Sunday, June 09, 2013

Parade Tari Daerah Riau 2013 Kehilangan Jatidiri?

-- Zuarman Ahmad

TULISAN ini bukanlah terlambat, jika dihubungkan dengan judul, tetapi merupakan akumulasi dari Parade Tari Daerah Riau yang diadakan setiap tahun di Pekanbaru. Setiap Parade Tari Daerah Riau dilaksanakan, setiap itu pula kawan-kawan yang peduli dengan seni, terutama event parade tari ini, berdiskusi membahas segala cacat yang tidak mungkin dilihat oleh penyelenggara.

Kenapa tidak mungkin dilihat oleh penyelenggara? Sebuah teori yang dikemukakan oleh Hasan Junus (alm), ketika seorang dosen sedang mengajar mahasiswa di sebuah ruang kelas; bahwa pintu masuk ke ruangan kebetulan berada di samping sebelah kiri belakang mahasiswa duduk, dan ketika seekor lipan masuk ke dalam ruangan kelas, yang pertama sekali nampak adalah sang dosen, sedangkan mahasiswa tidak seorang pun mengetahuinya sama sekali, karena muka mereka menghadap ke depan ke arah dosen yang sedang mengajar.

Jadi, ketika beberapa teman seniman itu berdiskusi tentang beberapa cacat penyelenggaraan Parade Tari Daerah Riau, teman-teman seniman yang mengadakan diskusi itu juga seperti sang dosen, yang melihat lipan masuk ke dalam ruangan (beberapa cacat penyelenggaraan parade tari), sedangkan pihak penyelenggara Dinas Pariwisata Riau kebetulan seperti mahasiswa yang duduk menghadap dosen, dan tentulah tidak melihat cacat penyelenggaraan parade tari itu.    

Untuk melihat beberapa kekurangan dari Parade Tari Daerah Riau itu terutama dari sudut pandang estetika dan beberapa keluhan seniman ketika setiap selesai parade tari itu dilaksanakan; sebut saja dari banyak persoalan yang muncul ke permukaan: penyelenggaraannya yang ‘tidak profesional’ (misalnya, microphone atau sound system yang tidak memadai - tidak pernah nyaman bagi pemusik), persoalan juri yang menambah ‘rumit’ masalah, yang selalu ‘berhubungan’ dengan kepanitiaan dan politik kekuasaan, dan sebagainya dan sebagainya, yang kalau membaca tulisan ini seperti tak ada saja sisi yang elok dari event parade tari itu.

Masalahnya bukanlah begitu. Parade Tari Daerah Riau ini bukanlah event pertunjukan seni murni, tetapi bersifat lomba. Apakah seni murni? Bahasa sederhananya adalah tidak ada di dalamnya persoalan di luar seni. Persoalan di luar seni itu misalnya, berbagai-bagai unsur di luar persoalan seni masuk di dalamnya, apalagi jika masuk unsur ‘politik’; sedangkan seni yang bersifat lomba, tentulah harus mempunyai syarat-syarat yang jelas dan teruji, seperti kriteria lomba yang jelas, dan sesuai dengan judul lomba yakni Parade Tari Daerah Riau, di-garis-bawahi yaitu ‘Riau’ (Melayu Riau), bukan daerah Jawa, Turki maupun Cina, atau daerah lain di luar Melayu Riau. Oleh itu juga mungkin Amir Pasaribu (alm) ketika diwawancara Ananda Sukarlan (pianis) mengatakan bahwa, seni, jika ada unsur di luar seni masuk ke dalamnya bukanlah disebut seni (suatu pernyataan yang idealis sangat).

Jika ditinjau dari sudut estetika, persoalan jatidiri sangatlah mustahak, karena parade tari ini membawa nama kata ‘daerah’. Apakah jatidiri? Jatidiri, menurut beberapa kamus dapat disimpulkan sebagai: sifat atau ciri tersendiri dari segi bahasa, adat-istiadat, agama, dan sebagainya, yang menjadi symbol atau lambang seseorang, kaum atau bangsa. Dalam bahasa Melayu Malaysia disebut juga dengan integriti, yakni perwatakan, kejujuran, ketulusan, kesempurnaan dan keutuhan. Berasal dari bahasa Inggeris, integrity, yaitu sebuah konsep tindakan konsistensi, nilai, metode, langkah-langkah, prinsip, harapan, dan hasil. Dalam etika, integritas dianggap sebagai kejujuran dan kebenaran atau akurasi dari tindakan seseorang. Integritas dapat dianggap sebagai kebalikan dari kemunafikan, yang menganggap konsistensi internal sebagai suatu kebajikan.

