-- Melun Ruminten
MEMBICARAKAN pendidikan di Indonesia tiada habisnya, penuh tanda tanya dan kerumitan. Budaya asing dengan sedemikian mudah merasuk dalam kepribadian Bangsa Indonesia, sehingga lunturlah nilai-nilai luhur bangsa. Mengapa budaya asing yang positif lebih sulit berakulturasi? Kecenderungan meniru justru berdampak kurang bijak bagi generasi muda yang notabene adalah asset dan masa depan bangsa.
Harus diakui, pendidikan memang memegang peranan sangat penting dalam sendi kehidupan. Seseorang begitu dihargai karena jenjang pendidikan yang disandangnya. Mereka mendapat tempat yang cukup baik di tengah masyarakat. Lalu bagaimana dengan nasib rakyat miskin yang sulit mendapatkan pendidikan? Ironisnya bangsa ini memiliki jumlah orang miskin yang sangat banyak. Apakah ini berarti Indonesia adalah negara yang berpendidikan rendah di mata dunia?
Bahkan untuk sistem pendidikan saja kita banyak mengadopsi dari luar, mulai dari penamaan jenjang, yang SMP tidak lagi kelas 1, 2 dan 3, tetapi berubah menjadi 7, 8 dan 9. Begitu juga SMA kini berubah menjadi kelas 10, 11 dan 12. Juga dengan didirikannya kelas internasional. Tujuannya mencetak lulusan yang tak kalah kualitasnya untuk memasuki dunia kerja internasional. Padahal indikator kelulusan kelas internasional itu sendiri belum jelas.
Untuk kelas internasional seperti itu, biasanya hanya dibuka 1 atau 2 kelas. Nah..., sekarang ini banyak sekolah yang mulai merintis kelas internasional sebagai jurusaan tambahan. Mereka dengan bangga mengklaim diri sebagai sekolah bertaraf internasional, meski harus mengorbankan keefektifan belajar siswa itu sendiri, kemampuan para pengajar, serta orang tua. Seleksi masuk ketat, uang yang harus dikeluarkan pun lebih banyak. Sementara rata-rata yang terpilih justru siswa-siswa pintar, namun berasal dari keluarga kurang mampu. Ini justru menjadi beban para orang tua untuk merogoh kantong lebih dalam, bahkan kerja keras hanya untuk mendapat kebanggaan anaknya.
Alangkah baiknya jika tidak dipaksakan. Ini juga menjadi strategi sekolah, menyaring calon peserta didik yang berpotensi (pada dasarnya sudah ber-IQ tinggi) untuk mengisi kelas tersebut. Sehingga pada saat kelulusan hasil akhir akan memuaskan, dan pasti akan menarik lebik banyak lagi calon peserta didik di tahun berikutnya.
Apakah hanya karena gengsi semata atau pengakuan status sosial? Mari kita lihat faktanya, siswa justru merasa belajar lebih berat karena mereka harus menggunakan bahasa inggris dalam percakapan. Sedang selama ini mereka diajarkan bahasa ibu saja belum tentu paham, apalagi bahasa bangsa lain. Di tengah rasa tertekan para siswa, guru yang mengajar pun tidak kalah sibuk dengan harus mengejar kursus bahasa inggris untuk dirinya sendiri. Sehingga kegiatan belajar mengajar yang guru bawakan dengan lancar dan penuh percaya diri, tiba-tiba selalu merasa grogi jika berdiri di hadapan siswa sendiri, hanya karena pembeljaran harus sering tehenti akibat murid kerap menyela untuk mengoreksi grammar si guru.
Ini hanyalah sekelumit gambaran sebuah bangsa yang kehilangan kepercayaan diri terhadap jati diri yang dimiliki. Konsistensi dalam memegang kebenaranlah yang menjadi inti dari kewibawaan dan harga diri seseorang. Jadilah lilin yang rela membakar diri, untuk selalu menerangi kegelapan.
Melun Ruminten
Dusun Beseran 1
RT 01/01 Beseran
Kaliangkrik, Magelang
Sumber: Suara Merdeka, Kamis, 21 Juli 2011
No comments:
Post a Comment