-- Selamat Ginting
DISEBUT ‘Buaya Keroncong’ karena membuat pendengarnya seperti terhipnosis.
Sambil tersenyum gembira, anak-anak belasan tahun berlatih memainkan alat musik biola, ukulele, selo, bas, gitar, dan rebana. Di antara bocah-bocah SD dan SMP ini, mereka adalah generasi ke-11 keturunan Portugis di Indonesia. Berseragam kaos serba hitam dengan tulisan musik keroncong, mereka me ngundang wisatawan naik ke atas pentas berukuran sekitar 4x4 meter per segi.
“Silakan lagu apa saja, kami iringi dengan alunan musik keroncong tugu. Mau lagu pop, Barat, dangdut, atau lagu daerah Betawi juga oke,” papar Andre Juan Michiels sambil tersenyum riang.
Mendapatkan tawaran seperti itu, rombongan “Melancong Bareng Abah Alwi” pun antusias. Pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) yang turut serta dalam rombongan ini mengaku senang dengan upaya pelestarian kebudayaan Portugis di Jakarta. Salah satu dari mereka, Yoyoh Muchtar, naik ke pentas dan minta lagu “Jali-jali” dengan perpaduan musik gambang keromong. Lagunya enak, merdu sekali… Capek sedikit tidak peduli sayang... Asalkan tuan, asalkan tuan senang di hati...
Tuan-tuan dan puan-puan merasa senang dan semakin akrab seperti layaknya orang Porto yang menikmati alunan musik ala negeri Christiano Ronaldo, salah satu pesepak bola dengan nilai transfer termahal di dunia. Mantan penyiar TVRI era 1970-an, Rusdi Saleh, serta artis Zee Zee Shahab pun turut tampil ke pentas untuk berkeroncong ria.
Ya, musik keroncong yang kita kenal selama ini ternyata bukan musik asli Indonesia, melainkan kesenian peninggalan masa penjajahan bangsa Portugis di nusantara. Bersamaan dengan waktu, musik keroncong di Tanah Air dipadu dengan alat musik tradisional Indonesia, seperti seruling dan gamelan. Karena itu, timbul kesan seolah-olah keroncong adalah khas Indonesia.
Apalagi, musisi Jepang pun terlanjur mem berikan gelar ‘buaya keroncong’ untuk almarhum Gesang yang terkenal de ngan lagu ciptaannya, “Bengawan Solo”. Jadi, seolah-olah, keroncong identik dengan Indonesia atau khas nusantara. Hingga sekarang, lagu “Bengawan Solo” menjadi legenda di Negeri Sakura.
Acara Pesta
Dalam sejarahnya, keroncong pertama kali dikenalkan oleh para pelaut dan ten tara asal Portugis pada abad ke-16. Keroncong itu merupakan sejenis musik yang dikenal dengan sebutan fado oleh bangsa Portugis. Pada zaman penjajahan Belanda, keroncong sangat digemari dan menjadi primadona. Lagu-lagu seperti “Mauresco” dan “Cafrinyo” mampu menghipnosis para noni Belanda.
Keroncong Tugu pun masuk dalam jad wal acara-acara resmi untuk mengisi aca ra-acara pesta bangsa Belanda pada saat itu. Musik keroncong pun akrab di telinga rakyat Indonesia sehingga musik ini terus berkembang dan melahirkan musik keroncong di berbagai daerah, terutama di Jawa.
Kelompok Krontjong Toegoe terbentuk pada 12 Juli 1988 dan dibidani oleh seorang Tugu, Arend J Michiels. Tugu adalah sebutan bagi keturunan Portugis di Jakarta. Tugu diambil dari kata “portuguese”. Para Tugu yakin keroncong adalah musik warisan tentara keturunan Portugis yang hidup di Kampung Tugu pada pertengahan abad ke-17.
