uang. Penangkapan itu semakin menambah buruknya citra penegakan hukum di negeri ini. Bagaimana bangsa ini bisa keluar dari ancaman korupsi apabila 'sapu' yang mereka miliki untuk membersihkan juga kotor.
Para penegak hukum yang seharusnya menjadi 'panglima' dalam pemberantasan korupsi malah ikut terjebak dalam kasus korupsi. Hal ini bisa jadi merupakan bukti ketidakseriusan penguasa dalam pemberantasan korupsi. Bagaimanapun bahaya korupsi yang telah mengakar harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah untuk menyelamatkan bangsa ini. Ketegasan hukum dan keadilan adalah syarat mutlak yang mesti dimiliki negara terutama penegak hukum.
Jika kita cermati, masalah korupsi sebenarnya sudah menjadi budaya di negeri ini, mulai dari tingkat daerah hingga pusat. Malah di era demokrasi saat ini tindakan korupsi sudah menjadi hal yang biasa dipraktikkan oleh para pemimpin bangsa. Dan, lucunya lagi para penegak hukum juga terlibat dalam praktik suap-menyuap.
Di samping itu, di lain pihak, pemerintah sendiri terkesan lamban, tebang pilih dan tidak tegas dalam memberantas korupsi. Ini sekaligus merupakan salah satu penyebab kenapa tindakan korupsi terus merajalela.
Kita lihat saja kasus yang menyeret salah satu kader Partai Demokrat, Mohammad Nazaruddin, yang terus mangkir menanggapi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan diduga kabur ke luar negeri. Ini pun tak terlepas akibat ketidaktegasan pemerintah dalam menangani kasus yang menimpanya. Ada kesan, tidak ada tindakan serius dari pemerintah untuk menangkap para koruptor. Pemerintah pun seakan tidak memiliki keberanian ketika berhadapan dengan para koruptor kelas kakap.
Tertangkapnya Hakim Syarifuddin, menambah potret buram penegakan hukum di Indonesia. Hakim Syarifuddin diduga telah membebaskan 39 terdakwa korupsi dan terakhir dia juga membebaskan Gubernur Bengkulu, Agusrin Najamudin. Membudayanya korupsi di negeri ini karena lemahnya penegakan hukum dan miskinnya keteladanan dari para pemimpin bangsa.
Ancaman korupsi harus mendapatkan perhatian serius dari semua kalangan, khususnya pemerintah. Ini penting agar bangsa ini tidak jatuh ke jurang kehancuran akibat ketidakadilan dalam penegakan hukum. Jika budaya korupsi ini tidak cepat diberantas, dikhawatirkan bangsa ini akan mengalami kemunduran dalam segala aspek kehidupan.
Kita masih ingat dengan Negeri Saba' yang hancur akibat korupsi yang merajalela. Memang, korupsi di negeri ini sudah lama membudaya. Sejak era Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, tindakan korupsi semakin subur. Di era reformasi ini, penyakit korupsi tidak hanya menimpa elite pemerintahan saja, akan tetapi hampir semua elite pemerintahan sudah terjangkit penyakit korupsi.
Penegakan hukum seakan tumpul jika berhadapan dengan koruptor kelas kakap, seperti pejabat pemerintah. Ketegasan penegakan hukum juga menjadi penyebab tindakan korupsi semakin tumbuh subur di Republik ini. Negeri ini memiliki kekayaan alam yang melimpah, namun terancam hancur akibat ulah sebagian pemimpin yang sudah menjadikan korupsi sebagai tradisi.
Untuk mengantisipasi agar ancaman kehancuran bangsa akibat bahaya korupsi bisa dihindarkan, maka harus ada ketegasan dalam penegakan hukum dan keteladanan dari para pemimpin. Keteladanan merupakan keniscayaan yang mesti diberikan para pemimpin supaya tidak berperilaku KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) serta berani menindak tegas siapa saja yang tersangkut masalah korupsi.
Tenpa tekad ini dari para pemimpin, keadaan ini membuat masyarakat menjadi frustasi dan menambah image negatif terhadap keberadaan negeri ini. Masyarakat pun bisa hilang kepercayaan akan apa yang telah dilakukan pemerintah dalam pengembangan negara ini, di samping lagi karena penanganan kasus korupsi yang tidak pernah tuntas.
Menurut Direktur Pukat FH UGM Zainal Arifin Mochtar, tindak korupsi yang terjadi pada 2010 lalu masih memperlihatkan pola kecenderungan yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Begitu juga untuk tahun 2011 juga akan menunjukkan kecenderungan yang masih serupa.
Namun demikian, pada tahun ini kondisinya akan menjadi sangat mengkhawatirkan. Walaupun sama bahayanya dengan tahun 2010, tetapi pada 2011 kondisinya bisa lebih mengkhawatirkan seperti fenomena gunung es. Di tahun 2011, akan banyak timbunan kasus baru yang merupakan akumulasi dari tahun-tahun sebelumnya yang belum sempat terselesaikan.
Ancaman kehancuran bangsa akibat tindakan korupsi tergantung keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Jika tidak ada komitmen, ketegasan, dan keteladan dari para pemimpin bangsa maka tindakan korupsi tidak akan pernah selesai dan mungkin akan semakin bertambah parah. Penegak hukum juga harus tegas dan menjadi 'panglima' agar kehancuran bangsa tidak benar-benar terjadi. n
Herman, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta, aktif di MMS (Moderate Muslim Society).
Sumber: Suara Karya, Jumat, 22 Juli 2011
No comments:
Post a Comment