-- Siti Muyassarotul Hafidzoh
TAHUN ajaran baru selalu ramai karena maraknya pungutan liar sekolah. Di beberapa daerah, misalnya, tersiar kabar bahwa SD atau SMP masih ada yang menarik biaya dengan dalih peningkatan kualitas dan sarana prasarana. Berdasarkan Perda No 8 Tahun 2006 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah sudah sangat jelas, bahwa tidak diperkenankan adanya lagi pungutan terhadap orangtua murid. Karena, seluruh biaya operasional SD dan SMP sudah jelas telah dibiayai oleh BOP (bantuan operasional pendidikan) dan BOS (bantuan operasional sekolah).
Maraknya pungutan liar yang terjadi secara periodik ketika tahun ajaran baru dimulai, menjadi indikasi kuat bahwa sistem pendidikan kita masih tumpang-tindih. Kebijakan yang diterapkan ternyata banyak tersandera di tengah jalan oleh logika negatif penyelenggara pendidikan yang melihat sekolah secara komersial. Wujud nyata pungutan liar dalam managemen pendidikan telah menempatkan lembaga pendidikan dalam sebuah institusi komersial.
Sebagai lembaga komersial, maka lembaga pendidikan akan mengimplementasikan prinsip perilaku produsen, dalam literatur ekonomi liberal. Sementara tujuan produksi adalah untuk keuntungan maksimal (profit maximizing) dan dalam hal ini dimaknai secara finansial. Secara sederhana keuntungan maksimal dilakukan dengan dua cara, yaitu mengurangi biaya (cost reducing) dan pendapatan meningkat (revenue increasing).
Komersialisasi pendidikan dengan peningkatan biaya masuk sekolah yang belakangan ini banyak dikeluhkan oleh para orangtua atau wali murid dari kalangan tidak mampu (the have not). Fenomena ini banyak terjadi di sekolah menegah (SMP dan SMA/SMK) menyusul diterapkannya manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Ini, memberikan kesempatan kepada sekolah sebebas-bebasnya untuk menggerakkan roda kebijakannya yang dianggap perlu dengan alasan peningkatan mutu.
Dengan alasan inilah sekolah seakan berlomba untuk menetapkan biaya masuk sekolah yang cukup mencekik (mahal). Akhirnya hanya orang mampu (the have) secara finansial yang bisa bersekolah.
Kekeliruan dalam menafsirkan makna otonomi, sejak beberapa tahun terakhir menggejala dalam dunia pendidikan juga termasuk penyebab terjadinya komersialisasi. Dengan dalih untuk menjalin kemitraan dalam menggali dana, sebuah institusi pendidikan seolah dianggap sah apabila melakukan berbagai cara untuk mengembangkan institusi, termasuk dengan melakukan komersialisasi pendidikan. Padahal, sejatinya, otonomi sekolah mesti dimaknai sebagai upaya untuk memberdayakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu di sekolah yang bersangkutan, baik dari sisi akademik maupun non-akademik.
Namun, diakui atau tidak, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Bukannya budaya mutu yang dikembangkan di sekolah, melainkan budaya "petak umpet" untuk mendapatkan berbagai macam keuntungan berkedok otonomi pendidikan.
Karena, dunia pendidikan telah terjebak dalam corak komersialisasi, terjadilah proses pengebirian potensi dan talenta peserta didik. Bagaimana tidak, kalau peserta didik yang memiliki potensi dan bakat yang brilian, ternyata harus tersingkir dari bangku sekolah yang diimpikan?
Bagaimana mungkin negeri ini maju dan sejajar dengan negara maju kalau generasi bermutu justru dikebiri dan dibuang ke pinggiran peradaban? Generasi dengan potensi dan berbakat justru menjadi penonton, hanya melihat adegan penuh tragedi para generasi tak bermutu yang lahir dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Bangsa ini benar-benar telah menyia-nyiakan generasi unggulnya. Padahal, negeri ini dibangun oleh generasi unggul yang berjuang secara tulus-ikhlas mendirikan Indonesia. Bangsa ini lupa dengan apa yang telah dilakukan KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan, Ki Hadjar Dewantara, H Agus Salim, Wahidin Surohusodo, dan Mohammad Hatta yang telah berjuang mengentaskan kaum miskin dari kebodohan. Mereka berkeliling di berbagai desa untuk mencari generasi potensial yang dipersiapkan untuk meneruskan perjuangan mereka dalam menegakkan NKRI. Mereka memberikan beasiswa kepada anak tidak mampu untuk belajar.
Para generasi pendiri Republik ini telah meletakkan fondasi filsafat pendidikan dan mempraktikannya secara nyata. Filosofi yang mereka tanamkan bukanlah hasil rekayasa, melainkan murni dari kecerdasan dalam diri mereka dalam menggali nilai yang terkandung dalam bumi Nusantara hingga lahirlah sebuah etape sejarah keberlanjutan bangsa ini sampai sekarang. Nilai-nilai yang mereka tanamkan menjadi pegangan bangsa ini, berupa Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Saatnya lembaga pendidikan kembali kepada fitrah pendidikan, yakni mencerdaskan bangsa. Dengan demikian diharapkan kelak peserta didik bisa menjadi pejuang bagi kemajuan peradaban bangsanya. Harus dihindari tujuan mulia itu dikotori oleh praktik manipulasi, ketidakjujuran, dan pungutan liar. Karena itu, lembaga pendidikan harus diarahkan bersama untuk menjalankan fungsi hakikinya di tengah-tengah perubahan dan dinamika budaya yang terus berkembang. Yakni, melahirkan generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual dan sosial.
Siti Muyassarotul Hafidzoh, peneliti pendidikan pada program pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Suara Karya, Selasa, 19 Juli 2011
No comments:
Post a Comment