“Asal kata keroncong dari bunyi gitar kecil yang menjadi instrumen utama berbunyi crong, crong, crong, …,” kata Arthur Michiels, seorang pemusik Krontjong Toegoe, saat tampil di sebuah televisi swasta.
Jika yang menyambut rombongan Republika adalah generasi bocah atau generasi ke-11, awak asli Krontjong Toegoe adalah anak muda Tugu. Mereka adalah N Yanto (biola-pelatih), Arend J Michiels (selo), AS Michiels (melodi gitar), Y Leonard Kalelufna (melodi gitar), Andre J Michiels (prounga), Ef raim Abraham (mancina), Martinus Cornelis (gitar ritme), Dicky Deady Michiels (gitar ritme), Benjamin Abraham (melodi gitar), Alfondo Andries (rebana), dan Arthur J Michiels (kontra bas).
Krontjong Toegoe cukup mendapat tem pat di kalangan musisi keroncong. Kip rahnya tak hanya diakui di dalam negeri, tapi juga mancanegara. Beberapa kali grup musik yang berakar budaya Portugis ini diundang bermusik di Belanda.
Andre Juan Michiels menuturkan, para musisi seangkatannya merupakan musisi keroncong tugu generasi ke-10. Untuk melestarikan budaya Tugu, mereka melakukan regenerasi. Karena itu, lahirlah Krontjong Toegoe Junior, pemusik keroncong tugu generasi ke-11 pada awal September 2010 lalu.
Penampilan perdana Krontjong Toegoe Junior pun pernah memukau pengunjung Festival Kampung Toegoe yang digelar di halaman Gereja Tugu, Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Sabtu 15 November 2010 lalu.
Andre menambahkan, pembeda musik Krontjong Toegoe dengan keroncong lainnya pada irama dan lagu yang dinyanyikan. Irama musik Krontjong Toegoe lebih rancak dan penuh semangat. Hal ini dipengaruhi sifat orang Portugis yang senang berpesta.
Sedangkan, lagu-lagu yang mereka nyanyikan banyak yang berbahasa Portugis, seperti Cafrinho, Jan Kaga Letih, Morescoh, dan Gatu du Matu. Lagu Nina Bobo itu juga lagu Tugu untuk menidurkan anaknya. Asal katanya dari menina yang artinya anak kecil perempuan, ujar Arthur.
Selain Krontjong Toegoe, di Tugu ada beberapa grup musik keroncong lain, di antaranya, Moresco Tugu dan Cafrinho Tugu. Di tengah gempuran musik modern di Jakarta, mereka berupaya keras mempertahankan warisan budaya. Kami terbuka jika ada warga non-Tugu yang bergabung, ujar Arthur.
Generasi ke-11 keroncong tugu begitu antusias mengiringi beberapa senandung. Tak ada kecemasan dalam diri wajah bocah-bocah itu. Musik yang mereka melodikan memang bukanlah musik masa kini. Namun, mereka bisa mengimbangi para penyanyi. Mereka juga tidak sepenuhnya tahu kalau musik jenis ini sudah terbilang langka di negeri Indonesia. Yang mereka tahu cuma satu kata: optimis. Ya, mereka optimistis akan mampu membawa keroncong tugu di tengah-tengah keberagaman suku budaya bangsa.
CEPAT GAYA PORTUGIS, Lambat Gaya Jawa
Akar keroncong berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado, yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga bangsa itu sejak abad ke-16 ke nusantara. Dari daratan India (Goa), musik keroncong pertama kali masuk ke kawasan Malaka dan kemudian dimainkan oleh para budak dari Maluku. Melemahnya pengaruh Portugis pada abad ke-17 di nusantara tidak dengan serta-merta berarti hilang pula musik ini. Bentuk awal musik ini disebut moresco (sebuah tarian asal Spanyol), seperti polka agak lamban ritmenya.
Komposer Kusbini menyusun kembali gaya ini dan kini dikenal dengan nama keroncong muritsku, yang diiringi oleh alat musik dawai. Musik keroncong yang berasal dari Tugu disebut keroncong tugu. Dalam perkembangannya, masuk sejumlah unsur tradisional nusantara, seperti penggunaan seruling serta beberapa komponen gamelan.
Pada sekitar abad ke-19, bentuk musik campuran ini sudah populer di banyak wilayah di Indonesia, bahkan hingga ke Semenanjung Malaysia. Masa keemasan ini berlanjut hingga sekitar 1960-an dan kemudian meredup akibat masuknya gelombang musik populer (musik rock yang berkembang sejak 1950 dan berjayanya grup musik Beatlesdan sejenisnya sejak 1961 hingga sekarang). Meskipun demikian, musik keroncong masih tetap dimainkan dan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dan Malaysia hingga sekarang.
Dalam bentuknya yang paling awal, moresco diiringi oleh musik dawai, seperti biola, ukulele, serta selo. Perkusi juga kadang-kadang dipakai. Set orkes semacam ini masih dipakai oleh keroncong tugu, bentuk keroncong yang masih dimainkan oleh komunitas keturunan Portugis dari Ambon yang tinggal di Kampung Tugu, Jakarta Utara.
Selanjutnya, berkembang ke arah selatan di Kemayoran dan Gambir oleh orang Betawi, berbaur dengan musik Tanjidor (pada 1880-1920). Pada 1920-1960, pusat perkembangan pindah ke Solo, Jawa Tengah, dan beradaptasi dengan irama yang lebih lambat sesuai sifat orang Jawa.
Musik keroncong kemudian dipribumikan dengan alat-alat musik seperti sitar (India), rebab (Arab), suling bambu, gendang-kenong-saron sebagai satu set gamelan, serta gong.
Saat ini, alat musik yang dipakai dalam orkes keroncong mencakup ukulele (berdawai tiga nilon) sebagai alat musik utama yang menyuarakan crong- crong sehingga disebut keroncong (ditemukan pada 1879 di Hawai dan merupakan awal tonggak mulainya musik keroncong). Selain itu ada ukulele cak, berdawai empat baja, gitar akustik sebagai gitar melodi, dimainkan dengan gaya kontrapuntis (antimelodi), biola (menggantikan rebab). Biola dibuat oleh Amati atau Stradivarius dari Cremona Itali sekitar 1600 .
Ada juga flute (mengantikan Suling Bambu), selo betot menggantikan kendang, juga tidak pernah berubah sejak dibuat oleh Amati dan Stradivarius dari Cremona Itali 1600, hanya saja dalam keroncong dimainkan secara khas di petik /pizzicato. Selain itu kontrabas (menggantikan gong), juga bas yang dipetik.
Penjaga irama dipegang oleh ukulele dan bas. Gitar yang kontrapuntis dan se lo yang ritmis mengatur peralihan akord. Biola berfungsi sebagai penuntun melodi sekaligus hiasan/ornamen bawah. Flute mengisi hiasan atas yang melayang-layang mengisi ruang melodi yang kosong.
Bentuk keroncong yang dicampur dengan musik populer sekarang menggunakan organ tunggal serta synthesizer untuk mengiringi lagu keroncong (di pentas pesta organ tunggal yang serba bisa main keroncong, dangdut, rock, polka, mars).
Musik keroncong lebih condong pada progresi akord dan jenis alat yang digunakan. Sejak pertengahan abad ke-20 telah dikenal paling tidak tiga macam keroncong yang dapat dikenali dari pola progresi akordnya. Bagi pemusik yang sudah memahami alurnya, mengiringi lagu-lagu keroncong sebenarnya tidaklah susah, sebab cukup menyesuaikan pola yang berlaku. Pengembangan dilakukan dengan menjaga konsistensi pola tersebut. Selain itu, terdapat pula bentuk-bentuk campuran serta adaptasi.
Sumber: Republika, Jumat, 8 Juli 2011
No comments:
Post a Comment