Bahkan, hampir tidak ada koreografer maupun komposer pada Parade Tari Daerah Riau terlebih dahulu meneliti konsep tari dan musik tari yang mau dibuat, untuk menjadi dasar garapan sebagai sebuah karya tari baru, berdasarkan eksplorasi maupun elaborasi dari gerak maupun koreografi tari Melayu Riau yang terdapat di sejumlah etnis Melayu Riau yang lumayan kaya ragamnya untuk sebuah jatidiri; sehingga para juri sebelumnya, dari Riau maupun dari luar Riau, dapat mempelajari terlebih dahulu karya tari maupun musik tari yang diparadekan itu, apakah karya tari itu murni dari Melayu Riau, atau bahkan mungkin dari luar Riau, yang sekarang dengan mudah dapat diakses melalaui Youtube di internet.

Bahwa, konsep jatidiri dalam tema tulisan ini sangatlah penting.

Pertanyaannya, apakah disebut durian kalau kulitnya saja tidak berduri? Kulit yang berduri itu adalah satu dari jatidiri yang bernama buah durian, selain jatidirinya yang lain. Begitu juga halnya pada Parade Tari Daerah Riau itu, apakah bernama tari dan musik tari Melayu Riau jika jatidiri kemelayu-riauannya tidak kelihatan, bahkan tidak ada?

Bukanlah para penari dan pemain musik, koreografer dan komposer tari Melayu Riau sebelumnya, lebih hebat dari sekarang. Bahkan, para penari dan pemusik tari Melayu Riau sebelumnya (periode awal Parade Tari Nusantara TMII, atau sebelum event parade tari daerah, atau jauh sebelumnya) tidaklah harus dikatakan lebih hebat. Bahkan koreografer, komposer, penari, dan pemusik tari ‘waktu itu’ dapat dihitung dengan jari jumlahnya. Untuk lebih jelasnya,  mari kita lihat tari ‘’Rentak Bulian’’ karya Wasnuri Marza, yang semua sanggar tari Riau pernah menarikannya, bahkan tari ini telah berkelana sampai ke Perancis, Spanyol, Cina, Malaysia, Itali, dan Jerman; untuk dinamakan tari milik orang Melayu Riau, tari ini tentulah mempunyai jatidiri yang kental, dan patutlah tari disebut sebagai tari Melayu Riau atau salah-satu tari Melayu Riau, dan bukan atau tidak boleh disebut dengan tari Jawa, bahkan tari Melayu Malaysia.

Jadi, untuk dikatakan sebagai tari yang memiliki jatidiri Melayu Riau, di dalamnya hendaklah terkandung ‘estetika’ Melayu Riau, bukan ‘estetika’ Turki, Cina, atau Bali, dan estetika etnis lain. Karena, dalam penciptaan ‘seni’ hal yang terpenting harus terkandung di dalamnya adalah estetika, yakni ‘nilai keindahan’. Walaupun kata ‘keindahan’ ini sendiri sulit untuk didefenisikan. Plato membuat rumusan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan; sementara Aristoteles membuat nilai keindahan dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan keindahan dari aspek jasmani dan rohani. Proporsi, keharmonisan, kesatuan, aturan-aturan, kesimetrisan, keberadaan roh dan raga seni tari orang Melayu Riau itu, tentulah dirangkum ke dalam estetika atau keindahan roh dan raga jatidiri milik orang Melayu Riau itu sendiri.

Untuk kepentingan ‘estetika’ sebagai bahan dasar seni atau tari itu, dan terutama untuk mengatasi berbagai-bagai persoalan yang muncul dalam Parade Tari Daerah Riau itu, sebaiknya pihak Dinas Pariwisata mempelawa (membawa) seniman yang idealis dalam bidang tari dan musik sebagai pelaksana lapangan, walaupun hal ini tidak menjamin kesempurnaan seratus persen, tetapi paling seperti yang dikatakan oleh orang Perancis, Toujours ` la perfection, yakni senantiasa menuju ke kesempurnaan. Karena itu, janganlah untuk sebuah kemenangan dalam parade tari itu, kita menjadi ‘orang lain’ atau masuk ke dalam wilayah ‘politik kesenian’ atau ‘kesenian politik’, sehingga kitapun kehilangan jatidiri kita sendiri.***

Zuarman Ahmad, Anak jati Rokan Hulu yang sudah bergelut di bidang seni musik sejak masih kanak-kanak. Selain bertindak sebagai komposer di Bandar Serai Orkestra (BSO), dia juga rajin menulis karya sastra seperti cerpen dan esai. Saat ini, Zuarman juga tercatat sebagai pengurus di majalah budaya Sagang.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 9 Juni 2013

1 comment:

Unknown said...

Ya setuju,,namun dalam perkembangan saat ini perlu para seniman Riau mengubah pemikiran para koreografer daerah peserta melalui pemikiran yang disampakan kepada pihak yang berwenang yaitu Taman Budaya Riau.tanpa masukan dari para seniaman Riau sangat dibutuhkan supaya Taman Budaya Tidak salah dalam melaksanakan lomba tahunan yang dikenal dengan Parade Tari Daerah Riau...