-- Selamat Ginting
SUMUR timba sedalam dua meter menjadi pusat perhatian puluh an orang yang datang mengunjungi sebuah masjid di tepi laut. Beberapa dari mereka men coba menimba air dari sumur yang hanya dilapisi bata yang diplester semen abu-abu. Setelah mendapatkan air satu ember, satu per satu pengunjung mengambil air tersebut dengan tangan kanannya. Kemudian, memasukkan air ke mulut untuk kumur. “Kok, tidak asin atau payau? Padahal, lokasi sumur berada di tepi laut,” ujar salah seorang yang mengunjungi kawasan Kompleks Masjid al-Alam di Pasar Ikan, Cilincing, Jakarta Utara.
Masjid warisan Sunan Gunung Jati yang dibangun pada 1525 Masehi atau sekitar abad ke-15 itu, Ahad (3/7) lalu, ramai dikunjungi jamaah dari berbagai wilayah di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.Termasuk rombongan Republika dengan komunitas wisata ‘Melancong bareng Abah Alwi, Menelusuri Jejak Portugis di Kampung Si Pitung’. Di sumur tua ini pula, para jamaah mengambil air wudhu sebelum memasuki masjid atau yang akan melaksanakan ibadah lain.
Masjid al-Alam Marunda yang berukuran relatif kecil ini memiliki arsitektur yang merupakan perpaduan gaya Islam-Jawa Pesisir dan Moor. Masjid ini sebelumnya dikenal dengan nama Masjid Aulia Marunda dan merupakan salah satu masjid tertua di wilayah Jakarta.
Menurut wartawan senior Republika, Alwi Shahab (75 tahun), pendiri Masjid al-Alam adalah Fatahillah dan pasukannya pada 1527 M, setelah mengalahkan Portugis di Sunda Kelapa. “Ada keyakinan atau pendapat dari masyarakat Marunda bahwa Fatahillah membangun Masjid al-Alam hanya dalam tempo satu hari. Soal kebenaran pendapat itu, tentu saja belum bisa dibuktikan hingga saat ini,” kata Abah Alwi, panggilan akrab Alwi Shahab.
Seratus tahun kemudian (1628-1629), lanjut Alwi Shahab, ribuan prajurit Mataram pimpinan Bahurekso menyerang markas VOC (kini gedung museum sejarah Jakarta). Nah, di tempat ini pula, para prajurit Islam singgah di Marunda untuk mengatur siasat perjuangan. Antara lain, dengan membuat lubang-lubang kecil untuk memantau daerah sekitar masjid.
Bukan tentara Demak saja yang pernah memakai lokasi masjid untuk bersembunyi dan menyusun siasat, beberapa tokoh Betawi, seperti Si Pitung, Si Ronda, Si Jampang, dan Si Mirah pernah bersembunyi di tempat ini. “Maka, tak usah heran jika ada pula yang menyebutnya sebagai Masjid Si Pitung,” tutur Abah Alwi.
Dari segi ukuran, masjid ini cukup kecil, hanya sekitar 10x10 meter. Plafonnya hanya setinggi dua meter dari bawah. Namun, Masjid al-Alam menjadi salah satu simbol sejarah perlawanan terhadap penjajah Portugis di Batavia. Di kompleks masjid itu pula, ter tera tulisan bahwa bangunan ini merupakan warisan salah satu tokoh dari sembilan wali.Kutipan wasiat Sang Sunan terpampang di papan bertuliskan, “Wasiat Sunan Gunung Jati: Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin” (Saya Titipkan Masjid dan Fakir Miskin).
Untuk menyelamatkan tempat bersejarah ini, Pemprov DKI Jakarta, sejak 10 Januari 1972, saat masih dipimpin Gubernur Ali Sadikin, telah menetapkan Masjid al-Alam sebagai bangunan cagar budaya.
Bagian dalam Masjid al-Alam Marunda terkesan sederhana dengan empat pilar besar sebagai penyangga atap masjid serta pilar yang lebih kecil pada bagian mihrab. Konstruksi tiang saka guru ini dibangun pada abad ke-18. Beberapa tulisan kaligrafi terlihat menempel pada dinding.
