Judul : Tawanan Benteng Lapis Tujuh
Penulis : Husayn Fattahi
Penerjemah : Muhammad Zaenal Arifin
Penerbit : Zaman, Jakarta, 2011
Tebal : 295 halaman
DUNIA mencatat nama Ibnu Sina sebagai filsuf besar Islam dan dokter moncer. Ibnu Sina atau Avicenna (980—1037) hidup dalam kegandrungan literasi dan represi pelbagai rezim politik. Detik-detik kehidupan seolah dijalani dengan serba ajaib: sekolah, pekerjaaan, dan jodoh.
Tanda-tanda intelektualitas sudah dikenali sejak bocah. Ibnu Sina tekun belajar pelbagai hal melampaui kelaziman usia. Pelajaran agama dan umum diselesaikan dengan enteng. Ibnu Sina memerlukan guru-guru mumpuni agar nalar, imajinasi, dan gairah spiritualitas tak macet.
Biografi Ibnu Sina pun riuh keajaiban, konflik, dan pengharapan. Kesanggupan mengobati Raja Nuh II jadi permulaan lakon hidup Ibnu Sina dalam kubangan politik. Ibnu Sina tidak menghendaki, tapi politik memang susah dielakkan.
Penghormatan sebagai dokter dan intelektual justru menjadi alasan meladeni politik. Kondisi ini bukan mengartikan politik sebagai kehendak bebas. Politik mirip jebakan-jebakan getir. Ibnu Sina menghendaki hidup dalam antusiasme filsafat dan ilmu kendati harus melalui lorong-lorong politik dan popularitas.
Teknik pengobatan modern menimbulkan sangkaan dari para ahli pengobatan lawas. Ibnu Sina dicurigai sebagai penyihir: labelitas murahan untuk menjatuhkan martabat keintelektualan. Ibnu Sina tidak minder.
Pengetahuan kedokteran modern justru dipraktekkan dengan optimistis dan pembuktian bisa diakui publik. Ibnu Sina tampil sebagai doker moncer. Risiko ironis adalah intrik-intrik dari kalangan dokter dan politisi untuk menjatuhkan Ibnu Sina.
Kehadiran dan kemonceran Ibnu Sina menjadi momok bagi mereka karena urusan jabatan, gaji, dan popularitas. Ibnu Sina menghadapi intrik ini sepanjang hidup di pelbagai rezim kekuasaan. Ibnu Sina menjalani takdir dalam konflik tanpa ujung.
Novel ini meriwayatkan Ibnu Sina secara naratif dan bertaburan informasi untuk pembacaan historis. Pembaca disuguhi episode-episode kehidupan menegangkan. Ibnu Sina adalah sosok intelektual mumpuni tapi kontroversial di sebuah zaman dalam kungkungan politik pragmatis.
Nalar modern masih mengalami keterpencilan karena bersinggungan dengan agama, tradisi, dan pemikiran tradisional. Ibnu Sina ingin merombak dan membuat rumusan tentang filsafat, keilmuan, dan kedokteran dengan kekuatan nalar tanpa mengabaikan kebenaran dalam doktrin-doktrin Islam. Laku ini mengantarkan Ibnu Sina sebagai filosuf muslim besar karena sanggup membangun sistem filsafat lengkap dan terperinci.
Filsafat Ibnu Sina memberi pengaruh besar di dunia Islam dan Eropa. Geliat filsafat modern di Eropa memiliki hutang besar atas kerja filosofis Ibnu Sina. M.M. Syarif dalam Para Filosuf Muslim (1985) mengakui Ibnu Sina sebagai warga dunia intelektual-spiritual: hellenis dan islami.
Pengaruh besar Ibnu Sina di Eropa dibuktikan dengan penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Latin di Spanyol sepanjang abad XII. Rembesan filosofis Ibnu Sina tampak dalam pemikiran St. Thomas Aquinas.
Buku Summa Theologica dan Summa Contra Gentiles ditengarai mengandung pokok-pokok pemikiran Ibnu Sina. Pembacaan dan tafsir atas filsafat Ibnu Sina di dunia Islam bertahan dari abad ke abad karena ada pikat filosofis-teologis. Ibnu Sina ikon dari gairah filsafat abad pertengahan.
Husayn Fattahi dalam novel Tawanan Benteng Lapis Tujuh memang tidak membuat uraian historis itu, tapi memberi jejak-jejak awal petualangan intelektual Ibnu Sina. Interaksi Ibnu Sina dengan elite politik, agama, dan intelektual membuka jalan pembesaran pengaruh pemikiran ke pelbagai penjuru negeri. Hasrat pengetahuan dijegal oleh kepicikan politik.
Ibnu Sina kerap “ditundukkan” oleh rezim dengan sanksi dan limpahan harta. Ibnu Sina menyiasati kondisi dilematis dengan mengarahkan diri untuk pembelajaran dan penulisan risalah filsafat, ilmu, dan kedokteran. Hidup dari istana ke istana tidak meruntuhkan gairah keintelektualan.
Hukuman penjara, siksaan, dan pengasingan oleh sekian intrik politik tidak menjadikan Ibnu Sina kapok mengabdikan hidup demi menguak kebenaran melalui jalan filsafat dan derma dalam praktek kedokteran modern. Buku ilmu kedokteran bertajuk Al-Qanun fi at-Thibb dan As-Syifa adalah persembahan agung untuk dunia.
Jabatan, harta, dan keluaraga selalu dipertaruhkan Ibnu Sina saat mengalami represi-represi politik. Novel ini dengan apik meracik sekian konlfik dalam biografi Ibnu Sina untuk memunculkan impresi atas ketangguhan dan kebersahajaan seorang filsuf kondang. Pengarang sadar tentang peran tokoh Ibnu Sina sebagai pusat penceritaan.
Ibnu Sina tidak tampil di jalan lurus. Belokan-belokan karena perbenturan masalah keluarga, komunitas intelektual, laku spiritualitas, persahabatan, dan pekerjaan disajikan sebagai gambaran manusiawi Ibnu Sina.
Rasa takut, kebersalahan, sesalan, sakit, dan impian bertumpuk dalam adonan kisah impresif. Novel ini jadi narasi historis-imajinatif untuk mengenangkan Ibnu Sina tanpa sakralisasi. Begitu.
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Juli 2011
No comments:
Post a Comment