-- Abdul Roji
SANGAT memalukan! Barangkali ungkapan itu paling tepat untuk menggambarkan protes dan amuk massa orangtua murid kelas 6 SD Negeri Gadel 2 Kota Surabaya, beberapa waktu lalu. Seperti dilaporkan media massa, protes dan amuk massa dipicu oleh adanya laporan kecurangan dan aksi menyontek bersama di SDN Gadel 2 saat Ujian Nasional (UN) yang berlangsung pada tanggal 10-12 Mei 2011 oleh salah satu orangtua murid.
Kemarahan itu berimbas pada pengusiran orangtua murid dari rumahnya. Karena, dia dianggap telah mencemarkan nama baik guru dan sekolah. Beruntung, petugas segera mengamankan orangtua tersebut dari 'kebrutalan' massa yang memang sudah memendam rasa marah akibat pelaporan pencontekan tersebut.
Akibat lain dari kejadian di SDN Gadel 2 juga berujung pada pemecatan Kepala Sekolah dari jabatannya, dan pemberian sanksi kepada 2 orang guru kelas 6. Kedukaan akibat peristiwa di SDN Gadel 2 Surabaya itu terasa sangat memprihatinkan, bahkan bisa dikatakan menjadi pengalaman duka paling mendalam dalam dunia pendidikan nasional.
Amuk massa kepada keluarga korban yang telah melaporkan kecurangan dalam ujian nasional merupakan ironi dalam sistem pendidikan yang seharusnya menitikberatkan pada aspek kejujuran. Kemarahan masyarakat atas kejujuran pelapor itu dinilai sebagai pembuktian bahwa pendidikan bangsa ini masih rendah. Kejujuran yang semestinya menjadi roh dunia pendidikan malah dimusuhi. Seharusnya mereka mengerti bahwa tidak ada pendidikan tanpa kejujuran.
Gambaran perih, sedih, tragis inilah mungkin sedang dialami oleh keluarga korban. Amuk massa yang dilakukan orangtua murid telah meninggalkan luka yang mendalam bagi si korban. Padahal dia sudah memberikan pembelajaran yang sangat berharga tentang makna kejujuran kepada semua orang. Namun, yang diterima adalah hinaan dan caci maki. Mereka telah menjadi korban dari sistem pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia.
Ini merupakan peringatan serius kepada para penentu kebijakan pendidikan untuk mengoreksi kebijakan pendidikan yang belum mampu menjadikan kejujuran sebagai budaya di dalam penyelenggaraan Ujian Nasional setiap tahun.
Sungguh memprihatinkan. Satu aspek dasar yang seharusnya ditanamkan sejak dini, yakni tentang kejujuran dan rasa percaya diri akan kemampuan sendiri, justru dicabik-cabik oleh 'oknum' yang tidak bertanggung jawab. Jika sudah dididik untuk berbuat curang dalam ujian, bagaimana kelak mereka di dalam masyarakat?
Ini adalah contoh kasus dari sekian banyak kasus kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Mungkin masih banyak kasus-kasus kecurangan UN yang memang tidak diketahui atau didiamkan. Kecurangan dalam UN merupakan fenomena menarik di dalam sejarah dunia pendidikan. Pemerintah rupanya perlu meninjau kembali kebijakan pelaksanaan UN. Pemerintah harus membangun sistem UN yang ramah dan mengutamakan kejujuran.
Setidaknya ada 3 alasan yang harus dilakukan pemerintah dalam perubahan sistem UN. Pertama, hasil akhir pendidikan jangan hanya berorientasi pada hasil Ujian Nasional, melainkan juga harus memperhatikan proses belajar di kelas. Karena, kalau hanya nilai UN yang dijadikan dasar, maka banyak sekolah berusaha 'membantu' siswanya agar mendapatkan nilai yang tinggi. Walaupun, dengan cara-cara yang tidak jujur.
Kedua, penentuan kelulusan jangan ditentukan oleh pemerintah, tetapi diserahkan kepada sekolah. Karena, sekolahlah yang lebih mengetahui perkembangan siswa di kelas. Ketiga, hasil Ujian Nasional jangan digunakan sebagai penentu masuk ke sekolah negeri. Lebih baik siswa yang akan masuk ke SMP/ SMA Negeri diadakan tes. Karena, hasil UN selama ini banyak yang 'meragukan'.
Pelaksanaan UN yang selama ini berlangsung juga banyak disorot. Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru hanya menekankan aspek pengetahuan semata, dan telah mengesampingkan aspek sikap dan ketrampilan siswa. Karena, guru dituntut untuk menyelesaikan materi pelajaran dengan segera, agar murid-muridnya mendapatkan nilai yang tinggi dalam UN. Akhirnya setiap hari, siswa dijejali dengan pembahasan soal-soal UN.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah karena masih adanya kecurangan-kecurangan pada saat berlangsungnya UN itu sendiri. Kecurangan itu ibaratnya sudah menjadi budaya setiap dilaksanakannya UN yang dilakukan oleh 'oknum' yang tidak bertanggung jawab.
Mungkin masih banyak lagi cara-cara lain dengan modus berbeda yang dilakukan sekolah kepada anak didik yang dapat merugikan semua pihak. Dan, semua itu jelas-jelas mengajarkan perilaku ketidakjujuran kepada anak didik. Selain yang sifatnya 'insidental', namun di luar itu, ada kecurangan lain. Hal ini dilakukan, selain kurang rasa percaya diri, juga dilakukan untuk mempertahankan 'prestise' sekolah itu sendiri.
Melihat banyaknya kecurangan-kecurangan dalam UN, maka sangat relevan ditanyakan kembali apa urgensi dari penyelenggaraan ujian nasional. Siapa pun akan tersenyum sinis dan mencibir setiap kali menyaksikan 'oknum' pendidik yang melakukan perbuatan terlarang. Segumpal dosa dan keprihatinan mendalam atas 'pengkhianatan' dalam dunia pendidikan.
Kiranya, Mendiknas harus segera merubah sistem penyelenggaraan UN yang lebih bijak, agar tidak ada lagi yang jadi korban. Jika tidak ada langkah-langkah khusus, dikhawatirkan anak-anak Indonesia tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang tidak berkarakter jujur dan tidak percaya diri dengan kejujuran. n
Abdul Roji, guru SD Budi Luhur, Karang Tengah, Tangerang, Banten.
Sumber: Suara Karya, Jumat, 22 Juli 2011
No comments:
Post a Comment