Bagian mihrab dengan kaligrafi Arab berbentuk setengah lingkaran mengikuti bentuk lengkung mihrab. Tersembunyi di balik tembok ruang imam adalah sebuah tongkat khatib yang hanya dipakai ketika shalat Jumat atau pada hari raya.
Sebuah bangunan pendopo baru bergaya joglo yang berada di sebelah Masjid al-Alam Marunda, kerap digunakan sebagai tempat pengajian jamaah yang datang dari berbagai pelosok Tanah Air.
Aslinya, masjid ini memang menggunakan konstruksi kayu. Sedangkan, dinding dan plafonnya terbuat dari bambu. Atap rumah ibadah ini ditopang empat buah tiang kayu (tiang saka guru).
Pada 1989, bangunan masjid diperluas dengan menambah serambi depan dan serambi utara. Selain itu, dibangun tempat wudhu dan toilet pada sisi selatan.Di bagian sebelah kiri dan belakang Masjid al-Alam Marunda, terdapat kompleks pemakaman tua.
Beberapa pengunjung kerap mendatangi pemakaman untuk berziarah. Ada juga yang tinggal menginap beberapa hari di kompleks masjid untuk mengaji atau berzikir.
Si Pitung Legenda Perlawanan Betawi
Di sudut kanan serambi sebuah rumah panggung bergaya khas Bugis, terdapat patung yang dihias dengan pakaian serbahitam serta sebuah kain sarung yang melilit leher, sementara di bagian perut terdapat sebuah sabuk. Pakaian ini mirip pakaian yang dikenakan aktor film, Dicky Zulkarnain, yang memerankan Si Pitung dalam film-film yang beredar di bioskop pada 1970-an dan 1980-an.
Ini memang gambaran profil pakaian Si Pitung, jagoan rakyat Betawi seperti di film-film yang pernah beredar, kata penjaga rumah di kawasan Marunda. Ia menjelaskan hal itu kepada rombongan Republika, Melancong bareng Abah Alwi, Menelusuri Jejak Portugis di Kampung Si Pitung, Ahad (3/7) lalu.
Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Tatang Hidayat mengaku senang dengan program Republika yang turut melestarikan kebudayaan Betawi melalui sosialisasi di media massa. Rumah Si Pitung di Marunda ini bagian dari cagar budaya Betawi, papar Tatang yang ikut dalam rombongan Republika.
Namun sayang, cagar budaya ini kurang terawat, terutama kebersihan toiletnya. Banyak pengunjung yang membatalkan untuk membuang urine saat masuk ke toilet karena tidak ada air serta banyak kotoran yang tidak dibersihkan.
Areal rumah itu, sesungguhnya merupakan rumah Haji Saipudin, seorang juragan tuan tanah di Marunda pada era 1880-an. Rumah ini sekarang menjadi tempat Museum Si Pitung. Si Pitung memang semacam legenda bagi masyarakat Betawi. Sebuah simbol perlawanan masyarakat Betawi terhadap kompeni (Belanda).
Dikisahkan bahwa Si Pitung yang bernama asli Salihoen (Salihun) menyamar sebagai pegawai Pemerintah Belanda. Dalam film Si Pitungh, ia menyamar sebagai Demang Mester Cornelis (wilayah Mester Cornelis saat ini disebut sebagai Jatinegara dan bagian dari Jakarta Timur), sedangkan Si Djiih sebagai Opas.
Keduanya menipu dengan cara memberikan surat kepada Haji Saipudin agar menyimpan uang di tempat Demang Mester Cornelis. Pitung menyatakan bahwa uang tersebut dalam pengawasan pencurian. Haji Saipudin setuju kemudian Pitung dan kelompoknya membawa lari uang tersebut.
Siapa sesungguhnya Si Pitung? Ada tiga versi yang berkembang, yakni versi Indonesia, Belanda, dan Cina. Masing-masing penutur versi cerita tersebut memiliki versi yang berbeda dari cerita Si Pitung itu sendiri. Apakah Si Pitung sebagai seorang pahlawan berdasarkan versi cerita Indonesia, dan sebagai seorang penjahat jika dilihat dari versi Belanda? Apa pun, cerita Si Pitung menjadi bagian legenda serta warisan budaya Betawi khususnya dan Indonesia umumnya.
