-- Muhammad Subarkah
Keborokan mental dan sistem administrasi pegawai VOC terus terwariskan hingga sekarang.
"Apa yang kini bisa menjadi bukti bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda?" Untuk menjawab pertanyaan ini memang mudah bila hanya dengan melihat sederet data angka tahun dalam buku sejarah. Bung Karno dahulu pernah berkata bahwa Indonesia dijajah selama 350 tahun.
Tapi faktanya, sampai akhir abad ke-19, masih banyak kerajaan nusantara yang eksis. Bung Karno rupanya mendasari klaim itu dengan merujuk pada kedatangan pertama bangsa Belanda ke nusantara sekitar 1596. Saat itu, dua bersaudara, Frederick dan adiknya, Cornelis de Houtman, menjejakkan kakinya pertama kali di Banten.
Kesulitan lain untuk segera menyatakan bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda dan dikerjai habis-habisan oleh VOC adalah dengan hampir tidak tersisanya lagi bangunan gedung era kolonial. Hampir semua sudah roboh atau berganti dengan gedung yang lain. Begitu juga dengan soal bahasa. Bila negara jajahan Prancis atau Inggris hingga kini penduduknya tetap bangga memakai bahasa bekas tuannya, sekarang ini sangat sedikit orang Indonesia yang bisa berbahasa Belanda. Jadi, ingatan atas Belanda sebagai kolonial benar-benar sudah hampir terhapuskan.
Namun, meski banyak yang sudah hampir melupakannya, bagi sebagian orang yang sadar akan sejarah, ada satu hal yang sangat esensial yang bisa menjadi bukti peninggalan era penjajahan Belanda (VOC). Dan, itu adalah sikap koruptif yang menguyupi mental para pejabat Indonesia masa kini.
"Mental korup itulah salah satu peninggalan VOC yang kini masih lestari. Bayangkan, perusahaan sebesar itu runtuh karena tindakan buruk para pegawainya. Bahkan, di Belanda kemudian ada singkatan baru dari VOC, yakni Vergaan Onder Corruptie atau runtuh karena korupsi," kata peneliti sejarah Batara R Hutagalung.
Senada dengan Batara, sejarawan UI Djoko Marihandono menyatakan, proyek 'patgulipat' para pejabat semasa era VOC memang sangat kental terjadi. Fenomena sogok-menyogok untuk menjadi pejabat mengurangi nilai proyek pemerintah, bahkan hingga memperdagangkan wilayah adalah hal yang biasa.
Dari catatan Deventer pada 1865, di wilayah Pantai timur Laut Jawa, para pejabat pemerintah yang ingin menjadi bupati harus menyerahkan segepok uang kepada gubernur atau gezaghebber. Besarnya uang sogokan itu berkisar antara 10 ribu hingga 20 ribu piaster. Sementara itu, para bupati ini nantinya akan menerima uang bakti dari aparat di bawahnya, yang berupa sejumlah uang sebagai tanda kesetiaannya kepada atasannya, yakni bupati atau residen.
Yang paling sadis, demi mendapatkan uang pengganti sogok itu, para bupati kemudian tak segan-segan sering 'menjual' wilayahnya untuk dikelola oleh orang Cina atau pedagang lain yang mampu menawar tinggi akan izin berusaha yang akan diberikannya. Bupati di sini persis berlaku seperti centeng atau mandor atas rakyatnya sendiri.
Menurut Djoko, sistem administrasi pemerintah Jawa sangat lemah. Kehormatan dan kepentingan negara selalu dikorbankan. Kondisi moral pegawai menjadi rusak akibat sistem ini. Kondisi perekonomian pun semakin lama semakin buruk. Dan, ketika kekuasaan gubernur dipegang Daendels, saat itu kondisi pemerintahan di 'Hindia Timur' benar-benar buruk.
"Kebobrokan administrasi pemerintahan dilakukan oleh semua pejabat, dari gubernur jenderal sampai pejabat terendah. Masalah yang seharusnya menjadi pekerjaan pejabat pemerintahan tinggi tidak pernah dilaksanakan karena gubernur jenderal sebelumnya tak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Apa yang telah diinstrusikan oleh gubernur jenderal tidak pernah berhasil dan tidak pernah menyentuh persoalan," ujar Joko.
Malah, lanjut Joko, yang menonjol kemudian adalah upaya untuk memperjuangkan kepentingan pribadi. Tidak jarang gubernur jenderal ditipu dengan persekongkolan para pejabat atau pegawai, yang tujuannya untuk melindungi kejahatan yang dilakukan. Oleh karena itu, perintah pertama penguasa Prancis yang saat itu dipegang Napoleon Bonaparte ketika mengangkat Daendels sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda adalah menertibkan sistem administrasi negara.
Untuk mengatasi gulungan korupsi para pejabat pemerintah, Daendels menerapkan kebijakan sangat keras. Sadar bahwa korupsi sudah merasuki perilaku pejabat dengan sangat dalam, dia pun tak segan menerapkan sanksi keras berupa hukuman mati dengan cara ditembak. Saat itu, para pegawai pun merasa sangat ketakutan. Mereka yang ketahuan melakukan kecurangan senilai lebih dari tiga ribu ringgit atau setara dengan gaji satu bulan ketua dewan Hindia Belanda (Raad van Indie), akan disidangkan dan dikenai hukuman mati.
Sayangnya, masa pemerintahan Daendels tak terlalu panjang, hanya sekitar lima tahun. Setelah itu, kekuasaan Hindia Belanda sempat dikuasai Inggris meski hanya dalam waktu singkat. Akibatnya, penyakit korupsi semakin berkembang biak, bahkan diwariskan dari generasi ke generasi.
Melihat kenyataan itulah, sosok peneliti sejarah seperti Batara Hutagalung berang ketika banyak orang Belanda menilai zaman VOC sebagai zaman keemasan (de gouden eeuw). Celakanya lagi, ada juga sejarawan Indonesia yang mendukung pendapat kalangan konservatif Belanda yang menyatakan VOC adalah perusahaan dagang, bukan penjajah.
"Padahal, efeknya terasa sampai sekarang. Apa yang kini terjadi, benar-benar sejalan dan sebangun dengan suasana zaman VOC. Bagi kami, jelas VOC adalah benar-benar sebagai penjajah. Apalagi, di Belanda, terutama kalangan sosialis dan komunis, menyatakan bahwa VOC adalah penjajah. Anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis pernah mengecap Perdana Menteri Belanda memiliki mental VOC," katanya.
Yang paling menyedihkan, lanjut Batara, kalangan pejabat pemerintah juga tak terlalu tanggap atas persoalan ini. Pada 2002, misalnya, ketika di Belanda ada peringatan 400 tahun VOC, mereka hampir-hampir saja tak peduli.
"Bayangkan, saat itu perjalanan replika kapal VOC yang dimulai dari Australia hingga ke Belanda masih diizinkan singgah, bahkan disambut meriah di Jakarta. Padahal, kedatangan mereka di Kalkuta, India, ditolak mentah-mentah. Ini sangat ironis sebab kedatangan bangsa Belanda yang diwakili VOC justru menjadi awal kesengsaraan bangsa Indonesia ini," tegas Batara. Nah, kalau begitu, siapa sekarang yang masih berani melupakan warisan sejarah itu?
Sumber: Republika, Senin, 11 Juli 2011
No comments:
Post a Comment