DUDUK berpangku tangan di pinggir meja rapat Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik, di lantai 16 Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Rabu pekan lalu, Gerson Poyk nampak lebih muda dari usianya. Seluruh rambutnya yang telah putih, dicukur pendek, mengenakan setelan jas warna gelap dilengkapi dasi warna merah.
Sesekali pria kelahiran Nomodale, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 16 Juni 1931 ini memperhatikan ruangan rapat orang nomor satu di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata itu. Dia kemudian mengalihkan perhatiannya ke masyarakat lain dari berbagai daerah, yang kebetulan duduk berdekatan dengannya karena hari itu bersama-sama Gerson Poyk akan menerima penghargaan dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Dan, satu persatu Menbudpar Jero Wacik menyerahkan penghargaan tersebut kepada mereka yang dinilai sangat pantas - tahun ini - menerima tanda jasa dari Pemerintah.
Seluruhnya ada 48 orang yang menerima penghargaan Maestro Seni Tradisi yang diserahkan hari itu oleh Menbudpar. Kemudian 6 orang penerima penghargaan khusus Anugerah Kebudayaan 2011, 6 orang penerima penghargaan Anugerah Seni, 6 penghargaan Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya dan 6 penghargaan untuk Anak/Pelajar/Remaja yang berdedikasi Terhadap Kebudayaan. Gerson Poyk termasuk di antara 6 penerima Anugerah Kebudayaan 2011.
Siapa Gerson Poyk? Dia salah satu dari sekian banyak budayawan dan penyair negeri ini yang karyanya selalu dipuji pembacanya. Karyanya berupa puisi, cerita pendek dan novel.Banyak diantaranya karyanya sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing.
Sampai kini Gerson yang - pernah lama jadi wartawan di harian sore Sinar Harapan - masih aktif menulis cerita pendek.
Beruntung sekali, halaman Sastra dan Budaya Harian Umum Suara Karya termasuk sering mendapat kiriman cerpennya. Sebelum memiliki nomor rekening di sebuah bank, ayah Fanny Jonathan Poyk - juga seorang wartawati dan pengarang produktif dan sering pula menulis cerpen di Suara Karya - selalu datang sendiri ke sekretariat redaksi Suara Karya untuk mengambil honorarium cerpennya. Banyak pembaca Suara Karya menyukai cerpen Gerson Poyk.
"Kebetuan ayah saya pelanggan Harian Suara Karya, jadi bisa mengikuti cerpen karangan Pak Gerson Poyk yang diterbitkan Suara Karya. Saya sudah menyimpan 5 cerpen Pak Gerson dari lembaran sastra Suara Karya. Semua cerpennya punya nyawa dan enak dibaca," jelas Nadine Tri Duhita, mahasiswi tingkat akhir (Program Sarjana) Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung.
"Saya juga menyukai cerpen karya Pak Gerson. Sejak masa kuliah di ITB Bandung, sering saat senggang saya terisi dengan membaca cerpen karya Pak Gerson. Saya menyukai karakter tokoh yang dibuat Pak Gerson dalam banyak cerita pendeknya. Syukurlah, saat ini saya bisa bertemu langsung cerpenis idola saya," tutur Menbudpar Jero Wacik dalam acara ramah tanah dengan para penerima penghargaan.
"Cerita pendek karya pak Gerson saya sukai karena memberi inspirasi kepada pembacanya mengenai banyak hal yang ditulisnya. Pak Gerson punya kekuatan tersendiri dibanding budayawan lain kalau sudah bercerita tentang Bali, alam Nusa Tenggara Timur, khususnya Pulau Rote dan kisah suka duka seorang guru di pedalaman. Sampai sekarang saya selalu terkenang cerita pendek beliau. Bahagia sekali saya bisa bertemu Pak Gerson sambil meneruskan penghargaan dan Salam bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Pak Gerson Poyk," tutur Menbudpar lagi.
