Thursday, July 07, 2011

Mengenang Dai Sejuta Umat (Bagian 1): Amplop Kosong dan Sepeda Ontel

-- Erdy Nasrul


NAMANYA begitu akrab di telinga. Cukup menyebut dua huruf di belakang namanya, MZ, orang sudah mahfum siapa sosok dai pemilik nama tersebut. Namun, tak banyak orang yang tahu apa arti sesungguhnya singkatan itu.

Dua huruf tersebut bukan gelar, tetapi nama kedua orang tuanya: Turmudzy atau disapa Muzi dengan Zaenabun. KH Zainuddin MZ telah wafat Selasa (5/7) lalu yang diduga akibat serangan jantung.

Jasadnya sudah dimakamkan di Masjid Fajrul Islam yang didirikannya tepat di seberang rumahnya di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan. Namun, banyak kenangan yang tak mungkin dilupakan oleh Fikri Haykal, putra pertama almarhum.

Fikri masih mengingat masa-masa awal perjalanan ayahnya sebagai dai yang diwarnai dengan berbagai kisah. Dia mengenang ayahnya kerap berceramah tanpa dibayar seperak pun.

Pernah suatu ketika dai yang menggemari cerita silat Kho Ping Ho ini diberi amplop setelah berceramah di Jakarta. Amplop itu pun diselipkan ke dalam kantong celananya. ''Bismillah semoga berkah,'' ujar sang kiai, seperti dituturkan Fikri di rumah duka di Jalan Gandaria I, Gang Haji Aom, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (6/7).

Namun, setelah tiba di rumah dan amplop itu disobek, ternyata tak ada isinya sepeser pun. Amplop tersebut kosong.

Fikri mengatakan, almarhum sering mengalami kejadian seperti itu, tapi tak pernah mengeluh. Mendapatkan amplop berisi uang jutaan rupiah juga sering dialami, dan itu disyukurinya.

Pernah pula ayahnya hanya mendapatkan bayaran berupa beberapa liter beras dan makanan pokok. Semua kejadian itu, kata Fikri, selalu diceritakan KH Zainuddin MZ kepada istrinya, Hajjah Khalilah. Itu dianggap sebagai bagian dari pahit dan manisnya mendakwahkan Islam. ''Tapi, almarhum tak patah semangat sedikit pun.''

Kemampuan pidato KH Zainuddin MZ terasah setelah masuk Perguruan Darul Ma'arif, Cipete, Jakarta Selatan. Menurut Fikri, pidato Presiden Indonesia pertama Soekarno yang menggebu-gebu dan membakar semangat rakyat menjadi salah satu inspirasinya, selain sosok pendiri Perguruan Darul Ma'arif, KH Idham Chalid.

Namun, Zainuddin ingin berpidato tentang Islam, tidak hanya soal kebangsaan seperti yang disampaikan Soekarno. Awalnya, Zainuddin kecil memberanikan diri berceramah di mushala dan masjid. Demam panggung seperti keringat dingin dan jantung berdetak kencang juga dia rasakan. Namun, dia selalu mempersiapkan diri dengan membaca dan membuat kerangka ceramah sebelum tampil di podium.

Kebiasaan itu tidak pernah ia tinggalkan hingga wafat. Pada mulanya dia membuat tulisan garis besar ceramah. Lambat laun, dia cukup membaca buku dan sudah bisa membuat kerangka ceramah di pikirannya.

Ribuan eksemplar buku koleksinya tertata rapi di perpustakaan rumahnya. Berbagai tafsir karangan ulama Islam terpajang di sana.

Ada tafsir al-Kabir karya Fakhruddin al-Razi, at-Thabari, dan Tafsir Ibnu Katsir. Berjajar pula buku-buku hadis, seperti Shahih Bukhari dan berbagai Kitab Sirah Nabawiyah.

Selain membaca buku, Zainuddin juga memerhatikan isu-isu nasional yang menjadi sorotan masyarakat. Semuanya dia racik menjadi bahan ceramah.

Gaya berpidatonya pun khas. Dia gunakan suara kerasnya Bung Karno dalam berceramah. Omongannya berisi pengetahuan Islam yang didapatnya dari KH Idham Chalid serta kitab-kitab.

Dia selipkan pula humor-humor khas Betawi. Jadilah pidato ala KH Zainuddin MZ. Aktivitas ceramahnya pun berkembang, mulai dari mushala dengan jumlah jamaah puluhan orang hingga tablig akbar dengan ratusan bahkan ribuan jamaah.

Fikri juga mengenang pada masa awal itu ayahnya menggunakan sepeda ontel untuk menuju lokasi ceramah. Pernah ia diajak ke tempat ceramah dengan dibonceng di jok belakang. Almarhum memakai sarung, baju koko putih, dan peci hitam. Fikri membawakan tas yang berisi kitab dan serban.

Hampir saja sampai di lokasi, tutur Fikri, almarhum berhenti dan turun dari sepeda. Rupanya di depan ada genangan air setinggi lutut kaki orang dewasa. Sepeda lantas ditepikan di pinggir jalan. Fikri yang ketika itu masih berusia enam tahun langsung digendong dengan tangan kanan.

Sementara, tangan kiri almarhum mengangkat sarung hingga di atas lutut. Barulah kiai berjalan membelah genangan air sepanjang sekitar 10-an meter. Setelah itu dia berceramah di hadapan puluhan jamaah.

Mulai 1977 penampilan KH Zainuddin MZ berubah. Sepedanya berganti dengan motor vespa. Wilayah ceramahnya pun meluas hingga ke Jakarta Utara.

Dua tahun kemudian cakupan dakwahnya merambah sampai Cirebon, Jawa Barat.
Sepeda motor tidak lagi mampu menjadi andalan transportasi. Dia memutuskan membeli mobil Honda Civic. Namun, Zainuddin selalu menyopir sendiri.

Baru pada 1998 hingga akhir hayatnya dia menyewa sopir. Terkadang anak bungsunya, Muhammad Syauqi, yang menjadi sopir.

Tidak kurang dari 40 tahun almarhum menekuni dakwah. Dia wariskan kemampuan berpidato kepada keempat anaknya: Fikri Haykal, Luthfi, Kiki, dan Muhammad Syauqi. Bukan dengan omongan Zainuddin mengajarkan mereka, tetapi dengan contoh.

Dia membawa anak-anaknya menyaksikan sang ayah berceramah, mengontrol massa yang jumlahnya ribuan. Fikri masih teringat, di sela-sela kesibukan berceramah KH Zainuddin MZ masih menyempatkan waktu berkumpul dengan keluarga. Pernah dia mengosongkan waktu ceramahnya sepekan penuh.

Anak-anak dan istri dibawanya bertamasya ke Yogyakarta. Dia menyopir sendiri. ''Dia tidak pernah melupakan keluarga,'' ujar Fikri mengenang. ed: budi raharjo

Sumber: Republika, Kamis, 7 Juli 2011

No comments: