Friday, July 08, 2011

[Teraju] Sepatu Serdadu dari Portugis

-- Selamat Ginting

BANYAK kosakata Indonesia yang berasal dari bahasa Portugis. Dapatkah generasi berikutnya mempertahankan bahasa nenek moyangnya?

Angin sepoi-sepoi menerpa dedaunan yang tumbuh subur di sebuah kompleks rumah ibadah di kawasan Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. Embusan angin membawa dedaunan ke pemakaman yang tertata cukup rapi. Di areal pemakaman tertulis nama-nama asing di batu nisan, seperti Quiko, Abrahams, Michiels, Andries, Browne, dan Salomons.

“Itu nama-nama marga atau keluarga keturunan Portugis yang tinggal di Kampung Tugu dan dimakamkan di kom pleks Gereja Tugu,” ujar Andre Juan Michiels yang mengaku generasi ke-10 dari keturunan Portugis di Indonesia.

Andre mengungkapkan hal itu saat menerima rombongan Republika yang bertajuk “Melancong Bareng Abah Alwi Menelusuri Jejak Portugis di Kampung Si Pitung”. Di tengah hilir mudik jemaat yang akan melaksanakan kebaktian di kompleks gereja tersebut, Andre menjelaskan tentang asal usul masyarakat keturunan Portugis yang ada di Jakarta, khususnya di Kampung Tugu.

Masyarakat Kampung Tugu cikal bakalnya berasal dari orang-orang berbahasa Portugis dari berbagai koloni Portugis di Malaka, Pantai Malabar, Kalkuta, Surate, Koromandel, Goa, dan Ceylon (Sri Lanka). Mereka pada paruh kedua abad ke-17 diboyong Kompeni (Belanda) ke Batavia (Jakarta) sebagai tawanan perang.

Awalnya, mereka ditempatkan di sekitar Portugese Kerk atau Gereja Portugis (sekarang bernama Gereja Sion di Jalan Pangeran Jayakarta). Kemudian, sebagian besar dari mereka pindah ke Kampung Tugu. Letak Kampung Tugu terisolasi dari daerah sekitarnya sehingga mereka dapat mempertahankan bahasa dan budaya dalam waktu hampir 200 tahun.

“Menurut undang-undang Kompeni (Belanda), mereka tidak boleh dijadikan budak karena beragama Katolik. Oleh karena itu, mereka dimerdekakan dengan syarat mereka harus memeluk agama Kristen Protestan,” ujar Abah Alwi, sapaan akrab Alwi Shahab, wartawan senior Republika.

Ya, mereka disebut orang-orang mardyker dalam ejaan bahasa dari bahasa Sanskerta, ‘mahardika’, yang bermakna ‘bebas’. Kata mardyker kemudian diambil dalam bahasa Indonesia menjadi kata ‘merdeka’, tetapi dengan makna yang berbeda, ‘bebas dari penjajah’.

Orang-orang mardyker dengan bahasa Portugisnya di kampung Tugu semakin lama menunjukkan ciri identitas kelompok mereka yang unik. Misalnya, pada saat perayaan keagamaan, mereka mengucapkan salam bahasa Portugis. Pada perayaan tahun baru, laki-laki memainkan musik keroncong tugu, sebuah musik yang ditinggalkan tentara Portugis di Indonesia. Pada pesta penutupan tahun baru atau disebut pesta mandi-mandi, mereka saling menggosokkan bedak kepada wajah lawan jenisnya. Acara ini juga sebagai ajang pertemuan jodoh para viluvilu-vilavila (muda-mudi).

Sesungguhnya, selama satu abad menjelang kedatangan bangsa Belanda di bumi nusantara, bangsa Portugis telah mengadakan kontak budaya dengan suku-suku bangsa di nusantara. Sebagai buktinya, ditemukannya batu padrao di persimpangan antara Jalan Cengkeh dan Jalan Kali Besar Timur Jakarta. Padrao atau prasasti Portugis bertanggal 21 Agustus 1522 tersebut ditemukan pada 1918 ketika Pemerintah Hindia-Belanda mengadakan reklamasi daerah itu.

