-- Nelson Alwi
DI atas panggung orang-orang yang nyaris bertelanjang berbaur dengan tumpukan-tumpukan sampah yang membusuk. Penonton terkesima, hening dalam pesona magis ketemaraman (pen)cahaya(an). Keheningan itu kemudian berkembang, menegangkan, dipuntal dinamika ilustrasi serta sorot lampu yang kian dan semakin benderang. Mendadak, suasana pun jadi mencekam, sayup-sayup terdengar sipongang teriakan dan tangisan. Sesudah itu hening kembali, diam. Penonton menarik dan mengembuskan napas dengan desahan panjang, lantas, serempak memberikan applause.
Alinea di atas disarikan dari uraian pementasan berdurasi 35 detik (Deirdre Beir: 1980), sebuah prolog ciptaan Samuel Beckett, yang dia sumbangkan untuk produksi Musical Broadway: Oh, Calcutta! Adegan singkat yang disebut playlet ini merupakan testimony (dan) pandangan pribadi Samuel Beckett menyangkut kecentangperenangan dunia yang didiami umat manusia —suatu kehidupan yang memuakkan, di mana orang-orang menyaksikan istana-istana yang seronok tak ubahnya seperti tempat abu dan sampah.
Orang bilang bahwa Samuel Beckett, dramawan yang selalu tampak murung melankolis, secara habis-habisan telah menuangkan buah pikiran serta segenap potensi yang dimilikinya ke dalam kesadaran literatur modern. Untuk prestasinya yang luar biasa itu, penulis asal Irlandia yang lahir di Foxrock dekat Dublin pada tahun 1906 itu, dianugerahi Akademi Swedia Hadiah Nobel Sastra 1969.
Para kritisi dikabarkan merasa sangat puas (A History of France Literature: 1988). Sekaitan ini, seorang wartawan Perancis memberikan komentar, “Biasanya hadiah prestisius yang dihormati seluruh dunia itu seolah hanya untuk dipergilirkan. Akan tetapi Beckett, yang menulis dalam bahasa Perancis, telah membuktikan keunggulannya dalam menghayati kehidupan umat manusia. Satu-satunya saingan berat yang harus dihadapi Beckett adalah Andre Malraux, penulis Perancis yang terkenal dengan buku Mans Fate. Namun Beckett berhasil menarik simpati kedelapan-belas (dewan) juri, dengan demikian jatuhlah hadiah sebesar 73.000 dolar ke pelukannya.”
Di antara rekomendasi dan pernyataan dewan juri terselip kalimat: “Beckett berhasil menuangkan tragedi (ke)hidup(an) manusia zaman kita, yang sarat kepedihan, ke dalam drama baru yang berperan besar menunjang tumbuh-kembangnya kesusastraan.” Selain itu disebutkan, kecemerlangan puitiknya menonjol dan mampu menganalisa kesiasiaan umat manusia yang, secara mengejutkan dia belokkan menjadi semacam keberuntungan. Sementara nada ciptaannya yang tenang dan mengandung pengertian yang mendalam menjadi pemicu pembebas bagi mereka yang tertekan di samping berperan menghibur mereka yang dirundung duka.
Balik ke masa mudanya, hampir tak ada yang mengira kalau Beckett akan dapat mencapai sukses yang gilang-gemilang. Ketika pemuda Irlandia yang jangkung kurus itu tiba di Paris pada tahun 1920-an, dia, laiknya penulis yang berasal dari lingkungan kelompok seniman yang tersingkir(kan). Seakan tidak ada kemungkinan baginya untuk meraih kesempatan buat mempublikasikan karya-karyanya, baik sajak maupun novel (A Biography of Samuel Beckett: 1980).
Poggy Guggenheim, penerbit merangkap kolektor karya seni, mengatakan bahwa Beckett adalah seorang penulis yang (pe)murung, bukan seorang intelektual sejati. Senada dengan penglihatan Poggy, kawan-kawan dekatnya pun mengenal Beckett sebagai sosok yang suka menyendiri.
Kendati demikian, tatkala dunia dilanda duka dan derita —tahun-tahun menjelang Perang Dunia II— Beckett mulai menulis secara bersungguh-sungguh. Baginya, momen-momen bernilai sejarah kemanusiaan itu sangat penting artinya. Stylenya yang eliptis alias singkat tegas dan terus terang mengusung diksi yang memejalkan soliditas (peng)ekspresi(an) dan asides (dialog yang diucapkan oleh aktor untuk dirinya sendiri —bisikan) yang penuh misteri dan teka-teki. Dialog inilah konon yang menjadi kendaraan Beckett menuju kebenaran kemanusiaan, yang menggiring dia ke level sastrawan paling bermartabat di seantero jagat.
“Mari kita tunjukkan, walaupun cuma sekali, derita jahanam yang ditakdirkan secara kejam merayap dan menggerogoti hidup kita,” kata salah seorang pelaku dalam karya-dramanya yang paling masyhur, Menunggu Godot. Kalimat tersebut, sudah barang tentu merupakan bisikan hati Beckett sendiri. “Saya hidup liar dalam rimba yang gelap, tak menentu selama 20 tahun. Segalanya berakhir ketika ‘Godot’ menjelma menarik perhatian saya untuk pelaku utama karya-karya saya,” ujar Samuel Beckett pula.
Tetapi ketika “Godot” (En attendant Godot) dipentaskan di Paris pada tahun 1953, muncul tanggapan kontroversial. “Tidak menarik, dan membingungkan,” gerutu beberapa pengamat menyetujui pendapat penonton. Meski begitu, sejumlah pakar maupun kritikus (ke)seni(an) tetap mengotot, mengklaim bahwa drama itu merupakan sebuah masterpiece. Toh, akhirnya (naskah) En attendant Godot —alias Waiting for Godot, yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Menunggu Godot— dipandang sebagai karya klasik dalam (per)teater(an) modern, diakui dan diterima secara bulat, melebihi keterkenalan karya-karya Beckett yang lain, seperti Endagme, Krapp’s Last Tape atau Happy Days.
Beckett sendiri tidak ambil pusing apakah karya-karyanya akan dihargai atau dibuang orang ke comberan. Kecuali itu, dia juga selalu menolak untuk membicarakannya. Dia tidak mau diganggu oleh hal-hal yang menurutnya tidak relevan alias kurang berkenan di hatinya. Demikian bergairah dia memanjakan privacynya, sehingga dia meninggalkan apartemennya di Paris ketika mendengar dirinya telah dinobatkan sebagai pemenang Nobel Sastra. Setelah sekian lama dan bersusah-payah mencari barulah orang-orang menemukannya di Nabeul, Tunisia.
“Kalau para ahli di Swedia telah memilih saya untuk menerima hadiah itu, apa boleh buat. Terserah sajalah…,” kata Beckett ringan. Sambutan Beckett benar-benar sejiwa dengan asides-nya dan, mengingatkan orang pada bagian akhir Waiting for Godot atawa Menunggu Godot.
Vladimir: Well! Shall we go? (Kita pergi, sekarang?).
Estragon: Yes, let’s go (Boleh saja).
Tetapi mereka tidak beranjak dari tempatnya. Sampai layar diturunkan.
Dan, Samuel Beckett yang pernah mengajar di Ecole Normale Superieure dan menjadi sekretaris pengarang James Joyce itu, meninggal di Paris pada tahun 1989.***
Nelson Alwi, menulis esai sastra dan budaya, tinggal di Padang.
Sumber: Riau Pos, 24 Juli 2011
No comments:
Post a Comment