Kalau dalam banyak cerpennya Gerson kerap menulis tentang Bali, alam Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Maluku, Papua dan fasih berceria tentang tugas-tugas mulai seorang guru di pedalaman, tidaklah mengejutkan lagi. Bisa begitu, karena awal karir penulisan sastra seorang Gerson adalah seorang pendidik, seorang yang berhadapan langsung dengan beragam masalah krusial di pedalaman. Asal tahu saja, guru dipedalaman tidak saja mengurusi anak didik, tetapi juga dibebani tanggungjawab mengkampanyekan program Keluarga Berencana, Pajak Bumi Bangunan, sampai urusan tetek bengek lainnya yang sebenarnya bukan menjadi tugas resmi seorang guru seperti Gerson Poyk.
Tetapi, dengan bermodalkan ijazah SGA (Sekolah Guru Atas) Kristen Surabaya, jadilah Gerson mendapat kepercayaan ikut mengurusi ini dan itu. Maka, dalam menjalami tugas guru jaman baheula, Gerson punya segudang pengalaman suka dan duka sebagai guru dj pedalaman. Belum lagi jika sudah bulan tua, pusingnya minta ampun, karena gaji guru sangatlah minim.
"Bayangkan saja, pernah gaji saya tidak cukup untuk beli sebungkus rokok. Pernah juga gaji saya, dua tahun kemudian baru saya terima. Dulu jadi guru memang benar-benar pengabdian. Hidup sebagai guru juga sangat susah. Sangat menderita. Tidak seperti sekarang, guru banyak sekali yang senang hidupnya. Saya pahami itu semua," ujar Gerson, lirih.
Setelah jadi guru sekolah dasar Gerson memilih jadi wartawan. Pada masa itulah Gerson sangat produktif menghasilkan karya tulis bernafaskan humanis.
Cerpen, puisi dan esainya mengalir di banyak media cetak. Pada masa itulah pula, Gerson bercerita, banyak karya sastra yang dihasilkannya mencerdaskan pembacanya, terutama sekali dari kalangan mahasiswa yang menjadikan karya-karya sastra penulis novel Memendan Dendam ini sebagai bahan disertasi dan tesis.
Melalui novelnya Sang Guru yang dinilai sangat menyentuh dan memberi isnpirasi tugas-tugas mulia para pendidik di tanah air, Gerson Poyk, bersama dua budayawan lain, yakni Ahmat Tohari (penulis novel Bekisar Merah) dan Ramadhan KH (penulis novel Ladang Perminus) menerima hadiah sastra dari Pusat Bahasa Indonesia Depdiknas Tahun 2003.
Tapi, pernahkah Gerson bermimpi akan menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan seperti diterimanya sekarang?
"Belum pernah saya impikan, dan tak akan pernah saya mimpikan. Soalnya, sejak dulu sampai sekarang saya menulis bukan untuk mendapatkan penghargaan, apalagi Anugerah Kebudayaan. Tidak pernah saya mimpikan. Saya menulis karena saya ingin melakukan perubahan perubahan melalui tulisan saya.
Ternyata tidak sia-sia saya menulis. Banyak pembaca yang kirim ucapan terima kasih, karena sudah jadi orang setelah diwisuda jadi sarjana yang tesis dan disertasinya diilhami dari karya-karya sastra saya," tutur Gerson Poyk.
Sejumlah masyarakat dari berbagai daerah yang hari itu duduk berdampingan menerima penghargaan dari Presiden nampak terharu mendengar penuturan Gerson Poyk. Ketika Menbudpar menyerahkan Anugerah Kebudayaan 2011, Gerson Poyk juga tampak sangat terharu. Menbudpar kemudian minta dipotret bersama dengan Gerson Poyk.
Gerson Poyk hari itu, menjadi satu-satunya budayawan dan penyair yang menerima Anugerah Kebudayaan 2011. Gerson juga menerima bantuan sejumlah uang.
Selamat Pak Gerson Poyk! (Ami Herman)
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 16 Juli 2011
No comments:
Post a Comment