Padrao kini disimpan di Museum Nasional Jakarta. Tingginya sekitar dua meter dan didirikan oleh orang-orang Portugis. Hal ini sebagai tanda bahwa telah diadakan suatu perjanjian dengan raja setempat (Prabu Surawisesa, Raja Pasundan/Pajajaran). Menyusul prasasti ini, telah diadakan suatu Perjanjian Sunda Kelapa antara Portugis dan Raja Sunda (berita pengadaan naskah dan naskah perjanjian yang disusun oleh Jd Barros, kini tersimpan dalam arsip nasional Torre do Tombo di Lisabon-Portugal).

Perjanjian ini merupakan dokumen internasional pertama yang menyebut namanya, tokoh-tokohnya, hubungan niaganya, perannya dalam kerajaan Sunda, dan dalam percaturan politik pada masa itu (Heuken, 1999:47-55).

Terancam punah
Sejak kedatangan bangsa Portugis di Indonesia, kata peneliti bahasa, Lilie Suratminto, terjadi pengaruh bahasa Portugis terhadap bahasa Indonesia. Pengaruh ini terletak pada banyaknya jumlah kosakata Indonesia yang berasal dari bahasa Portugis. Kosakata itu telah disusun dalam daftar kosakata yang diterbitkan oleh Indonesian Etymological Project V oleh Grijns et al pada 1983 dalam European Loan-words in Indonesian-A check-list of words of European origin in bahasa Indonesia and Traditional Malay.

Schuhardt (1891) memberikan istilah ‘Kreol Tugu’ dengan nama Malaioportu giesischen. Bangsa Belanda dalam politik bahasanya enggan untuk mengem bangkan bahasa Belanda kepada pribumi dengan alasan ekonomi dan politik. Belanda membiarkan bahasa Portugis dan bahasa Melayu samasama berkembang di tengah komunitas bahasa resmi mereka, bahasa Nederduits. Pendeta Benkhoff di Depok (1884) menyebut, bahasa Kreol Portugis Kampung Tugu adalah bahasa Portugis.

Pada saat bahasa Belanda mulai mendominasi bahasa pemerintahan, saat itu pula perlahan-lahan bahasa Portugis terpinggirkan. Setelah bangsa Belanda meninggalkan Indonesia dan pembangunan infrastruktur jalan raya Tanjung Priok-Tugu menjelang Perang Dunia II, perkampungan Tugu mulai ramai dengan pendatang. Perkampungan di sekitar Kampung Tugu juga semakin padat. Keadaan ini mempersulit masyarakat Tugu untuk mempertahankan kemurnian bahasa dan budaya mereka.

Menurut penelitian Antonio Pinto da Franca (1970), dalam bukunya A Influencia Portuguesa na Indonesia (buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pustaka SH pada 2000 dengan judul Pengaruh Portugis di Indonesia), ada banyak kosakata yang berasal dari bahasa Portugis. Lihat boks.

Bahasa yang jumlah pemakainya pada 1940 berjumlah 300 orang dan pada zaman Jepang bertambah menjadi 400 orang, kini tinggal 40-50 saja. Hal ini diperparah dengan keengganan kaum muda untuk mempelajari bahasa karena secara sosial ekonomi penguasaan bahasa ini dirasakan kurang menguntungkan mereka.

Bahkan, kini banyak terjadi perkawinan campuran dengan para pendatang. Dari gejala-gejala ini, ada kemungkinan bahasa ini sangat sulit dipertahankan eksistensinya. Dan, tak terelakkan lagi bahwa kepunahan bahasa ini bisa terjadi pada abad ke-21. Apakah masyarakat Indonesia keturunan Portugis dapat mempertahankan bahasa nenek moyangnya? Jawabannya, bergantung mereka sendiri.


BERTEDUH DI GEREJA TUA

Panasnya Utara Jakarta tak menyurutkan langkah rombongan wisatawan untuk menelusuri jejak peninggalan Negeri Ronaldo di Jakarta. Turun dari bus wisata, komunitas pecinta sejarah yang diprakarsai Republikaitu berjalan menuju sebuah gedung tua.

