-- Eko Harry Susanto
PROBLEM pendidikan setelah setiap kali usai ujian nasional selalu berkisar pada mahalnya biaya masuk sekolah. Padahal, pemerintah seringkali menyuarakan pentingnya pendidikan yang terjangkau bagi semua masyarakat.
Memang, saat ini di berbagai wilayah, ada sekolah-sekolah gratis yang tidak memungut biaya bulanan dari murid, karena didukung dana pemerintah, seperti halnya bantuan operasional sekolah (BOS). Namun, yang menjadi persoalan, untuk bisa sekolah dengan layak, dan sejajar dengan murid lainnya, tidak semata-mata terkait dengan pembayaran rutin setiap bulan yang dibebaskan.
Ada berbagai kebutuhan lain yang berbiaya tinggi sehingga menyebabkan sangat mungkin tidak terjangkau oleh masyarakat. Dengan kata lain, apalah artinya gratis biaya secara bulanan, jika kemudian kegiatan sekolah itu teramat banyak memerlukan biaya.
Sesungguhnya, persoalan tidak mampu bersekolah dengan layak bisa diatasi melalui sekolah yang disediakan oleh pemerintah atau seseorang bisa masuk ke sekolah negeri. Namun, saat ini sekolah negeri, termasuk sekolah yang menggratiskan biaya bulanan melalui dukungan dana BOS, ada kecenderungan membuat jarak dengan warga kurang mampu. Masalahnya, fasilitas mewah dan berbagai kegiatan berbiaya mahal dikemas dalam suatu bingkai untuk kalangan berkecukupan.
Tampil Sederhana
Mencermati kondisi ini, seharusnya sekolah negeri mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMP), tampil dalam kesederhanaan. Namun, langkah itu dilakukan dengan tetap menjaga mutu. Caranya, semua biaya untuk mendukung proses belajar dan mengajar sepenuhnya menggunakan dana dari pemerintah.
Tidak bisa dipungkiri, saat ini ada kecenderungan yang kuat, bahwa sekolah negeri terlebih lagi di kawasan perkotaan berupaya untuk menjadi sekolah dengan fasilitas yang wah atau hebat. Jika kemewahan itu karena dukungan dana pemerintah sudah pasti tidak menjadi persoalan. Tetapi, kalau kemewahan atau 'kementerengan' sekolah tersebut dilakukan dengan cara menarik sumbangan dari orangtua murid, tentu akan berimplikasi menjadi sekolah mahal yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya.
Secara esensial, pengembangan sekolah negeri mulai dari tingkat dasar sampai menengah yang mengandalkan kemewahan sarana dan prasarana dari pungutan orangtua siswa, akan berdampak buruk bagi demokrasi pendidikan. Bahkan, dengan bingkai kemewahan, seringkali kepala sekolah dan jajarannya berlomba membuat kegiatan berbiaya mahal agar terkesan sebagai sekolah elit.
Akibatnya, warga yang kurang beruntung dari segi ekonomi semakin tersisih di sekolah negeri yang mengeksplorasi nilai kemewahan. Padahal, bisa saja sekolah tersebut sesungguhnya menggratiskan biaya bulanan kepada siswa. Tetapi, dengan aneka kegiatan berbiaya mahal, sudah pasti masyarakat yang tidak mampu takut masuk sekolah negeri semacam itu.
Kondisi seperti ini jelas tidak sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan, pendidikan diselengarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif. Dengan kata lain, semua masyarakat mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Kendati demikian, bukan berarti sekolah negeri tidak boleh mengubah diri menjadi sekolah dengan fasilitas mentereng untuk mendukung mutu. Karena itu, sudah selayaknya pemerintah membatasi keinginan seperti itu agar sekolah negeri tetap membumi dan akrab atau familiar terhadap semua lapisan masyarakat. Sebab, jika sekolah menjadi terkesan sebagai sekolah elit, maka entitas yang seharusnya lebih peduli terhadap kelompok masyarakat kurang mampu dalam membiayai pendidikan, justru semakin terpinggirkan.
Pada tempat itulah, pemerintah wajib mengembalikan peran sekolah negeri sebagai tempat belajar yang memadai bagi masyarakat kurang mampu. Selain menghentikan semua bentuk pungutan untuk menambah fasilitas, bantuan proses belajar dan mengajar, pihak sekolah juga perlu membatasi kegiatan ekstra kurikuler berbiaya mahal yang membebani murid.
Secara substantif, jangan dibiarkan sekolah negeri terus mematut-matut diri, dan berubah menjadi sekolah berfasilitas hebat karena pungutan paksa kepada orangtua murid. Ini sangat berbahaya, sebab sekolah milik negara itu bisa dinilai ikut melembagakan ketimpangan sosial ekonomi yang berdampak terhadap rentannya kebhinekaan dan integrasi nasional.
Namun, persoalannya justru sekolah negeri yang rajin memungut biaya guna pemenuhan fasilitas dan memburu status elit, yang seringkali dibanggakan oleh kekuasaan negara. Padahal, sejatinya yang harus diapresiasi dengan baik, adalah sekolah negeri yang menggratiskan biaya pendidikan, dengan tetap mempertahankan kesederhanaan fisik dan menjadi idola masyarakat kurang mampu.
Eko Harry Susanto, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jakarta
Sumber: Suara Karya, Rabu, 6 Juli 2011
No comments:
Post a Comment