Kisah legenda Si Pitung ini kadang-kadang dituturkan menjadi rancak (sejenis balada), syair, atau cerita lenong. Menurut versi Koesasi (1992), Si Pitung diidentikkan dengan tokoh Betawi yang membumi, Muslim yang saleh, dan menjadi contoh suatu keadilan sosial.
Si Pitung lahir di Pengumben, sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bang Piung dan ibunya bernama Mpok Pinah. Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin (seorang pedagang kambing). Seperti yang dikisahkan dalam film Si Pitung (1970).
Menurut versi van Till (1996), Si Pitung merupakan seorang kriminal, yang diawali ketika Si Pitung menjual kambing di Pasar Tanah Abang, kemudian dicuri oleh para centeng, Si Gomar, menurut versi film Si Pitung (1970), seorang tuan tanah. Sebagai tindakan balasan, kemudian Pitung melakukan pencurian.
Akibatnya, ia menjadi buronan kompeni Belanda. Hal ini menarik perhatian komisaris polisi yang bernama Heyne (Schout Heyne, atau Heijna, Scothena, atau Tuan Sekotena). Secara resmi, menurut van Till (1996), petugas polisi pada saat itu bernama AWV Hinne yang pernah bertugas di Batavia pada 1888-1912.
Di bagian ruang tamu rumah tersebut terdapat sebuah tulisan yang mengisahkan sulitnya polisi Belanda menangkap Si Pitung. Selama delapan tahun (1886-1894), Si Pitung meresahkan Batavia. Penasihat Pemerintah Belanda untuk urusan Bumiputra, Snouck Hurgronje, mengejek Kepala Polisi Batavia Schout Hijne yang tak mampu menangkap Si Pitung.
Keterlaluan! Sampai harus berdukun untuk dapat menangkap Si Pitung. Sebuah tindakan yang sangat tidak terpelajar karena tidak mampu membuat perhitungan. Kehadiran kereta api menjadi alat transportasi bagi Si Pitung.
Pitung lolos dari penjara Meester Cornelis ketika tertangkap pada 1891. Di luar penjara, Si Pitung membunuh Demang Kebayoran yang menjadi musuh para petani di Kebayoran. Demang Kebayoran ini pula yang menjebloskan saudara misan Pitung, yakni Si Djiih, ke penjara dan kemudian dihukum mati.
Pitung sebagai tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita. Dia adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian, pihak yang berwenang tidak memberikan toleransi. Orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang setimpal (Rahmat Ali 1993:7).
Beragam pro dan kontra banyak menyelubungi di balik kisah legenda Si Pitung ini, tetapi pada dasarnya tokoh Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan oleh orang Betawi terhadap penguasa Belanda.
Apakah hal ini dipertanyakan valid atau tidaknya, kisah Si Pitung begitu harum didengar dari generasi ke generasi oleh masyarakat Betawi sebagai tanda pembebasan sosial dari belenggu penjajah. Hal ini ditunjukkan dari Rancak Pitung yang ditakuti oleh Pemerintah Belanda pada saat itu.
Pitung menjadi karakter sebagai Robin Hood versi Betawi dikembangkan oleh Lukman Karmani (Till, 1996). Karmani menulis novel Si Pitung. Novel ini dikisahkan bahwa Si Pitung sebagai pahlawan sosial.
Berdasarkan cerita legenda, Si Pitung dibunuh oleh polisi Belanda dengan beragam argumen. Menurut Hindia Olanda (18-10-1893:2), sebelum ditangkap Pitung dalam keadaan rambut terpotong, beberapa jam sebelum kematiannya pada hari Sabtu. Seperti yang diceritrakan oleh legenda bahwa kesaktian Si Pitung hilang akibat jimatnya diambil orang (versi Film Si Pitung Banteng Betawi).
Tetapi yang menarik, versi lain menyatakan bahwa Si Pitung dapat dilemahkan jika dipotong rambutnya. Berdasarkan koran Hindia Olanda, sebelum kematiannya Si Pitung telah dipotong rambutnya.
Sumber: Republika, Jumat, 8 Juli 2011
No comments:
Post a Comment