Bangunan tua bersejarah itu adalah Gereja Sion atau dikenal sebagai Gereja Tugu yang dibangun pada 1678. Di Kampung Tugu itulah, pada Ahad (3/7) lalu rombongan Melancong bareng Abah Alwi, Menelusuri Jejak Portugis di Kampung Si Pitung mengawati salah satu kampung tertua di Batavia (Jakarta).

Kampung Tugu yang terletak di Kecamatan Koja, Jakarta Utara, merupakan salah satu kampung tertua dan memiliki keunikan tersendiri. Komunitas masyarakat yang mendiami Kampung Tugu berbeda dengan wilayah lainnya di Jakarta. Mereka merupakan keturunan langsung bangsa Portugis sehingga tak sedikit yang menyebut Kampung Tugu sebagai Kampung Portugis.

Maka tak usah heran, sejumlah kedutaan besar di Jakarta yang memiliki hubungan sejarah dengan Portugis pun membuat prasasti di kampung tersebut. Empat duta besar dari negara Portugal, Brasil, Timor Leste, dan Mozambik menyatakan kepeduliannya terhadap wilayah bersejarah tersebut. Mereka bekerja sama membangun Taman Bacaan Ikatan Keluarga Besar Toegoe, Fundacao Calouste Gulbenkian, pada 7 Juli 2007 lalu.

Untuk menjaga situs bersejarah ini, sejumlah kesenian dan budaya asli bangsa Portugis terlihat masih mewarnai kehidupan masyarakat di Kampung Tugu. Gereja Tugu telah menjadi ikon Kampung Tugu. Meski bangunannya terlihat sederhana, keistimewaannya bisa terlihat dari hampir seluruh benda-benda yang terdapat di dalam gereja yang umurnya mencapai ratusan tahun. Bahkan, sebagian di antaranya merupakan bendabenda asli bawaan sejak kali pertama Gereja Tugu berdiri, kata Kristianto, salah satu jemaat gereja tersebut.

Sejarah yang melatarbelakangi kedatangan orang Portugis ke Kampung Tugu bermula pada 1641. Malaka yang saat itu menjadi pusat dagang bangsa Portugis, mulai dikuasai pasukan Belanda. Pasukan Belanda akhirnya dapat menguasai Malaka dan menawan orangorang Portugis. Namun, setelah itu orang-orang Portugis itu dibebaskan kembali oleh Belanda hingga akhirnya mendapat sebutan sebagai kaum Mardijkers. Pada 1661, orangorang Portugis ini kemudian dipindahkan ke daerah yang saat ini bernama Kampung Tugu. Sebelum Perang Dunia ke II, di Tugu terdapat 60 kepala keluarga.

Setelah itu, mereka bercerai-berai di Jakarta, Bandung, dan Irian. Namun, ada juga yang memilih pulang ke negeri asal, Portugis. Saat ini, hanya terdapat sekitar 40-an keluarga yang sudah berdarah campuran. Hingga kini hanya terdapat lima keluarga besar Tugu yang masih disebut keturunan asli Portugius.

Tradisi unik serta peninggalan sejarah seperti gereja, kini dijadikan sebagai salah satu aset kebudayaan. Kampung Tugu pun menjadi salah satu kawasan 12 destinasi wisata pesisir di Jakarta Utara. selamat ginting


KOSAKATA BAHASA INDONESIA DARI BAHASA PORTUGIS

Armada, bola, pena, roda, ronda, sisa, tenda, tinta, maco . Ada juga kosakata yang mengalami perubahan ucapan, misalnya: algojo ( algoz) , bangku ( banco) , bantal ( avental) , bendera ( bandeira) , biola ( viola) , bolu ( balo) , boneka ( boneca) , jendela ( janela) , gereja ( igreja) , kaldu ( caldo) , kantin ( cantina) , kemeja ( camisa) , kereta ( carreta) , meja ( mesa) , mentega ( manteiga) , pesiar ( passear) , pigura ( figura) , pita ( fita) , sepatu ( sapato) , serdadu ( soldado) , cerutu ( charuto) , tolol ( tolo) , dan masih banyak lagi.

Sumber: Republika, Jumat, 8 Juli 2011

No comments: