-- A.J. Susmana
DALAM soal keteladanan seorang pejabat publik untuk berani bertanggung jawab, misalnya dengan pengunduran diri ketika dianggap korup, Tajuk Kompas, Sabtu, 9 Juli 2011, dengan judul Sebuah Contoh dari Brasil menyampaikan bahwa Jepanglah juaranya. Tajuk ini lalu ditutup dengan pertanyaan yang dilatari pejabat publik Brasil, yaitu Menteri Perhubungan Alfredo Nascimento, yang juga mengundurkan diri terkait anggapan korupsi: Kalau di Brasil saja bisa, apakah kita tidak bisa?
Jawaban terkait pertanyaan tersebut adalah pasti tidak bisa selama keadaan Negara Republik Indonesia masih seperti saat ini, yakni ketiadaan untuk berani berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan sebagaimana dinyatakan Bung Karno puluhan tahun yang lalu dalam kerangka menghadapi penjajahan gaya baru: nekolim. Bila itu terjadi, bukanlah karena kebudayaan yang menjadi dasar, melainkan sekadar kekecualian saja di antara para pejabat publik yang sudah percaya bahwa korupsi adalah tindakan yang wajar-wajar saja dan bertanggung jawab adalah hal yang aneh.
Yang patut dikritik dalam memandang kasus korupsi akhir-akhir ini adalah pandangan bahwa korupsi semata-mata tindakan amoral dan tidak etis saja. Karena itu penyelesaiannya pun penuh dengan seruan-seruan moral dan etis, seperti perlunya kejujuran, tanggung jawab, dan penguatan iman atau nilai-nilai keagamaan. Padahal korupsi tentu saja bukan sekadar sikap moral yang buruk, penuh dosa, dan memalukan. Lebih dari itu, korupsi adalah sisa-sisa dari kebudayaan feodalisme yang masih berjaya di zaman modern. Pada masa feodal, korupsi berbentuk penyerahan upeti. Berkaitan dengan kepentingan kolonialisme, seperti Belanda di nusantara, sejauh budaya sisa-sisa feodal itu berguna untuk kelanggengan kolonialisme, ia akan dipertahankan dan tidak diberantas tuntas walaupun dari segi corak produksi kapitalisme sebenarnya tidaklah efektif dan efisien. Soal ini Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, aku yang sudah banyak menderita, dengan apik, menyentuh dan jelas melukiskannya dalam Romannya yang terkenal: Max Havelaar.
Karena itu sungguh omong kosong bila pemberantasan korupsi itu tidak diletakkan dalam kerangka menghancurkan koruptor dan perampok sesungguhnya, yaitu neokolonialisme dan imperialisme. Jose Rizal, penulis roman, pejuang, dan pahlawan pembebasan nasional Philipina, memperingatkan situasi pelik ini dalam romannya yang berjudul El Filibusterismo yang berarti Merajalelanya Keserakahan. Secara singkat, Roman ini berkisah tentang keserakahan dan kesewenang-wenangan penjajah Spanyol yang setidaknya juga dibantu beberapa kalangan agamawan yang membuat rakyat Filipina makin miskin dan sengsara. Tapi kemiskinan rakyat, ternyata tak menumbuhkan perlawanan yang berkobar. Rakyat justru semakin apatis melihat keserakahan merajalela. Di samping itu kerusakan moral rakyat pun meluas: perampokan dan tindakan kriminalitas lainnya terjadi di mana-mana seiring dengan kekuasaan yang semakin tak bermoral dan serakah. Walaupun begitu, di El Filibusterismo masih ditunjukkan oleh Jose Rizal, bagaimana seorang yang serakah, Simoun, bisa menjadi seorang patriotis. Ia bertindak serakah untuk mengumpulkan dana melawan penjajah Spanyol dan berharap agar rakyatnya yang makin sengsara akibat merajalelanya keserakahan itu bangkit melawan penjajah Spanyol, sumber keserakahan dan kerusakan moral yang sebenarnya.
