-- Raudal Tanjung Banua
OTONOMI daerah merupakan impian untuk meretas kehidupan sosial-politik yang lebih adil dan bermartabat. Tak kurang 30 tahun lamanya Indonesia pernah merasakan sumpeknya sistem sentralistik. Maka, dalam era reformasi sistem desentralisasi dianggap tepat mengatasi dampak-dampak yang memusat, mulai tak meratanya pembangunan, luputnya pengadaan infrastruktur penting suatu kawasan, kecilnya anggaran belanja daerah, sampai soal posisi dan daya tawar kepala daerah yang selalu didrop dari “atas”. Akibatnya, putra daerah dianggap tak dapat tempat. Padahal mereka diasumsikan lebih memahami seluk-beluk daerah bersangkutan. Dengan demikian, otonomi sekaligus menjadi pemantik bangkitnya kepemimpinan daerah (politik lokal).
Kini, otonomi daerah bukan lagi mimpi, melainkan realitas tak terbantahkan. Uniknya (atau ironis?), saat impian itu terwujud, lengkap dengan undang-undang, aturan, dan sistemnya, justru pada saat itu pula kita seperti kembali bermimpi!
Rupa-rupanya otonomi sudah memasuki fase “hiperealitas”: sesuatu yang dirayakan secara eforia, terus-menerus, nyaris tanpa refleksi sehingga sukar membedakan apakah otonomi sebuah proyek visioner, atau sekadar simulasi yang melenakan.
Mengutip glosarium cultural studies yang disusun Yasraf Amir Piliang (2004), "hiperealitas" (hyper-reality) merupakan istilah Jean Baudrillard (tokoh penting kajian pascamodernisme asal Prancis) untuk menjelaskan keadaan runtuhnya realitas, karena diambil-alih oleh rekayasa pelbagai model (citraan, halusinasi, simulasi) yang dianggap lebih nyata daripada realitas itu sendiri, sehingga perbedaan keduanya menjadi kabur.
Mari kita lihat misalnya kasus pencitraan. Penampilan (calon) pemimpin merupakan faktor utama dalam konsumsi publik. Pemimpin atau pejabat yang "santun", punya retorika dalam isu-isu mutakhir, seperti pemberantasan korupsi, selalu siap mengumbar janji untuk menyenangkan hati orang banyak, niscaya akan mendapat tempat. Ditambah lagi jika sang pemimpin punya sedikit bakat untuk memuaskan selera massa, seperti bernyanyi, maka mendadak ia didapuk menjadi seorang bintang (selebritas) yang mendatangkan histeria. Selebritas politik sebagai modal pencitraan tentu sanggup menghipnosis massa cair atau mengambang untuk terjun bebas menjadi konstituen partai sang bintang, atau memilih sang bintang tanpa perlu banyak pertimbangan (rasionalisasi).
Gaya hidup yang bersifat fisik tentu juga tak kalah penting dalam menunjang pencitraan. Sikap "pemurah" bagi-bagi logistik, khususnya dalam masa kampanye, kadang menjadi poin tersendiri. Tanpa mengabaikan bahwa publik tidak bodoh, toh kenyataan menunjukkan figur yang berhasil membangun pencitraan sebagai “dermawan” sering menangguk sukses besar. Lagi pula, bukankah politik identik dengan modal finansial? Hanya figur yang memiliki banyak modal yang umumnya dipinang partai politik. Akibatnya, sang figur harus menguras pundi-pundi kekayaannya sampai minus bahkan benar-benar bangkrut. Bagaimana mengembalikan modal politik yang demikian besar? Tak jarang dengan balik mengeruk keuntungan dari jabatan yang disandangnya!
Berikutnya kita lihat dalam hal halusinasi sekaligus simulasi. Salah satu bisa diwakili narasi berikut ini: Pilkada langsung yang diharapkan membawa perubahan, sebenarnya masih belum diterima secara meyakinkan. Kini misalnya, muncul wacana tandingan dari Depdagri, bahwa gubernur sebaiknya tidak dipilih langsung, tapi kembali dipilih DPRD. Sebab “rasa-rasanya” gubernur harus berkoordinasi dengan presiden.
Belakangan muncul lagi usul, pasangan calon gubernur, bupati/wali kota sebaiknya tak dipilih satu paket. Posisi wakil dipilih pihak yang jadi (menang) saja. Alasannya, gubernur/bupati/wali kota sering bersaing dengan wakilnya sendiri untuk maju dalam pilkada berikutnya, sehingga melupakan tugas pokok mereka sebagai pemimpin rakyat. Ini memang proses, tapi kentara proyek “rasa-rasanya.” Terasa ada permainan yang tak kunjung usai. Melelahkan bagi rakyat, tapi mengasyikkan bagi elite. Eksprimentasi politik? Boleh jadi!
Hiperealitas
Dalam situasi seperti itu, Anda lihatlah hiperealitas otonomi kini bertebaran di depan mata: (1) Otonomi daerah bukan hanya di tingkatan provinsi, tapi tak kalah penting di tingkat kabupaten/kota, dan jika perlu sampai ke tingkat kecamatan, dengan konsekuensi; (2) pemekaran wilayah bukan lagi persoalan administrasi negara, tapi keniscayaan politik yang dapat ditarik-tarik sesuai dengan kepentingan politik. Otonomi identik dengan pemekaran: jumlah daerah terus membengkak, meskipun tata-kelolanya banyak gagal, tetap saja pada ngantre mengajukan “kapling baru”. Sebab; (3) pemilihan kepala daerah dapat langsung dilakukan masyarakat meskipun figur yang dipilih sebenarnya tetap berdasar “rekomendasi politik” oleh partai politik di tingkat Pusat, kadang disertai “politik uang”, atau modal politik yang diartikan sebatas finansial.
Selanjutnya, pencitraan calon pemimpin, halusinasi kejayaan wilayah sendiri serta asyiknya simulasi politik, membawa dampak: (4) munculnya figur-figur baru masyarakat tempatan sebagai pemimpin untuk menjawab tuntutan “putra daerah”. Namun tak ada jaminan ia lebih paham daerahnya, alih-alih menjelma “orang kuat” di wilayah bersangkutan lantaran tidak adanya undang-undang yang tegas mengatur akses seseorang sehingga terjadilah dinasti politik yang bersifat akumulatif (5). Inilah simalakama demokrasi yang ditelan mentah-mentah: apa saja sah dan kita kehilangan logika-timbangwirasa dalam berpolitik. Betapa biasanya suami menjadi bupati digantikan anak atau istri; ayah menjadi bupati, anak kepala legislatifnya, bahkan ada suatu daerah di mana suami, istri, dan sang adik maju sebagai calon gubernur! Di daerah lain, bupati incumbent maju bersama dua istrinya!
Akibat dari semua itu adalah (6) keberpihakan politik lokal terhadap kemajuan daerah kadang juga sami mawon (sama saja) dengan saat terjadinya politik sentralistik! Walahualam.
Raudal Tanjung Banua, Sastrawan
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Juli 2011
No comments:
Post a Comment