-- Benny Arnas
SAMPAI sekarang, saya masih belum mampu mendefinisikan “sastra”. Dari apa yang saya gumuli selama ini, saya baru (sampai) pada tingkat pemahaman bahwa “sastra” adalah karangan yang mampu meng-upgrade kemampuan pembaca dalam memaknainya.
Artinya, saya percaya bahwa ada definisi lebih tepat yang (mungkin) sudah dicetuskan oleh orang-orang terdahulu. Bukan berarti saya tak ingin membuka-buka referensi. Tapi, saya percaya bahwa dalam dunia noneksak semacam sastra; pembacaan, penerjemahan, bahkan pendefinisian, sangat tak bisa lepas dari sudut pandang dan konteks.
Ya, ketika Socrates menyatakan bahwa sastra itu mimesis—tiruan kehidupan, sah-sah saja, bahkan cukup relevan dengan perkembangan sastra hingga hari ini. Pun, ketika Helvy Tiana Rosa (HTR) mengatakan bahwa sastra (menulis) itu adalah berjuang, tentu tak dapat dinafikan ketika pengertian tersebut disandingkan dengan beberapa karya sastra —apalagi karya HTR sendiri.
Dan, apakah seorang Saut Poltak Tambunan (SPT) sudah memiliki definisi sastra dalam versinya atau belum atau tidak mau peduli dengan hal-hal seperti itu, entahlah. Yang terang, lewat karya-karyanya, SPT sedang bilang kepada khalayak pembaca bahwa mengarang baginya bukan untuk mendapat label sastra/tidak, tapi ia ingin menciptakan keintiman psikologis dengan pembaca! Hmm, sebuah visi kepengarangan yang sudah mulai jarang ditemukan dalam ranah sastra.
Dewasa ini karya karangan lebih banyak menerjemahkan estetika ke dalam teknik bermain bahasa. Sebenarnya tak ada masalah bila keinginan untuk menjamah wilayah (teknik berbahasa) tersebut diikuti dengan kematangan bermain diksi dan ketepatan dalam meramunya. Namun yang kerap terjadi adalah (khususnya pada pengarang-pengarang pemula) keasyikan mengeksplorasi bahasa kerap kebablasan. Alih-alih menghasilkan cerita yang bernas dengan estetika yang mumpuni, justru menghasilkan cerita yang susah dimengerti; pembaca lelah menerjemahkan metafora yang asal ramu, diksi yang tidak tepat letak dan tepat guna, bahkan yang lebih parah adalah: cerita kehilangan arah.
Membincangkan SPT, tentu terlalu ingusan kiranya, bila membincangkan perkara teknis mengarang. Ia sudah malang melintang di dunia itu jauh sebelum saya lahir. Saya lebih tertarik membincangkan visi kepengarangannya. Bagi saya, SPT layak dijadikan (salah satu) cermin dalam menjelajahi dunia mengarang. Ia dapat “hidup” dari hasil karangannya. Tentu, tulisan ini akan sangat melenceng bila saya jelaskan panjang lebar perihal “fakta” tersebut. Namun begitu, tentu ada alasan mengapa saya perlu mengungkapkannya. Ya, raihan tersebut tak dapat dilepaskan dari visi kepengarangannya.
Dari pembacaan saya, karangan SPT selalu berusaha melibatkan pembaca dalam ceritanya. Tidak hanya mampu membuat pembaca memahami apa yang tengah ia ketengahkan, namun lebih essensial dari itu. Membaca karangan-karangan SPT membuat kita dapat ikut serta memahami gejolak emosi si tokoh, membayangkan tinggi-rendahnya nada yang dibidik dalam dialog-dialog, bahkan mampu memeragakan gerakan-gerakan tubuh atau elemen pembentuk cerita lainnya (seperti benda, setting, dan suasana) dengan baik. Ya, karangan-karangan SPT sangat filmis. Dan, malangnya, sastra(wan) dewasa ini, sering gagal menampilkan sisi filmisnya. Mungkin juga termasuk saya. Padahal, bagi saya, itu adalah parameter sejauhmana sebuah karya mampu ’mengunjungi’ pembacanya, bukan hanya “dikunjungi” pembacanya.
Beberapa cerpen dalam buku terbarunya, Sengkarut Meja Makan (Selasar Pena Talenta, 2011), membuat pikiran saya langsung connect untuk ’menuduh’ si Romli (Kampung Tamim), Dany (Tas untuk Pak Bakri), Si Anggota (Meja Makan), Ayah Yane (Si Nur), Amang (Berdamai Sesore Itu), Hambali (Mutasi), dan Papa Prita (Aku Punya Papa), adalah tak lain SPT sendiri. Dalam konteks kepengarangan (sastra), bagaimana saya harus membahasakan ini? Apakah SPT gagal menjadi orang lain dalam karya-karyanya? Atau ia justru sukses menerjemahkan karakternya dalam cerita yang beragam? Ah, saya pikir, itu bukan perkara penting, bila dihadapkan pada kenyataan betapa karya-karya SPT mampu membuat pembaca terperangkap dalam kesan yang diproduksi cerita-ceritanya. Ya, pembaca dapat saja tiba-tiba semringah dengan air mata yang hampir jatuh di kelopak mata ketika menyelesaikan Tas untuk Pak Bakri, Berdamai sesore Itu, dan Aku Punya Papa, atau geregetan sambil mengepalkan tangan dan menggerutupkan gigi ketika mengakhiri Meja Makan, Si Nur, dan Primadona.
Bagaimana cerita-cerita lainnya? Kesan apa yang ditangkap saya? Atau tak ada kesan sedikit pun?
Hmm, baiklah, saya akan terpancing oleh pertanyaan yang saya buat sendiri rupanya. Saya ingin mengatakan bahwa Sebentar Lagi 2011!, cerita pembuka dalam kumpulan cerpen ini, sebagai wujud bahwa SPT mampu menggarap cerita tidak seperti yang selama ini ia lakukan. Dalam Sebentar Lagi 2011! SPT membagi ceritanya dalam beberapa fragmen. Di akhir cerita, kita baru sadar bahwa masing-masing fragmen adalah puzzle yang masing-masing sisinya, bila disambungkan, akan menciptakan gambar yang utuh, cerita yang kuat! Cerpen ini pula yang membuat saya menunggu eksplorasi beliau selanjutnya.
Lalu, bagaimana bila direlevansikan dengan sastra dalam definisi saya; karangan yang mampu meng-upgrade kemampuan pembaca dalam memaknainya. SPT telah melakukannya. Up-grading yang dilakukan SPT adalah (mengajak pembaca) peka akan masalah-masalah rumah tangga, adat, dan sosial, yang sangat sering terjadi dan kita jumpai. Cerpen-cerpennya dalam buku ini mampu membuat kita belajar bagaimana membuat membuat setiap tema membumi dalam ceritanya.
Benny Arnas, cerpenis, tinggal di Lubuklinggau.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 24 Juli 2011
No comments:
Post a Comment