Apa yang disampaikan Bung Karno dengan Trisakti-nya itu, dengan begitu, sangat tepat dan itulah yang kini terjadi di Brasil dan beberapa negara Amerika Latin lainnya yang berhasil menolak kesewenang-wenangan penjajahan baru saat ini yaitu neoliberalisme. Indonesia saat ini justru semakin terjerumus dalam penjajahan baru neoliberalisme. Republik Indonesia hampir-hampir tak berdaulat dalam mengelola kekayaan alamnya sendiri dan membangun kebudayaan yang mencerminkan nilai-nilai luhurnya sendiri. Bagaimana bisa negara yang tak berdikari di bidang ekonomi, tapi terus bergantung pada modal asing dapat membangun kedaulatan politik lantas menghasilkan manusia baru yang berbudaya, jujur, seiya sekata dalam perbuatan dan bertanggung jawab, termasuk pada nilai-nilai luhur yang menjadi basis hidup kebudayaannya?
Mari kita lihat: akhir-akhir ini saja, dalam soal radikalisme yang begitu dipahami dengan baik oleh para ibu dan bapak pendiri bangsa justru direduksi pada tindakan teror dan kekerasan saja; itu pun lebih ditujukan pada golongan minoritas dan rakyat kecil-lemah. Padahal kalau kita memahami sejarah perjuangan bangsa, mana ada para ibu dan pendiri bangsa kita yang tidak radikal? Sampai-sampai para pendiri dan pejuang kemerdekaan bangsa itu menolak bila kemerdekaan negara itu tidak berbentuk Republik dan yang sering menjadi kebanggaan sampai sekarang: jangan sampai kemerdekaan itu merupakan hadiah dari Jepang: Negara yang sering dibanggakan dengan nilai dan laku “kesatria”-nya itu. Landasan untuk menjadi bangsa yang berdaulat dan merdeka itu pun diletakkan dalam hidup berbangsa dan bernegara di bawah konstitusi UUD 1945 yang berperspektif maju yaitu menuntaskan perjuangan nasional atau revolusi nasional.
Karena itu tidak tepat pula bila kita sering menilai bahwa UUD 1945 itu bukanlah berbasiskan kapitalisme pun bukanlah berbasiskan sosialisme/komunisme. Lantas sering disebut UUD yang bukan ini-bukan itu atau bukan-bukan. Padahal dengan jelas UUD 1945 sebagai hasil dari revolusi Kemerdekaan Agustus itu begitu membela kepentingan nasional dan berkehendak menuntaskan perjuangan nasional. Sebagai contoh Pasal 33 UUD 1945 mengharuskan kekayaan alam Republik Indonesia digunakan untuk memakmurkan rakyat negeri; lantas mereka-mereka yang selama penjajahan terdiskriminasi dan susah kehidupannya, dijamin dalam Pasal 34.
Selain soal radikalisme, begitu sering kini digunakan kata pluralisme untuk menunjukkan keberagaman dan wawasan kebangsaan. Mengapa bukan Bhinneka Tunggal Ika saja yang sudah terbukti dalam sejarah nusantara dan berbangsa kita bahwa keberagaman itu tidak menjadikan kita lemah dan terpecah-pecah, tapi justru menjadikan kita kuat dan bersatu melawan penjajahan dan untuk mewujudkan manusia baru yang luhur sebagaimana terkandung dalam Pancasila. Kecenderungan pluralisme seakan hanya mengedepankan keberagaman saja tanpa unsur persatuan, kesatuan, dan gotong royong.
Dasar kebudayaan yang berpijak pada kearifan leluhur dalam artian kearifan yang sudah menyejarah dalam rentang kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa perlu menjadi xenophobia tentu saja menjadi penting dalam kerangka membangun kebudayaan yang berkepribadian untuk mendukung mental berani dan tidak inlander di hadapan bangsa-bangsa lain. Bila jiwa-jiwa inlander, ketakmandirian dan politik yang lemah di hadapan modal asing masih bercokol, tentu saja kita tak akan bisa mengikuti Brasil. Politik kolonialisme yang masih bercokol di bumi nusantara itulah soal terpokoknya. n
A.J. Susmana, Anggota Divisi Sastra Sanggar Satu Bumi
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 23 Juli 2011
No comments:
Post a Comment