-- Reni Permatasari
HAKIKAT pendidikan adalah penanaman nilai-nilai ideal dan luhur bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara-bangsa. Dulu, ada yang merumuskan tujuan pendidikan sebagai upaya pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Ada juga yang menyebutkan pendidikan bertujuan untuk membangun sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan sekaligus beriman dan bertakwa (imtak).
Kalau melihat tujuan pendidikan yang demikian, setidaknya setelah hampir 66 tahun Indonesia merdeka, pendidikan kita telah menampakkan hasil gilang-gemilang dalam menandai perjalanan negara-bangsa ini. Tapi, apa lacur. Wajah Indonesia hari ini masih memperlihat sosok yang compang-camping di sana-sini. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih betah bercokol di negeri ini. Penegakan hukum jauh panggang dari api. Angka kemiskinan, pengangguran, dan putus sekolah masih tinggi. Dst.
Kondisi ini paling tidak menunjukkan bagaimana pendidikan Indonesia belum mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia. Alih-alih pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan, yang terjadi justru pendidikan justru makin membelenggu dan menyengsarakan rakyat banyak.
Dalam minggu-minggu ini misalnya, bagaimana kehebohan yang terjadi di dunia pendidikan terkait dua peristiwa: ujian nasional (UN) dan penerimaan siswa baru (PSB).
Pengungkapan dugaan kecurangan dalam pelaksanaan UN SD di SD Gudel 2 Surabaya oleh salah seorang orang tua siswa, Siami, dan SD 06 Petang, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, boleh dibilang gunung es dari berbagai kecurangan UN di berbagai belahan Tanah Air. Begitu juga, seperti diberitakan harian ini bagaimana penerimaan siswa baru SMA di Bandar Lampung diwarnai jual beli kursi antara Rp2,5 juta dan Rp20 juta. Beberapa wali murid mengaku menyetor sejumlah uang kepada oknum di sekolah favorit agar anaknya mendapatkan bangku (Lampung Post, 27 Juni 2011) menunjukkan betapa dunia pendidikan kita pun telah dirasuki oleh jiwa-jiwa koruptif. Mental korup ini paling tidak dimulai dari kecurangan, ketidakjujuran, dan sogok-menyogok dalam mendapatkan bangkus sekolah.
Padahal—meminjam pandangan pakar pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Arief Rachman—tidak boleh ada kompromi terhadap kecurangan. Dalam pendidikan, kejujuran adalah segalanya. "Ketika anak tidak lulus, tidak akan hancur harkat dan martabatnya. Tapi ketika tidak jujur, harkat pun hancur," kata dia.
Kalau melihat kondisi dunia pendidikan kita dan kehidupan negeri ini saat agaknya masih relevan yang ditudingkan sastrawan-wartawan legendaris Mochtar Lubis sekian tahun lalu. Mochtar Lubis bikin geger ketika menyampaikan Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM), 6 April 1997. Dalam pidatonya yang kemudian dibukukan dengan judul Manusia Indonesia, Mochtar Lubis menyebut ciri-ciri manusia Indonesia: hipokrit atau munafik, segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, berjiwa feodal, percaya takhayul, dan hidup lebih banyak dengan naluri. Ciri lainnya, manusia Indonesia tidak hemat, boros, serta senang berpakaian bagus dan berpesta. Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali terpaksa. Ia ingin menjadi miliuner seketika, bila perlu dengan memalsukan atau membeli gelar sarjana supaya dapat pangkat. Manusia Indonesia cenderung kurang sabar, tukang menggerutu, dan cepat dengki. Gampang senang dan bangga pada hal-hal yang hampa.
Mochtar Lubis tidak sendiri karena Koentjaraningrat pun menyebutkan kelemahan-kelemahan mentalitas pada kebanyakan orang Indonesia, yaitu (a) Mentalitas meremehkan mutu, yakni tidak memikirkan kualitas pekerjaan yang dihasilkan dan mutu barang atau jasa yang dikonsumsi; (b) Mentalitas suka menerabas, yakni bernafsu mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa mau berjerih payah dari permulaan, selangkah demi selangkah; (c) sikap tidak percaya diri, ragu mengambil prakarsa dan bersikap pengekor; (d) Tidak berdisiplin murni; (e) Kurang bertanggung jawab sendiri, cenderung melempar tanggung jawabnya ke atasan atau membagi tanggung jawab kepada orang lain supaya tanggung jawab sendiri menjadi kecil.
Maka, lihatlah bagaimana orang mengutuk dan memaki-maki korupsi, tetapi dia sendiri seorang koruptor. Kemunafikan manusia Indonesia juga terlihat dari sikap asal bapak senang (ABS) dengan tujuan untuk bertahan. Keadaan ini diperparah dengan "didikan" sekolah yang mengajarkan berbuat curang, tidak jujur, menyogok agar lulus atau masuk sekolah favorit, dan sebagainya.
Tentu, kita tidak berharap kondisi semacam ini akan tetap berlangsung. Tidak bisa tidak untuk membangun manusia Indonesia yang unggul, baik di bidang iptek maupun imtak; pendidikan harus dimajukan sebagai bentuk pembudayaan dan pemartabatan. Bukan malah sebaliknya, menanamkan nilai-nilai yang jauh hakikat pendidikan. Kalau tidak, pendidikan ini justru menyuburkan mentalitas buruk manusia Indonesia. Semoga tidak.
Reni Permatasari, Praktisi pendidikan, Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 2 Juli 2011
No comments:
Post a Comment