-- Heru Kurniawan
SETIAP minggunya hampir setiap media massa memuat rubrik sastra: sastra serius (yang diperuntukan remaja hingga dewasa) dan sastra anak (diperuntukan dunia anak-anak). Tapi persoalannya, apakah sastra anak sudah mendapat apresiasi yang baik, baik dari aspek penulis, estetika-edukatif, sampai pada resepsi pembacanya?
Jawaban yang berani saya nyatakan adalah "tidak".
Sastra anak kita masih dianaktirikan. Tidak mendapat apresiasi yang serius penulisnya. Lihat saja, siapa sekarang penulis-penulis (sastrawan) yang masih menulis cerita-cerita anak. Hal ini menunjukkan sikap yang tidak apresiatif sastrawan (penulis) sekarang terhadap sastra anak. Penulis cerita anak saat ini didominasi oleh remaja, mahasiswa, guru, dan ibu-ibu rumah tangga yang punya kecenderungan klangenan, tidak intens menggeluti estetika-edukatif sastra anak. Hampir setiap minggu cerita-cerita anak muncul di berbagai media massa, tetapi penulisnya hilang tumbuh silih berganti. Sastra anak pun hanya sebagai bahan kompensasi terhadap rubrik hiburan untuk anak-anak saja. Tidak peduli terhadap estetika-edukatif cerita-cerita di dalamnya, apakah baik untuk anak-anak atau tidak.
Padahal, menurut Lukens (2005), sastra anak harus bisa memberi hiburan dan pemahaman. Sastra anak, selain harus menghibur juga harus memberi nilai moralitas. Menghibur bersifat estetis-personal, sedangkan pemahaman berkaitan nilai estetis-edukatif. Maka, kontrol atau kritik terhadap sastra anak juga harus dilakukan secara intens. Tapi, lagi-lagi muncul persoalan, tidak ada yang aktif menulis kritik seputar sastra anak kita. Bahkan, di dunia akademis, penelitian-penelitian dan buku-buku yang membahas sastra anak masih sangat minim.
Ironisitas ini menjadikan sastra anak semakin jauh dari harapan. Terasing dan tanpa terkontrol. Efeknya, tidak ada kemajuan dunia sastra anak, baik dari aspek estetis dan nilai edukatifnya. Hal ini, jika diteruskan, bacaan-bacaan anak (sastra anak) akan jauh dari dunia anak yang sesungguhnya sehingga sastra sebagai medium nilai moralitas bisa hanya sebagai impian belaka. Implikasinya, budaya literasi dan moralitas anak pun semakin rendah, seperti yang saat ini diprihatinkan banyak orang. Bahkan, keprihatinan ini sampai pada institusi pendidikan, pembelajaran sastra anak di sekolah-sekolah semakin memprihatinkan. Semuanya akan berujung pada sikap baca sastra dan nilai karakter anak-anak yang rendah karena, bagaimanapun, sastra anak bisa jadi media paling efektif dalam distribusi dan internalisasi nlai moralitas.
Revitalisasi Kesadaran Kolektif terhadap Sastra Anak
Dengan kenyataan di atas, dunia sastra (yang mengganggap dirinya serius) harus bertanggung jawab. Ingat, internalisasi nilai yang paling baik adalah sejak dari anak-anak. Maka, tanggung jawab kolektif terhadap persoalan sastra anak yang terlanjur dianaktirikan ini menjadi milik kita semua: sastrawan, penulis, guru, kritikus, dan orang tua untuk aktif mengapresiasi sastra anak sesuai dengan ranah dan bidangnya masing-masing. Penulis harus care dan menulis cerita anak yang baik aspek estetik-edukatifnya. Guru harus mampu mengkritisi dan mengajarkan sastra anak dengan baik. Kritikus dan peneliti tidak merasa terendahkan dengan meneliti dan mengkritis sastra anak. Orang tua harus selalu aktif menyosialisasikan sastra anak kepada anak-anak mereka. Bahkan, redaktur dan penerbit juga harus benar-benar selektif dalam memilih cerita-cerita anak yang akan dipublikasikan dan diterbitkan.
Bisa jadi, persoalan ketertarikan anak-anak kita terhadap dunia audio-visual daripada dunia literal-imaginal saat ini disebabkan oleh kesalahan kolektif kita yang tidak pernah serius terhadap sastra anak. Padahal, pada perkembangan anak, kebutuhan primer fantasi, imajinasi, dan literasi wajib untuk dipenuhi, tetapi kita melalaikannya sehingga anak-anak kita mencari dan mendapatkannya lewat televisi dan internet, misalnya. Jadi budaya game dan menonton televisi pun lebih digemari daripada budaya baca sastra.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita membangun kesadaran kolektif untuk merevitalisasi sastra anak yang sudah lama dianak tirikan, dan tanggung jawab itu ada pada kita semua, sebagai penulis, pendidik, dan orang tua untuk selalu care terhadap perkembangan penulisan, nilai, media, dan eksistensi sastra anak.
Siapa yang akan peduli terhadap anak-anak kita kalau bukan kita sendiri, dan dengan memajukan sastra anak, maka kita berarti sudah menyayangi anak-anak kita karena lewat sastralah anak belajar berimajinasi, berasosiasi, dan mengidentifikasi diri untuk menjadk anak yang baik literasi dan karakternya.
Heru Kurniawan, Penulis cerita anak dan dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 2 Juli 2011
No comments:
Post a Comment