Judul : Jangan Tulis Kami Teroris
Penulis: Linda Christanty
Cetakan: I, Mei 2011
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal: 147 halaman
SETELAH bertahun-tahun bumi Aceh bergolak dengan konflik, masalah terbesar ada pada psikologis masyarakatnya. Hal ini lalu berdampak pada ranah yang lain, misalnya, pendidikan. Anak-anak korban konflik yang kehilangan bapak dan ibunya menderita psikis yang amat sangat. Mereka hidup di pengasingan, di rumah yatim piatu, atau rumah yang dikelola lembaga swadaya masyarakat.
Dayah, bahasa Aceh untuk pesantren, juga acap distigmakan dengan teroris. Mungkin pihak keamanan beranggapan dari sinilah bibit perlawanan terhadap pemerintahan yang sah itu bermula.
Mungkin memang ada, tapi jumlahnya sangat sedikit. Lebih banyak lagi yang fokus pada pengajaran. Bumi Aceh belakangan dikaitkan lagi dengan teroris karena ada pelatihan militer di Pegunungan Jalin, Jantho, Aceh Besar. Dayah Mujahiddin diprediksi menyumbang saham atas pelatihan militer yang kemudian membawa nama Abu Bakar Ba'asyir.
Dayah Mujahiddin memang sempat menjadi berita besar. Selain soal pelatihan militer, santri dayah ini acap melakukan razia terhadap perempuan tidak berjilbab.
Sekretaris dayah ini, Teuku Mukhtar Ibrahim, dinyatakan aparat terlibat dalam pelatihan teroris di Pegunungan Jalin, Jantho. Namun, sebelum ditangkap, Mukhtar menyerahkan diri kepada polisi.
Dia juga menyerahkan sepucuk senapan M 16, tiga pistol Colt, dan ratusan peluru. Tengku Muslim yang menyarankan Mukhtar melakukan hal ini karena dia mendengar Mukhtar menjadi target polisi. Ujung-ujungnya, Muslim malah diinterogasi polisi. Mukhtar langsung ditahan, tapi dia bebas. Mukhtar kelak dijebloskan ke penjara Kantho." (hlm. 63)
Wartawan acap sulit mengakses informasi kepada mereka yang diduga tahu banyak soal pergerakan Islam dan teroris. Saat penulis buku ini melakukan reportase, kesulitan itu juga ditemui. Kata orang-orang dayah, dulu ada wartawan BBC datang, dimintai 50 sak semen untuk sumbangan!
***
Linda adalah wartawan dan sastrawan. Ia pernah meraih Khatulistiwa Literary Award tahun 2004 untuk buku cerita pendeknya: Kuda Terbang Mario Pinto. Esainya Kekerasan dan Militerisme di Timor Leste mendapat penghargaan sebagai esai terbaik hak asasi manusia tahun 1998.
Linda juga mendapat penghargaan dari Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional untuk buku kumpulan tulisannya: Dari Jawa Menuju Atjeh pada 2010. Tahun itu pula buku kumpulan cerita pendeknya, Rahasia Selma, meraih Khatulistiwa Award 2010. Kini ia memimpin dan menjadi pemimpin redaksi pada kantor berita Aceh Feature.
***
Buku Linda kali ini mayoritas berbicara soal Aceh. Narasumbernya tepercaya. Ada yang merupakan keturunan langsung orang-orang DI TII semasa Daud Bereueh dan Hasan Tiro.
Selain itu, ada juga reportase Linda ke beberapa daerah konflik di Asia Tenggara, seperti Kamboja dan orang-orang Patani di Thailand Selatan. Semua pernah dipublikasikan di media tempat menjadi pemred.
Selain itu, ada pula tulisan yang berasal dari publikasinya di akun Facebook. Semua sama baiknya. Editing yang manis menjadikan buku ini enak dibaca. Linda memang piawai menyusun narasi dengan bagus. Meskipun kumpulan dari beberapa artikel, kesatuannya cukup terasa sehingga antarbab mempunyai keterikatan yang kuat.
Welly Adi Tirta, pembaca buku
Sumber: Lampung Post, 10 Juli 2011
No comments:
Post a Comment